LOGINMendadak lidahku kelu, tatapan pria itu sangat tajam dan dingin.
Namun detik berikutnya, wajah dingin itu tiba-tiba mengulum bibir menahan tawa. Membuatku mengernyit. "Sudah gede, tapi tingkahnya kayak anak kecil." Pria itu mencibir. Mataku sontak melebar. Mendadak aku jadi kesal. Tatapan matanya itu seperti mengejekku. "Kamu siapa sih? Maksudnya apa bicara seperti itu?" tanyaku sambil mengangkat dagu. "Harusnya aku yang tanya, kamu siapa? Berani sekali bermain di sawah milikku?" Aku mengerutkan dahi, lalu menoleh pada Lestari. "Bukannya ini sawah Om Dimas?" bisikku. "Bukan, Mbak Nara. Sawah Pak Dimas di sebelah sana. Yang sini milik Bu Rosidah. Neneknya Pak Tristan Elgara," jawab Lestari tak kalah lirih sambil melirik pria yang berdiri sambil berkacak pinggang. "Oh…." Mengangguk agak malu tapi kucoba tetap bersikap angkuh. "Baru punya sawah aja sombong," gumamku yang mungkin terdengar oleh pria itu, terlihat wajahnya makin masam. "Maaf, tadi aku nggak sengaja terjatuh." Aku meminta maaf dengan setengah hati. Pria itu tersenyum sinis, "Sudah salah, sombong. Saudaranya Pak Dimas, pantes." Apa maksudnya? Aku hendak menyahut tapi Lestari kembali berbisik. "Mbak gak usah diladenin, kita pergi aja. Masih harus antar makan siang buat yang kerja di sawah." Aku membuang nafas kasar. "Ya sudah, kamu bantu aku berdiri." Kuulurkan tangan dan langsung disambut oleh Lestari. Namun, begitu aku coba berdiri tiba-tiba kaki kananku terasa sakit. "Aww..... kakiku!" Rasanya, aku tidak kuat untuk berdiri. "Kenapa Mbak? Kaki Mbak Nara terluka?" tanyanya Lestari panik. Aku meringis sambil memegangi kaki. "Mungkin keseleo. Lestari tampak bingung. "Aku gimana ini?" Mungkin dia takut dimarahi Tante Ratih. Sementara, pria yang baru saja aku tahu namanya Tristan itu hanya memandang dengan dua kedua tangan di depan dada angkuhnya. "Mbak, tunggu sebentar ya aku cari bantuan dulu." Lestari bergegas pergi. Aku mencoba bersabar, menahan panas yang menyengat di kepala. Tiba-tiba pria itu mendesah berat. Seolah merasa jengah dengan keberadaanku. Ya... mau bagaimana lagi. Kaki ini tidak bisa diajak kompromi. "Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Tristan, sadar aku sedang menatapnya. "Suka-suka aku, ini mata aku?" Terlanjur kesal, aku nyolot sekalian. Ya… inilah aku. Sama sekali bukan gadis lemah lembut dan anggun seperti mbak Aluna. Mungkin karena itu Mas Arka lebih memilih Mbak Aluna. Pria itu malah tersenyum. "Kamu pasti bukan warga asli desa ini?" "Iya, aku dari Jakarta. Ada masalah?" "Oh... pantes. Kamu pasti nggak tahu, di dalam sawah banyak binatang melata dan serangga," katanya dengan pandangan terarah pada sekitarku. Astaga... yang benar? Reflek kuamati sekitar. Sepertinya memang benar. Hewan melata suka bersembunyi di balik rerumputan. "Ular, belut, cacing dan kalajengking biasanya bersembunyi di dalam sawah," katanya sambil memegangi dagu. "Stop!" Aku melotot padanya. "Jangan menakutiku!" Mendaadak aku jadi takut dan geli. "Tolong bantu aku naik ke atas, kumohon...," rengekku tak peduli lagi dengan harga diri. "Kenapa aku harus menolongmu?" "Untuk kemanusiaan?" kataku sekenanya. "Aku manusia, kamu juga manusia, jadi harus saling menolong." Pria itu tertawa, apa menurutnya ini lucu? Seandainya aku bisa jalan sendiri aku tidak akan meminta bantuannya. "Kamu pasti pandai berbohong, pintar sekali mencari alasan." Terserahlah dia mau bicara apa, yang penting aku harus keluar dari kubangan lumpur ini. "Iya, kamu benar. Please, tolong aku." Meski terlihat enggan, Tristan melepas sandalnya lalu turun ke area sawah. "Jangan bergerak!" "Aah!" Aku memekik, kaget. Tak menyangka dia akan menggendongku. Takut jatuh, aku langsung melingkarkan tangan di lehernya. "Jangan gerak-gerak! Kamu mau jatuh lagi?" Wajah Tristan terlihat tegang. Aku menahan nafas, berusaha untuk tidak bergerak seperti perintahnya. Tapi…. "Kakiku gak bisa keluar," kata Tristan dengan tubuh miring-miring. Sepertinya kakinya masuk terlalu dalam. "Astaga... apa yang kulakukan ini? Kenapa aku harus peduli sih," gerutunya tiba-tiba. "Ke-ma-nu-si-a-an," kataku tegang. Tubuhnya tiba-tiba oleng dan aku reflek mengeratkan peganganku di lehernya. "Longgarkan sedikit tanganmu. Kamu mencekikku..." Bruk! Oh... tidak… Kami terjatuh dengan tubuhku menindih tubuh pria bernama Tristan itu. "Ugh, kamu berat sekali. Cepat bangun! Pinggangku bisa patah karena kamu." Tristan mengeram. "Iya, iya maaf." Ingin marah, tapi tak tega juga melihatnya kesakitan. Buru-buru aku bangun, tapi karena tubuh kamu penuh lumpur, aku kembali jatuh dan kali ini kepalaku membentur kepala Tristan. Kami saling menatap untuk sepersekian detik. "Astaghfirullah.... Nara! Kalian sedang apa?" Aku menoleh, Om Dimas dan beberapa orang memandang ke arah kami. "Loh... kenapa Mbak Nara jadi sama Mas Tristan jatuhnya?" Dengan polosnya, Lestari ikut bertanya. "Ah.... itu... tadi...." Buru-buru aku bangun dan menggelengkan kepala. Anehnya pria itu malah diam saja. Bukannya ikut menjelaskan, dia malah tersenyum tipis. "Sudah...sudah, ayo naik dulu." Om Dimas langsung turun membantuku berdiri. "Bisa jalan?" tanyanya. Aku menggeleng, lalu menundukkan wajah, malu dilihat banyak orang. "Ya sudah kita pulang." Om Dimas langsung menggendongku. "Saya minta maaf atas kelalaian Nara. Nanti saya akan kirim orang untuk menanam ulang bibit padi yang rusak," kata Om Dimaa pada Tristan. Kulirik pria itu mengangguk. "Iya, Pak Dimas." "Dia itu Tristan Elgara, cucunya Nyonya Rosidah. Orang yang mengincar sawah warisan Eyang Uti." Tiba-tiba Om Dimas berbicara. "Sudah bertahun-tahun keluarganya berniat membeli sawah peninggalan Eyang Uti, tapi Om tidak mau menjualnya." Kembali Om Dimas menjelaskan sesuatu yang menurutku tidak perlu aku ketahui. Jadi aku hanya mengangguk saja. "Jangan dekat-dekat dengannya!" kata Om Dimas lagi.Keyra menarik paksa Nara masuk ke dalam mobilnya. Setelahnya mendekati Tristan menjelaskan sesuatu, lalu kembali masuk ke dalam mobilnya. "Sebenarnya ada apa sih?" tanya Nara sambil mengeritkan dahi. Sikap Keyra membuatnya bingung juga takut. "Ini darurat. Kamu harus ikut aku ke rumah sakit, kalau kamu gak mau menyesal nantinya." Nara menatap sepupunya itu tajam. "Kamu itu kalau bicara yang jelas! Jangan bikin orang takut dan panik gara-gara tingkahmu yang mendadak aneh. Sekarang jelasin siapa yang sakit?" omelnya. Ceritanya nanti saja di rumah sakit. Sekarang pasang sabuk pengamanmu. Aku mau ngebut," jawab Keyra menatap lurus ke depan. Jalanan pagi ini cukup ramai. Dia butuh konsentrasi penuh untuk bisa sampai lebih cepat. Detik berikutnya mobil pun melaju. Tak sampai setengah jam mereka sudah sampai di rumah sakit kota. Keyra turun lebih dulu. Lalu menggandeng Nara masuk. "Tunggu!" Nara menahan tangannya. Dan seketika langkah keduanya terhenti. "Kamu belum jawab, sebenarnya
"Mana Mama, Pa?" tanya Nara saat melihat papanya sarapan seorang diri. "Sudah berangkat duluan," jawab Rendy di sela-sela mengunyah makanannya. "Kamu mau keluar?" lanjutnya memandang putri bungsunya yang sudah rapi. Nara mengurai senyum tipis sambil mengangguk. Tanganya menarik sandaran kursi dan mendudukkan dirinya. "Mau nambah, Pa?" tanyanya basa basi sembari menyendok nasi goreng ke atas piringnya. "Sudah cukup," tolak Rendy. Pria paruh baya itu menelan makanannya lalu menyesap jus jeruknya. Sementara Nara menikmati sarapannya sambil memainkan ponselnya. "Kamu mau kemana?" Nara mengangkat kepalanya sebentar lalu kembali fokus dengan benda pintar di tangannya. "Mau fitting baju sama Tristan," jawabnya. Senyum lebar seketika muncul di bibir Rendy. Ada kelegaan di wajah yang sudah mulai keriput itu. "Papa lega, kamu memilih menikah dengan Tristan. Papa lihat dia benar-benar mencintaimu," Ucapan Rendy mengusik Nara. Ada rasa tak percaya mendengar kalimat yang kelua
"Bun, anterin ke rumah temanku," pinta Raka tiba-tiba merengek sambil menarik ujung jilbab bundanya yang sedang mencuci piring di dapur. "Mau apa ke rumah temanmu? Besok sekolah. Belajar sana," ujar Ratih masih sambil mlanjutjan pekerjaannya. "Buku aku kebawa temenku. Besok ada PR. Nanti aku kena hukum kalau gak ngumpulin." Raka menghentakkan kakinya. "Kok bisa kebawa teman kamu?" Ratih menghentikan kegiatannya. Mendelik pada putra bungsunya. "Kan Bunda sudah bilang kalau mau pulang buku-buku diberesin dimasukkan tas. Diperiksa ada yang ketinggalan nggak?" omel Ratih kesal. Sejak siang moodnya sudah rusak karena putra pertamanya. Dan sekarang putra bungsunya. "Maaf, Bundaku sayang.... Adek salah. Sekarang anterin ya Bun, nanti gak keburu ngerjain PR-nya," ucap Raka memelas. Bocah itu memegangi tangan bundanya sambil sesekali mencium punggung tangan yang basah itu. "Maaf ya Bun, besok gak lagi...." mohonnya yang membuat hati Ratih luluh. Putra bungsunya itu lebih pinta
"Bun, berikan ponselku," pinta Dirga menatap Bundanya tajam. Rasa kecewa di hatinya sudah tak terbendung lagi. Entah karena hasutan siapa wanita yang dulunya tak pernah berbohong itu kini malah mendukung kebohongan. Kalau bukan karena Raka, adiknya yang mengadu. Mungkin Dirga tidak akan tahu bundanya itu bersekongkol dengan Nirmala membohongi Nara. Ratih seperti menulikan diri. Tak sekalipun menyahut. Pandangannya lurus kedepan tanpa menghiraukan putra sulungnya yang sejak tadi menatapnya tajam. "Bun, kesabaranku juga ada batasnya. Tolong berikan ponselku. Aku harus menjelaskan semuanya pada Nara," katanya lagi dengan nafas yang sudah memburu karena menahan amarah yang berkumpul di dadanya. Rasa sakit ditubuhnya tak dihiraukannya. Baru semalam Dirga dibebaskan oleh ayahnya dan diizinkan pulang ke rumah. Dan itu karena penyakit tipes Dirga kambuh. Putra sulung Dimas itu menolak makan selama berhari-hari. Pagi tadi dia dibawa ke rumah sakit di kecamatan dan saat pulang Raka m
"Kamu sakit?" tanya Tristan pada Nara yang baru saja datang. Wajah gadis itu nampak lesu dan agak pucat. "Nggak," jawab Nara setelah mengambil duduk di hadapan Tristan. Dua orang itu bertemu di sebuah kafe yang biasa mereka datangi. "Minumlah!" Tristan mengangsurkan segelas jus jambu yang sudah dia pesankan tadi. "Mau makan apa?" lanjutnya sembari membuka buku menu. Nara menggelengkan. "Aku sudah makan. Kamu saja," jawannya tak bersemangat. Tristan menutup kembali buku menu. Menatap sendu gadis yang hanya mengaduk minumannya. Ada yang berbeda dengannya hari ini. Sepertinya sedang ada masalah. "Soal Dirga.." Tristan urung melanjutkan kalimat. Ekspresi Nara yang tampak biasa saja membuatnya mengerutkan dahi. "Kamu sudah tahu?" Nara mengangguk. "Dia di desanya, kan?" "Iya. Maaf, tidak memberi info lebih cepat." "Nggak papa. Makasih sudah bantu." Tritstan mengangguk. "Sepertinya dia sengaja dikurung sama orang tunya." Nara tersenyum tipis, lalu menghela nafas. Dikurung?
"Ini tidak benar," gumam Nara tangan kaki gemetaran. Gdis itu bergegas masuk mobil setelah mengusir Arka dari rumahnya. Dia sudah tak sabar menunggu mamanya pulang. Dengan mengendarai mobil sendiri, gadis itu menuju pabrik untuk menemui mamanya untuk mengonfirmasi kebenaran ucapan Arka. Matanya fokus pada jalanan di depannya namun otaknya masih memutar memori percakapan dengan Arka beberapa menit yang lalu. "Mas Arka pasti berbohong. Dia sengaja ingin menjadika Mbak Aluna kambing hitam. Aku nggak percaya Mbak Aluna sejahat itu," gumamnya pada diri sendiri. Namun saat ingatanny kembali mengingat ucapan mamanya yang berulang kali mengatakan Aluna bukan putrinya, mendadak rasa takut menyergap hatinya. Takut benar Aluna itu bukan putri kandung mamanya. Takut, benar. Aluna ingin menguasainya harta warisan keluarganya. Takut, benar Aluna sengaja memfitnahnya demi mendapatkan semua warisan keluarga. "Astaga.. jika itu benar. Kasihan sekali Mama..." ujarnya mencengkeram erat stir.







