Home / Romansa / Cinta Terlarang, Anak Tersembunyi / Bab 2 - Tian, Dimana Daddy Kita?

Share

Bab 2 - Tian, Dimana Daddy Kita?

Author: Kayden Kim
last update Last Updated: 2025-09-12 20:14:04

Enam Tahun Kemudian

Milan - Italy

Suasana pagi di taman kanak-kanak itu begitu riuh. Anak-anak berlarian di halaman, beberapa asyik menggambar, ada pula yang sibuk memainkan balok warna-warni. Celline berdiri di tepi pagar, melambaikan tangan sambil tersenyum lembut. “Sera, Tian, Mommy pulang dulu ya. Main yang baik.”

 “Okay, Mommy!” jawab Sera sambil tersenyum lebar, dua kepang rambutnya bergoyang lucu. Sedangkan Bastian hanya mengangguk singkat, tatapan matanya yang tajam membuat beberapa orangtua lain sampai berbisik-bisik—karena mata itu bukan mata anak kecil biasa.

Semula semua baik-baik saja. Sera asyik menggambar bunga di kertasnya, sementara Bastian duduk di sampingnya, merakit balok-balok tinggi. Namun suasana damai itu pecah ketika sekelompok anak yang dipimpin seorang bocah laki-laki bernama Luka datang menghampiri. Luka, bocah berambut pirang dengan gaya sok jagoan, menatap Sera dengan senyum mengejek.

“Hahaha, lihat! Dia kan anak yang tidak punya Daddy!” Luka menunjuk Sera. “Semua orang di sini punya Daddy yang jemput. Kau? Tidak ada! Pasti Daddy-mu kabur karena tidak mau sama kamu.”

Anak-anak lain yang ikut-ikutan langsung tertawa cekikikan.

Mata Sera membulat, bibirnya bergetar. “T-tidak… Mommy selalu bilang Daddy-ku ada… Daddy hanya sedang bekerja jauh…” suaranya serak, lalu meletup jadi tangisan. “Huaaa! Jangan bilang begituuu!”

Bastian yang tadinya cuek langsung berdiri. Tatapannya tajam mengarah ke Luka. “Jangan ganggu adikku.” Suaranya rendah tapi mantap, tidak seperti anak lima tahun kebanyakan.

Luka mendengus. “Hah? Memangnya kenapa? Kalian memang tidak punya Daddy kan? Semua orang tahu!”

Sera tambah keras menangis. Tangannya mengepal, ia mencoba memukul dada Luka dengan kecil-kecilan. “Aku punya Daddy! Jangan bilang aku tidak punya!”

“Aduh!” Luka mendorong balik, membuat Sera hampir terjatuh. Untung Bastian cepat menangkap bahunya.

Mata Bastian kini menyala marah. Ia melangkah maju, mendorong Luka cukup keras sampai bocah itu jatuh terduduk. Luka balas berdiri dan mendorong lagi. Tiba-tiba anak-anak di sekitar ikut rusuh—ada yang teriak “Berantem! Berantem!” ada yang ketakutan, ada yang justru tambah memanas-manasi.

Sera, dengan mata penuh air mata, ikut menampar lengan Luka kecil-kecilan. “Dasar jahat! Kau jahat!”

Suasana makin kacau. Luka mulai menangis karena dorongan Bastian lebih keras dari perkiraan. “Huaaa! Sakit! Miss Evelyn!!!”

“Cukup!” suara nyaring seorang guru menggema. Miss Evelyn, wali kelas mereka, segera datang melerai dengan wajah serius. Ia mengangkat kedua tangan, memisahkan Bastian dan Luka. “Apa-apaan ini?!”

Sera masih terisak, menunjuk Luka. “Miss… dia bilang aku tidak punya Daddy… dia jahat!”

Luka yang sudah berlinang air mata langsung membela diri. “Tapi dia yang mulai! Dia pukul aku duluan!”

Bastian hanya berdiri kaku, menatap Luka dengan sorot dingin. Tangannya menggenggam erat jemari Sera, seolah melindungi adiknya.

Miss Evelyn menghela napas, lalu berjongkok agar sejajar dengan mereka. “Cukup. Tidak boleh saling ejek, tidak boleh dorong-dorongan. Luka, kata-katamu melukai perasaan Sera. Minta maaf.”

Luka menggeleng keras. “Tapi dia juga mukul aku!”

“Sera,” suara Miss Evelyn lembut. “Kamu juga harus minta maaf karena sudah memukul Luka, meskipun kamu sedang sedih. Memukul itu salah.”

Sera menunduk, pipinya basah oleh air mata. Ia mengusap hidungnya dengan punggung tangan. “Tapi… dia duluan yang bilang jahat…”

Miss Evelyn mengangguk sabar. “Iya, Miss Evelyn tahu. Makanya Luka juga harus minta maaf. Tapi kamu juga harus berani minta maaf karena tanganmu menyakiti orang lain.”

Hening sejenak. Lalu dengan suara kecil, Sera berbisik, “S… sorry.”

Luka mendengus, tapi tatapan Mrs. Evelyn membuatnya tak punya pilihan. “Sorry…” gumamnya pelan.

“Ayo lebih keras. Sama-sama,” Miss Evelyn menekankan.

“Sorry…” Sera dan Luka berkata hampir bersamaan, suara keduanya masih sengau karena menangis.

“Good,” Miss Evelyn tersenyum akhirnya. “Sekarang jabat tangan, ya. Tanda kalau kalian sudah baikan.”

Dengan canggung, Sera mengulurkan tangan mungilnya. Luka menatap sebentar, lalu menjabatnya singkat.

Bastian masih menatap Luka dengan mata tajam, tapi Miss Evelyn menepuk bahunya lembut. “Bastian, kamu anak baik karena melindungi adikmu. Tapi ingat, tidak boleh menyakiti orang lain. Kamu bisa bicara pada kami kalau ada yang nakal, bukan mendorong.”

Bastian terdiam lama, lalu mengangguk pelan. “Baik, Miss Evelyn.”

Suasana mulai tenang kembali. Beberapa anak yang tadinya bersorak sekarang malah ikut tertawa kecil melihat Luka dan Sera sama-sama masih sesenggukan tapi saling berjabat tangan.

Dan ketika bel istirahat berbunyi, ajaibnya, Luka malah mengajak Sera bermain bola bersama. Sera masih sedikit ragu, tapi akhirnya ikut juga

Celline yang menjemput sore itu hampir tidak percaya saat melihat Sera dan Luka berlari sambil tertawa bersama. “Tadi Mommy dengar dari Miss Evelyn kamu menangis, tapi sekarang sudah main lagi?” tanyanya bingung.

Sera tersipu malu, menggenggam tangan Mommy. “Tadi dia jahat, Mommy… tapi kami sudah berbaikan. Kami sekarang adalah teman…”

Bastian hanya menambahkan singkat dengan tatapan serius khasnya, “Aku sudah pastikan dia tidak akan ganggu Sera lagi.”

Celline tak bisa menahan tawa kecilnya. “Astaga, kalian ini… mudah sekali berantem, tapi mudah sekali juga baikan.

Hatinya hangat. Mungkin inilah dunia anak-anak—sederhana, polos, penuh air mata dan tawa yang silih berganti.

Malam harinya kamar anak terasa hangat dengan lampu tidur berbentuk bintang yang memancarkan cahaya lembut ke langit-langit. Sera berbaring di ranjang mungilnya dengan selimut bermotif unicorn, sementara Bastian sudah berbaring di ranjang sebelah, memeluk boneka beruang cokelat kesayangannya.

Celline duduk di tepi ranjang, membacakan buku dongeng sebelum tidur. Suaranya tenang, lembut, menenangkan hati kedua anak itu setelah hari yang melelahkan di sekolah.

“Dan akhirnya, si putri kecil kembali ke istana, hidup bahagia bersama orang-orang yang mencintainya…” Celline menutup buku, lalu mengecup kening keduanya. “Good night, kesayangan Mommy.”

“Good night, Mommy…” sahut mereka bersamaan.

Celline berdiri, mematikan lampu baca, dan hanya meninggalkan lampu tidur kecil yang temaram. Ia lalu keluar kamar, menutup pintu dengan hati-hati agar anak-anak bisa beristirahat.

Namun, tak lama setelah langkah Mommy menjauh, suara kecil Sera terdengar di kegelapan. “Tian…”

Bastian berguling pelan menghadap ke ranjang adiknya. “Hmm?”

Sera menggigiti jari telunjuknya, matanya berkaca-kaca lagi. “Sebetulnya… Daddy kita itu di mana, ya?” suaranya lirih, penuh rasa ingin tahu. “Kenapa Daddy tidak pernah jemput kita kayak Daddy-nya anak lain? Kenapa Daddy tidak pernah peluk kita?”

Bastian terdiam sesaat. Ia memang sering mendengar Sera menanyakan hal ini, tapi kali ini nadanya berbeda, lebih sedih.

“Mommy selalu kelihatan sedih setiap kita nanya Daddy,” lanjut Sera lagi. “Apa Daddy itu tidak sayang kita?”

Tatapan mata Sera yang penuh harap menusuk hati Bastian. Tapi yang lebih menusuk lagi adalah bayangan wajah Mommy yang jelas-jelas tampak murung setiap kali topik “Daddy” disebut.

Bastian menarik napas panjang, suaranya tenang tapi mantap. “Sera, jangan tanya soal Daddy lagi sama Mommy.”

Sera berkedip, bingung. “Kenapa?”

“Karena setiap kamu nanya, Mommy kelihatan sedih banget,” jawab Bastian sambil mengerutkan dahi kecilnya. “Kalau Daddy bikin Mommy sedih, berarti Daddy bukan orang baik. Aku tidak peduli dia siapa. Aku tidak butuh dia.”

Sera menggigit bibir, air matanya mulai jatuh lagi. “Tapi… aku pengen punya Daddy juga…”

Bastian segera turun dari ranjangnya, lalu naik ke ranjang Sera. Ia duduk di samping adiknya, meraih tangan kecil Sera dan menggenggamnya erat. Tatapannya tajam tapi penuh ketulusan.

“Kamu tidak perlu Daddy, Sera,” bisiknya. “Aku ada di sini. Aku yang bakal jaga kamu. Aku yang bakal jaga Mommy. Daddy mungkin tidak pernah datang… tapi aku janji aku akan tumbuh besar cepat-cepat biar bisa jadi pelindung buat kamu dan Mommy.”

Sera terisak, lalu menyembunyikan wajahnya di bahu Bastian. “Tian… kamu beneran ya…”

Bastian memeluk adiknya erat, menepuk-nepuk punggung mungilnya. “Jangan nangis lagi. Kamu punya aku dan Mommy. Itu sudah cukup.”

Dalam hati, Bastian menguatkan janji itu. Kalau Daddy mereka memang tidak pernah datang, maka dia yang akan menggantikan tempat itu. Dia akan melindungi Mommy dan adiknya, apapun yang terjadi.

Sera akhirnya tertidur dalam pelukan Bastian, sementara bocah laki-laki itu masih terjaga beberapa lama. Matanya yang tajam menatap langit-langit kamar, penuh tekad yang jauh lebih besar dari usianya.

Di Washington. Kamar utama rumah mewah keluarga Carter terasa hening malam itu, hanya jam dinding yang berdetak pelan menunjukkan pukul dua lewat sedikit. Jayden duduk di tepi ranjang, dasi sudah dilepas, kemeja bagian atas terbuka, wajahnya penuh lelah setelah seharian lembur bekerja hingga larut.

Pintu kamar terbuka keras. Bella masuk sambil masih menenteng tas dan sepatu hak tinggi di tangannya. Wajahnya tetap full makeup, rambutnya berantakan karena pemotretan panjang.

“Jam berapa ini, Bella?” Jayden menatap tajam dari tepi ranjang, wajahnya tegang.

“Jangan mulai lagi, Jay.” Bella meletakkan tas dengan kasar di kursi. “Pemotretan tadi molor, aku tidak bisa kabur begitu saja.”

“Ini sudah jam dua pagi!” Jayden berdiri, suaranya meninggi. “Kau istri seorang Carter, bukan model kelas bawah yang pulang dini hari seperti ini!”

“Aku punya karier sendiri, Jayden!” Bella mendengus, nada suaranya penuh perlawanan. “Aku tidak mau jadi istri pajangan yang kerjanya hanya duduk manis menunggu suami pulang.”

“Karier?” Jayden mengepalkan tangannya. “Keluargaku sudah cukup menutup semua kebutuhanmu. Yang mereka inginkan cuma satu: cucu. Tapi apa yang kau lakukan? Selalu menunda dengan alasan sibuk!”

“Cucu, cucu, cucu!” Bella melempar sepatunya ke lantai, matanya berkilat marah. “Aku muak dengar itu! Hidupku bukan cuma tentang mengandung anak untuk Carter!”

“Kau sadar tidak, Bella?” Jayden melangkah maju, sorot matanya membakar. “Aku menikahimu karena kuanggap kau bisa jadi ibu dari anak-anakku. Tapi yang kulihat sekarang hanyalah wanita egois yang lebih mencintai kamera daripada suaminya.”

“Kalau begitu mungkin kau memang menikah dengan orang yang salah!” Bella menegakkan bahu, suaranya gemetar tapi tajam. “Mungkin kau harus cari wanita lain yang bisa langsung melahirkan anak untuk keluargamu!”

“Jangan uji kesabaranku.” Jayden mendekat, rahangnya menegang.

“Lalu apa?!” Bella membalas tatapannya, dadanya naik-turun menahan emosi. “Kau mau aku buang karierku yang sudah kubangun bertahun-tahun? Semua demi memenuhi keinginan keluargamu?”

“Yang kuinginkan sederhana.” Jayden menutup mata sejenak lalu menatapnya dalam-dalam. “Rumah tangga yang normal. Seorang anak. Kebahagiaan yang nyata. Tapi yang kudapat hanyalah tempat tidur kosong dan istri yang lebih sering bersama kamera daripada bersamaku.”

“Kalau kau merasa kosong, mungkin masalahnya bukan aku, Jay.” Bella menunduk sebentar, lalu mengangkat wajahnya dengan senyum pahit. “Mungkin memang kita tidak pernah saling mengisi sejak awal.”

Keheningan menekan kamar.

“Aku muak, Bella.” Jayden menatapnya lama, matanya penuh kecewa. “Aku muak hidup seperti ini.”

“Aku juga muak, Jayden.” Bella berbalik, melepaskan anting di meja rias dengan gerakan kasar. “Aku lelah. Besok aku ada jadwal lagi. Aku tidak mau bahas ini lagi.”

Jayden berdiri kaku, hanya menatap punggung istrinya. Rasa marah, kecewa, dan hampa bercampur jadi satu, menghantam dadanya keras. Malam itu ia semakin sadar, rumah tangga yang dibangunnya perlahan retak, nyaris tidak tersisa fondasi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Terlarang, Anak Tersembunyi   Bab 5 - Celline Melihat Jayden

    Tiga hari berlalu sejak Celline resmi mulai bekerja di Lucarelli Moda USA, Inc. Kehadirannya cepat mencuri perhatian. Setiap kali ia berjalan melewati lorong kantor dengan blouse putih sederhana dan rok pensil hitam, beberapa staf pria spontan menoleh. Ada yang berbisik, ada pula yang terang-terangan tersenyum ramah.Namun, bukan hanya kecantikannya yang mencuri perhatian. Cara Celline bekerja dengan rapi, cepat, dan penuh detail juga membuat rekan-rekannya kagum. Ia tak pernah keberatan lembur, selalu siap menanggapi pertanyaan, bahkan mau membantu junior yang kesulitan menyusun laporan.“Miss Celline, terima kasih sudah bantu saya kemarin,” ucap seorang staf pria di divisi marketing saat berpapasan di pantry.Celline hanya tersenyum hangat. “Sama-sama. Semoga report kamu sudah rapi ya?”“Iya, berkat masukanmu Miss.” Staf itu tampak malu-malu.Pemandangan itu tak luput dari pengamatan Clara, sekretaris pribadi CEO Alessandro Romano. Dari balik meja resepsionis di lantai eksekutif, ma

  • Cinta Terlarang, Anak Tersembunyi   Bab 4 - Nicholas Keponakan Jayden

    "Akhirnya kita sampai juga…" Celline menaruh kartu apartemen di atas meja kecil dekat pintu, sementara Seraphine langsung berlari kecil masuk ke ruang tamu."Wow, Mommyyy! Besarnya!" Sera memeluk bantal sofa dengan riang. "Kamar aku yang mana? Aku mau yang ada jendela besar biar bisa lihat bintang!"Celline terkekeh, melepas jaket tipisnya. "Sabar, sayang. Kita beresin dulu koper-kopernya, baru pilih kamar. Bastian juga harus pilih.""Aku tidak masalah, Mom." Bastian menurunkan koper kecilnya ke sudut ruangan, ekspresinya tetap datar. "Asal bersama Mommy, aku tidur di mana saja.""No... Kam jangan begitu sayang, kamu juga harus punya kamar nyaman juga," Celline mengusap kepala putranya. Hatinya bergetar setiap kali melihat sifat dewasa si kembar, meski mereka baru berusia lima tahun.Seraphine menyusul ibunya, wajahnya sumringah. "Mommy nanti kita boleh hias kamar tidak? Aku mau tempel gambar unicorn!""Tentu saja boleh," Celline mencubit gemas pipi anaknya. "Tapi hiasnya pelan-pelan,

  • Cinta Terlarang, Anak Tersembunyi   Bab 3 - Pertemuan di Bandara

    "Mommy berangkat kerja dulu, sayang." Celline menunduk memberi kecupan di kening Seraphine dan Sebastian setelah mereka turun dari mobil.Seraphine melambaikan tangan sambil tersenyum ceria. "Bye-bye Mommy! Jangan lupa nanti makan siang bersama ya!"Sebastian hanya mengangguk singkat, ekspresi wajahnya tetap serius seperti biasa. "Jangan telat Mom."Celline tersenyum samar, menatap kedua buah hatinya yang berlari masuk ke gerbang Scuola dell’Infanzia Arcobaleno, taman kanak-kanak penuh warna yang selalu riuh oleh suara tawa anak-anak. Begitu melihat mereka menghilang ke dalam kelas, Celline menarik napas panjang. Perjuangan hari ini baru saja dimulai. Ia pun melanjutkan perjalanan ke kantor."Selamat pagi, Signora Celline." Resepsionis menyapa ramah begitu ia masuk ke gedung megah Lucarelli Moda S.p.A."Selamat pagi." Celline mengangguk sambil tetap tersenyum sopan.Lucarelli Moda S.p.A. adalah salah satu perusahaan mode terbesar di Italia. Didirikan puluhan tahun lalu, perusahaan ini

  • Cinta Terlarang, Anak Tersembunyi   Bab 2 - Tian, Dimana Daddy Kita?

    Enam Tahun KemudianMilan - ItalySuasana pagi di taman kanak-kanak itu begitu riuh. Anak-anak berlarian di halaman, beberapa asyik menggambar, ada pula yang sibuk memainkan balok warna-warni. Celline berdiri di tepi pagar, melambaikan tangan sambil tersenyum lembut. “Sera, Tian, Mommy pulang dulu ya. Main yang baik.” “Okay, Mommy!” jawab Sera sambil tersenyum lebar, dua kepang rambutnya bergoyang lucu. Sedangkan Bastian hanya mengangguk singkat, tatapan matanya yang tajam membuat beberapa orangtua lain sampai berbisik-bisik—karena mata itu bukan mata anak kecil biasa.Semula semua baik-baik saja. Sera asyik menggambar bunga di kertasnya, sementara Bastian duduk di sampingnya, merakit balok-balok tinggi. Namun suasana damai itu pecah ketika sekelompok anak yang dipimpin seorang bocah laki-laki bernama Luka datang menghampiri. Luka, bocah berambut pirang dengan gaya sok jagoan, menatap Sera dengan senyum mengejek.“Hahaha, lihat! Dia kan anak yang tidak punya Daddy!” Luka menunjuk Ser

  • Cinta Terlarang, Anak Tersembunyi   Bab 1 - Luka yang Terlarang

    Tubuh Celline bergetar pelan ketika bibir Jayden masih menempel di lehernya. Nafas mereka sama-sama memburu, bercampur dengan keringat yang mengalir. Seprai putih di bawah mereka kusut tak karuan, pakaian berserakan di lantai, seolah menyimpan rahasia yang tak boleh terungkap siapa pun.“Jay..” suara Celline lirih, nyaris tenggelam dalam desahan.Jayden tidak menjawab, hanya menarik pinggang Celline lebih erat. Sentuhan itu membuatnya sekali lagi kehilangan kendali. Waktu seakan berhenti ketika mereka hanyut dalam hasrat yang tak pernah berhasil mereka redam.Beberapa menit kemudian, keheningan menyelimuti ruangan. Hanya getaran ponsel yang mengalun di sana. Jayden meraih ponselnya yang bergetar di atas nakas. Wajahnya langsung berubah. Nama “Bella” terpampang jelas di layar.Jayden menghela napas berat. “Aku harus pergi.”Celline meraih lengannya, matanya berkaca-kaca. “Jangan sekarang. Tinggalah sedikit lebih lama, Jay.”Jayden menepis pelan tangan itu. “Bella mencariku. Kau tahu ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status