Share

Bab 6

Jovita POV

Pagi ini aku ingin menebus kesalahan yang aku lakukan dua hari lalu. Setelah berpikir dengan jernih, ini memang murni kesalahan ku. Aku tidak mendengarkan ucapan Mas Endrick dan lebih memilih untuk membuatnya khawatir karena membawa Adam ke tempat karokean yang berisik.

Ku tatap kotak bekal makanan yang aku siapkan untuk Mas Endrick. Meskipun dia tidak pernah meminta dibuatkan bekal makan siang, ini kulakukan untuk menebus kesalahan.

"Vita, saya berangkat dulu."

"Eh tunggu mas!" Aku langsung meraih kotak makan itu lalu bergegas menghampiri suamiku yang sedang memakai sepatunya.

"Ini, Vita udah siapin bekal makan. Nanti dimakan ya, mas?" lapor ku dengan senyum sumringah.

Dia menatap ku sebentar lalu menyambut kotak makan yang kuberikan. "Ya, terima kasih Vit"

"Hmm, mas Endrick mau kalo Vita buatin bekal tiap hari? Kali aja kan Mas males makan di luar," tawar ku dan dijawab gelengan olehnya.

"Gak usah, saya gak mau nambah kerjaan kamu pagi-pagi."

Aku menekukkan bibir, kenapa Mas Endrick tidak mau merepotkan ku padahal aku senang mengurusi segala kebutuhannya.

"Vita buatin bekal lagi nanti ya? Masa kerjaan kecil gitu dibilang ngerepotin sih mas?" balasku masih dengan wajahku yang cemberut.

"Ya terserah kamu kalo gitu. Masak yang simpel aja biar gak susah," balasnya kemudian beranjak pergi dengan mobil.

Sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil, dia berbalik lalu mendekati ku lagi sebelum tiba-tiba aku merasakan ciuman lembut di atas bibirku.

Jangan tanya betapa merona nya pipiku. Tumben sekali Mas Endrick berinisiatif untuk mencium bibirku sebelum dia berangkat kerja. Namun, aku suka dengan perlakuannya pagi ini. Dia terasa berbeda sekali.

"Kamu baik-baik sama Rama di rumah, saya kerja dulu."

Aku mengangguk senang sembari melambaikan tangan begitu mobilnya meninggalkan pekarangan rumah kami. Baiklah, rutinitas kembali seperti biasanya. Awalnya kupikir pertengkaran kami akan panjang, tapi untunglah semuanya sudah mereda.

...

"Mama lagi di jalan ke rumah kamu, Vit. Kangen nih sama Rama ," ucap mama ku di telepon. Aku terkikik mendengar ucapannya, mama memang sangat menyayangi Rama.

" Rama doang nih yang dikangenin? Kok sama anak sendiri nggak?" canda ku dan mama tertawa di seberang sana.

Hubungan ku dan keluarga angkat ku sangatlah baik. Meskipun tidak ada ikatan darah di antara kami, aku dan orang tuaku sangatlah dekat. Mamah bahkan tidak mau menyebutku anak angkat, baginya aku adalah putri kesayangannya dan aku senang akan hal itu.

"Ya kangen lah, nak. Kamu sih gak ke rumah, jadi susah ketemunya. Ya udah, mama tutup dulu teleponnya ya?"

"Iya, ma. Hati-hati di jalan," balasku lalu sambungan telepon dimatikan. Aku meletakkan ponsel ke atas meja bundar di ruang keluarga lalu bergegas ke dapur untuk menyiapkan makan siang. Kalau mama ku yang datang, aku tidak terlalu begitu khawatir. Beda lagi jika mertuaku yang bertamu, hatiku benar-benar ketar-ketir dibuatnya. Watak Bunda Septiah mirip sekali seperti Mas Endrick, dia lebih sering diam dan hanya akan berbicara jika ada yang mau dia bahas. Suasana jadi mengerikan jika Bunda Septiah ada di sini, tapi bukan berarti aku tidak menyukainya. Walau dia diam begitu, aku menyayangi mertuaku. Dia sering juga memberikan nasihat yang baik dan tidak jarang membelaku apabila ada sesuatu yang salah. Bagiku dia memang ibu mertua yang cukup sempurna terlepas dari wataknya yang dingin.

salah. Bagiku dia memang ibu mertua yang cukup sempurna terlepas dari wataknya yang dingin.

"Nggghh, maaa!" Aku tersentak begitu mendengar suara Rama yang mencoba memanggil ku. Aku selalu mengawasi Rama melalui alat monitor bayi yang selalu aku bawa.

Segera aku menghampiri Rama yang aku tinggal di ruang mainnya. Matanya berkaca-kaca tidak sabaran ingin aku gendong. Sepertinya Rama sudah bosan main sendirian di ruang main.

" Rama laper ya nak? Kita mamam atau mau nenen hmm?" tanyaku sembari menggendongnya. Tangan kecil dan gemuknya menyentuh wajahku, menjelajah apapun yang bisa dia gapai.

"Nanti nenek mau ke sini. Rama mamam sama nenek aja ya?"

Dia tertawa-tawa mendengar suaraku. Cuma Rama yang mengerti aku. Dia tahu jika suasana hatiku sedang baik atau tidak. Hehe,aku jadi penasaran kira-kira kalau punya anak lagi apakah sifatnya akan menuruni ku atau Mas Endrick?

Tidak lama kemudian, mama ku pun sampai. Aku tebak yang dia cari pertama kali pastilah Rama.

" Rama... Nenek dateng!"

Benar kan kubilang?

Aku menjumpai mamah lalu mencium punggung tangannya sebelum menyerahkan Rama kepadanya. Lihat betapa mamah menyayangi Rama, dia tidak berhenti menciumi pipi gemuk putraku.

"Mamah sendirian aja? Papa ke mana mah?" tanyaku setelah kami duduk santai di ruang keluarga sambil menonton televisi.

"Papamu itu kan sok sibuk terus, tadi pagi buru- buru ke kantor."

Aku mengangguk-angguk saja, papa memang orang yang sibuk tapi dia tipe laki-laki yang menyayangi keluarga. Meski usianya sudah cukup tua, dia masih semangat bekerja. Katanya dia senang meluangkan waktu di kantor daripada bosan di rumah.

"Ya udah, mama mau makan siang gak? Vita udah siapin makanan soalnya," tawar ku. Mamah mengangguk lalu kami bersama-sama ke ruang makan. Seperti biasa, kalau mamah di sini sudah pasti Rama selalu berada di gendongannya. Kerjaan ku tinggal tidur menunggu mamah puas mengurus Rama.

"Makin pinter nih kamu masak, ini rasanya udah pas."

"Iya dong, Vita kerjaan di rumah tiap hari ya masak doang makanya lama-lama pinter," balasku dan mama tersenyum geli mendengarnya. Tidak sekali dua kali aku curhat tentang keseharian ku, hampir setiap hari aku menelepon mama dan mengatakan betapa aku bosan melihat dapur rumah ku sendiri.

"Ajakin lah si Endrick liburan, Vit. Kalian kan butuh jalan-jalan juga berduaan doang. Rama biar mamah sama papa yang urus," usul mamah. Aku sebenarnya sudah kepikiran untuk mengajak suamiku liburan berdua, tapi waktunya selalu tidak tepat. Dia menjabat sebagai kepala program studi di kampus, otomatis pekerjaannya pun bertambah. Jika aku mengajak liburan, pasti dijawab tidak.

"Mas Endrick pasti sibuk, mah. Biasa orang penting kan selalu sibuk," balasku sedikit tidak semangat. Mamah terlihat tidak senang dengan ucapan ku, aku terlalu cepat menyerah.

"Dia pasti mau-mau aja, percaya deh. Coba kamu ajakin liburan ke Bandung atau ke Yogyakarta gitu. Kan banyak tempat wisata atau kalo perlu ke Bali sekalian. Bulan madu lah Vita," ucap mama lagi dan aku jadi kepikiran. Bulan madu? Selama menikah dan punya anak dengan Mas Endrick, kami tidak pernah bulan madu. Setelah menikah dia langsung memboyongku ke rumah ini dan sama sekali tidak ada bulan madu. Hmm, apa ini kesempatan ku untuk mengajaknya bulan madu walaupun telat?

Sepertinya ide yang bagus untuk aku coba, tidak ada salahnya juga.

Malam hari, seperti biasa setelah melakukan perawatan kulit, aku pun lekas beranjak untuk tidur. Mas Endrick sudah lebih dulu berbaring sambil memainkan ponselnya. Sepertinya sedang membaca email atau pesan penting karena Mas Endrick pantang bermain ponsel saat malam hari kecuali ada berita yang harus dia ketahui.

"Mas."

"Hmm," sahut mas Endrick sambil tetap serius dengan ponselnya. Aku berdecak pelan, dia ini benar-benar seperti batu es. Tiap kali mencoba mendekat, aku pasti merasa menggigil.

"Tadi mama ke rumah. Kami ngobrol banyak," ucapku sambil mencari posisi yang nyaman di dalam pelukan suamiku. Kuletakkan tanganku ke atas dada mas Hendrick lalu memainkan kancing piyama nya yang terbuka di bagian atas.

Ku lirik matanya yang masih sibuk membaca tiap kata di layar ponsel dan ku tebak itu memang berita yang serius.

"Ih, mas Endrick... Dengerin Jovita dulu dong." Aku mulai merengek di depannya. Mendengar rengekan ku yang aneh, dia akhirnya menatapku. Astaga, ditatap seperti itu oleh Mas Endrick malah membuat aku salah tingkah.

"Ada apa?"

"Gini mas, kita bulan madu yuk?"

"Gak."

Aku terkejut karena secepat itu dia menolak. Astaga, aku pikir dia akan mengatakan 'lya Vita , ayo kita bulan madu dan bikin dedek bayi' dan yang ku dapat hanyalah penolakan!

Aku duduk sambil menatap tidak percaya kepadanya. Bisa-bisanya dia menolak ajakan ku untuk bulan madu. Ku kira lelaki manapun tidak mampu menolak tawaran yang menguntungkan ini.

"Kok gitu sih, mas? Emangnya mas Endrick gak mau berduaan sama Vita?"

Dia menghela napas panjang sebelum berbaring membelakangi ku. Aku kesal sekali, kenapa dia menolak ku?

"Ih, mas Endrick jawab dulu. Kok gak mau?"

"Gak ada waktunya. Saya sibuk."

Aku menarik bahunya agar dia kembali menatap ku dan rupanya mas Hendrick lebih memilih tidur.

"Masss... Nyebelin banget ih," rengek ku lagi.

"Tidur, Vit. Kamu kayak nyamuk, ribut banget."

Pipiku merah karena kesal. Hmm, awas saja Mas Endrick!

"Ya udah, kalo gitu mas Endrick p puasa sebulan!"

Dengan kesal aku kembali berbaring dan membelakanginya. Suatu keajaiban, aku mendengar suara tawa walaupun sangat kecil. Kurasakan ranjang melesak lalu sebuah tangan merayap di balik pinggang ku.

"Kamu mau bulan madu ke mana memangnya, Vit?" Dia berbisik di telinga ku. Aku menggigit bibir, berusaha tidak terpancing olehnya. Aku tahu jika aku bergerak sedikit saja, Mas Endrick tidak akan melepas ku malam ini.

"Vita mau tidur," balasku.

Telapak tangan Mas Endrick bergerak masuk ke dalam daster yang aku kenakan lalu berhenti di depan dada. Aku berdecak pelan sambil mencoba menjauhkan tangan nakalnya dariku tapi Mas Endrick masih bersikeras.

"Gak mau! Vita gak mau dipegang-pegang sama mas Endrick!"

"Saya berhak, Vit. Nenen kamu punya saya," balasnya dan membuat aku tambah kesal bukan main. Padahal harusnya dia yang kesal, tapi ini malah aku yang bernasib malang.

"Ngggh! Mas endrick ihh!" Tubuhku menggeliat geli tiap kali tangannya meremas payudara ku. Benar- benar licik sekali Mas Endrick, dia menggunakan kesempatan ini untuk menggauli ku.

Dia membalik tubuhku sehingga aku tertelungkup di atas tubuhnya. Aku menekukkan bibir, menatapnya tidak suka karena berbuat mesum tiba-tiba.

"Pokoknya Mas Endrick puasa satu bulan penuh. Vania gak mau."

"Yakin kamu bisa tahan? Saya tidak pernah permasalahkan harus puasa atau tidak, bukannya kamu yang selalu ingin dimanja?" balasnya. Aku menjadi salah tingkah, tiba-tiba teringat dulu aku marah-marah karena Mas Endrick tidak ingin meniduri ku setelah 40 hari melahirkan Rama. Astaga, dia ini selalu tahu kelemahan ku.

Posisiku duduk tepat di perutnya, mundur sedikit saja maka sesuatu di antara pahanya itu terasa di belahan pantat ku. Mas Endrick memang minim ekspresi, tapi sekali berulah dia sungguh brutal.

Kedua tangan Mas Endrick memegangi pinggang ku, membuat gerakan naik turun seolah kami sedang bercinta. Aku tidak menolak atau memberi respon, aku hanya duduk diam sambil memegangi piyama tidurnya.

"Kalo kamu mau bulan madu, tunggu saya gak sibuk. Bulan ini saya masih sibuk dengan urusan kampus. Tunggu semester ganjil berakhir maka kita bisa liburan," jelas Mas Endrick. Jadwalnya memang harus mengikuti apa yang sudah ditetapkan kampus tempat Mas Endrick mengajar. Dia tidak bisa tiba-tiba pergi liburan dan menelantarkan mahasiswanya.

"Tapi lama, Vita mau sekarang."

"Sabar. Masih ada banyak waktu untuk liburan atau bulan madu. Saya akan beritahu kamu kalo udah gak sibuk," balasnya.

Aku kembali cemberut. Ya sudahlah, tidak bisa dipaksakan juga. Aku tidak mau terlihat seperti perempuan manja jika merengek-rengek terus seperti ini.

"Mundur dikit duduknya, biar pas."

Huh, bukannya diajak liburan aku malah diajak bercinta olehnya.

"Udah malem, mas..."

Dia tidak menjawab, tapi tangannya tanpa tahu malu menarik tali daster yang ku kenakan sehingga bagian atas tubuhku terbuka untuknya.

"Nunduk sini, Vit."

Aku menurut saja lalu membiarkan mulutnya menghisap puting susuku sesukanya. Meski marah, sulit bagiku menolak ajakan bercinta. Kegiatan ini sungguh nikmat, aku selalu terlena di dalam pelukannya.

BERSAMBUNG ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status