Masuk"Mommy berangkat kerja dulu, sayang." Celline menunduk memberi kecupan di kening Seraphine dan Sebastian setelah mereka turun dari mobil.
Seraphine melambaikan tangan sambil tersenyum ceria. "Bye-bye Mommy! Jangan lupa nanti makan siang bersama ya!"
Sebastian hanya mengangguk singkat, ekspresi wajahnya tetap serius seperti biasa. "Jangan telat Mom."
Celline tersenyum samar, menatap kedua buah hatinya yang berlari masuk ke gerbang Scuola dell’Infanzia Arcobaleno, taman kanak-kanak penuh warna yang selalu riuh oleh suara tawa anak-anak. Begitu melihat mereka menghilang ke dalam kelas, Celline menarik napas panjang. Perjuangan hari ini baru saja dimulai. Ia pun melanjutkan perjalanan ke kantor.
"Selamat pagi, Signora Celline." Resepsionis menyapa ramah begitu ia masuk ke gedung megah Lucarelli Moda S.p.A.
"Selamat pagi." Celline mengangguk sambil tetap tersenyum sopan.
Lucarelli Moda S.p.A. adalah salah satu perusahaan mode terbesar di Italia. Didirikan puluhan tahun lalu, perusahaan ini terkenal dengan rancangan busana haute couture sekaligus lini ready-to-wear yang sukses menembus pasar internasional. Mereka memiliki kantor cabang di berbagai kota besar dunia, termasuk Paris, Milan, Tokyo, New York, dan Washington.
Begitu masuk ke ruangannya, Celline meletakkan tas kerja di kursi. Ia baru saja membuka laptop ketika telepon meja berdering.
"Signorina Celline, CEO memanggil Anda ke ruangannya," suara sekretaris terdengar formal.
"Baik, saya segera ke sana," jawab Celline.
Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Panggilan langsung dari CEO jarang sekali terjadi, apalagi untuk posisi junior manajer seperti dirinya. Ia pun segera bergegas ke ruangan CEO.
"Silakan duduk, Celline." Suara berat sang CEO, Signor Vittorio Lucarelli, mengisi ruangan megah penuh lukisan klasik dan aroma kopi Italia.
"Terimakasih. Tuan." Celline duduk sopan, menyembunyikan rasa gugupnya.
"Ada kabar penting. Minggu depan, kami akan mengirim Anda ke Washington. Cabang Lucarelli Moda USA, Inc sedang mengalami masalah operasional dan butuh tim kuat untuk menangani."
Mata Celline sedikit melebar. "Washington…?"
"Ya," sang CEO mengangguk mantap. "Anda akan bekerja di bawah Associate Director, Signor Inzaghi. Ia akan memimpin proyek ini, sementara Anda sebagai junior manager akan membantu dalam divisi operasional dan pemasaran. Kami butuh orang yang cekatan, dan Anda memenuhi kriteria."
Celline menelan ludah, mencoba menjaga ekspresi profesional. "Tentu saja saya bersyukur atas kesempatan ini, Signor. Hanya saja… ini cukup mendadak."
"Saya tahu," balas Vittorio. "Tapi karir Anda akan maju pesat jika berhasil. Lucarelli butuh Anda."
"Sial…" Celline bergumam pelan begitu keluar dari ruangan CEO.
Langkahnya terasa berat kembali ke meja kerja. Washington… kota yang dulu menjadi saksi luka hidupnya. Kota tempat Jayden tinggal. Bagaimana jika takdir mempertemukan mereka? Bagaimana jika Sebastian dan Seraphine bertemu ayah mereka?
Celline memijit pelipis. Pekerjaan ini adalah impiannya, buah dari kerja keras bertahun-tahun. Ia tidak bisa menolak, apalagi dengan statusnya sebagai ibu tunggal yang harus menghidupi dua anak. Ia harus menabung banyak demi masa depan mereka.
"Aku harus kuat," bisiknya pada diri sendiri.
***
"Mommy datang!" Seraphine berseru riang ketika melihat Celline masuk ke kantin sekolah.
"Mommy!" Sebastian ikut bangkit, meski ekspresinya tetap datar. Namun tangannya langsung menggenggam jemari Celline erat-erat.
"Mommy kangen sekali," Celline tersenyum, duduk di meja kecil tempat kedua anaknya biasa makan. Kotak bekal yang disiapkan pagi tadi sudah setengah habis.
"Akhirnya Mommy bisa datang siang ini!" seru Seraphine, matanya berbinar.
"Ya," Celline mengangguk sambil membelai rambut putrinya. "Karena Mommy ada sesuatu yang harus dibicarakan dengan kalian."
"Apa itu?" Sebastian menatap lurus, seolah tahu ada sesuatu yang serius.
Celline menarik napas panjang. "Minggu depan… kita harus pindah ke Washington."
"Apa?!" Seraphine hampir menjatuhkan sendoknya. "Washington? Yang jauh itu? Naik pesawat beneran?"
"Iya, sayang." Celline tersenyum kecil. "Mommy ditugaskan kerja di sana. Jadi kita harus ikut pindah sementara."
"Yeay! Naik pesawat! Aku belum pernah!" Seraphine langsung melompat kecil di kursinya, penuh semangat.
Celline ikut tertawa kecil melihat antusiasme anak gadisnya.
"Tapi…" Seraphine mendadak murung. "Kami harus berpisah sama Luka. Luka sahabatku. Aku tidak mau…"
Celline meraih tangannya. "Kamu masih bisa berteman dengan Luka lewat video call, sayang. Dan di Washington nanti kamu juga bisa dapat teman baru."
Seraphine mengangguk pelan, meski jelas masih berat.
Sementara itu, Sebastian hanya bersuara datar. "Aku tidak peduli. Selama ada Mommy dan Sera, di manapun sama saja."
Celline menatap putranya dengan hati hangat. Anak laki-laki itu memang jarang menunjukkan emosi, tapi kalimatnya selalu menusuk dalam.
Waktu makan siang terasa singkat. Setelahnya, Celline harus kembali ke kantor, sementara si kembar melanjutkan aktivitas di sekolah hingga sore.
Di perjalanan kembali, hati Celline kembali dicekam dilema. Senyum Sera yang bercampur air mata, tatapan datar tapi tegas Sebastian, dan bayangan kota Washington yang menyimpan masa lalunya.
"Aku harus melindungi mereka. Apapun yang terjadi." Celline berbisik, memegang erat kemudi mobil.
Langkah menuju Washington sudah di depan mata. Dan ia tahu, perjalanan ini akan menguji segalanya, profesionalismenya, keteguhannya sebagai ibu, sekaligus luka yang belum sepenuhnya sembuh.
***
Seminggu berlalu dengan cepat.
Segala persiapan sudah ia lakukan dengan baik. Tiket, koper, bahkan mentalnya sudah ditata rapi demi perjalanan kali ini. Dan kini, Celline berdiri di tengah riuhnya Washington Dulles International Airport, bersama atasannya Lorenzo Inzaghi dan kedua anak kembarnya.
Ia baru saja menarik koper hitamnya dari conveyor belt, dibantu oleh Inzaghi yang dengan santai mengangkat koper itu seolah tanpa beban.
“Terima Kasih” ucap Celline dengan senyum tipis.
Pria itu hanya mengangguk kecil. “Tidak masalah. Kau membawa banyak barang untuk anak-anak, wajar saja agak repot.”
Celline hendak menyalakan ponselnya, namun tiba-tiba tubuhnya menegang. Matanya membelalak, nafasnya tercekat. Orang yang paling tidak ingin ia temui, yang paling ingin ia hindari, kini ada di hadapannya.
Jayden.
Ia berdiri tak jauh di depan sana, baru saja keluar dari gate kedatangan internasional. Dari tampangnya, ia jelas baru turun dari penerbangan Jepang. Rambutnya masih sedikit berantakan, setelan hitam melekat sempurna, dan kaca mata yang dikenakan membuatnya terlihat lebih dingin sekaligus... berbahaya.
“Mommy?” suara lembut Seraphine memecah lamunannya.
Celline segera sadar. Dengan cepat, ia menarik Sera ke belakang tubuhnya. Tangan satunya menggenggam Bastian, menyembunyikannya di balik koper besar yang masih digenggam Inzaghi.
Inzaghi menoleh heran. “Che succede? Ada apa, Celline?” alisnya berkerut, jelas bingung melihat kepanikan yang mendadak.
“Tidak... tidak apa-apa.” Celline berusaha setenang mungkin, meski suaranya gemetar. “Kau... jangan bergerak dulu.”
Inzaghi semakin bingung. Matanya menyapu sekitar, namun tidak menemukan sesuatu yang aneh. Sementara itu, Sera yang polos hanya menatap wajah ibunya dengan penuh tanda tanya.
“Mommy, kenapa sembunyi-sembunyi? Kita main petak umpet, ya?” tanya gadis mungil itu polos, membuat Celline makin panik.
“Sssh... diam dulu, sayang.” Celline menunduk, memeluk putrinya erat.
Namun lain dengan Bastian. Bocah cerdas itu mengikuti arah pandang ibunya. Ia melihat sosok pria tampan berkacamata yang sedang berjalan perlahan, diikuti dua asistennya.
Tunggu... kalau Mommy takut, berarti pria itu pasti pria jahat, pikir Bastian. Tangannya mengepal kecil. Nanti kalau aku bertemu dengannya, aku harus menjauh. Aku harus melindungi Mommy dan Sera.
Celline menelan ludah. Matanya tidak berani berkedip, khawatir Jayden menoleh ke arahnya. Hanya jarak belasan meter memisahkan mereka. Ia bisa melihat jelas garis rahang pria itu, tatapannya yang tajam meski dari jauh.
Dan benar saja. Jayden mulai menoleh.
Jantung Celline hampir berhenti berdetak. Tolong... jangan lihat aku... jangan lihat aku...
Namun tepat di detik itu, salah satu asisten Jayden menepuk tangannya.
“Tuan, mobil sudah menunggu di luar. Kita sebaiknya segera bergerak.”Jayden menghentikan langkahnya. Alisnya berkerut, sempat menoleh sedikit ke arah lorong di mana Celline bersembunyi. Tapi kemudian, ia kembali menoleh ke asistennya.
“Baik. Ayo.” Suaranya datar, tegas.
Celline menahan napas. Ia bisa merasakan keringat dingin merembes di punggungnya. Nyaris. Nyaris saja Jayden melihat dirinya.
Inzaghi, yang memperhatikan gelagat aneh itu, mencondongkan tubuh. Suaranya rendah, seolah tidak ingin anak-anak mendengar.
“Celline... siapa pria itu? Kau tampak... takut sekali.”Celline cepat-cepat menggeleng. “Tidak ada siapa-siapa. Aku hanya... hanya merasa pusing karena perjalanan panjang.”
Inzaghi memandangnya lama, jelas tidak percaya. Tapi ia memilih tidak menekan lebih jauh. “Oke. Kalau begitu ayo kita keluar. Anak-anak butuh istirahat.”
“Ya... ba-ik,” jawab Celline terbata. Ia menggandeng erat tangan Seraphine, sementara Bastian masih setengah bersembunyi di balik koper.
Di kejauhan, Jayden melangkah menjauh, menuju pintu keluar. Namun sebelum benar-benar lenyap dari pandangan, ia sempat berhenti sebentar, seperti merasakan sesuatu yang tidak biasa. Matanya menyapu sekilas ke arah lorong, namun lagi-lagi asistennya mengajaknya bicara, membuat ia mengurungkan niat untuk menoleh lebih lama.
Celline kembali bisa bernapas lega. Tapi perasaan was-was itu belum hilang. Seolah-olah, takdir memperingatkannya bahwa cepat atau lambat, pertemuan dengan Jayden tak bisa ia hindari.
“Mommy...” suara kecil Bastian memanggil.
Celline menoleh. “Ya, sayang?”
Bastian menatapnya lekat-lekat, lalu berbisik, “Kalau pria berkacamata tadi orang jahat... jangan takut. Aku akan jaga Mommy dan Sera.”
Mata Celline berkaca-kaca. Ia segera memeluk putranya erat, berusaha menutupi rasa gentar di dadanya dengan senyum yang dipaksakan.
“Terima kasih, Tian. Mommy punya anak hebat.”Inzaghi yang berdiri tak jauh, hanya diam memperhatikan. Dalam hatinya, ia makin penasaran, siapa pria misterius yang membuat Celline begitu ketakutan?
Namun satu hal pasti: suasana perjalanan ini tidak akan semulus yang ia bayangkan.
Tiga hari setelah dirawat, Celline akhirnya diperbolehkan pulang. Meski tubuhnya masih terasa lemah, ia senang bisa kembali ke mansion bersama keluarga. Udara pagi terasa segar ketika mobil memasuki gerbang mansion. Dari kejauhan, ia bisa melihat para pelayan, Dominic, dan Melanie berdiri di teras seolah sedang menyambut seseorang yang kembali dari perjalanan jauh.Begitu ia turun dari mobil, Sera langsung berlari menghampiri dengan wajah cerah. “Mommy! Mommy harus hati-hati. Mommy sekarang bawa baby, tidak boleh capek-capek!” katanya sambil memegangi lengan Celline seolah sedang mengawal seorang pasien khusus.“Pelan-pelan, Sera. Mommy masih bisa berjalan sendiri,” jawab Celline sambil tersenyum kecil.Di sisi lain, Bastian hanya menyelipkan kedua tangan ke saku celananya, memandang adiknya sekilas tanpa antusias berlebih. “Sera heboh sekali dari pagi,” gumamnya pelan.Melanie memeluk Celline penuh kehangatan. “Selamat datang kembali, sayang. Syukurlah kamu sudah jauh lebih baik. Kam
Koridor MedStar Washington Hospital Center dipenuhi langkah tergesa Jayden. Napasnya kacau, dadanya naik turun—antara marah, cemas, dan rasa bersalah yang menghantam tanpa ampun. Bajunya belum sempat dirapikan, dasi yang tadi pagi ia kenakan kini terlepas dan terjuntai begitu saja.Ia baru tiba setelah dua jam terjebak kemacetan parah akibat kecelakaan beruntun di jalan raya. Selama perjalanan, setiap detik terasa seperti siksaan. Berkali-kali ia memukul setir mobil, berusaha menahan kepanikan yang semakin menyesakkan dada.Inzaghi hanya sempat mengirim pesan singkat:“Celline pingsan. Kami dalam perjalanan ke RS. Tolong segera menyusul, Sir.”Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tidak ada detail. Itu membuat Jayden hampir kehilangan kendali sepanjang jalan.Saat mencapai nurse station, ia langsung bertanya dengan nada tegang, “Celline Carter, ruang berapa?”Perawat menunjuk ke kanan. “Ruang perawatan VIP 3, Sir.”Jayden tidak menunggu penjelasan tambahan. Ia langsung berlari.Pintu rua
Pagi itu Lucarelli tampak sama seperti biasanya—padat, rapi, dan sibuk. Namun bagi Celline, ada sesuatu yang terasa ganjil. Sejak semalam ia sulit tidur, bukan karena pekerjaan, melainkan karena perasaan tidak enak yang tidak dapat didefinisikan. Ia mengabaikannya, berusaha fokus pada laporan dan persiapan campaign baru yang harus ia kirimkan sebelum sore.Menjelang siang, ketukan pelan terdengar dari pintu ruangannya.“Ma’am, ada pesanan makanan untuk Anda. UberEats,” ujar salah satu office boy sambil setengah mengintip ke dalam.Celline mendongak dengan kening berkerut.“Aku tidak merasa memesan apa pun.”“Kurirnya bilang ini sudah dibayar lunas, Ma’am. Atas nama Anda.”Sekilas, pikiran Celline langsung tertuju pada Jayden. Tetapi ia menggeleng cepat. Jayden bukan tipe yang memesan makanan diam-diam. Kalau ingin makan siang bersama, pria itu akan muncul langsung di mejanya dan menyeretnya keluar tanpa kompromi.“Baik, taruh saja di sini,” ujar Celline akhirnya, meski hatinya ragu.K
Penerbangan dari Maldives mendarat mulus di Washington. Udara sore terasa lebih sejuk dibandingkan beberapa minggu lalu ketika mereka berangkat. Begitu keluar dari pintu kedatangan, Celline merapatkan cardigan tipisnya, sementara Jayden menarik koper sambil sesekali melirik istrinya dengan senyum kecil yang tidak pernah bisa ia sembunyikan sejak hari pernikahan.Perjalanan honeymoon mereka memang singkat mengingat pekerjaan di kantor masing-masing masih menumpuk, tetapi cukup untuk membuat Jayden semakin lengket seperti lem. Hampir setiap malam ia selalu mencari alasan untuk tidak membiarkan Celline jauh darinya. Untung saja Celline menikmati waktunya—meskipun beberapa kali ia harus menahan malu karena tingkah laku suaminya yang tidak mengenal tempat dan waktu.Mobil keluarga Carter sudah menunggu di depan terminal bandara. Leon menyambut keduanya dengan sopan. “Welcome back, Sir, Ma’am.”Celline tersenyum. “Terima kasih, Leon.”Jayden merangkul pinggang Celline, seolah masih belum bi
Warning! Harap bijak ya. Matahari Maldives sudah terbenam ketika Celline akhirnya melewati pintu kamar hotel mewah mereka, tubuhnya lemas setelah perjalanan panjang dari Washington. Koper-koper masih berantakan di lantai, tapi dia tak punya tenaga lagi untuk mengurusnya. Yang dia inginkan hanyalah mandi air panas dan tidur—setidaknya, begitu pikirannya sebelum pintu kamar terbuka dengan keras, diikuti oleh langkah kaki Jayden yang penuh keyakinan.Jayden masuk seperti badai, matanya langsung membara saat melihat Celline berdiri di tengah ruangan, kemeja tidur sutra tipisnya menempel pada kulit yang masih berkeringat. Dia tak memberi kesempatan untuk bernapas. Dalam sekejap, tangannya sudah mengait pinggang Celline, menariknya ke tubuhnya yang keras dan panas."Sudah lama aku menunggu ini," suaranya serak, bibirnya langsung menempel di leher Celline, giginya menggigit kulit sensitif di sana sampai wanita itu mengerang.Celline mencoba melawan, tapi tubuhnya berkhianat. Kelelahan seket
Seminggu berlalu sejak malam penuh haru di taman Mansion keluarga Carter. Hari itu, matahari bersinar cerah seolah ikut merayakan kebahagiaan yang akhirnya datang setelah sekian lama ditunggu. Hari di mana Jayden Carter dan Celline Anderson resmi disatukan dalam ikatan suci pernikahan.Pernikahan diadakan di ballroom mewah milik keluarga Carter — tempat yang elegan, penuh bunga putih dan sentuhan keemasan. Dari chandelier megah yang bergemerlap hingga untaian bunga mawar yang menggantung lembut di setiap sudut ruangan, semua tampak sempurna.Awalnya, Celline sempat ingin pernikahan yang sederhana — hanya keluarga dan sahabat dekat. Tapi Melanie, yang kini sepenuhnya menerima dan mencintai menantunya itu, menolak dengan tegas. “Tidak, Sayang,” katanya lembut tapi tegas saat membahas rencana pernikahan. “Kau sudah terlalu lama menanggung kesedihan. Sekarang saatnya dunia melihat kebahagiaanmu.”Dan kini, di tengah dekorasi yang megah dan tamu undangan yang memenuhi ruangan, Celline ben







