"Aku pasti sangat merindukanmu!"
"Aku juga!"
Arini melepas pelukannya. Ia mencoba tersenyum seraya melambaikan tangan ke arah saka yang mulai melangkah pergi meninggalkan dirinya.
"Lindungilah mereka, Ya Allah. Selamatkan mereka sampai tujuan!" ucap Arini dalam hati.
Perlahan, lambaian tangan itu mulai turun, senyumnya mulai memudar saat saka dan galang menghilang di belokan pintu.
Drt ... Drt ...
Arini mengambil ponsel dan mengangkat tanpa melihat siapa yang menghubungi dirinya.
"Halo," jawab arini terkejut saat devian menghubungi dirinya.
("Arini, apa kamu sudah sembuh?")
"Iya, Kak. Alhamdulillah," jawab arini melangkah ke arah jendela yang memperlihatkan sebuah pesawat yang akan di tumpangi kekasihnya.
("Bisakah kamu datang kemari? Aku mencoba menghubungi saka tapi nomornya tidak aktif,")
Arini terdiam. Tatapan matanya hanya tertuju ke arah pesawat yang mulai t
"Berhenti!" teriak Arini yang begitu berani. Semilir angin mulai menerpa rambut indah arini. Raut wajahnya yang tadinya memiliki kelembutan mendadak hilang dan mulai memperlihatkan kesangarannya.DegSuara khas arini mengejutkan mereka semua. Secara serempak mereka menoleh dan terperangah melihatnya."Arini?" kata batin salah satu perampok tersebut yang tak lain adalah Farel, kakak kandung arini sendiri."Serahkan tas itu pada pemiliknya. Kalian terlihat masih muda, tak seharusnya kalian melakukan hal serendah ini?" tutur Arini mulai berceramah.Farel menegak salivanya dengan paksa. Ia menoleh ke arah salah satu temannya yang maju menghampiri sang adik tercinta."Siapa kamu? Berani-beraninya menasehati kami. Pergilah! Atau aku akan menghabisimu!" ucap perampok tersebut membuat Farel tercengang mendengarnya.Farel mendongak. Ia menoleh pada Arini yang benar-benar tak takut dengan ancaman salah satu temannya itu."Arini, pergilah!" gumam batin Farel yang tak mampu mengeluarkan suaranya
Sebelum pergi, Bondan menyerahkan tas yang berisikan uang itu pada kakek Rendra.GlekArini seakan tak mampu berkata. Ia hanya berdoa dalam hati, semoga hubungannya dengan saka baik-baik saja."Duduklah! Kamu terlihat begitu lelah," pinta kakek Rendra membuat arini bingung menyikapinya.Arini mulai duduk. Bibirnya melipat sembari menatap ke arah kakek rendra yang mulai bersikap manis padanya.Sangat jauh berbeda saat ia masuk ke dalam rumah bersama pak Bondan dan yang lainnya. Terlihat angkuh dan tak ada senyum yang tertoreh sama sekali di wajahnya."Arini, sebentar lagi kamu dan saka akan menikah. Dan kamu akan menjadi bagian keluarga kami. Kamu tau kan, keluarga kami bukan keluarga biasa. Jadi, kakek harap kamu bisa mensejajarkan diri kamu sebelum kamu sah menjadi istrinya saka!" pinta kakek Rendra yang mulai di mengerti oleh Arini.Malam harinya, Arini menghela nafas panjang. Ia mulai menjatuhkan tubuhnya tepat di atas tempat tidur miliknya. Bola matanya mengerling menatap beberapa
Saka bingung. Jari jemari tangannya tak berhenti mengetuk meja seraya berpikir. Kedua bola matanya menatap ke arah layar pipih yang ia genggam. Ia membuka dan tersenyum melihat foto arini terpajang di wallpaper ponselnya. Wajahnya yang cantik, manis dan senyumnya yang menawan membuat dirinya tak bisa menahan rasa rindu di hatinya."Aku sangat merindukanmu!"Niat hati ingin menghubungi sang kekasih tapi niatnya terhenti saat kakek Rendra tiba-tiba menghubungi dirinya."Iya, Kek!" jawab Saka memasang senyum manisnya di depan sang kakek.Tepat jam 12 malam, Arini tak berhenti menatap ke arah layar ponsel miliknya. Kedua kakinya merapat dan mendekap dengan erat sembari menunggu telepon dari orang yang sangat ia rindukan."Dia benar-benar marah padaku," keluh Arini beranjak dari duduknya. Dengan langkah tak bersemangat, ia melangkah dan merebahkan tubuhnya tepat di atas tempat tidur. Kedua matanya terasa penat menunggu saka yang tak kunjung menghubungi dirinya."Gara-gara dia, aku tak bisa
Devian tertunduk diam. Ia tak mungkin membantah ataupun membicarakan hal-hal yang buruk tentang baby sitter rese itu di hadapan sang kakek. Meskipun dirinya selalu benar, di mata sang kakek semua perkataan devian tetaplah salah."Sial! Haruskah aku melihat baby sitter rese itu di rumahku?" gumam batin Devian sembari melipat bibir sexynya.***Drt ... Drt ...Jari jemari tangan arini meraba, berusaha meraih benda kecil yang bergetar hingga mengganggu tidurnya.Dengan mata yang masih terpejam, Arini mengangkat teleponnya. "Ya," jawab Arini terbelalak kaget. Ia terbangun dan berlari ke arah jendela kamar yang bisa melihat aktivitas di depan rumahnya.Tegakan salivanya mengalir dengan paksa. Ia seakan tak percaya dan tak menyangka jika kakek Rendra datang menjemputnya."Baik, Kek!" jawab Arini mematikan ponselnya.Arini menghela nafas panjang. Tubuhnya seakan lemas tak bertenaga saat ia harus menerima dan menjalankan permintaan dari kakek tunangannya itu."Bagaimana kalo aku tak bisa men
Arini mendesah sebal. Ia tak tau lagi harus bagaimana menyikapi saka yang masih marah padanya. Kesabarannya seakan hilang saat rasa amarah dan kesal di dirinya menghampiri kembali."Tutuplah! Percuma saja menelpon jika tak mau bicara. Tutuplah!" gumam Arini kesal dan tak bersemangat untuk berbicara."Apa kamu tak merindukanku?" tanya saka mulai mengembangkan senyumnya. Arini menyeringai. Raut wajahnya seketika merona saat suara khas sang kekasih akhirnya terlontar juga."Apa kamu sudah makan?" tanya arini mengalihkan pembicaraan.Perlahan, ia merebahkan tubuhnya sembari memegang ponsel yang sedari masih terhubung dengan saka."Sudah, kamu darimana? Tumben kamu dandan? Apa kamu mencoba untuk mengkhianatiku?" cecar Saka seraya menopangkan tangan tepat di atas dagu."Siapa juga yang mau mengkhianatimu? Justru aku malah takut kamu mencoba mencari cewek lain di sana," bantah Arini tak terima dengan tuduhan saka padanya."Padahal, aku berpenampilan seperti ini juga untuk kebaikan kita berdu
"Iya. Mereka benar-benar menyukai arini setulus hati mereka tanpa memandang status sosial kita. Biasanya, orang konglomerat seperti keluarganya saka, itu sangat selektif memilih pasangannya," gumam ayah menyanjung kebaikan keluarga saka."Arini akan mengembalikannya, Ayah!" Perkataan arini membuat ayah dan ibu terkejut. Kedua mata mereka saling menatap satu sama lain. Tegakan salivanya mengalir secara bersamaan."Kita tidak bisa menerimanya begitu saja, ayah, Ibu. Arini tak mau semua orang bilang kalo keluarga kita matre. Ayah, masih ingat kan waktu ibu bekerja di rumahnya Bu Anggun?" Arini mencoba mengingat kembali kenangan pahit yang pernah dialaminya.Ayah menoleh ke arah istrinya yang tertunduk diam dan tak berani menatapnya."Sudah cukup kejadian pahit itu terjadi pada kita, Ayah, Ibu. Arini tak mau kejadian itu terulang kembali," gegas Arini pergi meninggalkan kedua orangtuanya tersebut.Ayah dan ibu saling menatap satu sama lain. Memang, apa yang dikatakan putrinya benar adany
"Pak ...," ulang Arini membuyarkan lamunan pak Dhaniel."Maafkan saya, Nona. Saya tak bermaksud untuk ...."Arini menyeringai. Ia tak menyangka jika lelaki yang bertubuh besar, gagah dan terlihat kasar itu memiliki sifat kesopanan dan rasa hormat kepadanya. Padahal, waktu pertama kali bertemu, senyum itu sama sekali tak tertoreh di diri pak Dhaniel. Hanya tatapan sinis yang selalu mengarah padanya."Tidak apa, Pak. Bapak tak perlu minta maaf pada saya," tutur Arini.Pak Dhaniel melirik ke arah berkas yang di pegang oleh Arini. Seperti berkas laporan yang ia pegang lima jam yang lalu sebelum berpindah ke tangan orang lain."Apa kakek Rendra ada di dalam?" tanya Arini membuyarkan lamunan pak Dhaniel."Iya. Beliau ada di dalam," jawab pak Dhaniel yang masih saja memperhatikan laporan yang dipegang arini."Ok! Kalo begitu saya permisi, ya, Pak Dhaniel. Terimakasih sebelumnya," kata arini mulai memasuki rumah megah dan mewah di bandingkan rumah yang di tempati Devian.Pak Dhaniel menoleh d
"Tunggu sebentar, ya, Kek! Arini akan membuatkannya untuk kakek," gegas Arini mulai menuju dapur yang letaknya hanya dua meter dari kakek Rendra."Aku harus menghubungi saka. Bagaimana reaksi dia melihat arini membuatkan kopi untukku?" kata batin kakek mengambil ponsel miliknya. Tapi, niatnya terhenti saat kakek memilih untuk memfoto Arini secara diam-diam."Pasti dia iri padaku!" gumam batin kakek mengirim foto tersebut untuk saka. Kakek Rendra menghela nafas sembari meletakkan ponselnya kembali di atas meja. Hatinya seakan lega saat memamerkan kebersamaannya dengan arini pada cucunya tersebut.Senyumnya tertoreh, kedua matanya tak berhenti menatap wanita yang sebentar lagi akan menjadi cucu menantunya."Silahkan, Kek!" Dengan hati-hati, arini meletakkan secangkir kopi untuk kakek Rendra."Makasih, ya!" "Sama-sama, Kek!" jawab Arini mulai duduk di depan sang Kakek Rendra.Sejenak, kedua bola matanya menatap kembali ke arah berkas yang ia bawa dari rumah.. Bibirnya yang mungil perla