“No! Aku sendiri, yang mau ke sana. Tapi, bukan berarti aku mau, nerusin perusahaan itu.”
Linda mengendikan bahunya. “Up to you. Mommy gak mau ikut campur, karena kamu paling tidak suka, Mommy ikut campur.”
“Thats right. And thank you, karena udah ngertiin aku. Satu lagi, Mom. Aku ingin menikah.”
“Menikahlah, Darling. Tapi, jangan semua perempuan yang masih kamu jajahi kamu nikahi.”
Daniel tersenyum miring. “Nggak kok, Mom. Tenang aja,” ucapnya santai.
Linda menatap wajah sang anak. “Bukan yang kemarin datang ke rumah mencari kamu, kan?”
Daniel menggeleng. “Bukan. Kenapa? Gak suka, sama dia?”
“Sedikit. Tapi, jika memang bukan dia, Mommy lega.”
Daniel terkekeh pelan. “Jangan dulu lega, Mom. Karena usia dia jauh lebih tua dariku.”
Linda mengerutkan keningnya. “Why? Bukannya kamu pernah bilang, kalau kamu lebih suka perempuan yang lebih tua dari kamu? Berapa, usianya? Dua delapan? Dua sembilan?”
Daniel hanya diam sembari menyantap sarapannya itu. Sementara Linda masih menunggu jawaban dari anak sulungnya yang ingin segera menikahi wanita yang baru dia temui dalam satu malam kemarin.
Tak lama setelahnya, Viona datang dan duduk di samping sang kakak. “Balik kapan lo? kok gue baru lihat?” tanyanya kemudian.
Tanpa menoleh ke arah sang adik, Daniel menjawabnya sambil minum susu. “Jam satu.”
“Pantesan. Habis one night stand sama siapa lagi, lo? Kagak pulang dua hari satu malam?” tanyanya lagi.
“Kepo lo!” sengalnya kemudian.
“Mommy yang nanya aja gak dijawab. Apalagi kamu, Viona.”
Viona menoleh ke arah sang mama. “Mom. Daddy gak balik lagi? Kalian kapan akurnya sih? Sampai Daddy kena penyakit stroke?”
Linda mengendikan bahunya. “Mommy maish butuh uang daddy kamu. Lagi pula, dia mau main perempuan sampai seribu perempuan pun tidak akan bisa dinikahi.”
Viona memutar bola matanya pelan. Sementara Daniel masa bodoh dengan apa yang dikatakan oleh Linda tadi. Ia benar-benar tidak peduli dengan rumah tangga orang tuanya itu.
Namun, tak lama setelahnya, Reymond pulang. Suasana jadi hening seketika. Lelaki itu kemudian duduk di samping Linda dan menatapnya.
“Tidak ada satu pun pesan atau panggilan dari kamu. Sudah tidak membutuhkanku lagi?” tanyanya kemudian.
Mendengar itu, Daniel lantas beranjak dari duduknya dan langsung menghubungi Meira.
“Hei! Sudah berangkat kantor?” tanyanya usai wanita itu menerima panggilan darinya.
Reymond menoleh ke arah Daniel yang tengah menggulung lengan kemejanya di sofa ruang tengah.
“Jangan ganggu anakku. Biarkan dia memilih siapa yang ingin dia nikahi!” ucap Linda kepada suaminya.
“Dia masih muda. Kenapa kamu membiarkan dia menikah muda? Siapa wanitanya? Datang kepadaku, jika ingin mendapat restu!” ucap Reymond kepada Linda.
Perempuan itu menyunggingkan senyum campah. “Yang ada diambil lagi, sama kamu!” ucapnya kemudian.
Daniel lalu menutup panggilan tersebut dan menghampiri sang papa. “Nggak yakin, dapat restu dari Daddy. Dan aku gak akan pernah minta restu dari Daddy!”
Reymond lantas beranjak dari duduknya dan menatap sengal wajah sang anak.
“Anak tidak tahu sopan santun kamu, Daniel! Selalu saja membangkang apa yang diperintah oleh orang tuamu!” pekiknya tampak marah.
Daniel menyunggingkan senyum mendengar ucapan lelaki itu. “Daddy ingin dituruti, setiap ucapannya. Tapi lupa, cara mendengarkan permintaan anaknya. Adilkah itu?”
Mendengar ucapan menohok yang dilontarkan oleh Daniel, membuat Reymond terdiam dan hanya menatap sinis wajah sang anak.
Lelaki itu kemudian pergi meninggalkan ketiga orang yang masih berada di ruang makan. Hendak menemui orang yang sudah membuatnya hampir gila karena tak bisa tidur jika tak melihat wajahnya.
“Kenapa dimatiin tiba-tiba? Aku pikir kamu kehabisan pulsa,” ucap Meira di seberang sana.
“Pulsaku unlimited, Meira. Ada Daddy tadi. Sorry.”
“Oh! Okey.”
Daniel melajukan mobilnya sembari menghubungi wanita itu. “Sahabat kamu sudah sampai?” tanyanya ingin tahu. Mengingat Reymond sudah pulang, itu artinya Feby pun sudah kembali.
“Feby, maksud kamu?”
“Ya. Simpanan bos kamu.”
“Sudah. Tapi, dia bukan simpanan bos kami. Lebih tepatnya wanita pelayan. Karena Feby sudah punya tunangan.”
Daniel manggut-manggut dengan pelan. “Tidak lebih dari sekadar simpanan?”
“Tidak. Kenapa kamu menanyakan Feby? Memangnya sudah bertemu dengannya?”
“Belum. Hanya mendengar dari ceritamu saja. Kamu sedang apa?” tanyanya mengalihkan pembahasan sebab tak ingin membuat Meira jadi salah paham.
Padahal wanita itu hanya bingung, mengapa tiba-tiba saja Daniel ingin tahu tentang Feby.
“Aku lagi banyak kerjaan. Bisa ditutup, panggilannya?”
“Ya. Nanti malam aku tunggu di club. Bisa?”
“Eum. Gak janj—”
“Kalau gitu, biar aku saja yang datang ke rumahmu!” ucapnya lalu menutup panggilan itu.
“Ha—Halo? Halo? Daniel?” Meira kemudian berdecak pelan usai melihat panggilan itu telah terputus.
“Mbak Meira?” panggil Mira menghampiri wanita itu.
“Iya, kenapa, Mir?”
“Dipanggil Pak Juan di ruangannya.”
“Oh iya, baik. Nanti aku ke sana.” Meira bergegas mengambil dokumen yang sudah dia siapkan untuk meeting bersama dengan Juan—atasannya.
Tok tok tok!
“Masuk!” titah Juan kemudian.
“Permisi, Pak. Maaf, baru bisa kasih laporan. Tadi agak bingung soalnya. Makanya baru saya selesaikan.” Meira kemudian duduk di depan Juan dan memberikan dokumen tersebut kepada lelaki itu.
“It’s okay. Pekerjaan kamu selalu bagus. Makanya saya tidak mengizinkan siapa pun yang ingin memutasi kamu ke bagian manapun. Termasuk di area staff utama. Bosnya genit.”
Meira tersenyum risi. ‘Yang ngomong lebih dari kata genit,’ ucapnya dalam hati.
“Saya dengar, hubunganmu dengan Raffael sudah berakhir. Betul, Mei?” tanyanya kemudian menatap wajah Meira.
Mau tak mau, Meira pun mengangguk sebab rumah Raffael dengannya tidak jauh alias berdekatan.
“Ya. Betul, Pak Juan.” Meira menjawabnya dengan malas.
Juan manggut-manggut dengan pelan kemudian menatap wajah Meira dengan tatapan penuh rayu.
“Nanti malam ada acara?” tanyanya lagi.
Meira terdiam. Daripada menemani lelaki hidung belang itu, lebih baik ia bertemu dengan Daniel meski sebenarnya masih canggung dan bingung karena lelaki itu amatlah sangat muda.
“Ada, Pak. Kebetulan nanti malam teman saya ada acara ulang tahun. Dan saya sudah membeli kado serta bajunya untuk datang ke sana,” jawabnya kemudian mengulas senyumnya kepada Juan.
Lelaki itu tampak kecewa. Ia pun menandatangani laporan yang sudah diberikan oleh Meira dan memberikannya.
“Berikan kepada Feby agar dicek dan diserahkan kepada Pak Reymond.”
“Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi.” Dengan segera Meira keluar dari ruangan atasannya itu. Ia lalu geleng-geleng kepala melihat gerak-gerik Juan tadi.
“Pasti kena rayuan maut atasan lo lagi,” ucap Feby kala melihat Meira yang baru saja sampai di meja kerjanya.
Meira menghela napasnya. “Dan dia udah tahu, kalau gue udahan sama Raffael. Cepet banget kan, tahunya?”
Feby lantas tertawa mendengarnya. “Udah tahu, dari dulu dia tuh ngincer elo terus. Udah gak aneh lagi dia mah, Meira. So! Mau lo embat? Lumayan, duda tajir itu.”
“Gak! Dia bukan duda, Feby. Bininya masih ada. Dia itu bohong. Cuma pengen dapatin gue doang.”
“Kirain belum tahu. Daripada sama duda, mending sama berondong, yekan?” Feby kembali tertawa kemudian mengambil dokumen yang diberikan oleh sahabatnya itu untuk dicek terlebih dahulu.
“Minggu depan gue harus ikut Pak Reymond ke Singapura. Males banget padahal. Nyampe sono palingan cuma suruh layanin nafsu bejadnya doang,” kata Feby memberi tahu Meira.
“Berapa lama?” tanyanya kemudian.
“Eum. Lima hari doang kayaknya,” ucapnya dengan mata terus fokus pada dokumen tersebut.
Meira menghela napas panjang. “Begitu rupanya. Tidur sendirian lagi aja gue. Sering banget ditinggal ama nih anak,” ucapnya lalu geleng-geleng kepala.
“Excuse me!”
Feby mengadahkan kepalanya dan langsung beranjak dari duduknya. “Selamat pagi, Tuan Muda. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan sopan.
“Eum! Daddy ada di dalam?” tanyanya sembari melirik ke arah Meira yang kemudian perempuan itu menoleh cepat usai mendengar suara yang tak asing di telinganya.
“Maaf, Tuan. Pak Reymond-nya sedang meeting bersama dengan beberapa manager di ruang meeting.”
Meira menganga lebar. Bahkan ia mengucek matanya karena masih tak percaya, orang yang dia lihat di depannya ini adalah Daniel.
Di sebuah hotel yang tak jauh dari rumah Meira. Keduanya berada di dalam kamar tersebut sebab Daniel yang ingin menikmati malam itu dengan Meira yang sudah sangat ia rindukan. Daniel kemudian memeluk tubuh Meira yang tengah berdiri memandang pemandangan di balik jendela. Meira menoleh dan mengulas senyum kecil. "I miss you, Mei," ucap Daniel pelan. Meira mengulas senyum kembali. "Aku masih nggak nyangka, kamu bisa nemuin aku di sini." Daniel tersenyum miring. "Mudah bagiku untuk mencari tahu kamu di mana, Mei. Kamu juga jangan lupa, Ezra, keponakan kamu itu sahabat aku."Meira terkekeh pelan. "Iya juga sih." Wanita itu kemudian membalikan tubuhnya dan kini menatap wajah Daniel dengan lekat. "Apa yang kamu cari dariku, Daniel?" tanyanya dengan pelan.Daniel kemudian mengusapi sisian wajah Meira dengan lembut. "Banyak. Aku melihat ada masa depan yang akan kita bangun sama-sama, Mei.""Bisa aja. Raja gombal mah beda!" ucap Meira kemudian menghela napasnya dengan panjang. "Kamu ting
“Ngapain kamu ke si—” Belum selesai bicara, Daniel sudah memeluk Meira. Ia lega, sebab tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan Meira di sana. “Kenapa kamu pergi, Mei? Kenapa?” tanya Daniel masih memeluk perempuan itu. Meira kemudian melepaskan pelukan itu dan menatap wajah Daniel. “Kamu sendiri, kenapa ke sini? Kamu masih sakit, Daniel.” “Akan semakin sakit jika aku tidak langsung menghampiri kamu ke sini, Meira.” Meira menelan salivanya seraya menatap wajah Daniel. “Tidak seharusnya kamu datang, Daniel.” Daniel menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Aku sudah izin ke Mommy untuk menemui kamu ke sini, Mei. Kamu sendiri yang sudah janji padaku akan menikah denganku asalkan aku mau sembuh.” Meira tersenyum lirih. Ia kemudian mengusapi sisian wajah Daniel dengan lembut. Orang yang selama ini selalu ia pikirkan kini ada di depan matanya. “Maafkan aku, Daniel.” Daniel menggelengkan kepalanya. Ia kembali memeluk wanita itu lalu menghela napasnya dengan panjang. Malam har
Linda tersenyum miring. “Apa dengan kamu menikahi Daniel dengan Cheryl akan membuatnya bahagia? Kamu, yang tidak memikirkan masa depan Daniel. Yang kamu pikirkan hanyalah uang, uang dan uang saja!”Linda kemudian keluar dari ruangan suaminya itu dengan membawa kekecewaan yang cukup besar dalam dirinya.Kemudian berhenti di depan Feby yang tengah berdiri sembari mengulas senyum kepadanya.“Feby. Kamu masih ingin bertahan jadi simpanan suami saya? Ingat, Feby. Hukum karma tetap berlaku. Entah kapan kamu akan menuainya, saya pastikan hidupmu tidak akan baik-baik saja!”Feby menelan salivanya mendengar ucapan Linda yang cukup menyeramkan. Tangannya mengepal, tidak terima dengan ucapan wanita itu.Feby kemudian tersenyum miring. “Emangnya lo Tuhan? Bisa atur hidup gue dan karma yang gue dapatkan? Suami lo aja yang gila,” ucapnya dengan pelan.Di Bali.Meira menghampiri sang papa yang tengah membersihkan sepatunya. Lelaki itu kemudian menoleh dan mengulas senyum kecil.“Tidak usah dipikirka
Daniel memijat keningnya. Tidak paham dengan Meira yang memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya padahal tidak ada masalah yang datang kepada mereka.“Kasih alamat rumah Meira di Bali,” titah Daniel kepada Ezra.Lelaki itu menoleh. “Lo mau nyusul dia ke sana?” tanyanya kemudian.Daniel mengangguk. “Gue gak akan tinggal diam gitu aja karena Meira udah pergi, Ezra. Gue gak punya masalah sama dia. Gue berhak tahu, kenapa dia pergi ke Bali tanpa sepengetahuan gue.”Ezra menganggukkan kepalanya. “Iya, sih. Nanti gue kirim alamatnya ke elo. Tapi, kondisi lo baru pulih, Daniel. Nanti pingsan di jalan kalau lo maksain diri buat ke Bali.”Daniel menghela napas kasar. “Kondisi gue bakalan makin buruk, kalau gak ke sana.”Ezra mengembungkan pipinya. Jika Daniel sudah berkehendak, ia pun tidak dapat melakukan apa pun.Keesokan harinya. Daniel bangun dari tidurnya setelah lima jam lamanya tertidur meski gelisah.“Daniel?”Daniel menoleh kemudian mengerutkan keningnya melihat sang mama ada di
Di rumah sakit ….Daniel mencoba terus menghubungi Meira. Namun, nomornya sudah tidak aktif.“Ck! Ke mana lagi ini si Meira? Kenapa selalu bikin gue cemas, coba.” Daniel menggerutu kemudian menghubungi Ezra.“Di mana lo?” tanya Daniel kemudian.“Di kampus, bangke. Ngapa sih?”“Balik dari kampus, langsung ke rumah sakit. Elo tadi ada telepon Meira, gak?”“Nggak. Cuma chat dia doang. Dan dibales juga. Itu pun waktu tadi pagi. Sekarang udah jam tiga sore. Mungkin lagi sibuk, di kantor. Gak aktif, nomornya?”“Iya. Ya udah.” Daniel menutup panggilan tersebut lalu menoleh ke arah pintu di mana Cheryl berada di sana.Daniel memutar bola matanya sembari memalingkan wajahnya. Bahkan melihatnya saja sudah malas. Dan sekarang wanita itu muncul di hadapannya.“Mau ngapain lo ke sini?” tanyanya datar.“Daniel. Gak boleh ngomong begitu. Sebentar lagi kita mau menikah, lho.”Daniel tersenyum miring. “Nikah? Nikah sama bokap gue aja sana. Gue gak pernah mengiyakan perjodohan ini! Jadi, gak usah keped
Feby hanya mengendikan bahunya. Tampak biasa saja bahkan seolah tengah merendahkan Meira, terlihat dari raut wajahnya yang memandang seperti itu kepada Meira.Walau malas, Meira harus tetap menghampiri Reymond yang katanya ingin bertemu dengannya dan berbicara tentang apa itu, Meira hanya bisa menunggunya.Tok tok!"Masuk!" titah Reymond di dalam sana.Meira menghela napasnya dengan panjang dan masuk ke dalam ruangan lelaki itu."Bapak manggil saya?" tanya Meira kemudian.Reymond memutar kursinya dan menatap datar wajah Meira. "Kamu, wanita yang menjalin hubungan dengan anak saya, Daniel?" tanyanya dengan suara datarnya.Meira menghela napas kasar kemudian menganggukkan kepalanya. "Ya. Betul, Pak Reymond. Saya, orangnya. Ada yang ingin Bapak tanyakan?"Reymond mendecih pelan. "Baru jadi kekasihnya saja sudah membuatmu sombong!"Meira mengerutkan keningnya. "Maksud Bapak? Saya tidak paham dengan ucapan Bapak."Bahkan menatap wajah Meira pun seperti tidak senang. Namun, ia harus menyele