“Tu-tunggu sebentar!” cegah Emery. Dia merasa belum siap jika Ruben menyerangnya tiba-tiba.
“Kita tidak saling mencintai,” Emery beralasan semampunya. Dia dalam posisi terjepit saat ini. Dia harus segera melarikan diri sebelum keduanya beranjak lebih jauh lagi.
“Bukankah kamu mau melihatnya?” tantang Ruben.
“Ah, itu … tidak jadi saja. Saya harus pergi sekarang,” tolak Emery.
“Oke. Pergilah!” usir Ruben. Dia tahu jika diteruskan dirinya bisa khilaf.
Ruben beranjak dari tempat tidurnya. Begitu pula dengan Emery. Wanita itu akan pergi meninggalkan Ruben. Sementara, Ruben masih memalingkan wajahnya ketika Emery benar-benar pergi meninggalkan kamarnya. Langkah Emery terhenti sejenak.
“Dokter Ruben,” ucap Emery sembari membalikkan tubuh.
Ruben menoleh. Tatapannya mulai berubah saat Emery mengoceh di hadapannya. Wanita itu sengaja membangkitkan gairah Ruben malam ini dengan memanggilnya lagi.
“Berisik sekali wanita ini,” gumam Ruben gemas.
“Saya mohon pada Anda, jangan terlalu menekan Sienna. Walau bagaimana pun juga kami sebagai koas akan selalu belajar dan terus belajar. Anda tidak bisa memaksakan kami dengan cara seperti yang Anda inginkan. Tapi, kami akan tetap berusaha. Meski Anda merasa tidak puas dengan proses yang kami lalui. Kami .…” Kalimat Emery belum selesai. Tiba-tiba saja, Ruben menghampiri Emery dan mendaratkan kecupan di bibir juniornya itu.
Deg!
Jantung Emery berdegup kencang. Apa yang terjadi? Kenapa kejadiannya jadi seperti ini? Emery menerka-nerka. Tiba-tiba saja, Ruben mencium bibirnya. Apa pria aneh itu sudah gila? pikir Emery.
Ruben menekan bibir Emery lebih dalam. Hal itu membuat Emery sampai mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Dia juga membelalak saat tangan Ruben menyentuh area sensitifnya. Tepat di bagian dadanya.
Emery merasakan ada getaran aneh dalam tubuhnya. Suasana malam itu juga sangat mendukung. Terlebih lagi, Ruben dalam keadaan lelah dan butuh refreshing setelah seharian bekerja tanpa istirahat. Untuk melepas penatnya, Ruben menjadikan Emery sasaran untuk memuaskan hasratnya.
Emery menyerah dan terbawa suasana. Dia mengikuti alur permainan bibir sang senior. Selang beberapa menit kemudian, keduanya kini sudah berada di atas ranjang. Perlahan-lahan, Ruben membuka kancing blouse yang dikenakan Emery satu per satu.
Emery tidak bisa menolak pesona Ruben malam itu. Seniornya yang begitu tampan, berbakat, dan pandai memuaskan hasrat seorang wanita membuat Emery bertekuk lutut di hadapannya. Menyerah tanpa alasan.
Romansa malam itu terasa begitu cepat. Keduanya tak sengaja melakukan hubungan terlarang itu. Beberapa jam kemudian, setelah keduanya tersadar, Emery menjerit histeris.
“Aaarrrrggghhh! Apa yang Anda lakukan pada saya, Dokter Ruben?” Emery mendapati dirinya dan Ruben tanpa busana di tempat tidur yang sama.
Keduanya baru saja bangun tidur setelah menghabiskan malam bersama. Pagi itu, Emery dengan rambut acak-acakan menemukan Ruben berbaring di sampingnya. Hanya mengenakan selimut.
Setelah diingat-ingat lagi peristiwa semalam, keduanya baru sadar. Malam kemarin begitu nyata, panas, dan mereka melakukan hubungan persenggamaan atas dasar suka sama suka.
“Bagaimana ini?” Emery tampak bingung. Dia mengenakan pakaiannya dengan terburu-buru. Memakainya lagi asal-asalan. Yang penting bisa menutupi bagian tubuhnya.
“Apa kita bercinta semalam?” Ruben memastikannya lagi. Emery menoleh ke arah Ruben dengan tatapan sendu.
“Anda yang sudah menggoda saya, Dokter Ruben,” Emery menyalahkan Ruben. Sontak saja, Ruben membantahnya. Dia tidak ingin disalahkan.
“Menggodamu?” Ruben baru menyadari kalau nada bicara Emery mulai berubah. Tidak seformal biasanya seperti di tempat kerja. Terkesan lebih santai dan lebih akrab. Sedekat itukah mereka sekarang?
“Maaf, jika bicara saya tidak sopan. Tapi, saya merasa … saya berada di posisi korban saat ini,” kata Emery. Ruben mengernyitkan dahi.
“Tapi, kamu tidak menolakku semalam. Berarti kamu juga bersalah Emery,” balas Ruben. Dia bersikap biasa saja. Bahkan terkesan santai menanggapinya.
“Astaga! Bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Emery kelabakan. Dia bingung mengatasi masalah ini. Setelah menyadari, jika yang mereka lakukan itu sudah di luar batas normal sebuah hubungan antara rekan kerja.
“Kita lupakan saja semua ini. Anggap saja, kita tidak pernah melakukannya. Kamu mengerti?” Ruben bersepakat dengan Emery. Dia berusaha membujuk Emery.
“Apa?” Emery membelalak kaget setelah mendengar pernyataan konyol yang dilontarkan Ruben begitu saja. Seenak perutnya pria aneh itu bicara. Tanpa dipikirkan akibat ke depannya nanti, gerutu Emery.
Mana bisa Emery menganggap hal itu biasa-biasa saja? Semalam, keduanya begitu bergairah hingga tak sadar telah melewati batas kewajaran. Padahal hubungan mereka tak lebih dari sebatas senior dan junior di tempat kerja. Tidak ada yang istimewa di antara hubungan mereka.
Ini pasti sebuah kesalahan, Emery berpendapat. Kejadian itu tidak akan pernah terjadi jika keduanya tidak ada saling ketertarikan. Ya ampun! Emery dan Ruben membuat kesalahan besar. Tidak hanya itu, mereka melakukan hubungan tanpa adanya ikatan cinta. Lalu, bagaimana jika hal yang menakutkan terjadi kepada mereka? Hamil di luar nikah, misalnya.
“Tidak! Tidak!” Emery menggeleng-gelengkan kepala. Memukul-mukulnya pelan dengan tangannya sendiri. Dia berharap kejadian semalam tidak akan pernah terjadi lagi kepadanya.
“Sudahlah! Jangan terlalu dipikirkan! Kita hanya perlu menganggapnya biasa saja dan lupakan semuanya. Beres, kan?” saran Ruben. “Jangan jadikan masalah ini seperti beban!” Ruben memberi solusi. Tetapi, Emery menganggapnya tidak masuk akal.
“Bagaimana kalau aku hamil? Apa Anda akan bertanggung jawab?” tantang Emery dengan berani. Ruben terkekeh.
“Ya, jika memang itu anakku, aku akan bertanggung jawab,” sahut Ruben. Namun, perkataannya terdengar seperti main-main.
Emery tersenyum sinis mendengarnya. “Jadi, Anda mengira saya sering tidur dengan pria lain di luar sana? Sehingga Anda meragukan jika nanti saya hamil. Janin yang ada di rahim saya bukan darah daging Anda? Ironi sekali.”
Ruben berdecak. Dia bangkit dari tempat tidurnya sambil bertelanjang dada. Dia hanya mengenakan celana boxer berwarna hitam merek sebuah produk ternama. Emery memaling wajahnya. Dia begitu malu dan pipinya sudah merah merona lagi. Ketika Ruben mendekatinya lagi.
“Aku percaya kamu tidak tidur dengan pria lain. Terbukti, semalam saja permainanmu tidak terlalu mendominasi permainanku. Kamu juga masih perawan, ya?” sindir Ruben sambil menyunggingkan senyum mengejeknya.
“Brengsek!” umpat Emery. Harga diri Emery terluka mendengar sindiran dari Ruben.
“Emery, tutup saja mulutmu! Jangan sampai skandal kita ini terbongkar sampai ke rumah sakit. Jika sampai kamu membocorkannya, aku tidak akan tinggal diam. Kamu akan mendapat hukuman berat dariku. Mengerti?” Ruben memperingatkan Emery, sekaligus mengancamnya.
Emery mengambil tas serta ponselnya. Lalu, dia bergegas pergi meninggalkan rumah Ruben sambil mendengus kesal. Emery yang terlanjur kecewa dengan sikap Ruben yang merendahkannya membuat dirinya tersulut emosi. Beruntung, hari ini dia libur bekerja. Dia bisa pergi sejenak ke suatu tempat untuk menenangkan diri. Jika perlu ke tempat pengasingan saja.
Seseorang memergoki Emery yang baru saja keluar dari kediaman Ruben. Bahkan, saking kesalnya, Emery tidak memerhatikan jalan menuju arah pulang. Seseorang itu melewatinya dan tersenyum sinis ke arahnya.
“Emery?” panggil Sean setelah memastikan jika wanita itu keluar dari rumah sepupunya dalam keadaan semrawut.
Emery menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke sumber suara dengan mata sembab. Seperti habis menangis.
“Kamu kenapa?” Sean menghampirinya. Dia juga memerhatikan penampilan Emery. “Kamu baru dari rumah Ruben. Ngapain tuh?” tanyanya.
“Ah, tidak apa-apa. Permisi, saya sedang terburu-buru,” Emery beralasan. Dia pamit pada Sean dan langsung kabur dari hadapannya. Dia takut jika Sean mengajukan beberapa pertanyaan lagi kepadanya.
Sean tersenyum memerhatikan sikap Emery yang salah tingkah di hadapannya. Wanita itu pergi begitu saja sambil menahan tangis. Kira-kira, ada cerita menarik apa di rumah sepupunya itu? Sean jadi penasaran sekali.
Sean pergi menemui Ruben di rumahnya. Ketika dia berdiri di depan pintu rumah, Ruben masih bertelanjang dada membukakan pintu untuk Sean.
“Aish! Sialan! Si manusia jadi-jadian lagi,” ejek Ruben kesal. Dia tidak mengharapkan kedatangan Sean ke rumahnya.
“Astaga!” Sean refleks menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia tidak menyangka jika pikiran buruknya selama ini benar-benar terealisasikan.
“Kamu? Ngapain ke sini, hah?” tanya Ruben agak ketus.
Hujan mulai turun perlahan, rintik-rintiknya membasahi wajah Sienna yang masih terpaku menatap Sean. Cahaya dari lampu-lampu kecil di sekitar mereka memantul di butir-butir air yang jatuh, menciptakan suasana magis yang tak terduga.“Apa yang dia lakukan?” Sienna terkejut dengan sikap Sean.Sean, meski basah kuyup, tetap bertahan dalam posisinya, berlutut di tanah dengan kotak kecil berisi cincin yang terbuka di tangannya.“Sienna,” kata Sean dengan suara yang serak namun penuh ketulusan, “aku tidak pernah ragu tentang kita. Aku hanya ingin momen ini menjadi sesuatu yang tak akan pernah kamu lupakan. Kamu adalah bagian terbaik dari hidupku, dan aku ingin menghabiskan sisa waktuku bersamamu.”Sienna merasakan hatinya mencair seperti es yang tersentuh sinar matahari. Padahal saat itu sedang turun hujan deras. Air matanya bercampur dengan rintik hujan, tetapi senyumnya mulai merekah, meskipun bibirnya gemetar.&ldqu
Di Paris, Emery dan Ruben memulai kehidupan baru mereka sebagai keluarga kecil yang bahagia. Mereka tinggal di sebuah apartemen mewah yang menghadap ke arah Menara Eiffel, tempat yang menjadi simbol awal cinta dan harapan baru.“Mommy ….” ucap Ben kecil yang mulai belajar bicara dan berjalan. Emery terkejut dengan pertumbuhan Ben yang berkembang pesat.Ben, yang kini semakin tumbuh ceria dan sehat, membawa warna ke dalam hari-hari mereka.Emery melanjutkan kariernya sebagai dokter di salah satu rumah sakit ternama di Paris bersama suaminya, Ruben. Setiap akhir pekan, jika tidak sibuk menangani pasien di rumah sakit, mereka menghabiskan waktu bersama-sama dengan Ben dan mendokumentasikan semua kegiatannya di sana.Di sela-sela kesibukan mereka, Ruben sering mengajak Emery berjalan-jalan di sepanjang Seine atau menikmati makan malam romantis di bistro kecil. Dalam satu momen manis, mereka duduk di kursi taman, memandangi lampu-lampu kota
Adrian akhirnya memberanikan diri untuk menemui Sean di rumah sakit. Saat dia masuk ke kamar, Sean sedang berbincang ringan dengan Emery.‘Sial! Kenapa Emery ada di sini?’ Adrian jadi segan dan ingin segera mengurungkan niatnya.Ketika melihat Adrian berdiri di pintu, Sean memintanya masuk. Suasana di kamar inap pun menjadi canggung. Adrian dengan raut wajah penuh penyesalan, menyerahkan surat yang dia tulis untuk Sean. Dia meletakkannya di atas meja kecil dekat ranjang pasien.“Emery ….”Emery membuang muka saat Adrian menoleh ke arahnya. Dia masih kesal pada sang direktur. Adrian tahu, perbuatannya mungkin tidak akan pernah bisa termaafkan oleh Emery."Saya tahu permintaan maaf saya tidak cukup," ucap Adrian dengan suara berat. "Tapi, saya ingin kalian tahu, saya benar-benar menyesal atas semua yang terjadi waktu itu."Emery dan Sean kompak terdiam menanggapi permintaan maaf Adrian. Mereka masih tak berkutik
Setelah operasi yang memakan waktu cukup panjang dan kritis, Sean berhasil melewati masa-masa kritisnya. Dokter menyampaikan kabar baik kepada Emery, Ruben, dan Sienna, bahwa kondisi Sean mulai stabil. Namun, dia tetap membutuhkan pemulihan intensif di rumah sakit.“Syukurlah kalau begitu,” ucap Ruben.“Terima kasih, Tuhan.” Emery pun mengucap syukur pada Sang Maha Kuasa atas karunianya, operasi Sean berjalan lancar.“Aku akan memberitahu Sienna,” kata Ruben.“Biar aku saja yang menghubunginya,” tawar Emery.“Baiklah, kalau begitu. Aku akan mengurus kamar inapnya dulu. Jangan lupa, bayi kita,” pesan Ruben dengan tergesa-gesa.Emery mengangguk mantap. Dia mengerti dan bergegas melaksanakan perintah Ruben.Setelah menghubungi Sienna, Emery pun merasa lega. Dia hanya berharap, semoga saja Sean lekas pulih dari luka tembaknya. Dia teringat pesan Sienna untuk Sean.“E
Di guest house tempat Adrian menyembunyikan bayi Ben, ketegangan pun memuncak ketika Sean berhasil menemukan Ben di kamar terkunci. Emery yang menyusul masuk, memeluk putranya dengan penuh emosi. Emery tak kuasa menahan tangisnya setelah menemukan sang putra.Sean menyuruh Emery untuk segera melarikan diri. Berbahaya sekali bagi Emery dan bayi Ben. Namun, usaha mereka untuk melarikan diri terganggu oleh anak buah Adrian, yang membawa senjata dan mengepung mereka.Dalam kekacauan itu, Sean terluka parah akibat sebuah tembakan yang tidak disengaja ketika dia berusaha melindungi Emery dan Ben dari musuh.“Suara itu … siapa yang terluka?” Ruben membelalak kaget.Ruben, yang terlibat perkelahian sengit dengan Adrian di ruang utama, mendengar suara tembakan dan segera berlari ke arah Emery.“Kamu tidak apa-apa?” Ruben memastikan Emery dan putranya tidak kenapa-kenapa.Emery sesenggukkan. “Aku tidak apa-apa. Tap
“Adrian,” desis Laura. Wanita itu datang menghampiri Adrian perlahan-lahan.Adrian hanya sekilas meliriknya. Tanpa berbasa-basi, pria itu memilih untuk meninggalkannya di tengah-tengah pesta yang sedang berlangsung. Dia buru-buru pergi ke suatu tempat untuk menenangkan diri.Adrian tidak mengira bahwa dirinya terjebak dalam perjodohan yang dirancang oleh ayahnya sendiri, Tuan Milano dengan Laura, putri dari seorang wali kota. Perasaannya begitu hancur. Hatinya masih terpaut pada Emery, wanita yang kini berada di sisi Ruben.Meski menerima perjodohan demi menjaga reputasi keluarga, Adrian tidak bisa melepaskan obsesinya terhadap Emery. Sikapnya yang dingin dan egois membuat Laura merasa diabaikan malam itu, meski dia berusaha sebaik mungkin, menjalankan perannya sebagai tunangan yang sempurna di mata tamu undangan yang datang.“Sial!” rutuk Adrian. Dia tancap gas maksimal dan membuat kendaraannya mengebut di jalan raya pada malam ha