Veronika begitu asyik terpejam, ketika ia mulai terganggu oleh rasa gatal di tenggorokannya. Saat ia mencoba mengabaikannya, rasa itu justru semakin mengganggu, memaksanya membuka mata.
Belum sepenuhnya sadar, tangan Veronika meraba-raba nakas, mencari botol minumnya. Sialnya, botol itu justru kosong. "Ah, sial. Kenapa harus kosong, sih? Sepertinya aku harus lebih memerhatikannya sebelum tidur," gerutunya, lalu beranjak turun dengan malas dari atas tempat tidur. Dengan langkah gontai, Veronika berjalan keluar sambil beberapa kali menguap. Ruang tengah itu gelap, membuatnya meraba-raba mencari saklar untuk menyalakan lampu. Begitu tiba di dapur, Veronika segera mengisi botol minumnya. Tak lama kemudian, suara benda terjatuh membuatnya terlonjak. Matanya langsung awas menatap ke sekeliling. "Si-siapa di sana?" tanyanya, menatap bayangan gorden yang tertiup angin. Veronika menyentuh tengkuknya. Tubuhnya meremang karena takut. "Tidak mungkin ada yang masuk ke kamar ini, kan? Aku sudah mengunci pintu rapat-rapat. Mustahil kalau ada yang bisa masuk," gumamnya, mempercepat langkah menuju kamar. Begitu Veronika tiba di dalam kamarnya, wanita itu segera mengunci pintu rapat-rapat. Mata yang semula mengantuk kini sepenuhnya terbuka lebar. Veronika segera naik ke atas tempat tidur, lalu meneguk air putih dari botolnya. "Enggak mungkin pemilik apartemen, kan? Aish, apa yang kupikirkan?" gumamnya pada diri sendiri. Tak ingin memikirkan apa pun lagi, Veronika kembali berbaring. Besok ia harus bekerja dan tidak boleh terlambat, atau atasannya pasti akan mengamuk. Tidak butuh waktu lama bagi Veronika untuk kembali terlelap. Tepat saat itu, seseorang berjalan keluar dari dalam kamar mandi. Langkahnya mantap, menuju ke arah tempat Veronika tidur. Sejenak, sosok itu memandangi Veronika. Tangannya terangkat, membelai pipi mulus wanita itu, lalu turun ke leher jenjangnya. Tak lama, tangan itu menjauh. Sosok misterius itu mendekatkan wajahnya ke leher Veronika, hembusan napas panasnya menyentuh kulit Veronika. Veronika sempat terganggu, tapi hanya mengerang pelan lalu kembali terlelap. Suara dengkuran halus terdengar di telinga sosok misterius itu. "Aku... sudah menemukanmu...," bisiknya pelan, penuh misteri. Sebelum pergi, sosok misterius itu sempat meninggalkan jejak kepemilikan di leher Veronika, lalu berjalan menjauh sambil menampilkan senyum penuh arti. Ia sempat menoleh sejenak, sebelum akhirnya membuka kunci kamar Veronika dan beranjak pergi. Suara alarm dari ponsel Veronika berbunyi, membuat wanita cantik itu perlahan membuka matanya. Veronika mendudukkan diri sambil memegangi lehernya yang terasa sedikit perih, tanpa menyadari sesuatu di sana. "Huh, beruntung aku nggak terlambat," gumamnya lalu mematikan alarm tersebut. Tanpa membuang waktu, Veronika segera bergegas menuju kamar mandi. Tak butuh waktu lama, ia sudah keluar dengan handuk melilit di sekujur tubuhnya. Begitu duduk di depan meja rias, pandangan Veronika langsung tertuju ke pantulan dirinya di cermin. Matanya membelalak saat melihat tanda-tanda merah memenuhi lehernya. "Hah? A-apa ini?" tanyanya panik, spontan memegangi area yang dipenuhi jejak tersebut. "Kissmark? Aku nggak sebodoh itu! Aku tahu tanda merah seperti ini," ucapnya setengah gemetar. Baru saat itu Veronika sadar jika ada sesuatu yang tidak beres di dalam kamarnya. "Apa aku harus pindah? Ta-tapi… kamar ini satu-satunya yang paling aman saat ini," gumamnya ragu. Tak ingin terus memikirkan hal itu, Veronika memilih untuk segera bersiap-siap ke kantor. Waktu terus berjalan dan jika ia terus berdiam diri memikirkan tanda kissmark tersebut, ia benar-benar bisa terlambat. Untuk menyiasati agar tanda itu tak terlihat oleh rekan-rekan kantornya, Veronika memutuskan mengenakan syal tipis yang membungkus lehernya dengan rapi. Setidaknya, itu cukup untuk menyembunyikan jejak merah mencolok itu dari pandangan orang-orang. Tanpa pikir panjang lagi, Veronika pun bergegas pergi meninggalkan kamar apartemennya. Setibanya di kantor, Veronika langsung menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak? Wanita itu tampil cukup mencolok dengan syal melilit lehernya. Beberapa pasang mata sempat saling pandang dan berbisik-bisik pelan. Salah satu rekan wanitanya, Ona, mendekat sambil meneliti Veronika dengan tatapan menyelidik. "Ada apa?" tanya Veronika, suaranya terdengar sedikit gugup. "Apakah ini musim dingin? Atau… ada sesuatu yang tersembunyi di balik syal itu, hm?" goda Ona dengan senyum sinis di wajahnya. "Apa pun yang tersembunyi, itu bukan urusanmu, Ona!" balas Veronika, membuat wajah wanita itu langsung berubah kesal. "Kau… bitch!" umpat Ona dengan nada meninggi. Kening Veronika langsung berkerut. Ia menatap tajam wanita itu, lalu berkata, "Kau mengenalku? Bagaimana bisa kau seenaknya mengataiku tanpa tahu siapa aku, hah?" Tanpa menunggu jawaban, Veronika menyingkirkan posisi Ona yang menghalangi jalannya. "Aku harus ke ruanganku. Minggir!" tegasnya, lalu melangkah mantap menuju ruang kerjanya. Setibanya di lantai atas, Veronika memutuskan untuk menemui atasannya terlebih dulu, sebagai bentuk absen kehadirannya. Ia mengetuk pintu dan segera masuk setelah mendengar perintah untuk masuk dari dalam ruangan. Di dalam, Veronika terus memegangi syalnya, perasaan takut kalau-kalau ketahuan begitu menghantuinya. Begitu melihat wajah tampan atasannya yang kini mengerutkan kening, kecemasannya semakin bertambah. "A-ada apa, Tuan?" tanya Veronika, berusaha terlihat tenang meski suaranya terdengar agak gugup. "Ya, ada sesuatu yang berbeda darimu," jawab atasannya dengan nada heran. "Kenapa memakai syal di musim panas seperti ini?" Mendengar pertanyaan tersebut, Veronika segera memutar otaknya. Ia mencari-cari alasan yang tepat untuk diberikan kepada atasannya. "Hanya ikut model saja," jawab Veronika akhirnya, dengan senyum yang dipaksakan. "Semoga saja tidak ada pertanyaan lanjutan," batinnya, berusaha menenangkan diri. Veronika merasa semakin gugup ketika atasannya tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. Tubuhnya langsung menegang. Saat atasannya mulai berjalan mendekat, Veronika bisa merasakan langkahnya yang semakin dekat, hingga akhirnya pria itu berdiri diam di belakangnya. Beberapa detik kemudian, Veronika dikejutkan dengan wajah atasannya yang mendekat dari belakang, hampir menyentuh telinganya. Jantungnya berdegup kencang dan tubuhnya terasa lemas. Tiba-tiba, atasannya menariknya ke dalam dekapannya dengan gerakan cepat, membuat Veronika hampir terjatuh. "Kau terlihat begitu gugup? Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan?" tanyanya, yang dibalas gelengan kepala oleh Veronika. "Lalu?" "Anda terlalu dekat, aku... gugup!" kata Veronika, yang membuat atasannya itu semakin mengeratkan pelukannya. "Aku tidak sabar untuk jawabanmu, Baby," kata atasannya. "Bisa aku mendapat jawaban itu sekarang?" "Jawaban? Jawaban apa, Tuan?" tanya Veronika, kebingungan dan merasa lupa dengan pertanyaan sebelumnya. "Perlu aku ingatkan? Aku menunggu jawaban, apakah kau ingin menjalin hubungan denganku?" tanya atasannya, suara tegasnya membuat Veronika menelan ludah dengan berat. "Aku tidak..." kata Veronika, suaranya tercekat, tidak tahu harus berkata apa. "Tidak apa, Baby? Kau tidak percaya padaku?" tanya atasannya sambil merogoh saku jasnya. Tiba-tiba, dari balik saku, atasannya mengeluarkan sebuah kotak cincin berwarna merah beludru. "Will you marry me?"Di depan ruang perawatan, Noah terus mondar-mandir tak karuan. Rasanya ... ia tidak bisa tenang. Melihat tuannya seperti itu, membuat Aldrich menyunggingkan senyum tipis. "Tuan, apa Anda tidak lelah terus-menerus seperti itu? Silahkan untuk duduk dahulu." Aldrich mencoba menghentikan tuannya. Bukan apa? Ia yang melihat saja sudah pusing, tidakkah tuannya merasa pusing mondar-mandir seperti itu."Aku tidak bisa tenang, Aldrich! Wanita itu sangat bodoh! Kau tahu? Sok jadi pahlawan." Noah mendengus. Meski ucapannya masih tajam, jauh di lubuk hatinya, ia begitu merasa bersalah."Itu bukan bodoh, Tuan," kata Aldrich. "Istri Anda sedang berkorban untuk suaminya saat ini. Nona melindungi Anda." Noah mengernyit. Bingung dengan sikap pengawal kepercayaannya itu. Melihat tuannya tak berkedip menatapnya, membuat Aldrich refleks berjalan mundur. "A-ada apa, Tuan? Kenapa melihat saya seperti itu? Anda tidak sedang berniat melecehkan saya, kan?" tanya Aldrich. Sempat-sempatnya dia berbicara mel
Tangan kasar Demon hampir menyentuh bahu Veronika, hendak menarik paksa pakaian wanita itu. Napas Veronika memburu, air matanya makin deras. Saat jarak itu tinggal seujung jari, suara berat nan tajam terdengar, membelah ketegangan di ruangan itu."Ada tamu rupanya."Langkah tegas bergema dari arah tangga. Noah turun dengan mata setajam pisau, sorot matanya menusuk ke arah Demon. "Kenapa tidak ada yang memberitahukanku?"Demon tersentak, tubuhnya kaku seketika. Ia berbalik, mencoba tersenyum meski jelas sekali ketakutan menyelimuti wajahnya."K-Kau … bukankah tadi tidak ada di mansion ini?"Noah mendengus pelan, tatapannya mengarah ke Veronika yang bersandar lemas di dinding, wajahnya pucat, air mata bercucuran."Kau … paman istriku, ya?" Noah menyeringai kecil, namun sorot matanya dingin. "Sampai segitunya kau merindukan keponakanmu, sampai membuatnya ketakutan seperti ini? Lihatlah!"Demon menelan ludah, buru-buru mengatur ekspresi, mencoba menenangkan dirinya yang panik."A-Aku … ha
Veronika masih terpaku di depan pintu kamarnya. Aldrich sudah berlalu, meninggalkan pertanyaan yang membayangi pikirannya."Siapa tamu yang harus ku sambut?" bisiknya pelan. Jemarinya meremas erat kain dress yang dikenakan. Ketakutan perlahan menyusupi relung hati Veronika."Apa dia ingin menjualku? Seperti di film-film itu ... di mana suaminya tak menginginkan istrinya, lalu menjualnya pada orang asing."Tubuh Veronika bergetar halus. Ia memeluk dirinya sendiri, merasa sesak dengan segala prasangka yang terus menari di benaknya.Yang tak ia sadari, di ruang kerja, Noah duduk santai di hadapan layar monitor besar yang menampilkan seluruh sudut mansion, termasuk kamar Veronika. Tatapannya tajam, menatap layar di mana istrinya tengah berdiri ketakutan seorang diri.Senyum simpul tercetak di wajah Noah. Ia menyandarkan punggung ke kursi sambil mengangkat gelas wine-nya."Ketakutanmu benar-benar menghiburku, Sayang," bisik Noah, suaranya nyaris tak terdengar. "Kita lihat berapa lama kau b
"Kau mau kemana, Sayang?" tanya Margareth, matanya menatap tajam saat melihat suaminya bersiap keluar."Ibu memerintahkanku untuk mengambil Veronika dari mansion pria itu," jawab Demon singkat. "Aku harus membawanya kembali."Margareth mendengus pelan, lalu menyilangkan tangan di dada. "Untuk apa?" tanyanya dingin. "Dia sudah menikah dengan pria itu, kita tidak punya hak membawa dia pulang tanpa izin suaminya."Demon menoleh cepat, tatapannya penuh heran. "Sejak kapan kau jadi bijak begini? Bukankah kau membencinya? Kenapa sekarang malah bersikap sok dewasa?""Justru karena aku membencinya," sahut Margareth, nada suaranya lebih keras. "Karena aku benci, aku tidak ingin dia kembali. Aku muak dengan wajahnya, muak dengan namanya. Jika kau benar-benar ingin menyingkirkan pria itu, sekalian lenyapkan saja perempuan itu bersamanya."Margareth menggeram pelan, matanya menyala amarah. "Aku tidak mau ada sisa-sisa yang mengotori keluarga kita.""Kau membencinya sedalam itu?" tanya Demon, nada
"Kalau pun aku gagal … kalau pun aku harus mati di tanganmu suatu hari nanti, aku tidak akan menyesal. Tidak akan pernah ada penyesalan karena telah menjadi istrimu!"Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Noah. Wajah Veronika, tatapan mata yang tak gentar meski dipenuhi air mata, seolah mengejarnya dalam diam."Sial!" Noah mengumpat, rahangnya mengeras. Dadanya sesak oleh amarah yang entah ditujukan pada siapa — Veronika, dirinya sendiri, atau masa lalu yang tak pernah bisa dia kubur."Memang itu yang kuinginkan!" teriaknya, suaranya menggema di ruangan yang seketika terasa sempit. "Aku ingin kau mati! Aku tidak mencintaimu! Dan kau … kau tidak pantas bersamaku!"Tanpa pikir panjang, Noah menyambar vas di atas meja, melemparkannya ke dinding hingga pecah berantakan. Satu per satu barang di kamarnya dihancurkan, dipukul, dilempar, seolah itu bisa meredakan amarah yang membakar dirinya dari dalam.Namun, setelah semua hancur, setelah suara dentingan kaca tak lagi terdengar, Noah
Veronika membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa berat, dan pandangannya masih buram. Saat kesadarannya mulai pulih, ia merasakan kehangatan di sekelilingnya. Keningnya berkerut ketika mendapati dirinya tengah berbaring di atas ranjang empuk dengan selimut rapi menyelimuti tubuh.Tubuhnya terlonjak sedikit saat menyadari pergelangan tangannya yang sebelumnya terluka kini telah terbalut rapi. Luka itu telah dibersihkan, perbannya masih baru."Siapa yang ..." bisik Veronika pelan, menatap tangannya sendiri dengan kebingungan. Ia tak ingat siapa yang merawatnya, bahkan tak tahu sejak kapan ia dipindahkan ke kamar ini.Suasana di kamar itu begitu hening. Hanya suara detakan jam dinding yang terdengar samar. Veronika menoleh ke arah jendela yang tirainya sedikit terbuka, membiarkan cahaya matahari merayap masuk.Perlahan, Veronika duduk di tepi ranjang. Kepalanya masih terasa pusing, tapi pikirannya dipenuhi rasa penasaran. Ada rasa hangat sekaligus takut yang bercampur aduk di dadanya.