Meira menggeleng kemudian membuka dress tipis yang ia kenakan itu kemudian masuk ke dalam kolam.
Daniel lalu mengejarnya dan menghampiri perempuan itu yang tengah berdiri di tepi kolam. Bibirnya meraup bibir Meira dengan lembut.
Suasana yang dingin itu tiba-tiba menjadi hangat setelah Daniel menggesekan tubuhnya pada tubuh Meira.
Daniel lalu mendorong tubuhnya masuk ke di bawah sana. Melajukan temponya sembari mengerang kenikmatan.
Lima belas menit kemudian, Daniel menyudahi permainan itu. Tampak lelah, sebab sudah berkali-kali ia melakukan hal ini dengan Meira.
“Kamu … hanya usianya saja yang muda. Permainannya, seperti sudah berumur tiga puluh tahun.”
Daniel terkekeh pelan. “Mau mandi lagi?” tanyanya kemudian.
“Gak. Aku mau pulang. Sepertinya Feby sudah pulang.” Meira lalu mengambil pakaiannya dan masuk ke dalam kamar.
Sementara Daniel masih duduk di tepi kolam sembari membayangkan bagaimana ganasnya ia kala bercinta dengan Meira.
“Oh God! I can’t remember it.” Daniel berucap pelan lalu menyurai rambut basahnya itu.
Satu jam kemudian. Daniel menghampiri Meira yang tengah duduk di tepi tempat tidur.
“Besok saja pulangnya. Aku antar sampai ke depan rumahmu.”
“Tidak bisa. Besok aku ada briefing dengan staff lainnya. Kantorku mau ada pesta anniversary lusa.”
Daniel baru ingat. Bila perusahaan milik papanya itu akan mengadakan pesta di aula hotel mewah yang ada di kota tersebut.
“Oh, gitu. Ya sudah, tunggu aku pakai baju dulu.” Daniel kemudian mengambil celana pendek dan kaus putih yang akan ia kenakan di malam itu.
Hanya membutuhkan waktu dua puluh menit saja, Daniel sudah sampai di depan rumah Meira. Sangat sederhana, jauh dari kata mewah di mata Daniel.
Namun, itu bukan masalah besar baginya. Yang jelas, Daniel sudah menyukai Meira bahkan tanpa sebab. Atau mungkin karena telah menikmati tubuhnya.
“Terima kasih, Daniel. Sudah mengantarku sampai ke rumah. Aku pulang dulu.”
Daniel kemudian menarik tangan Meira dan meraup bibir perempuan itu dengan lembut.
“See you next day,” bisik Daniel kemudian memberikan satu kecupan di kening perempuan itu.
Meira mengangguk canggung lalu keluar dari mobil Daniel. Dengan langkah lebarnya, Meira masuk ke dalam rumahnya.
Sementara Daniel, masih berada di sana, memastikan jika Meira sudah masuk ke dalam rumahnya itu.
“She is so beautiful,” ucapnya dengan pelan. Kemudian melajukan mobilnya pergi dari rumah wanita itu.
“Meira! Habis dari mana lo, jam segini baru nyampe rumah? Lo gak lihat chat gue?” Feby teriak di depan Meira yang mana kedua wanita itu memang tinggal dalam satu rumah.
“Sorry. Gue lagi kacau banget, Feb.” Meira kemudian mengambil wine yang dipegang oleh Feby dan meneguknya.
“Kacau kenapa? Kalau soal Raffael kan, elo udah ngasih tahu gue. Dan nyokap bokap lo telepon gue, katanya anak bungsunya ini kapan nikah?”
Meira mengembungkan pipinya lalu menghela napasnya dengan panjang. “Mau nikah sama siapa? Raffael aja udah pergi.”
“Ya cari yang baru lah. Minimal yang lebih tajir dan ganteng dari Raffael, gitu. Nyokap lo berisik banget neleponin gue mulu. Katanya nelepon elo gak diangkat-angkat.”
Meira menghela napasnya dengan panjang. “Ada yang ajak gue nikah.”
“Ya udah, sikat aja.”
Meira menoleh pelan. “Usianya lebih muda dari gue, anjir!”
“Elaah! Emang berapa tahun sih? Paling baru tiga puluh tah—”
“Dua puluh empat tahun.”
Byurr!
Feby yang tengah meneguk wine keluar lagi setelah mendengarnya. “What the fu … oh my God! Dua puluh empat tahun? Bocah bener, Meira. Bokapnya aja mungkin baru lima puluh tahunan. Atau lebih dikit. Cocoknya jadi laki lo, bukan mertua lo. Anjir!”
Meira kemudian menjambak rambutnya. “Makanya itu. Gue bingung, tapi dia udah ajakin gue nikah. Emang kaya sih, tajir melintir. Manggil orang tuanya aja daddy mommy. Apartemennya gede banget.
“Mewah. Banyak minuman di dapurnya. Kamarnya luas, kolam renangnya luas. Kamar mandinya nyaman. Tapi, umurnya yang bikin gue gak nyaman.”
“Bentar-bentar.” Feby membalikan tubuh Meira dan menatapnya. “Jangan bilang, lo udah berocok tanam, sama tuh orang?”
Meira mengembungkan pipinya. “Udah lima kali.”
“Bangsat! Pedofil lo, Meira!”
“Apaan sih! Gak jelas lo. Meskipun usianya baru dua puluh empat, tapi permainannya ngalah-ngalahin Raffael. Dia sekali aja udah melengos. Payah!”
“Dan itu yang elo cari, kan? Yang bisa bikin elo mendesah lama-lama?” tanya Feby sembari mengulas senyum nakal kepada Meira.
“Bisa jadi. Tapi, gue gak berani ambil langkah lebih jauh lagi. Gue gak mau kena PHP lagi, gue gak mau ngasih dia harapan palsu juga. Pokoknya gue gak mau, kena jebakan dia.”
“Meira. Kapan lagi, punya berondong tajir? Udahlah, gak usah mikirin soal umur. Meski sebenarnya gue juga agak shock sih, dengernya. Tapi, kalau duitnya tebel, lo gak perlu kerja lagi, kan?”
Meira terdiam. Ia kemudian menghela napasnya dengan panjang dan meneguk wine kembali.
“Elo sendiri, kapan lepas dari Pak Reymond? Lo gak tahu dipenggal anaknya, kalau tahu elo sering nemenin dia?” tanya Meira kepada Feby.
“Gue udah mau udahan. Tapi, dianya yang nggak mau. Gue juga punya cowok, Mei. Gue pengen nikah, pengen punya anak. Umur gue udah tua, sama kayak elo.”
Meira menyunggingkan bibirnya. “Ya udah, bilang aja kalau elo hamil. Terus resign, habis itu nikah, sama cowok lo yang sok ganteng itu.”
“Cowok gue emang ganteng, Meira.”
“Serah lo aja dah.” Meira kembali menjambak rambutnya sembari memeluk kedua lutut kakinya.
Membayangkan betapa ganasnya Daniel saat mencumbunya. Meira kemudian menelan salivanya dengan pelan.
“Kenapa harus dua puluh empat tahun sih?” gumamnya dengan pelan.
Keesokan harinya. Daniel membuka matanya. Ia lalu mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Meira.
Daniel: [Morning. Aku ada kelas pagi hari ini. Pulang kerja, aku akan menjemputmu.]
Pesan terkirim.
Daniel kemudian menghela napasnya dengan panjang dan beranjak dari tempat tidurnya. Lelaki itu pulang ke rumah orang tuanya setelah menghabiskan satu hari satu malam bersama dengan Meira.
“Morning, Mom.” Daniel menyapa sang mama yang tengah menyiapkan sarapan untuk mereka.
“Morning. Hari ini Vallery ada kegiatan kampus dan katanya dia pinjem mobil kamu yang mercy.” Linda—sang mama memberi tahu.
Daniel mengangguk. “Aku udah baca chat dia. Lagi pula, itu mobil udah lama gak aku pakai juga.”
“Iya, Sayang. How, with your business? Lancar, hum?” tanya Linda sembari menyesap camomile tea miliknya.
“Lancar. Aman terkendali. Oh, ya, Mom. Lusa, anniversary kantor, ya?”
Linda mengangguk. “Dan seperti biasanya, kamu tidak pernah datang, ke acara itu.”
Daniel menerbitkan senyumnya. “Kali ini aku akan datang.”
“Oh my God. Are you seriously? Daddy kamu, yang paksa?”
Di sebuah hotel yang tak jauh dari rumah Meira. Keduanya berada di dalam kamar tersebut sebab Daniel yang ingin menikmati malam itu dengan Meira yang sudah sangat ia rindukan. Daniel kemudian memeluk tubuh Meira yang tengah berdiri memandang pemandangan di balik jendela. Meira menoleh dan mengulas senyum kecil. "I miss you, Mei," ucap Daniel pelan. Meira mengulas senyum kembali. "Aku masih nggak nyangka, kamu bisa nemuin aku di sini." Daniel tersenyum miring. "Mudah bagiku untuk mencari tahu kamu di mana, Mei. Kamu juga jangan lupa, Ezra, keponakan kamu itu sahabat aku."Meira terkekeh pelan. "Iya juga sih." Wanita itu kemudian membalikan tubuhnya dan kini menatap wajah Daniel dengan lekat. "Apa yang kamu cari dariku, Daniel?" tanyanya dengan pelan.Daniel kemudian mengusapi sisian wajah Meira dengan lembut. "Banyak. Aku melihat ada masa depan yang akan kita bangun sama-sama, Mei.""Bisa aja. Raja gombal mah beda!" ucap Meira kemudian menghela napasnya dengan panjang. "Kamu ting
“Ngapain kamu ke si—” Belum selesai bicara, Daniel sudah memeluk Meira. Ia lega, sebab tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan Meira di sana. “Kenapa kamu pergi, Mei? Kenapa?” tanya Daniel masih memeluk perempuan itu. Meira kemudian melepaskan pelukan itu dan menatap wajah Daniel. “Kamu sendiri, kenapa ke sini? Kamu masih sakit, Daniel.” “Akan semakin sakit jika aku tidak langsung menghampiri kamu ke sini, Meira.” Meira menelan salivanya seraya menatap wajah Daniel. “Tidak seharusnya kamu datang, Daniel.” Daniel menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Aku sudah izin ke Mommy untuk menemui kamu ke sini, Mei. Kamu sendiri yang sudah janji padaku akan menikah denganku asalkan aku mau sembuh.” Meira tersenyum lirih. Ia kemudian mengusapi sisian wajah Daniel dengan lembut. Orang yang selama ini selalu ia pikirkan kini ada di depan matanya. “Maafkan aku, Daniel.” Daniel menggelengkan kepalanya. Ia kembali memeluk wanita itu lalu menghela napasnya dengan panjang. Malam har
Linda tersenyum miring. “Apa dengan kamu menikahi Daniel dengan Cheryl akan membuatnya bahagia? Kamu, yang tidak memikirkan masa depan Daniel. Yang kamu pikirkan hanyalah uang, uang dan uang saja!”Linda kemudian keluar dari ruangan suaminya itu dengan membawa kekecewaan yang cukup besar dalam dirinya.Kemudian berhenti di depan Feby yang tengah berdiri sembari mengulas senyum kepadanya.“Feby. Kamu masih ingin bertahan jadi simpanan suami saya? Ingat, Feby. Hukum karma tetap berlaku. Entah kapan kamu akan menuainya, saya pastikan hidupmu tidak akan baik-baik saja!”Feby menelan salivanya mendengar ucapan Linda yang cukup menyeramkan. Tangannya mengepal, tidak terima dengan ucapan wanita itu.Feby kemudian tersenyum miring. “Emangnya lo Tuhan? Bisa atur hidup gue dan karma yang gue dapatkan? Suami lo aja yang gila,” ucapnya dengan pelan.Di Bali.Meira menghampiri sang papa yang tengah membersihkan sepatunya. Lelaki itu kemudian menoleh dan mengulas senyum kecil.“Tidak usah dipikirka
Daniel memijat keningnya. Tidak paham dengan Meira yang memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya padahal tidak ada masalah yang datang kepada mereka.“Kasih alamat rumah Meira di Bali,” titah Daniel kepada Ezra.Lelaki itu menoleh. “Lo mau nyusul dia ke sana?” tanyanya kemudian.Daniel mengangguk. “Gue gak akan tinggal diam gitu aja karena Meira udah pergi, Ezra. Gue gak punya masalah sama dia. Gue berhak tahu, kenapa dia pergi ke Bali tanpa sepengetahuan gue.”Ezra menganggukkan kepalanya. “Iya, sih. Nanti gue kirim alamatnya ke elo. Tapi, kondisi lo baru pulih, Daniel. Nanti pingsan di jalan kalau lo maksain diri buat ke Bali.”Daniel menghela napas kasar. “Kondisi gue bakalan makin buruk, kalau gak ke sana.”Ezra mengembungkan pipinya. Jika Daniel sudah berkehendak, ia pun tidak dapat melakukan apa pun.Keesokan harinya. Daniel bangun dari tidurnya setelah lima jam lamanya tertidur meski gelisah.“Daniel?”Daniel menoleh kemudian mengerutkan keningnya melihat sang mama ada di
Di rumah sakit ….Daniel mencoba terus menghubungi Meira. Namun, nomornya sudah tidak aktif.“Ck! Ke mana lagi ini si Meira? Kenapa selalu bikin gue cemas, coba.” Daniel menggerutu kemudian menghubungi Ezra.“Di mana lo?” tanya Daniel kemudian.“Di kampus, bangke. Ngapa sih?”“Balik dari kampus, langsung ke rumah sakit. Elo tadi ada telepon Meira, gak?”“Nggak. Cuma chat dia doang. Dan dibales juga. Itu pun waktu tadi pagi. Sekarang udah jam tiga sore. Mungkin lagi sibuk, di kantor. Gak aktif, nomornya?”“Iya. Ya udah.” Daniel menutup panggilan tersebut lalu menoleh ke arah pintu di mana Cheryl berada di sana.Daniel memutar bola matanya sembari memalingkan wajahnya. Bahkan melihatnya saja sudah malas. Dan sekarang wanita itu muncul di hadapannya.“Mau ngapain lo ke sini?” tanyanya datar.“Daniel. Gak boleh ngomong begitu. Sebentar lagi kita mau menikah, lho.”Daniel tersenyum miring. “Nikah? Nikah sama bokap gue aja sana. Gue gak pernah mengiyakan perjodohan ini! Jadi, gak usah keped
Feby hanya mengendikan bahunya. Tampak biasa saja bahkan seolah tengah merendahkan Meira, terlihat dari raut wajahnya yang memandang seperti itu kepada Meira.Walau malas, Meira harus tetap menghampiri Reymond yang katanya ingin bertemu dengannya dan berbicara tentang apa itu, Meira hanya bisa menunggunya.Tok tok!"Masuk!" titah Reymond di dalam sana.Meira menghela napasnya dengan panjang dan masuk ke dalam ruangan lelaki itu."Bapak manggil saya?" tanya Meira kemudian.Reymond memutar kursinya dan menatap datar wajah Meira. "Kamu, wanita yang menjalin hubungan dengan anak saya, Daniel?" tanyanya dengan suara datarnya.Meira menghela napas kasar kemudian menganggukkan kepalanya. "Ya. Betul, Pak Reymond. Saya, orangnya. Ada yang ingin Bapak tanyakan?"Reymond mendecih pelan. "Baru jadi kekasihnya saja sudah membuatmu sombong!"Meira mengerutkan keningnya. "Maksud Bapak? Saya tidak paham dengan ucapan Bapak."Bahkan menatap wajah Meira pun seperti tidak senang. Namun, ia harus menyele