Share

Flashback 2

Sebagai seorang anak bungsu, dimana masa dewasanya terjadi disaat kedua orangtuanya mulai menua, Harsa mau tak mau harus memutar otak untuk menghidupi dirinya sendiri tanpa menyusahkan ibu dan bapaknya.

Bermodalkan otak cerdas, pendidikan terakhir sarjana meski bukan dari Universitas ternama, dan tangan yang terampil untuk memperbaiki kembali barang atau mesin yang rusak, cukup memberinya rasa percaya diri untuk membangun keberanian dengan cara mengadu nasib di pusat kota.

Demi masa tua ibu bapaknya, demi kelangsungan hidupnya dimasa depan. Harsa dengan tekad besarnya berjalan memasuki area salah satu perusahaan ternama.

Dan disinilah ia sekarang. Duduk menunggu giliran setelah dirinya mempersilahkan seorang gadis masuk ke ruangan terlebih dulu.

Bukan karena kasihan pada si gadis dan mengalah untuk masuk duluan, Harsa justru merasa dia harus mendapatkan kembali sedikit waktu supaya interview nya lancar.

Belum ada lima menit gadis tadi masuk ke ruangan, tapi pintu itu kembali terbuka menciptakan suara yang cukup keras.

Harsa jelas terkejut. Dilihatnya gadis itu yang kini malah menghampiri dirinya.

"Mas, maaf.."

Loh?

Harsa sontak berdiri ketika gadis itu bicara padanya.

"Mapnya ketukar, mas namanya Harsa kan?"

"Hah?"

Gadis itu mengangguk cepat. Harsa pun membuka map di tangannya dan mengecek berkas tersebut.

Seraphina.

"Ah iya, ini bukan punyaku."

Harsa menutup map itu kemudian menyerahkannya pada gadis yang ia yakini bernama Seraphina.

Ya, dia yakin itu. Mengingat tadi keduanya sempat bertubrukan dan memungut map keduanya yang ternyata tertukar.

"Ini punya mas. Makasih ya mas. Maaf sebelumnya." Dia tersenyum kemudian bergegas kembali masuk ke ruangan interview.

Harsa menatap map miliknya. Map yang tertukar dengan gadis bernama Sera.

Seraphina..

Nama yang cantik.

•••

"Sa, ke Unit 1 buruan, ada mesin jahit yang macet."

"Oke!"

Bukanlah hal yang sulit untuk Harsa jika ada kendala tentang permesinan seperti itu. Tentu saja, karena itu adalah keahliannya.

Kakinya berjalan memasuki gedung dimana produksi Unit 1 berada. Ratusan karyawan dan mesin berbaris rapi memenuhi ruangan. Cukup membuat Harsa kesulitan untuk menemukan siapa yang membutuhkan bantuan.

"Sa!!" Panggilan kembali terdengar, seseorang melambaikan tangan kearahnya tak jauh dari sana. Harsa lekas menghampiri.

Hanya 5 menit dan mesin tersebut bisa kembali berjalan seperti semula.

"Makasih ya mas Harsa." Ucap karyawan wanita yang menjalankan mesin itu.

Perlu di ketahui, bahwa sebagian besar penghuni produksi adalah wanita dan para gadis. Jadi, karyawan laki-laki seperti Harsa yang hanya berjumlah setengah dari seluruh karyawan wanita, presensinya cukup mudah untuk di ingat.

"Sama-sama bu..kalau begitu saya balik dulu."

Harsa berjalan meninggalkan gedung produksi. Kemudian menyempatkan diri untuk mencuci tangannya di wastafel luar yang tersedia.

"Mas Harsa?"

Bagai angin segar, suara itu sudah sangat familiar di telinga Harsa. Pemuda itupun menoleh mendapati gadis cantik yang sejak awal pertemuan mampu menarik perhatiannya.

"Oh, hai Sera.."

Sera tersenyum. Kaki rampingnya mengambil langkah mendekat ke arah Harsa yang tengah mengelap tangan basahnya.

"Habis dari Unit 1?"

"Iya.." jawab Harsa, kepalanya menunduk malu.

"Um, mas..."

"Ya?"

Sadar tak kunjung mendapat jawaban dari Sera, Harsa mendongak. Sehingga manik keduanya saling menatap dalam diam.

Mata Sera sangat cantik. Satu dari sekian banyak hal yang Harsa sukai dari gadis itu.

Ah...

Ya, kalau boleh lancang. Harsa memang menyukai Sera. Lagipula siapa yang tidak menyukai gadis secantik dia.

Sera pintar, cerdas, cekatan, dan perkerja keras. Rasa kagum yang Harsa miliki untuknya kian hari kian besar sehingga merubah rasa kagum itu menjadi rasa suka.

Namun Harsa pun tahu diri. Dia tidak mungkin pantas untuk Sera yang banyak di kagumi. Dan Harsa pun tak mau tekad kerja kerasnya terhalang kendala hanya karena perasaan yang tak mungkin berbalas.

Jadi sebelum pertemuan ini, Harsa sebisa mungkin membatasi diri untuk bertemu bahkan bertatap muka dengan Sera.

Alasannya karena dia tidak mau rasa dalam hatinya menggoyahkan segalanya.

Harsa mematung ketika merasakan jemari lembut Sera menyentuh pipi kirinya.

"Pipi mu kotor mas.." kekehan kecil mengiringi ucapan Sera.

Harsa menelan ludah gugup, dia malu. Tangannya dengan cepat membersihkan bagian wajah yang sebelumnya di sentuh oleh Sera.

Dia menggosoknya sedikit kasar hingga warna pipinya memerah.

Sera menangkap pergerakan tangan itu. " mas, pelan-pelan. Jadi merah itu mukanya."

Harsa kembali tak bergerak, bahkan tangannya masih menggantung diam di pipinya selagi Sera mengambil sesuatu di dalam tas kecilnya. Manik pemuda itu tak bisa lepas dari pergerakan si gadis

"Nih ambil. Buat bersihin mukanya kalau lagi cemong." Katanya kembali tertawa kecil.

Sera tahu pekerjaan apa saja yang biasa Harsa lakukan sebagai seorang mekanik. Dan Sera pun tahu pekerjaan itu tak cukup bersih karena seringkali menyentuh mesin berdebu ataupun oli.

Maka dari itu, dengan senang hati Sera memberikan sebuah tissue basah kecil yang dapat masuk ke kantong saku.

"Mas, ambil! Malah bengong."

Diam-diam Harsa meringis malu karena ketahuan bengong.

"Bego lo Harsa" — batinnya menjerit.

"Eh tapi gak usah.."

Sera berdecak, "ini ambil ajaaa..gak usah sungkan."

Mau tak mau, Harsa mengambilnya. Sera pun pamit sementara Harsa masih diam mencerna apa yang barusaja terjadi.

•••

Terkadang, kerja lembur datang tanpa di duga. Otomatis waktu pulang jadi lebih larut dari pada biasanya.

Harsa dengan motor matic nya melaju pelan dari parkiran menuju ke gerbang utama perusahaan. Merasa seolah selalu di takdiran, untuk kesekian kalinya manik Harsa menangkap presensi gadis cantik bernama Sera.

Gadis itu nampak gelisah sambil bergantian melihat jalan dan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.

Sebagai seorang lelaki, Harsa tak mungkin mengabaikannya begitu saja.

Dihampirinya Sera yang entah sedang menunggu siapa.

"Sera.." untuk pertama kalinya ia memanggil Sera duluan.

Sebelumnya selalu Sera yang mengambil inisiatif menyapa atau mengobrol duluan.

"Mas Harsa."

"Nunggu siapa? Jemputan?"

"Eh!" Sera menggeleng kemudian.

"Nunggu angkot mas."

Angkot? Ini sudah jam 8 malam, apa masih ada angkutan umum yang lewat? — batin Harsa.

Kepalanya ikut celinguk-celinguk ke arah jalan. Masih banyak kendaraan yang berlalu lalang namun Harsa sama sekali tak menemukan angkutan umum.

"Emang suka naik angkot ya?"

Karena ini pertama kalinya Harsa melihat Sera di jam pulang bekerja.

"Iya mas.." Sera nampak menggigit bibir bawahnya malu. Wajahnya menunduk seiring dengan tangannya yang menyampirkan sebagian rambut ke belakang telinga.

Dalam hati Harsa tak pernah bosan memuji betapa cantiknya gadis itu.

"Kayaknya gak bakal ada deh. Kalau gak keberatan saya anter aja mau?"

Percayalah....jantung Harsa terasa mau meledak saat ini juga.

Ya Tuhan, apakah aku mendadak terkena serangan jantung?

Dia sendiri tak tahu dapat keberanian dari mana telah menawarkan Sera untuk pulang bersama. Bibirnya terasa impulsif berkata tanpa tahu bagaimana dampak bagi hatinya.

Dan hati Sera tentu saja.

Entah karena angin malam yang cukup dingin atau bukan, pipi putih Sera terlihat berubah kemerahan.

"Bukannya saya yang harus bilang begitu mas? Emangnya mas gak keberatan?"

Mencoba menenangkan hati, sekuat tenaga Harsa mengontrol dirinya untuk tak mengeluarkan suara yang bergetar.

"Enggak kok. Dari pada kamu disini sendirian. Gak tahu dapat angkotnya kapan. Lebih baik saya anter aja."

"Aduh mas..gak papa deh gak usah. Saya takut ngerepotin."

"Enggak Sera, saya gak merasa di repotin kok. Ayo naik. Udah malem ini bahaya kalau nunggu sendirian."

Setelah sedikit pertimbangan akhirnya Sera setuju. Jujur saja dari awal Sera tidak berniat untuk menolak. Tapi dia cukup malu untuk mengiyakan ajakan Harsa dengan cepat.

••

Sebuah gang kecil menjadi pemberhentian motor Harsa. Beruntung alamat rumah Sera tak berbeda arah dengan kontrakan yang Harsa sewa selama tinggal di kota ini.

"Makasih ya mas. Udah repot-repot anterin aku." Ucap Sera setelah turun dari motor Harsa.

"Sama-sama. Cepat masuk rumah ya Sera. Udah malem. Saya pamit pulang dulu."

Sera menyungging senyum, begitupun dengan Harsa. Ajaibnya, di sepanjang jalan tadi mereka lalui tanpa keheningan. Mendadak jadi banyak sekali topik pembicaraan mereka sehingga kecanggungan keduanya seakan menguap begitu saja.

"Selamat malam Sera."

"Selamat malam mas, hati-hati di jalan..."

Tbc.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status