“Apa kau baik-baik saja?”
Seolah terbius oleh tatapan si pria berambut pirang dengan iris hazel yang menawan itu lantas tubuh seorang wanita pemilik iris amber itu membeku, jiwanya seakan melayang meninggalkan raganya sampai. Bugh! Wanita berambut panjang gelombang yang mengenakan mini dress burgundy sebatas lutut itu tersadar ketika pria pirang itu ditendang oleh pria asing yang mengejarnya tadi, pria pirang itu jatuh tersungkur sambil memegangi pinggangnya. Wanita itu melayangkan tatapan tajam dengan alis menukik pada pria asing yang sudah menendang pria pirang tersebut, hampir saja dia mengeluarkan pistol yang selalu dibawanya kemana-mana untuk menyelesaikan semuanya. "Apa kau baik-baik saja?" giliran si wanita yang bertanya. Pria pirang itu bangkit perlahan, wajahnya sempat meringis menahan sakit, namun senyum tipis tercipta di sudut bibirnya kemudian. “Aku baik-baik saja,” gumamnya, seolah menenangkan si wanita, sebelum menoleh pada pria asing yang kini memasang ancang-ancang menyerang. Dalam sekejap, pria pirang itu melesat maju. Pukulan cepat menghantam rahang pria asing, membuatnya terhuyung. Si wanita mengerjap, tertegun menyaksikan betapa cekatannya pria pirang itu bergerak. Setiap gerakan penuh presisi, seolah ia sudah terlatih sejak lama. Ia melawan dua pria asing itu seorang diri, menggunakan tubuhnya yang bergerak lihai, sampai membuat kedua pria asing itu melarikan diri. “Apa kau baik-baik saja?” pria pirang kembali bertanya dengan napas masih terengah-engah. Pertanyaan yang sama. Wanita itu tersenyum, menyelipkan rambut ke belakang telinga. “Aku baik-baik saja. Siapa nama kau?” Pria itu hanya tersenyum, menampilkan deretan giginya yang putih dan rapi. Singkat cerita, mereka pergi untuk minum. Pria pirang mengajak wanita itu ke bar. Tentu saja wanita itu menerima tawaran dari pria tampan yang mencuri perhatiannya sejak pertama kali bertemu. “Kau belum menjawab pertanyaanku. Siapa nama kau?” wanita itu kembali bertanya, menatapnya lekat sambil bertopang dagu. “Aku Luke.” “Luke. Wow nama yang keren seperti nama anjingku.” Karena pengaruh alkohol, wanita itu mulai mengatakan hal tidak masuk akal dan memalukan bahkan faktanya wanita itu tidak punya peliharaan. “Ah, begitu ya.” Wanita itu terkekeh. “Ah, aku hanya bercanda. Aku Isabella. Kau bisa memanggilku Bella. Aku suka ketika orang memanggil namaku seperti itu.” Isabella tersenyum dengan mata setengah tertutup, menatap wajah tampan di sampingnya lama sampai tak sadar ia mengedipkan mata genit. Luke merasa terpancing lantas ia menyeringai. Suasana di bar tiba-tiba menjadi panas. “Kau mengantuk?” tanya Luke seraya membelai rambut Isabella lembut, menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Isabella menggeleng pelan, padahal matanya hampir sepenuhnya tertutup. Luke tiba-tiba mendekat, kali ini tangannya berpindah ke dagu Isabella, mengangkatnya lembut, mengikis jarak di antara mereka sampai akhirnya kedua benda kenyal terbelah itu bertemu. Isabella tidak mencegahnya, ia terlihat menyukainya, ia bahkan sesekali membalasnya, menyeimbangkan permainan, menarik tengkuk Luke dengan tangannya, memperdalam ciuman yang semakin intens hingga menimbulkan bunyi kecipak yang khas. Ciuman terus berlanjut, tanpa melepas, Luke membawa Isabella ke atas sofa, mengukungnya dengan tubuh kokohnya. Parfummya menusuk indra penciuman Isabella ketika Luke mendekat mencium lehernya. Aroma maskulin semacam woody atau musk menguar kuat. “Shh, ahh ....” erangan tak tertahan keluar ketika Luke menggigit lehernya. Tangan luke tergerak mengusap sensual paha Isabella, bergerak masuk ke dalam mini dress burgundy yang Isabella kenakan, meremas gundukan besar dan kencang dengan tangan besarnya seolah itu mainan yang membuat candu membuat Isabella mengigit bibir kuat seraya menarik kepalanya ke belakang, merasakan ketegangan yang naik dengan cepat. Ia kembali menyeringai setelah selesai dengan leher Isabella. “Apa kau menyukainya, Bella?” tanyanya dengan suara berat yang menggoda. Lagi-lagi Isabella terpana dengan tatapan mata dan suaranya yang menggoda, apalagi ketika dia menyebut nama Isabella dengan sebutan kesukaannya. Isabella mengalungkan tangannya kembali ke leher Luke menariknya mendekat seraya berbisik. “Malam ini aku milik kau Luke!” Luke menyeringai, akhirnya ia membawa Isabella ke kamar VVIP, melanjutkan permainan panas mereka semalaman. *** Keesokan harinya “Dari mana saja kau?” Isabella tidak pulang semalam, tentu saja Ayahnya bertanya, bahkan mungkin akan menyidaknya juga. Pria paruh baya dengan wajah bulat berjanggut menatap tajam putrinya sambil melipat tangan di depan dada. “Aku dikejar dua pria asing, Ayah. Jadi aku bersembunyi sepanjang malam. Mereka tidak membiarkan aku pergi." Isabella mengambil duduk di sofa mewah, bersikap santai agar ayahnya tidak curiga. “Siapa yang menyuruh kau pergi sendiri? sudah berapa kali Ayah bilang kalau mau kemana-mana jangan sendiri.” “Maafkan aku Ayah. Tapi aku membawa senjata untuk melindungi diriku sendiri. Ayah tidak perlu khawatir.” Isabella mencuri pandang sesekali pada ayahnya yang masih berdiri. Isabella bisa lihat ayahnya frustasi. Alex, ayahnya Isabella menghela napas seraya menggeleng-gelengkan kepalanya lalu mengambil duduk di sofa single. “Oke, karena kau sudah pulang, hati ayah sedikit tenang sekarang. Istirahat lah, nanti siang jangan lupa dengan latihan menembak.” “Hm, tapi Ayah ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.” Dahi Alex mengernyit. Isabella membasahi bibirnya seraya memainkan jarinya seolah ragu untuk mengatakannya. “Apa sebenarnya yang ingin kau katakan?” “Ayah pernah bilang padaku kalau aku boleh punya bodyguard ‘kan?” Alex mengangguk walaupun dahinya berkerut seolah sedang berpikir. “Tapi, bukannya dulu kau bilang kau tidak butuh bodyguard?” “Iya, itu dulu, tapi sekarang aku mau. Asalkan aku yang memilihnya sendiri.” “Apa kau sudah dapat orangnya?” Isabella mengangguk cepat diiringi dengan senyum mengembang di wajahnya, memikirkan seseorang yang terus berada di pikirannya sejak kemarin. “Baiklah kalau itu kemauan kau, bawa dia menemui ayah secepatnya. Ayah perlu mengetesnya terlebih dulu.” “Baik Ayah.” Alex menyunggingkan senyum kecil sebelum meninggalkan Isabella. Isabella Lancaster, putri tunggal dari keluarga Lancaster, keluarga mafia yang cukup berpengaruh dan disegani di Italia. Sejujurnya Isabella tidak ingin mengikuti jejak ayahnya, ia hanya ingin menjadi warga sipil biasa karena lingkungan ini sangat berbahaya, untungnya ayahnya mengerti. Alex tidak pernah memaksa Isabella untuk mengikuti jejaknya, ia membebaskan Isabella untuk memilih jalan hidupnya sendiri tapi ia selalu berpesan kepada putrinya untuk bisa menjaga diri dan jangan mudah jatuh cinta dengan pria asing karena pria yang baru dikenal belum tentu dapat dipercaya namun Isabella melanggarnya, Isabella jatuh cinta pada Luke. Isabella jadi merasa bersalah pada ayahnya jadi ia berencana untuk menjadikan Luke bodyguardnya agar ayahnya bisa kenal dengan Luke juga dan merestui hubungan mereka. Siang ini Isabella berlatih menembak dengan Anton, kaki tangan ayahnya yang lihai dalam menggunakan pistol dan berkelahi. Ia berlatih setiap hari. Isabella tampak berdiri tegap, memposisikan tangannya lurus ke arah sasaran sambil memicingkan mata. Dor! Isabella berhasil menembak tepat di bagian tengah target yang tercetak di papan sasaran. “Kau semakin baik nona Lancaster. Ayah kau pasti bangga.” “Terima kasih paman Anton, ini juga berkat kau.” Anton menyunggingkan senyum tipis. “Tetap fokus sampai kau mendapatkan apa yang kau inginkan,” bisik Anton tepat di sebelah Isabella. Kata-kata yang sering anton lontarkan bila ingin memberikan semangat. Drrt! tiba-tiba ponsel Anton berbunyi. “Sebentar nona, saya izin angkat telepon dulu.” Isabella menurunkan pistolnya lalu mengangguk. Beberapa saat kemudian Isabella akhirnya berlatih sendiri ketika Anton pamit undur diri karena ada urusan. Walaupun sudah sering dipuji, Isabella tidak akan berhenti berlatih sampai mahir. Ia masih sering tidak tepat sasaran, tadi itu hanya keberuntungan. Dor! “Aish, sial!” umpatnya ketika peluru meleset tak mengenai papan. Ia menghela napas lalu kembali ke posisi semula, menatap tajam papan sasaran seolah sedang melihat musuh, sekali ctek peluru keluar melesat mengenai bagian tengah papan. Senyumnya mengembang. “Not bad,” ujarnya seraya memutar pistol dengan telunjuknya. *** “Kau sudah menemuinya?” “Sudah, Ayah.” Luke sedang terlibat pembicaraan serius dengan ayahnya di ruang utama yang megah. “Apa informasi yang sudah kau dapat?” seorang pria paruh baya duduk seraya merentangkan kedua tangannya di sandaran sofa. “Dia membawa pistol. Aku rasa dia membawa pistol kemana-mana untuk menjaga diri.” Bill Alonzo, Papa Luke mengubah posisi duduknya yang tadi bersilang kaki menjadi mengangkang, menautkan jari-jarinya seraya menatap lurus ke depan dengan sorot mata tajam. “Ternyata Alex membekali putrinya dengan baik.” “Apa dia mengenal kau?” tanya Bill lagi. “Aku rasa tidak.” “Bagus. Terus dekati dia, gali semua informasi tentang keluarga Lancaster darinya.” “Baik Ayah,” jawabnya mantap. Luke Alonzo adalah putra tertua dari keluarga Alonzo, keluarga mafia yang terkenal kejam dan disegani di Italia, pesaing terberat keluarga Lancaster yang memiliki kekuasaan di wilayah yang sama. Keluarga Alonzo sudah lama menguasai wilayah Sicilia dan seenaknya keluarga Lancaster datang mengambil alih kekuasaan di bagian Palermo. Itulah mengapa hubungan kedua keluarga tidak berjalan dengan baik. Pada awalnya keluarga Lancaster tinggal di Meksiko namun pindah ke Italia setelah mendapatkan catatan kriminal pertamanya di sana karena kurang luasnya jaringan yang dia punya sehingga masih sangat butuh perlindungan lalu menawarkan kerjasama bisnis pada keluarga Alonzo karena mendengar bila keluarga Alonzo adalah keluarga mafia terkuat di Sicilia namun keluarga Alonzo menolaknya karena beberapa alasan. Perang makin memanas ketika orang dari Lancaster menembak Bill dan istrinya hingga membuat istri Bill meregang nyawa dan Bill sempat koma beberapa bulan di rumah sakit. Sejak kecil Luke juga sudah diasingkan ke California, tinggal bersama neneknya. Ia tidak tumbuh di lingkungan mafia sehingga membuatnya menjadi warga sipil biasa. Kedua orangtua Luke sengaja menyembunyikan identitas anak pertamanya karena tidak ingin anaknya diincar dan tak ingin tumbuh kembang anaknya terganggu. Saat Luke beranjak dewasa, ayahnya baru meminta Luke untuk tinggal bersamanya. Itu lah mengapa banyak orang tidak mengetahui bila Luke adalah bagian dari keluarga Alonzo. bersambungSeminggu kemudianSudah seminggu sejak Alex memberikan teguran pada Isabella agar menjauhi Luke dan sejak saat itu mereka tidak pernah lagi bertemu. Isabella sibuk mengurus butiknya sementara Luke tidak ada kabar.“Mbak, mau rendanya sampai ke bawah?” tanya Isabella yang sedang mengobrol bersama seorang pelanggan yang ingin membuat gaun pengantin khusus untuk pernikahannya nanti. Dia datang bersama calon suaminya.“Iya mbak sama dikasih manik-manik cantik yang bersinar gitu juga Mbak.”“Oke siap. Jadi mau model yang seperti ini?” Isabella memastikan kembali seraya menunjuk katalog outfit pernikahan. Wanita tersebut ingin menambah sedikit detail di baju pengantinnya, tentu saja wanita tersebut juga harus mengeluarkan uang lebih karena menambah permintaan.“Iya Mbak.”Isabella tersenyum ramah. “Oke, kalau gitu kita ukur dulu ya Mbak.” Isabella mengambil meteran yang tergantung di sebuah mannequin, ia memperbaiki kacamata minus yang ia kenakan sebelum mengukur tubuh wanita kurus dengan t
“Ayah kecewa dengan kau Isabella. Apa kau tidak ingat dengan nasehat Ayah? Apa selama ini kau menganggap nasehat ayah hanya sebuah angin lalu, huh?!”Pagi ini Isabella disidak oleh Ayahnya di ruangan ayahnya. Ayahnya sudah mengetahui tentang ciuman semalam dari Anton dan Alex sangat murka. Alex sudah sering kali menasehati Isabella untuk tidak mudah dekat dengan pria asing apalagi jatuh cinta.“Kenapa Ayah menyuruh paman Anton untuk memantauku diam-diam? Aku ‘kan sudah bilang kalau aku tidak suka dipantau!” tutur Isabella tak terima seraya melirik tajam Anton yang berdiri di belakang Alex sedang menundukkan pandangannya.“Jangan mengalihkan pembicaraan, Isabella! Kau tetap salah. Mulai sekarang jauhi Luke, Ayah tidak mau lihat kau dekat dengan dia lagi.”“Tapi Yah—““Tidak ada tapi-tapian dan mulai sekarang kalau kau mau kemana-mana, kau cuma boleh pergi dengan Anton. Mengerti?!” tanpa sadar suara Alex meninggi. Ia terpaksa meneriaki anaknya bukan karena tidak sayang tapi ini demi keb
“Awasi dia,” “Siap Don!” Alex menuruni tangga dengan cepat, mengendarai mobil seorang diri, balik ke rumah. Anton tidak ikut balik karena ia harus melakukan misi yang diperintahkan oleh Alex. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar sebelum bergerak menjauh, mencari taksi. Luke keluar setelahnya, tanpa memperhatikan sekitar, ia menaiki motornya. “Ikuti motor ducati hitam itu pak. Tapi jangan terlalu terang-terangan, pelan-pelan saja.” “Baik.” Anton mengikuti luke diam-diam bersama taksi dengan jarak yang aman. Alex memberikan perintah untuk mengikuti Luke sampai ke rumah. Alex ingin Anton mencari tahu tentang latar belakang Luke dan keluarganya. Awalnya Luke tidak sadar sama sekali namun di pertengahan jalan, ia tak sengaja melirik kaca spion, matanya memicing curiga. Ia berusaha berkendara dengan santai namun tetap sesekali memantau. Ia pun memutar otaknya sehingga ia tetap bisa bersikap santai di saat seperti ini. Beberapa saat kemudian, ia tiba di sebuah rumah minima
Alex sudah mendengar tentang insiden penembakan di butik putrinya dari Anton.“Dia menembaknya tepat di kepala?”“Iya Don, pria itu mati di tempat dan sekarang Luke berada di kantor polisi.”“Aku akan urus itu nanti. Bagaimana dengan putriku?” Alex melirik Anton tajam seolah menuntut jawaban cepat.“Nona Isabella baik-baik saja. Dia ikut dengan Luke ke kantor polisi untuk memberikan keterangan.”“Oke. Jemput dia sekarang. Setelah selesai dengan urusan kepolisian, bawa dia pulang.” Alex menanggapinya dengan santai bahkan sempat-sempatnya menyesap kopi hitamnya.“Baik Don.” Anton membungkuk hormat sebelum keluar.Setelah menyesap kopinya, Alex menatap lurus ke depan dengan tatapan tajam tanpa berkedip, seperti ada sesuatu yang dipikirkannya.***“Kau tenang saja, ayahku pasti akan membebaskan kau.” Isabella memegang tangan besar Luke, menenangkannya namun Luke hanya diam.Mereka sudah memberikan keterangan dan untuk sementara waktu, Luke akan ditahan di sana sampai penyelidikan selesai.
Hampir pukul 2 pagi, mata Isabella tak kunjung bisa terpejam. Ia duduk di pinggir ranjang menghadap ke gorden balkon yang terbuka. Kamarnya gelap namun ada sedikit cahaya masuk dari lampu di balkon yang belum ia matikan. Ia tidak bisa menghilangkan bayang wajah Luke yang menatapnya tajam dan lekat sore tadi bahkan kata-kata yang ia lontarkan terus berputar di memori otaknya. Luke tampak begitu serius dan dingin saat itu membuat Isabella jadi kepikiran.Perlahan ia beranjak dari kasur, keluar dari kamar dan mendapati ayahnya sedang membaca buku di ruang utama sambil menghisap cerutu. Alex merasakan kehadiran Isabella lantas ia melirik anaknya sejenak namun tidak mengeluarkan suaranya. Ia menutup buku yang dibacanya.Isabella memilih untuk duduk di sana. “Ayah, kenapa belum tidur?” bertanya lebih dulu.Alex menghembuskan asap yang mengepul sampai membuat Isabella mengalihkan wajah, mengerutkan hidung. “Seharusnya Ayah yang bertanya pada kau. Kenapa jam segini kau belum tidur?”Isabella
Setelah pengujian, Isabella mengajak Luke keliling rumah sebelum jadwal latihan menembak nanti siang. Mereka hanya jalan-jalan di luar rumah.Mereka sampai di taman belakang rumah yang luas. Tamannya cukup asri, banyak pepohonan dan tanaman hias yang menyegarkan tumbuh di sana. Taman belakang rumah Isabella juga dilengkapi dengan kolam ikan dan area santai.Mereka mengambil duduk di kursi ayunan berhadapan di area santai. “Sekarang aku ajak keliling rumah dulu. Kalau kau udah resmi jadi bodyguardku, kau akan tinggal di sini juga.” Luke mengangguk paham. “Kapan-kapan aku akan ajak kau ke butik milikku juga.”“Kau punya butik?”“Ya, tidak jauh dari sini.”“Kau terlalu baik padaku.” Isabella menaikkan sudut bibirnya sedikit. “Hm, ngomong-ngomong apa kau punya pacar?” Isabella menekuk badannya, lebih condong ke arah Luke. Ia menatap Luke dengan tatapan penuh cinta.Luke menggeleng. “Tidak. Aku tidak pernah pacaran.”Pupil Isabella membesar. “Benarkah? Orang tampan dan keren seperti kau