Mag-log inPagi akhir pekan seharusnya menjadi waktu yang lebih santai, tapi bagi Celline, hari ini tetap padat. Ia sudah bangun lebih awal untuk menyiapkan bekal piknik, menggandeng dua kotak makanan berisi pasta, salad, dan potongan buah kesukaan si kembar. Sambil sesekali menegur Seraphine yang terlalu heboh dengan topinya dan Bastian yang sibuk merapikan tali sepatunya sendiri, apartemen itu dipenuhi riuh kecil khas keluarga.
Bel apartemen tiba-tiba berbunyi.
“Uncle!” seru Sera, langsung melesat ke arah pintu, disusul Bastian yang berjalan lebih kalem namun jelas tak kalah bersemangat. Celline terkekeh kecil, buru-buru meletakkan bekal ke meja lalu membuka pintu.
Di sana berdiri Inzaghi, dengan senyum hangat dan tangan yang penuh bawaan: termos besar berisi jus, beberapa camilan tambahan, dan sekotak brownies.
“Selamat pagi. Wah, kalian sudah siap sekali!” katanya begitu pintu terbuka.
“Uncle, lihat! Sera punya topi kelinci!” Sera berjingkrak, memperlihatkan topi putih dengan telinga panjang yang bergoyang saat ia melompat.
Bastian menyodorkan ranselnya. “Aku juga bawa buku gambar. Uncle mau lihat nanti?”
Inzaghi terkekeh, menepuk bahu Bastian. “Tentu saja. Aku yakin gambar Tian pasti keren sekali.”
Celline menggeleng sambil tersenyum, merasa hatinya sedikit lega. Sejak pindah ke Washington, Inzaghi memang selalu hadir untuk mereka. Tak hanya membantu Celline di tengah kesibukan kerja, tapi juga membuat si kembar merasa punya figur yang bisa diandalkan.
Perjalanan di dalam mobil dipenuhi celoteh khas Sera.
“Uncle, nanti di sana ada permainan tidak ya? Ada ayunan? Ada kuda poni? Atau ada badut?” Sera terus bertanya tanpa jeda, matanya berbinar.
Inzaghi menjawab sabar, satu per satu. “Mungkin ada permainan, ayunan pasti ada, kuda poni… hmm, itu aku tidak yakin. Kalau badut, mungkin tidak, tapi akan ada banyak temanmu.”
“Kalau tidak ada badut, nanti Sera bisa jadi badut deh,” gadis kecil itu menepuk dadanya sendiri, membuat semua tertawa.
Bastian hanya menggeleng pelan, tapi tersenyum tipis. “Sera, kamu selalu berlebihan.”
“Bukan berlebihan, Tian. Itu namanya imajinasi!” Sera menyilangkan tangannya dengan gaya sok serius, membuat Inzaghi dan Celline kembali tertawa.
Celline menoleh ke kursi belakang lewat kaca spion. Satu sisi hatinya hangat melihat interaksi itu. Kehadiran Inzaghi benar-benar berarti, meski ia tahu ia tak bisa selamanya mengandalkan pria itu untuk mengisi ruang kosong yang seharusnya diisi sosok lain.
Sesampainya di lokasi piknik, suasana riuh langsung menyambut. Taman kota penuh warna dengan balon-balon diikat di beberapa sudut. Meja panjang berjajar dengan aneka bekal, tikar-tikar sudah digelar, dan suara tawa anak-anak TK bercampur riang dengan instruksi para guru.
“Waaaah! Uncle, lihat! Ada balon warna pink!” Sera menarik tangan Inzaghi, berlari ke arah meja balon dengan langkah kecil terburu-buru.
“Pelan-pelan, Sera!” Celline refleks berseru, tapi gadis itu sudah lebih dulu menyeret Inzaghi.
Bastian berdiri di samping Celline, menatap adiknya dengan wajah setengah pasrah. “Dia selalu begitu, Mommy.”
“Ya, Mommy tahu. Tapi untung ada Uncle yang sabar.” Celline menepuk kepala Tian, lalu menggandeng tangannya.
Tak lama, mereka semua duduk di tikar bersama kelompok kelas Miss Belinda. Anak-anak saling menunjukkan bekal mereka, riuh membandingkan mana yang paling enak. Sera dengan bangga membuka kotak pasta yang dibuat Celline.
“Ini Mommy yang masak! Rasanya paling enak!” katanya lantang, membuat beberapa temannya penasaran.
“Kalau kamu mau coba, ambil saja,” tambah Sera, lalu dengan polosnya menyodorkan garpu kecil ke teman di sampingnya.
Bastian tidak seantusias Sera, tapi ia tetap mengeluarkan bukunya, mulai menggambar suasana taman. “Aku mau gambar balon, Mommy. Lalu gambar Uncle pegang tangan Sera.”
Inzaghi melirik, tersenyum hangat. “Aku jadi model ya sekarang? Wah, harus pasang pose keren dong.”
Suasana makin cair. Celline ikut menikmati, meski sesekali ia merasa pandangannya kosong ke kejauhan. Melihat anak-anak lain yang duduk bersama ayah mereka, hatinya sempat mengerut. Tapi Sera yang terus tertawa dan Tian yang dengan damai menggambar membuatnya kuat.
“Jadi, proposal untuk event fashion itu sudah kamu serahkan ke pusat?” tanya Inzaghi, sembari meluruskan punggung di bangku kayu. Pandangannya sesekali mengarah ke anak-anak yang berlarian di area lapangan luas itu.
“Iya,” jawab Celline, meletakkan botol minum ke pangkuannya. “Tapi aku masih menunggu konfirmasi akhir. Kamu tahu sendiri, sejak ada masalah internal, semua approval jadi jauh lebih lama dari biasanya.”
“Kepalaku hampir pecah membahas ini setiap hari,” gumam Inzaghi sambil mendengus. “Tapi setidaknya kita punya sesuatu yang bisa ditunjukkan di tengah kekacauan.”
Celline tersenyum tipis. Sejenak, ia menikmati suasana ceria di sekitar mereka. Tawa anak-anak, teriakan kecil mereka, dan suara musik ringan dari pengeras suara TK menciptakan atmosfer hangat yang jarang ia rasakan.
Namun, ketenangan itu buyar dalam sekejap.
“Miss! Miss!” salah satu guru magang berteriak, suaranya penuh panik.
Inzaghi sontak berdiri. Pandangannya langsung menemukan sumber keributan: seorang anak kecil meringkuk sambil memegangi lehernya, wajahnya pucat, napasnya tersengal.
“Nicholas!” Sera menjerit, matanya berkaca-kaca. Tangannya gemetar saat menunjuk ke arah temannya.
Celline segera ikut berdiri, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu persis ekspresi itu—kesulitan bernapas.
Tanpa pikir panjang, Inzaghi melompat dari bangku dan berlari menghampiri Nicholas. “Dia sepertinya alergi! Cepat, hubungi orang tuanya!” suaranya menggelegar, penuh otoritas.
Sera menangis makin keras. “Aku kasih dia snack-ku… aku tidak tahu Nick jadi seperti itu, Mommy… aku tidak tahu!”
“Shhh… Sera, tenang sayang, itu bukan salahmu,” Celline segera meraih putrinya, menggendongnya erat. Sementara itu, ia menoleh ke arah Bastian yang masih berdiri kaku. “Tian, ikut Mommy. Jangan jauh-jauh.”
Anak itu mengangguk, meski wajahnya tetap datar, matanya penuh kewaspadaan.
Guru wali kelas, Miss Belinda, dengan tangan gemetar mencoba menekan layar ponselnya. “Aku sudah hubungi ibunya, tapi tidak ada jawaban… aku coba nomor alternatif.”
“Cepat!” seru Inzaghi, mengangkat tubuh Nicholas dengan hati-hati, lalu berlari ke arah parkiran.
Celline mengikuti dari belakang, satu tangan menggendong Sera yang masih terisak, sementara tangan satunya menggenggam erat tangan Bastian. Nafasnya memburu, rasa panik menyesakkan dada.
Di dalam mobil, Inzaghi menaruh Nicholas di pangkuannya, menjaga posisi kepala bocah itu tetap tegak. “Bertahanlah, nak. Kita akan sampai sebentar lagi.”
Sera masih menangis, wajahnya merah padam. “Nicholas jangan mati, Mommy… jangan mati…”
“Hush, sayang, dia tidak akan mati. Dokter akan menolongnya,” bisik Celline, meski suara dirinya sendiri bergetar.
Bastian menatap Nicholas dengan mata yang sedikit berkaca, tapi ia tetap diam, tangannya mengepal di sisi paha. Ia tidak menangis, hanya sesekali melirik ibunya, seolah berusaha memastikan bahwa ia tetap bisa tenang.
Sementara itu, Miss Belinda yang panik akhirnya berhasil tersambung dengan nomor alternatif.
“Hallo?” suara di ujung telepon berat, tegas.
“Mr. Carter? Ini Miss Belinda, guru Nicholas… Nicholas mengalami serangan alergi parah saat piknik. Ia sedang dibawa ke rumah sakit—”
“Apa?!” Jayden hampir berteriak dari balik ponselnya. “Rumah sakit mana?”
Pintu ER (“Emergency Room”) terbuka keras ketika Inzaghi berlari masuk sambil menggendong Nicholas. “Dia sepertinya alergi sesuatu! Cepat!”
Para perawat langsung sigap, membawa ranjang dorong, memindahkan tubuh kecil Nicholas. “Siapkan epinefrin! Periksa pernapasan dan oksigen!”
Celline masih berusaha menenangkan Sera yang menangis histeris. Bastian memeluk lengan ibunya, menatap proses medis itu dengan sorot mata yang dingin namun penuh ketegangan.
Detik-detik berjalan lambat. Suasana ruangan dipenuhi bunyi monitor, instruksi dokter, dan suara isakan Sera yang semakin pelan setelah Celline berulang kali membisikkan kata-kata penenang.
Langkah kaki berat terdengar dari arah koridor.
Jayden datang dengan napas terengah. Kemeja kerjanya berantakan, dasinya longgar, rambutnya bahkan tidak rapi.
Matanya berpendar mencari penanda ruang bertuliskan IGD, namun tiba-tiba waktu seolah dipaksa berhenti, udara ditarik paksa dari rongga dadanya.
Di sana, hanya beberapa meter di depannya, berdiri seorang wanita dengan tubuh ramping, rambut hitam panjang terurai, mata yang sangat ia kenali, dan sama-sama membeku melihat kehadirannya.
"Celline?"/"Jayden?"
Tiga hari setelah dirawat, Celline akhirnya diperbolehkan pulang. Meski tubuhnya masih terasa lemah, ia senang bisa kembali ke mansion bersama keluarga. Udara pagi terasa segar ketika mobil memasuki gerbang mansion. Dari kejauhan, ia bisa melihat para pelayan, Dominic, dan Melanie berdiri di teras seolah sedang menyambut seseorang yang kembali dari perjalanan jauh.Begitu ia turun dari mobil, Sera langsung berlari menghampiri dengan wajah cerah. “Mommy! Mommy harus hati-hati. Mommy sekarang bawa baby, tidak boleh capek-capek!” katanya sambil memegangi lengan Celline seolah sedang mengawal seorang pasien khusus.“Pelan-pelan, Sera. Mommy masih bisa berjalan sendiri,” jawab Celline sambil tersenyum kecil.Di sisi lain, Bastian hanya menyelipkan kedua tangan ke saku celananya, memandang adiknya sekilas tanpa antusias berlebih. “Sera heboh sekali dari pagi,” gumamnya pelan.Melanie memeluk Celline penuh kehangatan. “Selamat datang kembali, sayang. Syukurlah kamu sudah jauh lebih baik. Kam
Koridor MedStar Washington Hospital Center dipenuhi langkah tergesa Jayden. Napasnya kacau, dadanya naik turun—antara marah, cemas, dan rasa bersalah yang menghantam tanpa ampun. Bajunya belum sempat dirapikan, dasi yang tadi pagi ia kenakan kini terlepas dan terjuntai begitu saja.Ia baru tiba setelah dua jam terjebak kemacetan parah akibat kecelakaan beruntun di jalan raya. Selama perjalanan, setiap detik terasa seperti siksaan. Berkali-kali ia memukul setir mobil, berusaha menahan kepanikan yang semakin menyesakkan dada.Inzaghi hanya sempat mengirim pesan singkat:“Celline pingsan. Kami dalam perjalanan ke RS. Tolong segera menyusul, Sir.”Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Tidak ada detail. Itu membuat Jayden hampir kehilangan kendali sepanjang jalan.Saat mencapai nurse station, ia langsung bertanya dengan nada tegang, “Celline Carter, ruang berapa?”Perawat menunjuk ke kanan. “Ruang perawatan VIP 3, Sir.”Jayden tidak menunggu penjelasan tambahan. Ia langsung berlari.Pintu rua
Pagi itu Lucarelli tampak sama seperti biasanya—padat, rapi, dan sibuk. Namun bagi Celline, ada sesuatu yang terasa ganjil. Sejak semalam ia sulit tidur, bukan karena pekerjaan, melainkan karena perasaan tidak enak yang tidak dapat didefinisikan. Ia mengabaikannya, berusaha fokus pada laporan dan persiapan campaign baru yang harus ia kirimkan sebelum sore.Menjelang siang, ketukan pelan terdengar dari pintu ruangannya.“Ma’am, ada pesanan makanan untuk Anda. UberEats,” ujar salah satu office boy sambil setengah mengintip ke dalam.Celline mendongak dengan kening berkerut.“Aku tidak merasa memesan apa pun.”“Kurirnya bilang ini sudah dibayar lunas, Ma’am. Atas nama Anda.”Sekilas, pikiran Celline langsung tertuju pada Jayden. Tetapi ia menggeleng cepat. Jayden bukan tipe yang memesan makanan diam-diam. Kalau ingin makan siang bersama, pria itu akan muncul langsung di mejanya dan menyeretnya keluar tanpa kompromi.“Baik, taruh saja di sini,” ujar Celline akhirnya, meski hatinya ragu.K
Penerbangan dari Maldives mendarat mulus di Washington. Udara sore terasa lebih sejuk dibandingkan beberapa minggu lalu ketika mereka berangkat. Begitu keluar dari pintu kedatangan, Celline merapatkan cardigan tipisnya, sementara Jayden menarik koper sambil sesekali melirik istrinya dengan senyum kecil yang tidak pernah bisa ia sembunyikan sejak hari pernikahan.Perjalanan honeymoon mereka memang singkat mengingat pekerjaan di kantor masing-masing masih menumpuk, tetapi cukup untuk membuat Jayden semakin lengket seperti lem. Hampir setiap malam ia selalu mencari alasan untuk tidak membiarkan Celline jauh darinya. Untung saja Celline menikmati waktunya—meskipun beberapa kali ia harus menahan malu karena tingkah laku suaminya yang tidak mengenal tempat dan waktu.Mobil keluarga Carter sudah menunggu di depan terminal bandara. Leon menyambut keduanya dengan sopan. “Welcome back, Sir, Ma’am.”Celline tersenyum. “Terima kasih, Leon.”Jayden merangkul pinggang Celline, seolah masih belum bi
Warning! Harap bijak ya. Matahari Maldives sudah terbenam ketika Celline akhirnya melewati pintu kamar hotel mewah mereka, tubuhnya lemas setelah perjalanan panjang dari Washington. Koper-koper masih berantakan di lantai, tapi dia tak punya tenaga lagi untuk mengurusnya. Yang dia inginkan hanyalah mandi air panas dan tidur—setidaknya, begitu pikirannya sebelum pintu kamar terbuka dengan keras, diikuti oleh langkah kaki Jayden yang penuh keyakinan.Jayden masuk seperti badai, matanya langsung membara saat melihat Celline berdiri di tengah ruangan, kemeja tidur sutra tipisnya menempel pada kulit yang masih berkeringat. Dia tak memberi kesempatan untuk bernapas. Dalam sekejap, tangannya sudah mengait pinggang Celline, menariknya ke tubuhnya yang keras dan panas."Sudah lama aku menunggu ini," suaranya serak, bibirnya langsung menempel di leher Celline, giginya menggigit kulit sensitif di sana sampai wanita itu mengerang.Celline mencoba melawan, tapi tubuhnya berkhianat. Kelelahan seket
Seminggu berlalu sejak malam penuh haru di taman Mansion keluarga Carter. Hari itu, matahari bersinar cerah seolah ikut merayakan kebahagiaan yang akhirnya datang setelah sekian lama ditunggu. Hari di mana Jayden Carter dan Celline Anderson resmi disatukan dalam ikatan suci pernikahan.Pernikahan diadakan di ballroom mewah milik keluarga Carter — tempat yang elegan, penuh bunga putih dan sentuhan keemasan. Dari chandelier megah yang bergemerlap hingga untaian bunga mawar yang menggantung lembut di setiap sudut ruangan, semua tampak sempurna.Awalnya, Celline sempat ingin pernikahan yang sederhana — hanya keluarga dan sahabat dekat. Tapi Melanie, yang kini sepenuhnya menerima dan mencintai menantunya itu, menolak dengan tegas. “Tidak, Sayang,” katanya lembut tapi tegas saat membahas rencana pernikahan. “Kau sudah terlalu lama menanggung kesedihan. Sekarang saatnya dunia melihat kebahagiaanmu.”Dan kini, di tengah dekorasi yang megah dan tamu undangan yang memenuhi ruangan, Celline ben







