Happy Reading Semuanya!
Bara berada diambang batas kesakitannya, ia tidak tahu harus bagaimana lagi untuk melupakan sesuatu hal yang terjadi padanya. Rasa frustasi masih ada di dalam diri. Hujan deras semakin mendukungnya yang penuh luka.
“Ini hujan, kenapa enggak pergi ke tempat yang lebih teduh? Om enggak punya payung?”
Kepalanya mendongak seiring ia melihat sepatu dengan koper di hadapannya yang kini memayungi dirinya yang sudah basah sepenuhnya. Wajahnya tidak baik-baik saja tetapi Bara masih bisa melihat wajah khawatirnya disana. Bagaimana bisa dia begitu memikirkan orang lain.
Gadis yang tidak mendapat jawaban hanya menghela nafas pelan, “Sekarang hujan, apa om enggak takut masuk angin? Enggak takut berobat mahal?”
Bara masih tidak bergeming. Perempuan itu. Bagaimana bisa dia ada disini? Kenapa dia tidak ada di rumahnya menghangatkan diri dan beristirahat setelah penerbangan panjang. Amerika- Indonesia bukan negara yang dekat. Bara tidak bisa mengatakan sepatah katapun, matanya sibuk memperhatikan perempuan di depannya penuh luka.
Ada apa ini? Katanya dia baik-baik saja, kenapa penuh luka.
“Bukan urusanmu, pergi! Jangan disini! Kamu akan bahaya jika disini! Pergi!” usir Bara sembari menggelengkan kepalanya berharap perempuan tersebut hanyalah imajinasinya saja. Tapi sial, itu sangat nyata.
Gadis di depannya tidak kunjung pergi.
Setiap gerak-gerik Bara perhatikan, gadis cantik tersebut memilih untuk duduk di sebelahnya. Memayungi mereka berdua sembari menunggu hujan reda, tidak peduli orang lain akan memperhatikan mereka.
“Anak kecil, sebaiknya kamu pulang! kenapa kamu ada di luar? Ini dingin. Ngapain kamu keluar pas hujan begini? Sudah bosan hidup di dalam ruangan hangat? Apa kamu ingin mencoba dinginnya hujan?” tanya Bara.
Wajah cemberut tercetak dengan sangat jelas disana, “Aku bukan anak kecil, aku sudah 22 tahun. Aku sudah dewasa! Terserah aku mau dimana!” jawab perempuan di sebelahnya membuat Bara hanya menatapnya dalam. Memang seharusnya ia tidak mengajak bicara.
Tangannya mengambil payung yang ada di genggaman perempuan tersebut dan kembali meminum minuman alkohol. Wajahnya tampak datar tanpa ekspresi.
“Thank you, om. Ternyata om baik sama peka banget, enggak kaya tampang wajah om yang seram tadi.” Nesya memperhatikan lelaki di sebelahnya sama sekali tidak melihatnya.
Mereka berdua saat ini memang terlihat seperti orang yang menyedihkan.
Tidak ada pembicaraan diantara mereka, Nesya dengan pikirannya dan lelaki di sebelahnya juga sama. Nesya tidak punya tujuan selain berjalan sampai ke tempat ini, ia masih memikirkan banyak hal. Harapan untuk balas dendam harus dikubur dalam-dalam. Sekarang yang dipikirkannya hanya bagaimana bisa bertahan hidup di tempat ini.
“Apa menurut kamu saya orang baik?” tanya Bara
Kepala Nesya tampak mengangguk, “Hmm… kalau om enggak baik pasti sudah culik aku, kan? Terus jual aku di online.”
Bara memamerkan smirk tipisnya, bagaimana bisa gadis tersebut berbicara semudah itu.
“Kalau begitu… sebaiknya kamu ubah penilaian kamu ke saya. Bagaimana kalau saya bawa kamu ke hotel?” tanya Bara.
Perempuan di sampingnya tampak berpikir sebentar, “Memang om punya uang?” tanya Nesya singkat.
Kepala Bara menggeleng, berbicara dengan Nesya tidak akan ada habisnya. Iris matanya menatap minuman botol di tangannya.
“Mau mencoba minum alkohol? Ah—tapi sayang sekali kayaknya kamu enggak bisa melakukannya, orang di sekitar sini masih memandang kamu sebagai anak di bawah umur.” Nesya melotot mendengar perkataan dari lelaki di sebelahnya.
Enak saja. Sekarang usianya sudah legal dan bisa meminum minuman beralkohol itu.
“Aku bisa!” seru Nesya
Tangannya menarik botol kaca beralkohol dan meminumnya. Rasa pahit dan terbakar bisa ia rasakan, bagaimana mungkin orang dewasa begitu mencintai minuman yang seperti ini.
Bara hanya terkekeh pelan melihat kelakuan dari gadis di sebelahnya.
“Dengar ya om! Usiaku sudah 22 tahun, aku legal untuk minum minuman ini. Di Amerika aku biasa minum bir sama temanku! Aku kuat minum.”
Bara mengambil minuman botol kaca dari tangan perempuan tersebut dan kembali menenggaknya seolah tidak terjadi apapun. Lelaki bernama Bara itu tahu jika toleransi alkohol gadis di sebelahnya begitu rendah.
“Sudah, baru minum setenggak kamu sudah begini. Kamu hanya minum kadar alkohol rendah,”
Nesya menggeleng, ia membutuhkan minuman tersebut. Manusia gelandangan sepertinya sudah tidak punya tempat tujuan, bahkan hujan deras sekarang menjadi teman dekatnya. Nesya tidak bisa mengandalkan Gerald terus menerus.
Iris mata Bara memperhatikan perempuan di sebelahnya tampak bersandar padanya. Lelaki itu tidak bisa melakukan apapun, ia terlihat pasrah dengan keadaannya saat ini. Orang yang ingin dia ketahui kabarnya sudah berada di sebelahnya dengan luka lebam parah.
“Om, apa om terbiasa minum alkohol di cuaca hujan seperti ini? Di halte tua ini? Apa om enggak punya rumah? Kenapa orang tampan malah enggak punya rumah?” tanya Nesya pelan.
“Ya, bisa dibilang begitu. Saya enggak punya rumah buat kembali, saya enggak punya rumah untuk berteduh dikala saya memiliki masalah. Kamu sendiri? Kenapa malah di luar? Ini Indonesia bukan Amerika seperti bayangmu. Banyak orang jahat disini,” Nesya hanya menghela nafas panjang dan menatap hujan di depannya.
Bara hanya bisa terdiam menunggu kelanjutan pembicaraan mereka saat ini.
“Enggak juga, orang disini jauh lebih baik. Hanya saja keluarga dari mama… mereka yang jahat. Aku enggak takut sama preman, aku lebih takut sama mereka yang jahat. Padahal itu rumah mama sama papa, tapi mereka mengambilnya seolah itu milik mereka dan aku dibuang. Di usir oleh mereka, bahkan aku dianggap mati. Sedari awal memang mereka enggak mau aku lagi.” cerita Nesya sembari menatap sedih Bara di sebelahnya.
Lelaki yang mendengar itu hanya bisa menahan amarahnya, rahangnya mengeras seolah menyimpan amarah besar. Tangannya yang menggenggam botol kaca tampak memutih menahan amarah.
“Om… ternyata kita sama-sama enggak punya rumah.” lanjut Nesya sedih.
“Apa kamu mau banget punya rumah?” perempuan di sampingnya tampak tidak menjawab, hanya memejamkan matanya seiring tubuh mereka dibasahi oleh hujan.
Bara kembali menenggak minuman di tangannya, tidak ada rasa puas ketika meminumnya.
“Bangun! Saya bisa memberikan kamu rumah, kamu bisa tinggal bersama saya kapanpun kamu mau. Kita menjadi keluarga, kamu punya saya sekarang untuk menjadi keluarga kamu.”
Tidak ada jawaban.
Nesya sudah tenggelam dalam tidurnya.
Lelaki dengan wajah tampan tersebut terlihat mengkode sang asisten sekretarisnya untuk datang membawa koper yang dibawa oleh gadis di gendongannya saat ini.
Langkahnya berjalan masuk ke dalam mobilnya, wajah Nesya tampak ia lindungi dengan baik dari hujan. Rahangnya mengeras dan perasaan ingin membalas dendam ada pada jiwanya.
“Dia akan menjadi bagian keluarga Adiromo, siapapun yang menyakitinya maka akan dibalas. Dia berhak untuk mendapatkan kebahagiaan,”
Farhan mengangguk, ia tahu jika Bara tidak akan main-main dengan perkataannya barusan. Ini akan lebih baik dibandingkan sebelumnya, Farhan berani jamin soal itu.
To be continued...
Happy Reading Semuanya!Nesya tidak mengerti, lagi-lagi Bara memberikan hadiah untuknya. Kenapa ia miskin sekali, kenapa dirinya sama sekali tidak bisa membalas semua hal baik dari Bara. Bahkan bahan masakan yang digunakannya hari ini, semuanya menggunakan uang lelaki yang kini sibuk dengan cake di hadapannya.Iris matanya memperhatikan Bara yang kini memakan cake buatannya, ia tahu jika Bara sangat menyukainya dari cara lelaki itu memakan makanan buatannya. Tangannya perlahan bergerak meraba kalung yang baru saja dipasang oleh Bara, usapan lembut kembali Nesya rasakan. Ia jamin jika ini bukan barang murah yang di jual di pinggir jalan, seorang lelaki kaya seperti Bara tidak akan membeli barang murah. Bara pasti mengeluarkan banyak uang hanya untuk orang asing seperti dirinya.“Ini enak, kamu bisa jadi bakery.”
Happy Reading Semuanya!“Pak, maaf melenceng. Tapi jujur saja saya penasaran, dia akan tinggal sama Pak Bara selamanya?”Lelaki yang sedang membaca laporan itu terlihat mendongak sebentar menatap asistennya yang hanya tersenyum tipis. Bara dengan cepat menutup laporan di genggamannya, pertanyaan yang sulit untuk dikatakan. Status mereka tanpa arti saat ini, kalaupun menyuruh Nesya pergi amat sangat tidak mungkin. Tapi ia juga tidak tahu akan mempertahankan Nesya berapa lama dan sampai kapan, Bara tidak mempunyai pilihan lain.“Entah, saya belum memikirkannya. Tapi yang jelas saya cukup senang karena rumah itu tidak kosong,” Jawaban dari Bara terlihat membuat Farhan lagi-lagi hanya tersenyum tipis dan mengangguk, ia tahu kalau itu yang akan dikatakan Bara.“Begitu,” sahut Farhan.
Happy Reading Semuanya1“Nona… mau saya bantu masak?”Kepala Nesya menggeleng, ia sudah cukup yakin dalam hal memasak meskipun terkadang ia selipkan dengan tontonan orang yang sedang masak. Tidak banyak masakan yang bisa ia masak, makanya ia perlu untuk melihat dari tontonan video.Tangannya menghapus keringat yang mengalir, rasa panas dari hawa kompor begitu terasa di wajahnya. Tidak masalah, ini adalah pembalasan setimpal karena Bara sudah mengizinkannya untuk tinggal di rumah besarnya dan tidak menjadikannya sebagai gelandangan.“Masukan garam, gula satu sendok. Rasanya sebentar lagi akan pas,” gumam Nesya senang.Tangannya kembali mengaduk sayur di depannya, tampilannya tidak buruk dan rasanya mendukung. Woah&he
Happy Reading Semuanya!“Bibi, aku ikut ke pasar!”Nesya rela bangun sangat pagi demi bisa pergi bersama pekerja rumah tangga keluarga Bara. Tidak, sebenarnya ia tidak tidur sama sekali agar bisa memastikan Bara tertidur lelap. Pikirannya mendadak penuh saat itu juga, ia harus memikirkan bagaimana caranya agar Bara bisa tertidur. Ia sudah mencari tahu sekilas dan kini yang ia lakukan adalah mengekor pada Bibi Rina untuk pergi ke pasar. Ikut pun ia tidak bisa berbuat banyak sebenarnya, Nesya memang tidak memiliki banyak uang, tapi ia yakin dengan kemampuannya memasak dan keinginan kuatnya untuk membantu penolongnya pasti ada jalan.“Nona kenapa ingin ikut? Padahal bisa pesan sama saya loh, Nona memangnya mau beli apa?”Bibirnya hanya tersenyum mendengar perkataan dari Bi Rina, &ld
Happy Reading Semuanya!Nesya tidak akan menganggap kejadian tadi. Harinya yang begitu panjang sudah cukup, ia harus memikirkan rencana yang sudah disusun secara matang sejak dulu. Rencana tersebut tidak boleh hancur berantakan begitu saja hanya karena ia sudah di buang.Ranjang di sebelahnya tampak dingin, Nesya sangat ingat jika biasanya Bara akan tidur di sebelahnya menemaninya dan tidak akan membiarkannya sendirian. Tapi sekarang kamar ini terlihat kosong, padahal bibi Rina mengatakan jika ini adalah kamar pribadi dari Bara.Langkahnya berjalan malas menuju pintu keluar, jam baru menunjukkan pukul 1 malam. Ia tidak tahu kenapa di tengah malam ini malah terbangun dari tidurnya, tenggorokannya terasa kering.Alis matanya naik sebelah saat melihat begitu banyak botol berisi minuman yang sempat ia minum beberapa hari lalu, minuman beralkohol
Happy reading semuanya!“Om, terima kasih sudah memberikan aku rumah dan bantu banyak hal seperti tadi. Aku merasa jadi memiliki hutang yang sangat besar. Termasuk memulihkan nama ini,”Ucapan Nesya membuat Bara hanya mengamati perempuan di sebelahnya masih sibuk menatap kartu identitas yang berada di tangannya, gadis itu mendapatkannya dengan cepat. Sekarang yang patut di pertanyakan adalah kegiatan Nesya selama ia bekerja nantinya.“Itu sudah menjadi hak kamu, saya hanya membantu sedikit. Kamu mau makan apa? Kamu belum sarapan dan sekarang sudah masuk ke jam makan siang, kamu mau makan apa?” tanya Bara“Terserah om,” sahut Nesya“Salad?”“Aku bukan kambing,&