“Aku ingin kau menjadi bodyguardku.”
Luke mengangkat sebelah alisnya ketika pernyataan spontan itu datang dari bibir wanita asing yang sudah menghabiskan malam panas bersamanya semalam. Mereka sekarang sedang makan siang bersama di sebuah restoran mewah di daerah Palermo. Mereka mengenakan pakaian casual dan mengobrol santai seperti pasangan yang tengah berkencan. “Oh, maaf kau pasti shock mendengarnya. Ini terlalu mendadak tapi sudah lama Ayahku ingin mencarikanku bodyguard dan aku yakin kau adalah orang yang tepat. Kau mau ‘kan?” “Tunggu!” Luke tampak bingung dengan situasi seperti ini. “Kenapa kau butuh bodyguard? Apa ada orang yang ingin mencelakai kau?” “Hmm sebenarnya aku adalah anak seorang ....” Isabella mengantung kalimatnya, ia ragu mengatakannya. “Sebenarnya aku tidak bisa mengatakan ini tapi ayahku adalah seorang mafia, kau pasti tahu ‘kan betapa berbahayanya dunia mafia itu dan aku adalah anak perempuan satu-satunya walaupun aku tidak ingin mengikuti jejak Ayahku. Ayahku ingin melindungiku dari segala macam ancaman. Kau sudah pernah menolongku dan aku lihat kau pandai berkelahi jadi aku saranin kau ke Ayahku.” Luke terdiam, bola matanya bergerak gelisah. Ia tidak tahu harus menerima tawaran itu atau tidak sebab ia harus berkoordinasi dengan ayahnya dulu sebelum mengambil keputusan. Itu pun membuat Isabella menurunkan sudut bibirnya, kecewa. “Sorry, kalau ini membuat kau kaget. Biasanya aku jarang menceritakan soal keluargaku pada orang lain, tapi demi kebutuhan, aku harus menceritakannya.” Luke menarik sudut bibir kirinya sedikit. “Ya, tidak apa-apa, aku mengerti.” Kemudian hening sejenak. "Tolong jangan jauhi aku setelah ini." Luke hanya menyunggingkan senyum tipis. Sekian menit kemudian, Isabella tergerak menggapai tangan Luke, menyentuhnya dengan berani. Luke mengangkat kepalanya, menatap ke iris amber cantik milik sang wanita yang tengah menatapnya tulus. “Kau tidak mau ya?” “Bukan, bukannya aku tidak mau. Tapi, apa aku pantas? Maksudku, aku tidak ada pengalaman menjadi bodyguard sebelumnya. Menjadi bodyguard adalah pekerjaan yang berat." “Kalau soal itu ayahku akan menguji kau nanti. Kalau kau mau, kau akan diundang ke rumah. Tenang saja ujiannya paling hanya berkelahi dengan orang suruhan Ayah. Kalau kau mampu, kau pasti akan diterima.” Isabella tersenyum sambil menjelaskan, berusaha untuk meyakinkan. Luke mengangguk. “Ok, aku akan coba.” Senyum mengembang di wajah Isabella, “Terima kasih.” Mereka berpandangan dan saling melempar senyum, Isabella bahkan masih memegang tangan Luke namun ia menarik tangannya ketika pesanan mereka datang. Isabella melirik makanan yang dipesan Luke. “Jadi kau suka steak tuna?” pertanyaan spontan dari Isabella sukses membuat Luke menghentikan kegiatannya mengiris steak. “Lumayan tapi aku lebih suka steak daging.” Isabella mengangguk paham. “Kelihatannya kau pencinta makanan Italia?” Luke kembali berbicara ketika melihat pesanan Isabella, ada spaghetti dan lasagna yang ia pesan. “Hm, kurasa begitu,” jawabnya setelah menelan makanannya. “Padahal aku belum lama pindah ke sini tapi aku sudah menyukai makanan di sini.” Luke mengernyitkan dahinya, ia sampai berhenti makan. “Kau belum lama pindah ke sini? Memangnya sebelumnya kau tinggal di mana?” “Aku sebelumnya di Meksiko.” “Oh, jadi kau bicara bahasa spanyol juga?” “Iya lumayan karena aku juga lahir di sana tapi aku juga bisa bahasa inggris dan italia.” “Oh, apa tidak masalah aku berbicara pada kau dengan bahasa inggris? karena aku tidak terlalu fasih bahasa lain.” Isabella mengernyitkan dahinya, menatap Luke lekat. “It's okay, tapi apa kau tidak tahu bahasa Italia? Apa kamu warga pindahan juga?” “Iya, aku lama di California.” “Ohh, tidak disangka.” “Yeah, aku rasa kita punya lumayan mirip.” Isabella dan Luke tersenyum lalu kembali makan dan mengobrol agar lebih mengenal satu sama lain. “Kau punya hobi?” tanya Luke sesaat kemudian. “Aku suka menggambar dan mendesain baju. Aku lulusan sekolah desainer. Bermula dari hobi, sekarang aku sudah punya bisnis fashion.” “Wow, itu sangat mengagumkan.” Isabella tersenyum malu. “Bagaimana dengan kau?” “Aku mengambil sekolah bisnis.” “Oh, businessman, sangat menarik.” Mereka saling melempar pujian dan senyum menggoda. “Yeah, tapi aku baru merintis.” Namun tiba-tiba... Dor! “Aaaa!” Sebuah tembakan keras mengejutkan semua pengunjung restoran termasuk Luke dan Isabella. “Apa itu?” Mereka menoleh ke arah pintu masuk, mendapati 2 orang pria membawa senjata tajam sedang berdiri dengan angkuhnya sambil menodong pistol ke arah para pengunjung. Mata Luke memicing, “Sepertinya perampok,” kemudian meraih pergelangan tangan Isabella. “Ikut denganku.” Luke menarik Isabella untuk mencari tempat aman. Mereka bersembunyi di balik sebuah meja kabinet tinggi. “Semuanya diam bila ingin selamat!” seorang perampok berteriak dan satunya lagi mendatangi kasir, menodongnya dengan pistol, memaksa untuk memberikan seluruh uang. Luke sesekali menoleh ke belakang, di mana perampok itu berada. Isabella hanya diam, jantungnya berdegup kencang, ia terus melihat sebelah tangannya yang digenggam Luke namun itu tidak berlangsung lama ketika kemeja pendek yang Luke kenakan tersingkap ke atas karena ia bergerak. Mata Isabella terbelalak ketika mendapati benda yang tak asing di matanya tersimpan di balik kemeja Luke. Dor! “Aaaaaa!” Tembakan keras itu membuyarkan lamunan Isabella. Perampok itu menembak seorang pengunjung yang hendak mendekat dan itu pun membuat suasana menjadi ricuh. Dor! Dor! “Aku harus pergi, kau tunggu di sini.” Luke melepas tangan Isabella. “Eh, kau mau ke mana?” Isabella berusaha menghentikan Luke tapi terlambat. Luke keluar menemui perampok tersebut, suasana sudah tidak kondusif, ia tidak bisa membiarkannya lebih lama lagi. Ia menendang perampok itu keluar restoran, membawanya ke dalam perkelahian sengit. Dua lawan satu. Isabella perlahan berdiri, pergi menyusul Luke dengan jarak yang aman. Bugh! Dengan lompatan tinggi, ia berhasil menendang senjata yang ada dalam genggaman si penjahat lalu menghajar mereka sekaligus dengan tangan kosong. Bugh! Bugh! Tangannya bergerak lincah melayangkan tinju ke rahang pria gemuk tersebut hingga pria tersebut tersungkur lalu menendang tubuh belakang pria satunya lagi saat pria tersebut hendak meraih pistolnya. “Luke!” Namun sayangnya karena suara Isabella, perhatiannya sedikit teralihkan. Seorang pria berbadan besar menendang perutnya hingga tersungkur. “Akh!” “Hah, Luke!” Isabella terkejut, ia berusaha mendekat namun beberapa pengunjung restoran menahannya. Tapi Luke tidak tumbang, ia bangkit sambil memegangi perutnya. Sudut bibirnya terangkat hingga menimbulkan kerutan di hidungnya, meringis. Peluh memercik dari dahinya. Bugh! Ia menendang perut pria yang hendak menyerangnya, berputar dan menyerang pria satu lagi hingga keduanya kembali tersungkur, pergerakannya sangat cepat dan mulus. Hingga akhirnya polisi setempat datang, mengamankan dua perampok. Isabella lalu berlari menghampiri Luke yang berlutut lemas. “Luke, are you okay?” ia menangkup wajah Luke yang penuh peluh dan terdapat lebam di sekitaran bibir kanannya. Luke menatapnya dengan mata hazel yang menawan itu, yang selalu mengundangnya untuk masuk lebih dalam. Isabella akhirnya membawa Luke ke mobilnya. “Sshh!” Luke meringis ketika Isabella menyentuh luka di wajahnya dengan tisu basah, mencoba membersihkannya. Isabella bahkan ikut meringis, seperti merasakan perih yang Luke rasakan. “Apakah sakit?” Luke tidak menjawab, namun ia tergerak menggenggam tangan Isabella membuat keduanya kembali berpandangan. “Aku bersyukur kau baik-baik saja.” Isabella tidak bisa menahan senyumnya, dia sudah menyukai Luke sejak pertama kali bertemu, ia senang pernyataan itu keluar dari bibir pria berambut pirang tersebut. Entah apa yang ada dipikiran Luke sekarang, apa mungkin ia sudah melupakan misi awalnya atau itu hanya bagian dari rencananya tapi ada rasa aneh dalam hatinya yang membuatnya bersikap seperti itu. Tapi, ia lega Isabella baik-baik saja. bersambungSeminggu kemudianSudah seminggu sejak Alex memberikan teguran pada Isabella agar menjauhi Luke dan sejak saat itu mereka tidak pernah lagi bertemu. Isabella sibuk mengurus butiknya sementara Luke tidak ada kabar.“Mbak, mau rendanya sampai ke bawah?” tanya Isabella yang sedang mengobrol bersama seorang pelanggan yang ingin membuat gaun pengantin khusus untuk pernikahannya nanti. Dia datang bersama calon suaminya.“Iya mbak sama dikasih manik-manik cantik yang bersinar gitu juga Mbak.”“Oke siap. Jadi mau model yang seperti ini?” Isabella memastikan kembali seraya menunjuk katalog outfit pernikahan. Wanita tersebut ingin menambah sedikit detail di baju pengantinnya, tentu saja wanita tersebut juga harus mengeluarkan uang lebih karena menambah permintaan.“Iya Mbak.”Isabella tersenyum ramah. “Oke, kalau gitu kita ukur dulu ya Mbak.” Isabella mengambil meteran yang tergantung di sebuah mannequin, ia memperbaiki kacamata minus yang ia kenakan sebelum mengukur tubuh wanita kurus dengan t
“Ayah kecewa dengan kau Isabella. Apa kau tidak ingat dengan nasehat Ayah? Apa selama ini kau menganggap nasehat ayah hanya sebuah angin lalu, huh?!”Pagi ini Isabella disidak oleh Ayahnya di ruangan ayahnya. Ayahnya sudah mengetahui tentang ciuman semalam dari Anton dan Alex sangat murka. Alex sudah sering kali menasehati Isabella untuk tidak mudah dekat dengan pria asing apalagi jatuh cinta.“Kenapa Ayah menyuruh paman Anton untuk memantauku diam-diam? Aku ‘kan sudah bilang kalau aku tidak suka dipantau!” tutur Isabella tak terima seraya melirik tajam Anton yang berdiri di belakang Alex sedang menundukkan pandangannya.“Jangan mengalihkan pembicaraan, Isabella! Kau tetap salah. Mulai sekarang jauhi Luke, Ayah tidak mau lihat kau dekat dengan dia lagi.”“Tapi Yah—““Tidak ada tapi-tapian dan mulai sekarang kalau kau mau kemana-mana, kau cuma boleh pergi dengan Anton. Mengerti?!” tanpa sadar suara Alex meninggi. Ia terpaksa meneriaki anaknya bukan karena tidak sayang tapi ini demi keb
“Awasi dia,” “Siap Don!” Alex menuruni tangga dengan cepat, mengendarai mobil seorang diri, balik ke rumah. Anton tidak ikut balik karena ia harus melakukan misi yang diperintahkan oleh Alex. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar sebelum bergerak menjauh, mencari taksi. Luke keluar setelahnya, tanpa memperhatikan sekitar, ia menaiki motornya. “Ikuti motor ducati hitam itu pak. Tapi jangan terlalu terang-terangan, pelan-pelan saja.” “Baik.” Anton mengikuti luke diam-diam bersama taksi dengan jarak yang aman. Alex memberikan perintah untuk mengikuti Luke sampai ke rumah. Alex ingin Anton mencari tahu tentang latar belakang Luke dan keluarganya. Awalnya Luke tidak sadar sama sekali namun di pertengahan jalan, ia tak sengaja melirik kaca spion, matanya memicing curiga. Ia berusaha berkendara dengan santai namun tetap sesekali memantau. Ia pun memutar otaknya sehingga ia tetap bisa bersikap santai di saat seperti ini. Beberapa saat kemudian, ia tiba di sebuah rumah minima
Alex sudah mendengar tentang insiden penembakan di butik putrinya dari Anton.“Dia menembaknya tepat di kepala?”“Iya Don, pria itu mati di tempat dan sekarang Luke berada di kantor polisi.”“Aku akan urus itu nanti. Bagaimana dengan putriku?” Alex melirik Anton tajam seolah menuntut jawaban cepat.“Nona Isabella baik-baik saja. Dia ikut dengan Luke ke kantor polisi untuk memberikan keterangan.”“Oke. Jemput dia sekarang. Setelah selesai dengan urusan kepolisian, bawa dia pulang.” Alex menanggapinya dengan santai bahkan sempat-sempatnya menyesap kopi hitamnya.“Baik Don.” Anton membungkuk hormat sebelum keluar.Setelah menyesap kopinya, Alex menatap lurus ke depan dengan tatapan tajam tanpa berkedip, seperti ada sesuatu yang dipikirkannya.***“Kau tenang saja, ayahku pasti akan membebaskan kau.” Isabella memegang tangan besar Luke, menenangkannya namun Luke hanya diam.Mereka sudah memberikan keterangan dan untuk sementara waktu, Luke akan ditahan di sana sampai penyelidikan selesai.
Hampir pukul 2 pagi, mata Isabella tak kunjung bisa terpejam. Ia duduk di pinggir ranjang menghadap ke gorden balkon yang terbuka. Kamarnya gelap namun ada sedikit cahaya masuk dari lampu di balkon yang belum ia matikan. Ia tidak bisa menghilangkan bayang wajah Luke yang menatapnya tajam dan lekat sore tadi bahkan kata-kata yang ia lontarkan terus berputar di memori otaknya. Luke tampak begitu serius dan dingin saat itu membuat Isabella jadi kepikiran.Perlahan ia beranjak dari kasur, keluar dari kamar dan mendapati ayahnya sedang membaca buku di ruang utama sambil menghisap cerutu. Alex merasakan kehadiran Isabella lantas ia melirik anaknya sejenak namun tidak mengeluarkan suaranya. Ia menutup buku yang dibacanya.Isabella memilih untuk duduk di sana. “Ayah, kenapa belum tidur?” bertanya lebih dulu.Alex menghembuskan asap yang mengepul sampai membuat Isabella mengalihkan wajah, mengerutkan hidung. “Seharusnya Ayah yang bertanya pada kau. Kenapa jam segini kau belum tidur?”Isabella
Setelah pengujian, Isabella mengajak Luke keliling rumah sebelum jadwal latihan menembak nanti siang. Mereka hanya jalan-jalan di luar rumah.Mereka sampai di taman belakang rumah yang luas. Tamannya cukup asri, banyak pepohonan dan tanaman hias yang menyegarkan tumbuh di sana. Taman belakang rumah Isabella juga dilengkapi dengan kolam ikan dan area santai.Mereka mengambil duduk di kursi ayunan berhadapan di area santai. “Sekarang aku ajak keliling rumah dulu. Kalau kau udah resmi jadi bodyguardku, kau akan tinggal di sini juga.” Luke mengangguk paham. “Kapan-kapan aku akan ajak kau ke butik milikku juga.”“Kau punya butik?”“Ya, tidak jauh dari sini.”“Kau terlalu baik padaku.” Isabella menaikkan sudut bibirnya sedikit. “Hm, ngomong-ngomong apa kau punya pacar?” Isabella menekuk badannya, lebih condong ke arah Luke. Ia menatap Luke dengan tatapan penuh cinta.Luke menggeleng. “Tidak. Aku tidak pernah pacaran.”Pupil Isabella membesar. “Benarkah? Orang tampan dan keren seperti kau