Share

Part 2

“Ayah gak mau ada perdebatan lagi. Sudah cukup, terima tidak terima Andre akan menikah dengan Valen.” Ayah mendekat dan meraih tanganku. “Cinta, maaf, ayah sebenarnya berat sekali karena ayah tahu mungkin cuma Andre yang bisa nerima kamu, tapi mau bagaimana lagi, adikmu sudah mengandung. Ayah sudah berusaha mencari jalan sama ibumu tetapi tetap saja ini yang terbaik.”

Aku tersenyum getir, entah ingin menggambarkan perasaan seperti apa saat ayah mengucapkannya, tetap saja aku tak senang dengan ucapan ayah. Memang benar, selama aku sekolah dasar hingga SMA bahkan sampai saat ini tak ada satupun laki-laki yang mau mendekat denganku, entah karena aku yang terlalu pendiam atau terlalu jelek, tetapi memang hanya Andre yang mau dekat denganku. Mungkin saat itu matanya tak dapat melihat dengar benar atau ia sakit mata saat mendekatiku.

Kulihat senyum mengembang di wajah Valen, sementara Andre hanya menunduk.

“Baiklah, terserah kalian. Menikahlah.” Kutinggalkan ruang tamu dan memilih masuk ke kamar.

Di depan cermin kutatap diri ini, masih menggunakan kebaya putih dnegan riasan yang sudah berantakan. Air mata tak dapat kutahan lagi, jatuh begitu deras membasahi pipi. Meski aku meraung ibu tak datang untuk menenangkanku, padahal saat ini aku butuh sekali seseorang yang memelukku, menenangkan, dan sejenak menghapus air mataku, tetapi kenapa wanita yang sangat kuharapkan itu tak datang untuk sekedar memeluk atau memberikan ketenangan padaku. Begitu jelas perbedaan kasih sayang yang ibu berikan. Dulu, aku selalu menyangkal dan berusaha meyakinkan diri bahwa ibu juga sangat menyayangiku. Saat itu aku berpikir mungkin perlakuannya berbeda hanya karena aku ini seorang kakak yang harus terlihat lebih kuat tanpa pembelaan didepan adikku. Namun, hari ini cukup terlihat nyata dan aku harus sadar, kasih ibu lebih besar untuk adikku.

….

“Cinta ayo makan, gak usah ngurung diri di kamar, kamu harus mulai menerima kenyataan dan menerima Andre udah jadi adik iparmu.”

Kudengar suara ibu sembari mengetuk pintu. Rsanya enggan sekali untuk keluar apalagi bertemu dnegan dua manusia itu.

“Ayo cepat, kita sarapan, kamu jangan terus begini. Keluar, kamu tahu hari ini akan ada pesta pernikahan adikmu.”

Dimana hati perempuan yang telah melahirkanku itu? Bagaimana aku bisa tegar melihat orang yang kucinta bersanding di pelaminan bersama adikku. Dekor pelaminan yang kupilih, gaun pengantin yang sangat kudambakan bahkan sepatu cantik yang telah kupilih dan kuidam-idamkan akan dipakai wanita lain bersanding dengan lelaki yang sampai saat ini masih menjadi raja di singgasana hatiku. Haruskah aku merelakan itu semua?

“Cinta, sadar Cinta, kamu gak boleh begini. Andre gak pantas buat kamu. Yakin, kamu bisa hidup lebih baik sekalipun gak sama lelaki itu. Lagipula kamu gak perlu menyesali lelaki seperti itu.” Kuhapus air mata, gegas menuju kamar mandi, rasanya sudah cukup semalaman aku menangis, aku harus sadar dan bangkit, setidaknya menunjukkan kepada adik dan adik iparku itu, aku bisa lebih baik. Tak membutuhkan lelaki seperti dia.

Kubuka kebaya putih yang masih kukenakan, karena memang semalaman aku menangis hingga ketiduran sampai tak sempat membuka baju kebaya yang masih menempel di tubuhku, bahkan hijab pengantin belum sempat kulepas.

Perlahan air dari shower mulai membasahi tubuh. Kupejamkan mata, kenangan-kenangan indah bersama Andre menari dalam benak. Kenangan lima tahun bersama tentu saja itu bukan waktu yang singkat sehingga dapat dilupakan dalam semalam. Tak ingin berlama-lama mengingat kenangan itu, gegas kuselesaikan mandi.

….

Kulihat sekeliling, sudah ramai rupanya. Kutarik nafas perlahan melihat semuanya. Andai aku tak memikirkan temanku, tempat dimana aku memesan catering untuk acara ini mungkin aku akan membatalkannya, tetapi aku tidak ingin, hanya karena aku sakit hati kepada keluarga lalu aku merugikan orang lain pula.

Baru saja melangkah ibu sudah menghadangku.

“Mana hantaran emas dari keluarga Andre? Biar dipakai adikmu, kan gak enak kalau ditanya teman-teman arisan Ibuk,” pinta ibu tanpa basa-basi.

“Hantaran itu hasil aku nabung sama Andre, Buk. Bukan sepenuhnya punya Andre aau dari keluarganya. Ibuk tahu itu hasil usaha aku sama Andre, kenapa harus aku kasih sama Valen, kalau dia mau minta aja sama Om dan Tante.” Aku melenggang pergi meninggalkan ibu.

Enak saja, harusnya ibu sedikit saja simpati denganku. Aku dan Andre mengumpulkan uang untuk menikah, emas hantaran dan mahar semuanya murni dari hasil usaha kami berdua, bagaimana aku akan rela memberikannya kepada Valen begitu saja.

Ibu menarik tanganku, tak membiarkan aku pergi begitu saja. Aku sudah paham dengan sikap ibu. Jika belum dapat ia tidak akan pernah membiarkan mangsanya lolos begitu saja. Berbagai cara akan dia lakukan untuk mendapat apa yang dia inginkan.

“Tunggu Cinta, kamu enggak bisa gitu dong! Itu kan usaha Andre juga. Kalian harus bagi rata, seenggaknya setengah beri untuk Valen juga, kasihan dia. Masa dia cuma dapat mas kawin dua ratus ribu.”

Memang benar semua yang kudapat hasil bersama Andre, tapi Valen tak berhak mendapatkannya. Bahkan untuk membayar sakit hatiku saja tak cukup dan dia ingin menikmati begitu saja. Oh tidak, aku tidak akan membiarkannya. Semua yang telah kukumpulkan bersama Andre tak akan pernah jatuh ketangannya sepeserpun.

Tak ingin berdebat dengan ibu terlalu lama lebih baik aku pergi, mencari udara segar. Pun tak ingin menyaksikan senyum Valen di pelaminan. Namun, sekalipun aku tak ingin menyaksikan adikku itu duduk bersanding di pelaminan bersama Andre tetap saja untuk keluar aku harus melewati tenda pelaminan. Tak bisa dipungkiri sesak masih menyusup di dada, harusnya aku yang duduk mengunakan gaun indah disana, harusnya aku yang bercanda mesra disana. Harusnya aku yang berbahagia menikmati megahnya pesta yang telah kupersiapkan.

Sudahlah, tak ingin berlama-lama berdiri bagai patung dan menjadi bisikan tetangga lebih baik aku segera pergi. Sengaja kutinggalkan ponsel tak ingin meladeni teman-teman kerjaku yang mungkin akan bertanya banyak hal melalui pesan, bahkan mungkin akan menjadi pembicaraan trending di group kantor. Undangan atas namaku sudah tersebar bersama foto yang jelas wajahku terpampang didalam kartu undangan, tetapi ketika mereka datang dan menyaksikan bukan diriku yang ada di pelaminan, entah mereka akan menertawakan atau merasa iba kepadaku jika tahu cerita menyedihkan ini.

….

Duduk seorang diri di tepi danau, kenapa air mata ini kembali jatuh.

“Cinta, ngapain sih kamu nangis lagi.” Kuhapus cepat air mata yang menetes di pipi.

“Iya ngapain sih kamu nangis lagi, laki-laki seperti Andre enggak pantes kamu tangisin.”

Rania duduk di sampingku, entah sejak kapan gadis itu berada disini.

Melihatnya menatapku justru semakin membuat air mata ini kian deras mengalir. Rania sigap memelukku, tak mengatakan apapun, ia hanya menepuk pelan pundakku yang terguncang akibat menangis.

“Aku bukannya nangisin Andre, Ran. Kamu tahu perjuangan aku semuanya, kenapa aku bisa bodoh banget kayak gini, aku percaya gitu aja, kenapa aku percaya sampai sejauh ini Ran sampai enggak sadar mereka mainin aku?”

“Aku ngerti. Udah, sekarang kamu tenangin dulu hati kamu, nanti urus kalau pikiran kamu udah adem, oke? Jangan sampai gegabah.”

Rania, sepupu yang paling dekat denganku. Aku sering berbagi cerita dengannya, dia orang yang selalu menjadi teman curhatku. Dia tahu apa yang telah kulakukan untuk Andre selama ini, dia memang gadis yang paling tahu sakit hatiku kini.

Rania mengajakku pulang setelah hari semakin terik, meskipun aku masih ingin berlama-lama menatap air danau dan bercerita dengannya, tetapi aku tetap menurut dan mengikuti dia.

Aku mengendarai motor seorang diri begitupun Rania, rupanya ia tadi mengikutiku ketika melihat aku keluar seorang diri. Tidak ingin terjadi apa-apa denganku ia membuntutiku hingga kesini. Ya, hanya dia yang ada di sampingku saat ini, saat semua keluarga tak mempedulikanku.

Mengendarai motor dalam keadaan pikiran kacau membuatku tak fokus dan sedikit melamun, saat akan berbelok masuk gang yang menuju rumahku tiba-tiba saja mobil dari arah berlawanan hendak menabrakku, reflek saja membuatku terkejut dan membelokkan arah laju motor sehingga aku terjatuh, dan sialnya aku terjatuh tepat diatas genangan air yang membuat bajuku kotor hingga wajah.

“Kalau nyetir mobil yang bener dong, emang enggak lihat ada orang mau nyebrang,” umpatku kesal. Pikiran yang tidak karuan semakin membuat emosiku tak terkontrol, ingin sekali aku melampiaskannya pada pengemudi mobil itu.

“Sial, jadi kotor semua nih baju.” kubersihkan baju yang terkena lumpur, tetapi semua sia-sia lumpur masih menempel.

“Bukannya kamu yang gak lihat jalan mau nyebrang, mata tuh dipakai masih untung enggak patah tuh kaki,” ucap seorang lelaki yang kini telah berdiri di belakangku.

Ucapannya membuatku secepat kilat memutar badan, bukankah harusnya dia meminta maaf, apa dia mau merasakan umpatanku lagi?

“Apa kamu bil .…” Aku tak dapat melanjutkan ucapanku setelah sadar seratus persen siapa pemuda yang berdiri di depanku. “Ka … kamu …. “

Regantara Dirga, mimpi apa aku semalam bertemu pemuda itu, sudah pasti hari ini akan semakin buruk.

Regan tertawa terbahak melihatku dari atas hingga bawah. “Kamu si kuper,” ucapnya sembari menunjukku.

Sial, benar-benar sial. Kenapa harus bertemu Regan, aku bahkan tidak bisa melupakan saat dia membullyku habis-habisan waktu SMA bersama teman satu gengnya.

“Ya ampun Cin, kamu gak papa?” Rania datang menghampiriku. “Kok bisa kotor semua? Kamu jatuh? Pasti dia kan yang nabrak kamu.” Tunjukknya pada Regan.

Tak ingin menambah masalah dengan Regan atau lebih tepatnya malas menghadapi cowok idiot seperti Regan aku lebih memilih mengajak Rania pergi, membiarkan Regan masih tertawa memandangku.

“Kalau ada yang patah hubungi asistenku,” ejeknya masih dengan tawa.

Entah kesalahan apa yang kuperbuat sehingga hidupku seperti ini. Pernikahan gagal dan kembali bertemu lelaki yang sangat kubenci.

Sampai di rumah, kembali bibir-bibir tetangga berbisik melihat kedatanganku, terlebih bajuku kotor dengan lumpur. Entah apa yang mereka bicarakan tetapi yang pasti itu bukan hal baik.

“Ya ampun, Cinta! kamu dari mana, sih? Baju kotor begitu, seharusnya kamu enggak usah keluyuran dan temenin adikmu itu, kalau dia butuh sesuatu enggak repot ibuk.”

Baru saja akan masuk kamar ibu sudah datang menghampiri dengan omelan. Harusnya dia bertanya apa yang terjadi denganku atau bagaimana keadaanku. Bukankah begitu fitur ibu yang baik.

“Cukup Buk, aku bukan Cinta gadis tujuh tahun yang bisa Ibuk omelin di depan banyak orang. Aku udah dewasa Buk, apa Ibuk gak malu di depan orang berlaku seperti ini? Apa Ibuk enggak mikirin perasaanku di depan orang banyak selalu diperlakukan seperti ini?”

Kutinggalkan ibu, genangan air mata sudah memenuhi pelupuk mata. Sebenarnya aku ini putri mereka atau bukan? Kenapa memperlakukanku seperti anak tiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status