Home / Romansa / Cinta Terlarang, Anak Tersembunyi / Bab 3 - Pertemuan di Bandara

Share

Bab 3 - Pertemuan di Bandara

Author: Kayden Kim
last update Last Updated: 2025-09-12 20:49:26

"Mommy berangkat kerja dulu, sayang." Celline menunduk memberi kecupan di kening Seraphine dan Sebastian setelah mereka turun dari mobil.

Seraphine melambaikan tangan sambil tersenyum ceria. "Bye-bye Mommy! Jangan lupa nanti makan siang bersama ya!"

Sebastian hanya mengangguk singkat, ekspresi wajahnya tetap serius seperti biasa. "Jangan telat Mom."

Celline tersenyum samar, menatap kedua buah hatinya yang berlari masuk ke gerbang Scuola dell’Infanzia Arcobaleno, taman kanak-kanak penuh warna yang selalu riuh oleh suara tawa anak-anak. Begitu melihat mereka menghilang ke dalam kelas, Celline menarik napas panjang. Perjuangan hari ini baru saja dimulai. Ia pun melanjutkan perjalanan ke kantor.

"Selamat pagi, Signora Celline." Resepsionis menyapa ramah begitu ia masuk ke gedung megah Lucarelli Moda S.p.A.

"Selamat pagi." Celline mengangguk sambil tetap tersenyum sopan.

Lucarelli Moda S.p.A. adalah salah satu perusahaan mode terbesar di Italia. Didirikan puluhan tahun lalu, perusahaan ini terkenal dengan rancangan busana haute couture sekaligus lini ready-to-wear yang sukses menembus pasar internasional. Mereka memiliki kantor cabang di berbagai kota besar dunia, termasuk Paris, Milan, Tokyo, New York, dan Washington.

Begitu masuk ke ruangannya, Celline meletakkan tas kerja di kursi. Ia baru saja membuka laptop ketika telepon meja berdering.

"Signorina Celline, CEO memanggil Anda ke ruangannya," suara sekretaris terdengar formal.

"Baik, saya segera ke sana," jawab Celline.

Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Panggilan langsung dari CEO jarang sekali terjadi, apalagi untuk posisi junior manajer seperti dirinya. Ia pun segera bergegas ke ruangan CEO.

"Silakan duduk, Celline." Suara berat sang CEO, Signor Vittorio Lucarelli, mengisi ruangan megah penuh lukisan klasik dan aroma kopi Italia.

"Terimakasih. Tuan." Celline duduk sopan, menyembunyikan rasa gugupnya.

"Ada kabar penting. Minggu depan, kami akan mengirim Anda ke Washington. Cabang Lucarelli Moda USA, Inc sedang mengalami masalah operasional dan butuh tim kuat untuk menangani."

Mata Celline sedikit melebar. "Washington…?"

"Ya," sang CEO mengangguk mantap. "Anda akan bekerja di bawah Associate Director, Signor Inzaghi. Ia akan memimpin proyek ini, sementara Anda sebagai junior manager akan membantu dalam divisi operasional dan pemasaran. Kami butuh orang yang cekatan, dan Anda memenuhi kriteria."

Celline menelan ludah, mencoba menjaga ekspresi profesional. "Tentu saja saya bersyukur atas kesempatan ini, Signor. Hanya saja… ini cukup mendadak."

"Saya tahu," balas Vittorio. "Tapi karir Anda akan maju pesat jika berhasil. Lucarelli butuh Anda."

"Sial…" Celline bergumam pelan begitu keluar dari ruangan CEO.

Langkahnya terasa berat kembali ke meja kerja. Washington… kota yang dulu menjadi saksi luka hidupnya. Kota tempat Jayden tinggal. Bagaimana jika takdir mempertemukan mereka? Bagaimana jika Sebastian dan Seraphine bertemu ayah mereka?

Celline memijit pelipis. Pekerjaan ini adalah impiannya, buah dari kerja keras bertahun-tahun. Ia tidak bisa menolak, apalagi dengan statusnya sebagai ibu tunggal yang harus menghidupi dua anak. Ia harus menabung banyak demi masa depan mereka.

"Aku harus kuat," bisiknya pada diri sendiri.

***

"Mommy datang!" Seraphine berseru riang ketika melihat Celline masuk ke kantin sekolah.

"Mommy!" Sebastian ikut bangkit, meski ekspresinya tetap datar. Namun tangannya langsung menggenggam jemari Celline erat-erat.

"Mommy kangen sekali," Celline tersenyum, duduk di meja kecil tempat kedua anaknya biasa makan. Kotak bekal yang disiapkan pagi tadi sudah setengah habis.

"Akhirnya Mommy bisa datang siang ini!" seru Seraphine, matanya berbinar.

"Ya," Celline mengangguk sambil membelai rambut putrinya. "Karena Mommy ada sesuatu yang harus dibicarakan dengan kalian."

"Apa itu?" Sebastian menatap lurus, seolah tahu ada sesuatu yang serius.

Celline menarik napas panjang. "Minggu depan… kita harus pindah ke Washington."

"Apa?!" Seraphine hampir menjatuhkan sendoknya. "Washington? Yang jauh itu? Naik pesawat beneran?"

"Iya, sayang." Celline tersenyum kecil. "Mommy ditugaskan kerja di sana. Jadi kita harus ikut pindah sementara."

"Yeay! Naik pesawat! Aku belum pernah!" Seraphine langsung melompat kecil di kursinya, penuh semangat.

Celline ikut tertawa kecil melihat antusiasme anak gadisnya.

"Tapi…" Seraphine mendadak murung. "Kami harus berpisah sama Luka. Luka sahabatku. Aku tidak mau…"

Celline meraih tangannya. "Kamu masih bisa berteman dengan Luka lewat video call, sayang. Dan di Washington nanti kamu juga bisa dapat teman baru."

Seraphine mengangguk pelan, meski jelas masih berat.

Sementara itu, Sebastian hanya bersuara datar. "Aku tidak peduli. Selama ada Mommy dan Sera, di manapun sama saja."

Celline menatap putranya dengan hati hangat. Anak laki-laki itu memang jarang menunjukkan emosi, tapi kalimatnya selalu menusuk dalam.

Waktu makan siang terasa singkat. Setelahnya, Celline harus kembali ke kantor, sementara si kembar melanjutkan aktivitas di sekolah hingga sore.

Di perjalanan kembali, hati Celline kembali dicekam dilema. Senyum Sera yang bercampur air mata, tatapan datar tapi tegas Sebastian, dan bayangan kota Washington yang menyimpan masa lalunya.

"Aku harus melindungi mereka. Apapun yang terjadi." Celline berbisik, memegang erat kemudi mobil.

Langkah menuju Washington sudah di depan mata. Dan ia tahu, perjalanan ini akan menguji segalanya, profesionalismenya, keteguhannya sebagai ibu, sekaligus luka yang belum sepenuhnya sembuh.

***

Seminggu berlalu dengan cepat.

Segala persiapan sudah ia lakukan dengan baik. Tiket, koper, bahkan mentalnya sudah ditata rapi demi perjalanan kali ini. Dan kini, Celline berdiri di tengah riuhnya Washington Dulles International Airport, bersama atasannya Lorenzo Inzaghi dan kedua anak kembarnya.

Ia baru saja menarik koper hitamnya dari conveyor belt, dibantu oleh Inzaghi yang dengan santai mengangkat koper itu seolah tanpa beban.

“Terima Kasih” ucap Celline dengan senyum tipis.

Pria itu hanya mengangguk kecil. “Tidak masalah. Kau membawa banyak barang untuk anak-anak, wajar saja agak repot.”

Celline hendak menyalakan ponselnya, namun tiba-tiba tubuhnya menegang. Matanya membelalak, nafasnya tercekat. Orang yang paling tidak ingin ia temui, yang paling ingin ia hindari, kini ada di hadapannya.

Jayden.

Ia berdiri tak jauh di depan sana, baru saja keluar dari gate kedatangan internasional. Dari tampangnya, ia jelas baru turun dari penerbangan Jepang. Rambutnya masih sedikit berantakan, setelan hitam melekat sempurna, dan kaca mata yang dikenakan membuatnya terlihat lebih dingin sekaligus... berbahaya.

“Mommy?” suara lembut Seraphine memecah lamunannya.

Celline segera sadar. Dengan cepat, ia menarik Sera ke belakang tubuhnya. Tangan satunya menggenggam Bastian, menyembunyikannya di balik koper besar yang masih digenggam Inzaghi.

Inzaghi menoleh heran. “Che succede? Ada apa, Celline?” alisnya berkerut, jelas bingung melihat kepanikan yang mendadak.

“Tidak... tidak apa-apa.” Celline berusaha setenang mungkin, meski suaranya gemetar. “Kau... jangan bergerak dulu.”

Inzaghi semakin bingung. Matanya menyapu sekitar, namun tidak menemukan sesuatu yang aneh. Sementara itu, Sera yang polos hanya menatap wajah ibunya dengan penuh tanda tanya.

“Mommy, kenapa sembunyi-sembunyi? Kita main petak umpet, ya?” tanya gadis mungil itu polos, membuat Celline makin panik.

“Sssh... diam dulu, sayang.” Celline menunduk, memeluk putrinya erat.

Namun lain dengan Bastian. Bocah cerdas itu mengikuti arah pandang ibunya. Ia melihat sosok pria tampan berkacamata yang sedang berjalan perlahan, diikuti dua asistennya.

Tunggu... kalau Mommy takut, berarti pria itu pasti pria jahat, pikir Bastian. Tangannya mengepal kecil. Nanti kalau aku bertemu dengannya, aku harus menjauh. Aku harus melindungi Mommy dan Sera.

Celline menelan ludah. Matanya tidak berani berkedip, khawatir Jayden menoleh ke arahnya. Hanya jarak belasan meter memisahkan mereka. Ia bisa melihat jelas garis rahang pria itu, tatapannya yang tajam meski dari jauh.

Dan benar saja. Jayden mulai menoleh.

Jantung Celline hampir berhenti berdetak. Tolong... jangan lihat aku... jangan lihat aku...

Namun tepat di detik itu, salah satu asisten Jayden menepuk tangannya.

“Tuan, mobil sudah menunggu di luar. Kita sebaiknya segera bergerak.”

Jayden menghentikan langkahnya. Alisnya berkerut, sempat menoleh sedikit ke arah lorong di mana Celline bersembunyi. Tapi kemudian, ia kembali menoleh ke asistennya.

“Baik. Ayo.” Suaranya datar, tegas.

Celline menahan napas. Ia bisa merasakan keringat dingin merembes di punggungnya. Nyaris. Nyaris saja Jayden melihat dirinya.

Inzaghi, yang memperhatikan gelagat aneh itu, mencondongkan tubuh. Suaranya rendah, seolah tidak ingin anak-anak mendengar.

“Celline... siapa pria itu? Kau tampak... takut sekali.”

Celline cepat-cepat menggeleng. “Tidak ada siapa-siapa. Aku hanya... hanya merasa pusing karena perjalanan panjang.”

Inzaghi  memandangnya lama, jelas tidak percaya. Tapi ia memilih tidak menekan lebih jauh. “Oke. Kalau begitu ayo kita keluar. Anak-anak butuh istirahat.”

“Ya... ba-ik,” jawab Celline terbata. Ia menggandeng erat tangan Seraphine, sementara Bastian masih setengah bersembunyi di balik koper.

Di kejauhan, Jayden melangkah menjauh, menuju pintu keluar. Namun sebelum benar-benar lenyap dari pandangan, ia sempat berhenti sebentar, seperti merasakan sesuatu yang tidak biasa. Matanya menyapu sekilas ke arah lorong, namun lagi-lagi asistennya mengajaknya bicara, membuat ia mengurungkan niat untuk menoleh lebih lama.

Celline kembali bisa bernapas lega. Tapi perasaan was-was itu belum hilang. Seolah-olah, takdir memperingatkannya bahwa cepat atau lambat, pertemuan dengan Jayden tak bisa ia hindari.

“Mommy...” suara kecil Bastian memanggil.

Celline menoleh. “Ya, sayang?”

Bastian menatapnya lekat-lekat, lalu berbisik, “Kalau pria berkacamata tadi orang jahat... jangan takut. Aku akan jaga Mommy dan Sera.”

Mata Celline berkaca-kaca. Ia segera memeluk putranya erat, berusaha menutupi rasa gentar di dadanya dengan senyum yang dipaksakan.

“Terima kasih, Tian. Mommy punya anak hebat.”

Inzaghi yang berdiri tak jauh, hanya diam memperhatikan. Dalam hatinya, ia makin penasaran, siapa pria misterius yang membuat Celline begitu ketakutan?

Namun satu hal pasti: suasana perjalanan ini tidak akan semulus yang ia bayangkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Terlarang, Anak Tersembunyi   Bab 5 - Celline Melihat Jayden

    Tiga hari berlalu sejak Celline resmi mulai bekerja di Lucarelli Moda USA, Inc. Kehadirannya cepat mencuri perhatian. Setiap kali ia berjalan melewati lorong kantor dengan blouse putih sederhana dan rok pensil hitam, beberapa staf pria spontan menoleh. Ada yang berbisik, ada pula yang terang-terangan tersenyum ramah.Namun, bukan hanya kecantikannya yang mencuri perhatian. Cara Celline bekerja dengan rapi, cepat, dan penuh detail juga membuat rekan-rekannya kagum. Ia tak pernah keberatan lembur, selalu siap menanggapi pertanyaan, bahkan mau membantu junior yang kesulitan menyusun laporan.“Miss Celline, terima kasih sudah bantu saya kemarin,” ucap seorang staf pria di divisi marketing saat berpapasan di pantry.Celline hanya tersenyum hangat. “Sama-sama. Semoga report kamu sudah rapi ya?”“Iya, berkat masukanmu Miss.” Staf itu tampak malu-malu.Pemandangan itu tak luput dari pengamatan Clara, sekretaris pribadi CEO Alessandro Romano. Dari balik meja resepsionis di lantai eksekutif, ma

  • Cinta Terlarang, Anak Tersembunyi   Bab 4 - Nicholas Keponakan Jayden

    "Akhirnya kita sampai juga…" Celline menaruh kartu apartemen di atas meja kecil dekat pintu, sementara Seraphine langsung berlari kecil masuk ke ruang tamu."Wow, Mommyyy! Besarnya!" Sera memeluk bantal sofa dengan riang. "Kamar aku yang mana? Aku mau yang ada jendela besar biar bisa lihat bintang!"Celline terkekeh, melepas jaket tipisnya. "Sabar, sayang. Kita beresin dulu koper-kopernya, baru pilih kamar. Bastian juga harus pilih.""Aku tidak masalah, Mom." Bastian menurunkan koper kecilnya ke sudut ruangan, ekspresinya tetap datar. "Asal bersama Mommy, aku tidur di mana saja.""No... Kam jangan begitu sayang, kamu juga harus punya kamar nyaman juga," Celline mengusap kepala putranya. Hatinya bergetar setiap kali melihat sifat dewasa si kembar, meski mereka baru berusia lima tahun.Seraphine menyusul ibunya, wajahnya sumringah. "Mommy nanti kita boleh hias kamar tidak? Aku mau tempel gambar unicorn!""Tentu saja boleh," Celline mencubit gemas pipi anaknya. "Tapi hiasnya pelan-pelan,

  • Cinta Terlarang, Anak Tersembunyi   Bab 3 - Pertemuan di Bandara

    "Mommy berangkat kerja dulu, sayang." Celline menunduk memberi kecupan di kening Seraphine dan Sebastian setelah mereka turun dari mobil.Seraphine melambaikan tangan sambil tersenyum ceria. "Bye-bye Mommy! Jangan lupa nanti makan siang bersama ya!"Sebastian hanya mengangguk singkat, ekspresi wajahnya tetap serius seperti biasa. "Jangan telat Mom."Celline tersenyum samar, menatap kedua buah hatinya yang berlari masuk ke gerbang Scuola dell’Infanzia Arcobaleno, taman kanak-kanak penuh warna yang selalu riuh oleh suara tawa anak-anak. Begitu melihat mereka menghilang ke dalam kelas, Celline menarik napas panjang. Perjuangan hari ini baru saja dimulai. Ia pun melanjutkan perjalanan ke kantor."Selamat pagi, Signora Celline." Resepsionis menyapa ramah begitu ia masuk ke gedung megah Lucarelli Moda S.p.A."Selamat pagi." Celline mengangguk sambil tetap tersenyum sopan.Lucarelli Moda S.p.A. adalah salah satu perusahaan mode terbesar di Italia. Didirikan puluhan tahun lalu, perusahaan ini

  • Cinta Terlarang, Anak Tersembunyi   Bab 2 - Tian, Dimana Daddy Kita?

    Enam Tahun KemudianMilan - ItalySuasana pagi di taman kanak-kanak itu begitu riuh. Anak-anak berlarian di halaman, beberapa asyik menggambar, ada pula yang sibuk memainkan balok warna-warni. Celline berdiri di tepi pagar, melambaikan tangan sambil tersenyum lembut. “Sera, Tian, Mommy pulang dulu ya. Main yang baik.” “Okay, Mommy!” jawab Sera sambil tersenyum lebar, dua kepang rambutnya bergoyang lucu. Sedangkan Bastian hanya mengangguk singkat, tatapan matanya yang tajam membuat beberapa orangtua lain sampai berbisik-bisik—karena mata itu bukan mata anak kecil biasa.Semula semua baik-baik saja. Sera asyik menggambar bunga di kertasnya, sementara Bastian duduk di sampingnya, merakit balok-balok tinggi. Namun suasana damai itu pecah ketika sekelompok anak yang dipimpin seorang bocah laki-laki bernama Luka datang menghampiri. Luka, bocah berambut pirang dengan gaya sok jagoan, menatap Sera dengan senyum mengejek.“Hahaha, lihat! Dia kan anak yang tidak punya Daddy!” Luka menunjuk Ser

  • Cinta Terlarang, Anak Tersembunyi   Bab 1 - Luka yang Terlarang

    Tubuh Celline bergetar pelan ketika bibir Jayden masih menempel di lehernya. Nafas mereka sama-sama memburu, bercampur dengan keringat yang mengalir. Seprai putih di bawah mereka kusut tak karuan, pakaian berserakan di lantai, seolah menyimpan rahasia yang tak boleh terungkap siapa pun.“Jay..” suara Celline lirih, nyaris tenggelam dalam desahan.Jayden tidak menjawab, hanya menarik pinggang Celline lebih erat. Sentuhan itu membuatnya sekali lagi kehilangan kendali. Waktu seakan berhenti ketika mereka hanyut dalam hasrat yang tak pernah berhasil mereka redam.Beberapa menit kemudian, keheningan menyelimuti ruangan. Hanya getaran ponsel yang mengalun di sana. Jayden meraih ponselnya yang bergetar di atas nakas. Wajahnya langsung berubah. Nama “Bella” terpampang jelas di layar.Jayden menghela napas berat. “Aku harus pergi.”Celline meraih lengannya, matanya berkaca-kaca. “Jangan sekarang. Tinggalah sedikit lebih lama, Jay.”Jayden menepis pelan tangan itu. “Bella mencariku. Kau tahu ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status