LOGINRuang rapat lantai paling atas Carter Global Group dipenuhi suara kertas dibalik dan laptop yang terbuka. Jayden duduk di ujung meja panjang, jas hitamnya terlipat rapi di kursi, menyisakan kemeja putih yang digulung sampai siku. Wajahnya serius, tatapannya tajam meneliti angka-angka di layar.
“Angka penjualan untuk kuartal kedua cukup stabil, tapi tidak ada lonjakan signifikan,” ucap salah satu manajer marketing. “Masyarakat memang kembali berbelanja, tapi pesaing kita bergerak agresif dengan menggabungkan event fashion show di dalam department store mereka. Itu membuat traffic lebih tinggi.”
Jayden mengetuk pelan ujung bolpen di meja. “Jadi kalian mau bilang kita ketinggalan tren?” suaranya datar, tapi semua orang di ruangan itu bisa merasakan tekanannya.
Manajer itu buru-buru menggeleng. “Bukan begitu, Tuan Carter. Kami sedang mengusulkan agar tahun ini Carter Department Store mengadakan rangkaian event kolaborasi dengan brand internasional. Sebuah fashion show, pop-up store, sekaligus kampanye charity. Itu bisa menaikkan citra sekaligus penjualan.”
Jayden mencondongkan tubuh ke depan. “Detail proposal?”
Slide presentasi berpindah ke layar. Foto-foto desain runway, konsep kolaborasi dengan beberapa rumah mode dari Eropa, juga daftar potensi sponsor terpampang. Jayden mengamati satu per satu, wajahnya tetap datar, tapi sorot matanya menyimpan perhitungan cepat.
“Ini lebih baik,” komentarnya singkat. “Tapi saya ingin event ini bukan sekadar pameran. Harus ada sesuatu yang membuat Carter Department Store berbeda dari yang lain. Fashion show bisa siapa saja adakan. Kita butuh sesuatu yang membuat orang datang karena tidak ada pilihan lain yang lebih baik.”
Salah satu direktur mencoba memberi masukan. “Kami sedang menjajaki kerja sama dengan Lucarelli Moda USA, Inc. Mereka punya reputasi bagus di Eropa dan sedang memperluas pengaruh di Amerika. Jika mereka mau bekerja sama dengan kita, impact-nya akan besar.”
“Pastikan semua sudah siap untuk negosiasi. Saya tidak mau mendengar acara gagal karena kecerobohan.”
“Baik, Tuan Carter.”
Jayden menutup map di depannya. “Rapat selesai.”
Para staf segera berkemas. Ruangan yang tadi penuh ketegangan mulai kosong, menyisakan Jayden sendiri. Ia bersandar di kursi, menghela napas sebentar. Baru saja ia hendak membuka ponselnya untuk mengecek pesan, nada dering berbeda berbunyi. Nama di layar membuatnya mengerutkan kening—Scarlett.
Dengan sedikit berat hati, ia mengangkat. “Apa lagi?”
“Jayden,” suara sang kakak terdengar seperti biasanya—tenang, tapi menyimpan nada memerintah. “Kau bisa menjemput Nicholas sore ini?”
Jayden menutup mata sejenak. “Scarlett, aku baru saja keluar dari rapat panjang. Aku masih punya tumpukan dokumen yang harus ditinjau. Tidak bisakah kau sendiri yang urus?”
“Aku tidak bisa. Aku ada meeting dengan klien Rusia. Lagi pula, kau tahu Nicholas lebih nyaman denganmu. Supir belum bisa masuk sejak terakhir kau yang menjemputnya. Jadi… kau harus turun tangan.”
Jayden mendengus. “Kau pikir aku tidak sibuk? Hanya karena aku CEO, bukan berarti aku bisa keluar seenaknya.”
“Justru karena kau CEO, Jay,” jawab Scarlett cepat. “Tidak ada yang berani menegurmu kalau kau pergi sebentar. Kau bos di sana. Tapi Nicholas hanya punya satu Uncle yang bisa diandalkan, dan itu kau. Jadi berhenti beralasan.”
Hening beberapa detik. Jayden menatap layar laptopnya yang masih menampilkan grafik penjualan. Semua terasa mendesak, tapi suara Scarlett tak bisa ia abaikan. Ia mengusap wajah, lalu menjawab dengan nada jengkel, “Baiklah. Aku akan urus.”
“Good boy,” sahut Scarlett, terdengar puas. “Aku tahu aku bisa mengandalkanmu.”
Sambungan terputus. Jayden meletakkan ponsel di meja, menatap kosong keluar jendela besar yang menampilkan langit Washington yang mendung.
Nicholas. Anak itu belakangan hanya bercerita tentang dua hal—mainannya dan… si kembar. Jayden sampai heran kenapa ponakannya bisa begitu terikat dengan teman baru. Lebih aneh lagi, Nicholas selalu menyebut-nyebut Mommy mereka. Cantik, baik, bahkan—Jayden mendesah singkat—lebih cantik dari Bella.
Senyum getir terbit di bibirnya. Dasar bocah!.
Tapi entah kenapa, rasa penasaran itu kembali mencuat. Siapa sebenarnya “mommy si kembar” yang berhasil membuat Nicholas sebegitu antusias menceritakannya?
Selesai menutup laptopnya, Jayden langsung bergegas meninggalkan kantor. Mobil hitamnya melaju membelah jalanan sore Washington yang mulai dipadati kendaraan pulang kerja. Pikirannya masih bercampur antara laporan rapat, perintah Scarlett, dan rasa penasaran pada sosok si kembar dan sang mommy yang terus saja diceritakan Nicholas.
Di halaman sekolah, suasana sudah jauh lebih tenang. Riuh anak-anak yang biasanya memenuhi taman kecil kini hampir hilang. Satu per satu sudah dijemput, menyisakan hanya beberapa anak. Di pojok halaman, Nicholas tampak sibuk memainkan robot mainannya bersama Seraphine. Tawa mereka pecah, kadang diselingi celotehan polos yang membuat guru piket tersenyum sendiri.
Berbeda dengan keduanya, Sebastian duduk sendirian di bangku kayu. Tangannya dimasukkan ke saku celana, pandangannya lurus ke depan tanpa ekspresi. Seakan dunia di sekitarnya tidak terlalu menarik.
Sebuah mobil hitam berhenti di depan gerbang. Jayden turun dengan langkah mantap. Beberapa guru yang masih berjaga sempat berbisik pelan, menoleh ke arah pria yang aura dinginnya sulit diabaikan.
“Nicholas,” panggil Jayden dengan suara tegas tapi hangat.
Nicholas langsung menoleh. Wajahnya langsung berseri. “Uncle!” teriaknya. Ia berlari kecil ke arah Jayden, disusul Sera yang ikut-ikutan berlari.
Jayden tersenyum tipis, merentangkan tangan seolah bersiap menangkap mereka. Tapi sebelum sempat menggandeng ponakannya, Nicholas berhenti, menepuk perutnya sendiri dengan ekspresi canggung.
“Uncle, tunggu sebentar ya. Aku… aku mau pipis dulu.”
Sera menatap Nicholas, lalu mengangkat tangan dengan semangat. “Aku juga mau pipis!”
Miss Belinda, guru yang sedang berjaga, terkekeh. “Baiklah, ayo kalian berdua, Miss antar ke toilet.” Ia menggandeng tangan keduanya, meninggalkan Jayden di halaman bersama Sebastian.
Jayden menoleh, pandangannya jatuh pada bocah laki-laki yang sejak tadi duduk diam. Tanpa ragu, ia melangkah mendekat, lalu berhenti tepat di depan bangku itu.
“Kau tidak ikut bermain dengan Nicholas dan gadis kecil itu?” tanya Jayden, suaranya dibuat senetral mungkin.
Bastian mengangkat kepalanya sebentar, lalu menggeleng. “Tidak.”
Jawaban singkat itu membuat Jayden mengerutkan kening. Ia mencoba lagi. “Orangtuamu belum datang menjemputmu?”
“Akan datang,” jawab Bastian dingin. Matanya menatap lurus, ekspresinya nyaris tanpa emosi.
Jayden sempat terdiam. Anak ini berbeda sekali dengan Nicholas. Ia tahu sebagian anak laki-laki memang cenderung lebih pendiam, tapi ada sesuatu yang lain. Aura waspada. Dinding tak terlihat yang tinggi sekali.
Jayden pun berjongkok, menyesuaikan tinggi tubuhnya agar sejajar dengan anak itu. “Aku merasa kau tidak menyukaiku,” katanya hati-hati. “Apa aku melakukan kesalahan padamu?”
Bastian menoleh perlahan. Tatapannya tajam, terlalu dewasa untuk bocah seusianya.
“Bukan salah Uncle,” katanya tenang. “Tapi Mommy tidak menyukai Uncle.”
Jayden tertegun. Ia sempat berpikir ia salah dengar. “Apa maksudmu?”
“Kalau Mommy tidak menyukai Uncle,” Bastian mengulang dengan nada datar, “itu berarti Uncle orang jahat. Kalau Uncle orang jahat, aku juga tidak akan menyukai Uncle… karena aku harus melindungi Mommy dan Sera.”
Jayden terdiam. Kata-kata itu sederhana, polos, tapi terasa menghantam keras. Untuk pertama kalinya, ia mendengar penilaian seperti itu datang dari seorang anak kecil—anak yang bahkan baru ditemuinya.
Bastian kemudian menunduk, menatap mainan kecil di tangannya, seolah percakapan itu tidak penting lagi.
Jayden masih terpaku. Mommy mereka… tidak menyukaiku? Siapa wanita itu? Apakah ada sesuatu yang ia lewatkan?
Langkah kecil terdengar mendekat. Nicholas dan Sera kembali berlari bersama Miss Belinda. Nicholas langsung melompat ke arah Jayden.
“Uncle, aku sudah selesai! Ayo pulang!” serunya penuh semangat.
Jayden tersadar dari lamunannya. Ia segera berdiri, menepuk kepala ponakannya, lalu menoleh sekilas ke arah Bastian. Bocah itu sudah bangkit dari bangkunya, menggandeng tangan Sera dengan tenang.
“Bye, Nicholas,” ucap Sera polos.
“Bye! Sampai jumpa besok!” balas Nicholas riang, melambaikan tangan.
Bastian hanya mengangguk kecil, tatapannya dingin kembali tertuju pada Jayden. Seolah mengingatkan: Aku tidak akan suka padamu.
Jayden merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Bukan sekadar penolakan seorang bocah, tapi ada sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih jauh… tentang siapa sebenarnya anak-anak itu.
Jayden melangkah menuju mobil sambil menggendong Nicholas, namun pikirannya terus dihantui ucapan Bastian barusan—kata-kata yang tak seharusnya keluar dari mulut seorang anak kecil, tapi justru terasa paling jujur.
Tiga hari setelah dirawat, Celline akhirnya diperbolehkan pulang. Meski tubuhnya masih terasa lemah, ia senang bisa kembali ke mansion bersama keluarga. Udara pagi terasa segar ketika mobil memasuki gerbang mansion. Dari kejauhan, ia bisa melihat para pelayan, Dominic, dan Melanie berdiri di teras seolah sedang menyambut seseorang yang kembali dari perjalanan jauh.Begitu ia turun dari mobil, Sera langsung berlari menghampiri dengan wajah cerah. “Mommy! Mommy harus hati-hati. Mommy sekarang bawa baby, tidak boleh capek-capek!” katanya sambil memegangi lengan Celline seolah sedang mengawal seorang pasien khusus.“Pelan-pelan, Sera. Mommy masih bisa berjalan sendiri,” jawab Celline sambil tersenyum kecil.Di sisi lain, Bastian hanya menyelipkan kedua tangan ke saku celananya, memandang adiknya sekilas tanpa antusias berlebih. “Sera heboh sekali dari pagi,” gumamnya pelan.Melanie memeluk Celline penuh kehangatan. “Selamat datang kembali, sayang. Syukurlah kamu sudah jauh lebih baik. Kam
Koridor MedStar Washington Hospital Center dipenuhi langkah tergesa Jayden. Napasnya kacau, dadanya naik turun—antara marah, cemas, dan rasa bersalah yang menghantam tanpa ampun. Bajunya belum sempat dirapikan, dasi yang tadi pagi ia kenakan kini terlepas dan terjuntai begitu saja.Ia baru tiba setelah dua jam terjebak kemacetan parah akibat kecelakaan beruntun di jalan raya. Selama perjalanan, setiap detik terasa seperti siksaan. Berkali-kali ia memukul setir mobil, berusaha menahan kepanikan yang semakin menyesakkan dada.Inzaghi hanya sempat mengirim pesan singkat:“Celline pingsan. Kami dalam perjalanan ke RS. Tolong segera menyusul, Sir.”Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tidak ada detail. Itu membuat Jayden hampir kehilangan kendali sepanjang jalan.Saat mencapai nurse station, ia langsung bertanya dengan nada tegang, “Celline Carter, ruang berapa?”Perawat menunjuk ke kanan. “Ruang perawatan VIP 3, Sir.”Jayden tidak menunggu penjelasan tambahan. Ia langsung berlari.Pintu rua
Pagi itu Lucarelli tampak sama seperti biasanya—padat, rapi, dan sibuk. Namun bagi Celline, ada sesuatu yang terasa ganjil. Sejak semalam ia sulit tidur, bukan karena pekerjaan, melainkan karena perasaan tidak enak yang tidak dapat didefinisikan. Ia mengabaikannya, berusaha fokus pada laporan dan persiapan campaign baru yang harus ia kirimkan sebelum sore.Menjelang siang, ketukan pelan terdengar dari pintu ruangannya.“Ma’am, ada pesanan makanan untuk Anda. UberEats,” ujar salah satu office boy sambil setengah mengintip ke dalam.Celline mendongak dengan kening berkerut.“Aku tidak merasa memesan apa pun.”“Kurirnya bilang ini sudah dibayar lunas, Ma’am. Atas nama Anda.”Sekilas, pikiran Celline langsung tertuju pada Jayden. Tetapi ia menggeleng cepat. Jayden bukan tipe yang memesan makanan diam-diam. Kalau ingin makan siang bersama, pria itu akan muncul langsung di mejanya dan menyeretnya keluar tanpa kompromi.“Baik, taruh saja di sini,” ujar Celline akhirnya, meski hatinya ragu.K
Penerbangan dari Maldives mendarat mulus di Washington. Udara sore terasa lebih sejuk dibandingkan beberapa minggu lalu ketika mereka berangkat. Begitu keluar dari pintu kedatangan, Celline merapatkan cardigan tipisnya, sementara Jayden menarik koper sambil sesekali melirik istrinya dengan senyum kecil yang tidak pernah bisa ia sembunyikan sejak hari pernikahan.Perjalanan honeymoon mereka memang singkat mengingat pekerjaan di kantor masing-masing masih menumpuk, tetapi cukup untuk membuat Jayden semakin lengket seperti lem. Hampir setiap malam ia selalu mencari alasan untuk tidak membiarkan Celline jauh darinya. Untung saja Celline menikmati waktunya—meskipun beberapa kali ia harus menahan malu karena tingkah laku suaminya yang tidak mengenal tempat dan waktu.Mobil keluarga Carter sudah menunggu di depan terminal bandara. Leon menyambut keduanya dengan sopan. “Welcome back, Sir, Ma’am.”Celline tersenyum. “Terima kasih, Leon.”Jayden merangkul pinggang Celline, seolah masih belum bi
Warning! Harap bijak ya. Matahari Maldives sudah terbenam ketika Celline akhirnya melewati pintu kamar hotel mewah mereka, tubuhnya lemas setelah perjalanan panjang dari Washington. Koper-koper masih berantakan di lantai, tapi dia tak punya tenaga lagi untuk mengurusnya. Yang dia inginkan hanyalah mandi air panas dan tidur—setidaknya, begitu pikirannya sebelum pintu kamar terbuka dengan keras, diikuti oleh langkah kaki Jayden yang penuh keyakinan.Jayden masuk seperti badai, matanya langsung membara saat melihat Celline berdiri di tengah ruangan, kemeja tidur sutra tipisnya menempel pada kulit yang masih berkeringat. Dia tak memberi kesempatan untuk bernapas. Dalam sekejap, tangannya sudah mengait pinggang Celline, menariknya ke tubuhnya yang keras dan panas."Sudah lama aku menunggu ini," suaranya serak, bibirnya langsung menempel di leher Celline, giginya menggigit kulit sensitif di sana sampai wanita itu mengerang.Celline mencoba melawan, tapi tubuhnya berkhianat. Kelelahan seket
Seminggu berlalu sejak malam penuh haru di taman Mansion keluarga Carter. Hari itu, matahari bersinar cerah seolah ikut merayakan kebahagiaan yang akhirnya datang setelah sekian lama ditunggu. Hari di mana Jayden Carter dan Celline Anderson resmi disatukan dalam ikatan suci pernikahan.Pernikahan diadakan di ballroom mewah milik keluarga Carter — tempat yang elegan, penuh bunga putih dan sentuhan keemasan. Dari chandelier megah yang bergemerlap hingga untaian bunga mawar yang menggantung lembut di setiap sudut ruangan, semua tampak sempurna.Awalnya, Celline sempat ingin pernikahan yang sederhana — hanya keluarga dan sahabat dekat. Tapi Melanie, yang kini sepenuhnya menerima dan mencintai menantunya itu, menolak dengan tegas. “Tidak, Sayang,” katanya lembut tapi tegas saat membahas rencana pernikahan. “Kau sudah terlalu lama menanggung kesedihan. Sekarang saatnya dunia melihat kebahagiaanmu.”Dan kini, di tengah dekorasi yang megah dan tamu undangan yang memenuhi ruangan, Celline ben







