Share

4. Dinding yang Semakin Menjulang Tinggi

"Maaf, Sofia, sepertinya aku harus berhenti berjuang."

Ucapan Rayyan seperti sembilu yang mengoyak luka yang sudah menganga. Begitu perih dan sakit yang dia rasakan.

Sofia tak mengerti jalan pikiran Rayyan. Dia sudah berjuang di hadapan ayahnya. Namun, pada kenyataannya, Rayyan menyerah pada takdir.

"Maksud kamu apa, Ray?" tanya Sofia dengan linangan air mata yang tak mampu lagi dia tahan.

"Mungkin kita harus berhenti sampai di sini, Sofia. Tak baik rasanya menentang restu," lirih Rayyan.

Sofia menutup mulutnya berusaha agar suara tangisnya tak terdengar. Hatinya menjerit dan ingin sekali meratapi takdir yang sedang mengintai mereka.

Kenapa begitu sulit untuk mempertahankan cinta ini? Sofia merasa berjuang sendirian. Lalu, apa artinya jika yang diperjuangkan justru mengibarkan bendera perdamaian?

"Rayyan, aku sudah berusaha memperjuangkannya di hadapan ayah. Barusan ayah memintamu untuk datang menemuinya. T-tapi, kamu malah ....."

Sofia tak sanggup lagi untuk melanjutkan kalimatnya. Rasanya begitu sakit.

"Maafkan aku, Sofia. Mungkin kita memang tak pernah ditakdirkan untuk bersama. Aku sangat mencintaimu, tapi aku tidak ingin kamu menentang ayahmu."

Tubuhnya meluruh ke lantai. Dentuman dan rasa sakit dari dalam dada menyatu. Begitu sakit kenyataan yang dihadapinya kini.

Sekuat tenaga Sofia menggigit bibir bawahnya agar suaranya tak terdengar. Tangannya mengepal begitu kuat. Dia tidak sama sekali menyangka akan begini jadinya.

"Tapi, ayah sudah memberikan kita kesempatan Rayyan. Kamu tidak menghargai perjuanganku!" tudingnya.

"Aku sangat menghargai perjuanganmu, Sofia. Tapi, meskipun aku sudah menghadapi ayahmu, kenyataannya kita tidak bisa melawan takdir ini. Kita harus ikhlas, Sofia."

"Kamu jahat! Kamu tidak benar-benar mencintaiku," ucap Sofia frustrasi.

"Mengertilah, Sofia."

Sofia membanting ponselnya dengan keras. Tak dia pedulikan bagaimana hancurnya benda pipih itu. Bagi Sofia, hatinya jauh lebih hancur saat ini.

Sofia meraung dalam kesendirian. Tak dia pedulikan lagi apakah suaranya terdengar atau tidak. Dia begitu lemah, tak sanggup untuk menanggungnya sendiri.

Sedangkan di tempat berbeda, Rayyan pun sama hancurnya dengan Sofia. Hanya saja dia berusaha agar terdengar biasa saja.

Cinta yang selama ini dia rawat dengan baik harus berujung pilu. Dia harus mengikhlaskan kekasihnya untuk saudaranya Rayhan.

"Sofia, kamu kenapa, Dek?" tanya Mbak Sarah.

Sofia mengangkat wajahnya lalu memeluk erat tubuh wanita yang sudah seperti saudara kandungnya sendiri.

Sofia menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan Mbak Sarah. Tangan lembutnya mengelus kepala adik iparnya dengan sayang.

"Menangislah, Dek. Jangan dipendam sendiri."

"Rasanya sakit, Mbak," ucap Sofia dalam tangisnya.

Mbak Sarah mengangguk. Dia tahu betul bagaimana rasanya jika di posisi pelik seperti ini.

Namun, biar bagaimana pun jika ini sudah takdirnya, manusia bisa apa selain ikhlas?

Bundanya hanya mampu memandangi putrinya dari kejauhan. Sakit rasanya melihat putrinya yang begitu dia sayangi terluka.

*

"Bagaimana, Sofia? Apa Rayyan bersedia?" tanya Ustaz Azzam saat mereka tengah berdua.

Sofia terdiam. Bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan ayahnya sedangkan sudah dua hari ini Rayyan tak membalas pesan bahkan menjawab panggilan telponnya.

"Rayyan menyerah, Ayah."

"Kenapa?" Dahi Ustaz Azzam mengerut meskipun dia sudah tahu jawabannya.

"Dia tidak ingin Sofia durhaka pada ayah."

Ustaz Azzam mengangguk-angguk tanda mengerti. Di dalam hatinya dia memuji keputusan Rayyan, tapi dia mengerti bahwa keduanya terluka.

Andai Rayyan berani menemuinya, Ustaz Azzam bisa saja meminta sahabatnya untuk mengganti posisi Rayhan untuk Rayyan.

"Ya sudah, berarti kita lanjut ke tahap selanjutnya. Ayah tunggu proposal ta'arufmu sembari menunggu proposal ta'aruf dari Rayhan juga."

"Baik, Ayah."

Hanya itu yang bisa Sofia lakukan saat ini. Menerima jalan takdir ini meskipun hati tak ingin.

*

Sofia telah selesai mengirim proposal ta'arufnya melalui e-mail. Hatinya sangat tidak bersemangat. Namun, bayangan permintaan ayahnya terus terngiang membuatnya berusaha untuk belajar menerima.

"Kamu pasti bisa, Sayang," ucap Bunda Halimah dengan lembut.

"Insya Allah, Bunda."

Wajahnya memang bisa menyunggingkan senyum, tapi tidak dengan hatinya.

Nyatanya Sofia tidak bisa begitu mudah mengobati hatinya yang masih terluka.

*

Dua hari berselang, proposal ta'aruf dari pihak calonnya masuk melalui pesan e-mail. Membaca setiap data dirinya membuat Sofia merasa mengenal sosok itu. Meskipun keduanya tidak memasang foto pribadi dengan alasan lebih baik bertemu langsung. Namun, Sofia merasa mengenal sosok yang menjadi pilihan ayahnya.

Matanya terus memindai setiap data diri calonnya. Tanggal, bulan bahkan tahun begitu mirip dengan Rayyan. Bahkan pondok pesantren pun juga sama. Tempat di mana mereka menimbah ilmu.

Sofia rasanya tak sabar ingin segera bertemu sosok itu. Dia begitu penasaran siapa dia.

"Sofia, minggu depan, kalian akan dipertemukan untuk pertama kalinya. Kamu boleh mengajukan pertanyaan untuknya.

"Baik, Ayah."

*

Sudah hampir dua pekan Sofia masih dengan setia menunggu balasan pesan dari Rayyan. Namun, selama itu pula juga Rayyan menghilang bak ditelan bumi.

Tak hentinya Sofia bermunajat, merayu kepada Sang Pemilik hati agar cinta mereka bisa bersatu. Sofia yakin bahwa Rayyan lah takdir yang sesungguhnya.

"Kamu ke mana? Kenapa kamu justru menghilang," gumam Sofia.

"Harusnya kita berjuang bersama. Kenapa malah kamu memintaku untuk menyerah?"

Air mata itu kembali terjatuh. Ingin rasanya Sofia menangis sejadi-jadinya. Meratapi takdir yang justru tak berpihak padanya.

Sofia terus menangis hingga tak terasa matanya semakin memberat. Sofia tertidur setelah menghabiskan begitu banyak air mata.

*

Hari telah tiba, Sofia bersiap untuk menemui sosok yang menjadi pilihan ayahnya. Jantungnya berdegub sangat kencang begitu melihat dari kejauhan Ustaz Luthfi duduk bersama sosok lelaki.

Sofia tidak bisa menebak siapa sosok itu karena posisi laki-laki itu membelakangi pintu masuk. Tentu saja itu membuat Sofia semakin penasaran dibuatnya.

Semakin dekat, semakin kuat pula jantung itu berdetak. Ustaz Luthfi akhirnya menyadari kehadiran mereka. Begitu tatapan keduanya bertemu, tampak rasa terkejut yang luar biasa.

"Sofia?"

"Rayyan?"

Ucap mereka bersamaan. Senyum yang tadi sempat mengembang dari wajah Rayhan perlahan memudar begitu Sofia menyebut nama sosok yang lain.

Ustaz Luthfi mempersilahkan mereka duduk. Jantung mereka semakin berpacu. Rayhan masih tidak menyangka jika yang menjadi pilihan ayahnya adalah wanita yang selama ini dia cari.

Sofia masih belum mengerti. Jika Rayyan adalah lelaki pilihan Ayahnya, mengapa dia menghindar dan tega membuatnya menangis dan terluka begitu dalam?

"Maaf menunggu lama."

"Tidak apa-apa, Mas. Kami baru juga sampai."

Rayhan tak henti mencuri-curi pandang pada Sofia. Sedangkan Sofia masih diliputi banyak pertanyaan tentang perjodohan ini. Apakah Rayyan sengaja untuk memberinya kejutan? Tapi, di proposal mengapa justru nama berbeda?

"Sofia, ini dia calon suamimu. Rayhan. Putra sulung Ustaz Lutfi. Dan Rayhan, ini dia putri kami yang insya Allah akan menjadi istrimu kenal. Sofia."

Sofia perlahan mengangkat wajahnya. Dipandangi lekat wajah sosok yang ada di hadapannya kini.

Dalam hati Sofia terus mencari letak perbedaannya, namun, Sofia belum menemukannya. Sofia terus bertanya kemiripan keduanya.

"Ayah, bukankah dia Rayyan?" tanya Sofia.

Ustaz Luthfi tersenyum. "Dia saudara kembar Rayyan."

Sofia menutup mulutnya karena tak percaya dengan kenyataan yang ada.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status