"Menikahlah denganku, Stella. Aku akan memberikan apa pun yang kamu mau." Alexander Edward. "Maaf Pak, Bapak mabuk. Permisi." Stella Caelan. Apa jadinya jika Stella Caelan yang tidak pernah menjalin kisah asmara, mendapat lamaran tidak terduga dari seseorang yang tidak ia kenal? Dan apa jadinya, jika Alexander Edwar yang tidak percaya akan cinta, ingin menikahi karyawannya sendiri?
View MoreSuasana jam makan siang di 'Edward Corp' cukup ramai. Banyak para karyawan yang tergesa-gesa menuju kantin atau tempat makan terdekat. Karena percayalah, jam makan siang adalah kesempatan bagi mereka para pekerja untuk melepaskan diri dari tugas sejenak.
Berbeda dengan gadis cantik yang lebih memilih berkutat dengan segala pekerjaan yang seakan mencekiknya. Matanya terfokus pada layar komputer di depannya. "Mau makan sekarang atau kita jangan bertegur sapa?" tawar seorang wanita berambut hitam sebahu pada gadis yang masih fokus pada pekerjaannya itu. "Tapi aku sangat sibuk, Karen." "Baiklah. Jangan menegurku selama beberapa hari!" ucap wanita itu dan berlalu dari meja temannya. Melihat itu, gadis tersebut segera merapikan mejanya dan mengejar temannya. "Baiklah. Hanya sebentar!" ujarnya menyerah. Karen tersenyum karena merasa menang. Karena seorang Stella Caelan adalah gadis paling keras kepala yang pernah ia temui. Karen dan Stella memang telah berteman sejak masa kuliah. Bahkan mereka sudah merencanakan untuk bekerja di 'Edward Corp' bersama-sama. Saat menunggu lift terbuka untuk menuju kantin perusahaan, lift khusus petinggi terbuka dan menampakkan beberapa petinggi perusahaan, termasuk sang CEO. Semua karyawan yang melihat, menunduk hormat pada sang pemilik perusahaan. Begitu pula dengan Stella dan Karen. Namun semua itu tak dipedulikan oleh sang CEO. "CEO kita adalah orang yang paling dingin yang pernah kutemui. Seakan dia tidak tersentuh!" bisik Karen saat dirasa sang CEO telah bergerak menjauh. "Aku tidak peduli. Ayolah, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan!" ucap Stella dan mereka pun bergerak memasuki lift yang terbuka. Alexander Edward, seseorang yang sejak tadi menjadi bahan pembicaraan karyawannya sendiri, masih dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh salah seorang gadis. Stella. Ia menyeringai menyadari bahwa ada karyawannya yang tidak peduli pada CEO-nya sendiri. Pasalnya tidak ada satu pun wanita yang tidak peduli padanya. Bahkan negara ini pun tahu siapa Alexander Edward. Entah mengapa Alex merasa suatu saat nanti, gadis itu, yang mengatakan bahwa dia tidak peduli pada seorang Alexander, akan menjadi orang yang paling peduli. ***** Tepat tengah malam, Stella baru menyelesaikan pekerjaannya. Karena jika ia tidak lembur, maka ia yakin akan terjadi masalah keesokan harinya. Apalagi berkas yang ia kerjakan harus diberikan kepada atasannya besok pagi. Saat berjalan di lobby, ponselnya berbunyi, menampilkan nama Karen yang terpampang di layar ponselnya. Segera Stella menjawab panggilan tersebut. "Stella, kau di mana?" cecar Karen terlebih dahulu bahkan sebelum Stella sempat menjawabnya. "Lobby kantor!" balas Stella singkat. "Kau masih di kantor?" teriak Karen di seberang sana dan dengan cepat Stella menjauhkan ponselnya. "Telingaku bisa sakit kalau begini!" kata Stella pada Karen. Kesal. Seakan tidak peduli pada kekesalan Stella, wanita itu kembali merepet. "Kau harus segera pulang, aku tidak ingin terjadi apa-apa padamu dan jika alasanmu bekerja keras karena hutangmu ---" "Aku menyukai pekerjaanku, Karen. Dan baik, aku akan segera pulang," potong Stella dengan cepat saat tahu apa yang akan dikatakan temannya itu. "Baiklah. Sampai jumpa," balas Karen mengakhiri sambungan telepon. Stella menghela napasnya. Mungkin ia harus meminta maaf pada Karen besok. Saat menunggu taksi di depan perusahaan, ia sama sekali tidak menemukan tanda-tanda adanya taksi yang lewat. Akhirnya ia memilih berjalan menjauh dari kantor, karena mungkin ia bisa menemukan taksi di sana. Saat ia berjalan, seorang pria bertubuh besar berjalan mendekat. Awalnya Stella merasa biasa saja. Namun sewaktu pria itu mengatakan suatu hal padanya, saat itulah Stella harus merasa siaga. "Berikan tasmu, Nona!" ucap pria itu. Stella bergeming. "Jangan membuatku bermain kasar, Nona!" ujar pria itu lagi dan kini mulai mencengkeram pergelangan tangan Stella dan bisa dipastikan itu akan meninggalkan bekas. "Jangan! Lepaskan!!" teriak Stella berusaha menutupi rasa takutnya pada pria di hadapannya. Ia pun berusaha untuk melepaskan diri dari pria itu. Bugh. Seketika pria itu jatuh tersungkur dan cengkeramannya pada Stella terlepas. Terjadi baku hantam antara pencopet dan pria yang menolongnya. "Alexander Edward!" bisik Alex pada pencopet itu. Mendengar nama itu, entah bagaimana pencopet itu memilih berlari menjauh dan meninggalkan mangsanya. Stella tidak peduli pada apa yang ada di hadapannya, ia terisak dan menunduk ketakutan dan tubuhnya bergetar hebat. Alex yang menyadari itu, mendekat dan berujar. "Kau baik-baik saja, Nona?" tanya Alex. Alih-alih menjawab, Stella bergerak memberikan sapu tangannya pada Alex. "Terima kasih!" ujarnya dan berlalu begitu saja, memberhentikan taksi dan memasukinya. Alex menaikkan salah satu alisnya melihat itu. Ia memang sedikit terluka di bagian bibir, tapi itu bukanlah masalah. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia bisa turun dan menyelamatkan gadis itu. Ia hanya secara spontan dan melihat pakaian yang dikenakan gadis itu. Sepertinya ia mengenalnya. Peduli setan. Alex bergerak masuk mobilnya kembali. ***** Sesampainya di rumah, Stella langsung menuju dapur dan meneguk habis air di gelas yang ia siapkan, tubuhnya masih bergetar. Ini semua karena traumanya, padahal Stella berusaha menahan ketakutannya dan ternyata itu sia-sia saja. Ketika sudah merasa tenang, ia segera mandi dan tidur, karena Stella berencana mengunjungi rumah sakit esok pagi. Sepanjang malam, Stella berpikir siapa pria yang telah menolongnya? Sementara itu di kediaman Edward. "Astaga, apa yang terjadi denganmu?" pertanyaan spontan yang keluar dari bibir Aliya saat melihat kondisi Alex. "Membantu seorang gadis!" jawab Alex malas-malasan dan berlalu dari sana menghindari pertanyaan lain yang ia yakin akan segera keluar dari bibir adiknya itu. Aliya yang mendengar itu, mengangkat salah satu alisnya heran. Gadis, heh? Dia yakin itu bukan Jessica, jadi jika bukan wanita ular itu, maka ada seorang gadis lain yang sepertinya membuat kakaknya tertarik. Ia tersenyum miring saat berbagai pemikiran masuk ke kepalanya. Ini akan menjadi hal mudah jika Mama yang turun tangan. ***** Semua itu bermula, di tengah malam, di mana seorang pria masuk ke rumahnya dengan marah. Berteriak meminta sejumlah uang pada sang istri. Padahal dia sendiri tahu bahwa usaha yang dijalani istrinya sedang mengalami penurunan. Seakan tidak peduli pada kata-kata memohon sang istri untuk tidak mengambil sejumlah uang tersebut, karena uang itu akan digunakan untuk biaya kuliah Stella. Josh pergi keluar dan Sarah mengejarnya. Stella terbangun karena keributan itu, namun semuanya terlambat. Saat ia berniat mengejar ibunya, semua itu berjalan seperti putaran film yang dipercepat. Terdengar suara teriakan, darah berceceran di sekitar tempat kejadian, dan Sarah terkapar tak berdaya di tengah jalan. Dengan kesadaran yang hampir hilang, wanita itu menatap putrinya seraya tersenyum tipis, seakan mengatakan pada Stella bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi Stella rahu, semuanya tidak pernah baik-baik saja. "Ibu!" Stella terbangun dari mimpi buruk yang telah menghantuinya selama lima tahun, keringat bercucuran di dahinya, ia menatap sekeliling dengan waspada. Saat menyadari di mana ia berada, segera Stella menatap ranjang ibunya. Stella sedang berada di rumah sakit, ia memang sengaja datang pagi sekali untuk mengunjungi ibunya dan ternyata ia tertidur di samping ranjang ibunya. Stella tersenyum tipis seraya tidak melepaskan genggaman tangannya pada Sarah. Sarah Caelan, wanita paruh baya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, ia terbaring koma selama lima tahun sejak kejadian kecelakaan tragis itu. Hanya suara alat penopang kehidupan yang menyambut kehadiran Stella. "Ibu, mungkin aku terlalu rindu padamu, hingga mimpi buruk itu selalu menghantuiku. Bu, kembalilah, kumohon!" Ia tahu bahwa sebanyak apa pun ia mengajak ibunya bercerita, hanya suara-suara alat penopang kehidupan yang terdengar. "Baiklah, Bu, aku harus bekerja. I love you." ujar Stella sembari mencium kening ibunya dalam dan lama. Bulir bening jatuh tanpa aba-aba saat Stella berjalan keluar dari ruang rawat inap ibunya. Ia tidak boleh menangis di depan ibunya, meski ibunya terbaring lemah. Karena Sarah akan sangat khawatir bila mengetahui ia menangis. Stella selalu berharap, bahwa saat dia meninggalkan kamar inap itu, ibunya terbangun dari tidur panjangnya kemudian mendekapnya dalam sebuah pelukan hangat. ***** Stella merasa hari ini adalah hari kesialannya, selain hampir telat tiba di kantor, waktu sudah menunjukkan pukul delapan. Ia juga menabrak seseorang di lobby, sehingga membuat dirinya jatuh terduduk. Dan lebih sialnya lagi, saat orang yang ia tabrak itu bertanya dan Sarah mengenal suara itu. "Nona?" bagaimana tidak merasa sial, jika yang baru saja Stella tabrak adalah sang CEO. "Maaf Pak, tadi saya terburu-buru." ujar Stella seraya menerima uluran tangan Alex. Hangat. Itulah kesan pertama yang dirasakan Stella saat tangannya bersentuhan dengan tangan Alex. "Sekali lagi, maafkan saya, Pak. Permisi." ujar Stella lagi dan pergi meninggalkan Alex sambil berlari, yang masih berdiri di sana. Ada desiran aneh yang dirasakan Alex saat tangannya bersentuhan dengan tangan Stella. Ia baru tersadar bahwa yang menabraknya adalah gadis yang sama yang mengatakan bahwa ia tidak peduli pada Alex dan dialah gadis yang ia tolong semalam. Alex tahu apa yang harus ia lakukan. Alex menekan sebuah nomor di ponselnya, lalu .... "Cari informasi tentang karyawan Edward Corp yang bernama Stella Caelan." Alex mengetahui nama itu dari sapu tangan yang diberikan Stella untuk lukanya semalam. Tanpa menunggu jawaban dari seberang telpon, Alex langsung menutup percakapan di ponselnya. 🌹🌹🌹🌹🌹“Halo?”“Nyonya, ini aku, Alexa!” kata Alexa melalui telepon. “Ah, ternyata Alexa-ku. Ada apa, sayang?” balas Stella. “Aku ... aku siap menikah dengan putramu!” kata Alexa dengan berat hati. “Benarkah? Aku sangat berterima kasih padamu, Sayang. Aku benar-benar senang,” kata Stella dengan nada teramat bahagia. “Tapi ....” “Katakan saja, Alexa. Ada apa?” “Aku ingin mahar dua ratus lima puluh juta untuk pernikahanku!” Stella sedikit terkejut di seberang sana, namun setelahnya dia pun tersenyum tipis. “Baiklah, aku akan memberikan mahar tiga ratus juta –“ “Tidak, aku hanya ingin mahar dua ratus lima puluh juta,” sela Alexa. “Ah, baiklah. Terserah kau saja.” “Bisakah aku menerima uang itu besok?” “Sayang, bukan maksudku meragukanmu. Tapi, aku hanya mengantisipasi jika kau malah membawa lari uang itu. Aku percaya padamu, tapi tetap saja tidak menutup kemungkinan jika kau lari dengan membawa uang itu. Sebenarnya, uang tidak masalah bagiku, yang menjadi masalahnya adalah jika kau
49. Season 2“Steve! Apa yang kau lakukan?” bentak seseorang. Steve pun segera berdiri dan menatap seseorang yang membentaknya dengan panik, itu ibunya. “Mom, ini tidak seperti yang kau lihat,” ujarnya mencoba menghilangkan kesalahpahaman yang pastinya ada di benak sang ibu. “Aku dan Daddy-mu tidak pernah mengajarimu menjadi pria brengsek seperti ini, Steve!” bentak Stella sambil menunjuk gadis yang terduduk di lantai. “Nyo-nyonya, kami tidak melakukan apa pun, tadi kami hanya terpeleset. Sungguh, kami tidak sengaja berada dalam posisi seperti itu,” terang sang gadis. Tadi dia datang ke cafe ini bersama teman-teman sekampusnya. Dan saat dia pergi ke toilet, tanpa sengaja dia menabrak seorang pria yang akhirnya membuat mereka terpeleset karena lantai yang licin. Tapi mereka malah terjatuh dengan posisi si pria yang berada tepat di atas tubuhnya. Dan itu bertepatan dengan ibu sang pria datang dan memergoki mereka yang sebenarnya hanya terpeleset. “Aku tidak percaya pada kalian. K
Setelah berada di dalam kamar mereka, Stella menyandarkan tubuhnya ke dada bidang suaminya. Kehamilan kali ini, keluarganya tidak sekejam seperti pada kehamilannya yang pertama. Mereka tidak membiarkan Stella pergi ke mana pun dan terus saja menyuruhnya untuk berdiam diri di dalam kamar. "Jadi, jika bukan dirimu yang berada di dalam peti mati itu, lalu yang terkubur di dalam sana siapa?" tanya Alex yang masih bingung. Alex memang baru menanyai Stella sekarang, karena saat pertama kali Stella kembali lagi padanya, ia masih ragu untuk bertanya. Ia khawatir membuat Stella sedih jika ia membangkitkan cerita kelam hidup Stella selama pergi dari sisinya. Ia lebih baik menunggu saat yang tepat, biarkan Stella sendiri yang bercerita dan mengatakan semuanya. "Ketika aku pergi meninggalkan rumah, aku langsung ke rumah sakit terlebih dahulu. Tapi, aku tidak pergi ke rumah sakit yang biasa aku kunjungi. Saat itu aku merasa sangat lemah, karenanya aku memilih untuk dirawat untuk semalam terl
"Matthew, ayolah. Kau terlihat sangat tidak bersemangat padahal kita akan mengunjungi Silvi," kata Stella seraya menggoyangkan lengan pria yang telah menjadi orang paling penting dalam hidupnya. Matthew memutar bola matanya malas mendengar rengekan wanita di sebelahnya ini. "Aku bukannya tidak bersemangat karena kita akan mengunjungi Silvi." "Lalu apa?" "Aku menyesal mengusulkan pada kalian untuk tinggal di apartemen yang sama denganku, andai aku tahu tadi kau sudah mengganggu pagiku yang cerah!" kesal Matthew pada wanita di sebelahnya. Sedang wanita itu hanya terkikik melihat kekesalannya. Azrael yang melihat interaksi di antara keduanya terkikik geli. Saat mereka berdebat seperti itu, mereka tampak seperti bocah. Tidak lama kemudian, Alex kembali dengan dua karangan bunga berukuran sedang di dalam genggamannya. Mereka berempat -- Stella, Alex, Matthew dan Azrael -- berjalan memasuki area pemakaman. Tidak membutuhkan waktu lama mereka telah sampai di depan sebuah makam. I
Yakinlah, Tuhan itu adil. Karena setelah kesedihan pasti akan datang kebahagiaan. Meski kita tidak tahu kapan kebahagiaan itu akan datang. Tuhan tidak pernah tidur. Itulah yang dirasakan Alex dan Stella saat ini. Kebahagiaan tak terbendung setelah rasa sedih yang menyakitkan --- kini tengah mereka rasakan. Sebuah kebahagiaan yang tidak akan pernah mereka tukar dengan apa pun. Kebahagiaan yang akan selalu mereka ciptakan mulai sekarang. Malam itu mereka sedang berdiri di balkon kamar. Saling memberikan kehangatan satu sama lain dengan berpelukan erat. Seakan pelukan itu dapat menyalurkan perasaan rindu yang mereka rasakan selama berpisah. "Kenapa kau tidak kembali saat itu?" tanya Alex sambil menaruh dagunya di bahu Stella. "Aku hanya ragu dan takut!" jawab Stella. "Kenapa?" tanya Alex masih memeluk Stella. "Aku takut kau akan membenciku ketika kau mengetahui semuanya. Bahwa akulah penyebab hilangnya Peter.Aku ragu untuk kembali bila kau tahu aku telah menyembunyikan suatu h
Sebuah resepsi pernikahan megah seorang pengusaha muda digelar di salah satu hotel terkenal di negeri ini. Menunjukkan pada semua, bahwa orang yang melakukan resepsi tengah berbahagia. Para wartawan sudah berkumpul di pelataran depan hotel tersebut. Tak jarang para wartawan itu menghentikan salah satu tamu undangan untuk diwawancarai. Pria berwajah datar dan dingin itu berdiri seorang diri di tengah-tengah ballroom. Mengabaikan setiap tatapan kagum dari para wanita. Setiap wanita berebut ingin memeluk lengan kokoh tersebut. Sayangnya, pria itu telanjur berhati dingin dan tidak akan ada lagi yang bisa mencairkan kebekuan hatinya. Pria itu tetap pada posisinya, hingga seorang pria lain yang juga koleganya menyapanya dan mengajaknya mengobrol, meski dibalas dengan singkat oleh Alex. Pria itu mengatakan jika ada seorang penyanyi Cafe cantik yang sedang viral ikut diundang. Awalnya Alex heran. Penyanyi Cafe? Di acara semegah ini? Yang benar saja! Pria koleganya itu mengatakan bah
Wanita itu berdiri di balkon kamarnya menikmati terpaan hangat sang mentari pagi pada wajahnya. Memejamkan matanya seakan-akan dia benar-benar menikmati mentari. Hingga tanpa ia sadari seorang pria yang selalu saja menemani kegiatannya datang. "Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu," kata pria itu. Wanita itu bergeming, beberapa saat kemudian dia membuka matanya kemudian membalikkan tubuhnya. Tersenyum tipis saat pandangannya bertemu dengan pria itu -- yang masih saja menunggunya. Mereka berdua menikmati sarapan dalam diam, tidak ada kata yang terucap dan hanya suara sendok beradu dengan piring yang mendominasi ruang makan tersebut. Akhirnya pria itu memecahkan keheningan. "Apa kau ingin terus seperti ini?" tanya pria itu sambil menatap wanita yang duduk di hadapannya. "Seperti apa?" Wanita itu balik bertanya. "Kamu hanya menutupi penderitaan mu itu dariku," jawab pria itu. Hening. Dan wanita itu berlalu dari sana, meninggalkan sang pria tanpa sepatah kata pun. Pria i
Mencari sebuah alasan pengganti untuk tetap hidup bukanlah satu hal yang mudah. Alex merasakannya. Ketika Stella masih berada di sisinya, ia memiliki alasan untuk tetap hidup, karena ia mencintai Stella. Alex bukanlah remaja bodoh yang baru mengenal cinta. Kehidupan kejam yang diberikan Tuhan membuat ia tahu apa yang sedang terjadi saat ia bersama orang yang benar-benar ia cintai. Alex sangat mengerti arti getaran yang timbul saat ia berdekatan atau bersentuhan dengan Stella. Semua orang di sekelilingnya sudah merasakan hatinya yang kembali buruk, bahkan lebih buruk. Mereka pasrah akan keadaan Alex saat ini. Bukannya mereka tidak peduli, tapi mereka tahu bahwa tidak ada lagi yang dapat mencairkan bongkahan es yang sudah mencair kembali membeku. Alasan yang membuat es itu mencair telah tiada. Siang itu, Reyhan tiba-tiba datang berkunjung ke perusahaannya. Seperti temannya yang lain, Reyhan datang hanya sekedar untuk menanyakan kabarnya. Dan lagi-lagi menemukan. Alex yang berkuta
Bolehkah untuk kali ini Alex beranggapan jika Tuhan kembali bersikap tidak adil padanya? Bolehkah bila ia beranggapan Tuhan terlalu kejam padanya? Dia tidak tahu apa kesalahannya hingga Tuhan bersikap begitu kejam. Alex marah, ia marah pada sang takdir yang begitu kejam padanya. Saat ini, pria itu tengah berada dalam satu ruangan khusus di Cafe milik Max. Alex POV Aku marah. Marah pada takdir, marah pada diriku sendiri. Ketika satu masalah belum terselesaikan, kini masalah lain kembali datang. Apa aku tidak pantas untuk bahagia? Seandainya bunuh diri bukan dosa, maka akan kuakhiri hidupku. Tapi, aku teringat kembali pada satu hal. Aku harus menemukan istriku. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, jika aku tidak akan mengalah pada sang takdir lagi. Namun, harus kucari ke mana lagi istriku? Dia pergi begitu saja tanpa meninggalkan jejak. Hingga saat ini aku belum mendapatkan kabar tentang keberadaannya. Dia hilang bagaikan ditelan bumi. Tapi satu keyakinanku, Stella masih ada
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments