Share

2

Author: fridayy
last update Last Updated: 2025-10-13 18:09:54

Tama yang sigap segera meraih tubuh Zara dan menyembunyikan tubuh itu di belakang punggungnya.

Sadar akan situasi, Zara kembali memperbaiki letak maskernya yang sempat berantakan. Wajahnya ia tutupi dengan rambut hitamnya yang acak-acakan.

"Dia! Dia orangnya." seru salah satu pria tadi dengan menggebu-gebu. Tangannya menunjuk Zara yang semakin menciut di belakang Tama.

"Sialan jalang kecil! Kesini kau!" ujar Gunawan, rektor kampus tempat Zara kuliah dengan penuh amarah. Ia merasa kesal karena wanita itu mengacaukan kesenangannya.

Tama yang melihat pergerakan Gunawan yang mendekat, segera mundur beberapa langkah, "Berhenti!" ucapnya tegas.

"Jangan berteriak memarahinya." lanjutnya tenang. Matanya melirik Zara yang tubuhnya terasa bergetar ketakutan.

"Pak Utama? Anda di sini? Bersama perempuan ini?" tanya Gunawan heran. Ia melihat sosok pengusaha kenalannya tengah melindungi wanita yang diincarnya.

Tama hanya terdiam tak ingin menjawab. Ia menunggu Gunawan menjelaskan krinologi kericuhan yang mengikutsertakan dirinya.

"Saya menghormati anda, Pak Tama. Tapi tolong jangan campuri urusan saya." lanjut Gunawan setelah pertanyaannya diabaikan.

"Dia sudah mengacaukan tempat saya karena tidak memenuhi keinginan saya." ujarnya kesal.

"Apa keinginan anda, Pak Gunawan?" tanya Tama dengan gestur yang lebih santai. Hal itu berdampak kepada sikap Zara di balik tubuhnya.

"Saya hanya ingin melihat wajahnya, dia terlihat mencurigakan." ucap Gunawan menatap Zara yang masih bersembunyi di belakang tubuh jangkung pria itu.

"Memangnya hal apa yang anda lakukan sehingga anda begitu waspada? Dia hanya pelayan bar biasa." ujar Tama meyakinkan. Namun Gunawan tetap bergeming.

Tama sendiri merasa heran dengan sikap Gunawan yang dianggap berlebihan ini. Apa ia mempunyai suatu rahasia? Atau sesuatu yang ditakutkan terkait citranya sebagai petinggi di sebuah lembaga pendidikan?

Pria yang nampaknya pemilik klub malam itu nampak mengangguk, membenarkan perkataan Tama. "Ya، dia baru bekerja malam ini. Ibunya sedang sakit dan ia butuh biaya untuk rawat inap besok."

"Anda mendengarnya, Pak Gunawan?"

"Tapi saya harus memastikan wajahnya." ujar Gunawan kekeuh.

"Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Dia hanya malu menunjukkan identitasnya. Dia sepertinya anak baik-baik dan masih tabu akan kehidupan di sini."

"Kalau ada sesuatu yang berbahaya, saya jaminannya." ujar Tama pada akhirnya. Ia memilih jalur negosiasi agar Gunawan mau mengakhiri perdebatan ini dan melupakan keinginannya.

"Sebagai mediator, saya akan mengganti seluruh kerugian yang dialami." Ucapan Tama barusan membawa angin segar untuk Zara.

Gunawan tampak menimbang sebelum akhirnya mengangguk menyetujui kesepakatannya.

Lalu si pemilik klub, ikut berbicara meminta maaf atas kerusuhan yang dibuat oleh pegawainya. "Saya juga sebagai pemilik tempat ini meminta maaf atas kecerobohan pegawai kami. Saya akan memberikan bonus hiburan eksklusif untuk anda sekalian semalam penuh."

Mata Gunawan terlihat berbinar mendengar penuturan pemilik klub. Rekan-rekannya juga nampak bersorak kegirangan setelah mendengar kesepakatan damai itu.

"Baiklah, mulai saat ini kita damai. Pak Tama, saya meminta maaf membuat anda ikut ke dalam permasalahan ini. Silahkan dilanjut urusannya, selamat malam, pak." ujar Gunawan seraya menjabat tangan Tama disusul rekan-rekannya.

Gunawan pun pergi meninggalkan ruangan bersama rekan-rekannya dan diikuti manajer klub yang akan menangani semua ganti rugi.

Kini, sang pemilik klub menatap Zara yang mulai keluar dari persembunyiannya. Ia menatap Zara tajam lalu membuka suara, "Saya terpaksa mengeluarkan kamu saat ini juga. Tolong jangan buat keributan lagi disini. Dan mari selesaikan kerugian yang anda janjikan tadi."

Si pemilik klub langsung keluar diikuti Tama beserta Zara. Pria itu langsung melunasi semua total kerugian yang telah Zara perbuat. Zara meringis mendengar nominal yang disebutkan. 25 juta? Itu bukanlah uang yang sedikit untuknya! Bagaimana nanti ia melunasinya?

Di tengah lamunannya, Zara tersentak oleh sentuhan halus di tangannya. Pria yang belum ia ketahui pasti namanya itu menggenggam tangannya berjalan ke luar klub.

Zara menerka-nerka, kemana ia nanti akan dibawa? Atau mungkin saja pria itu akan membebaskannya secara suka rela? Zara menggeleng, itu rasanya tidak mungkin.

Hingga pada akhirnya mereka sampai di basemant, Tama melepaskan genggaman tangannya. Zara merasakan kekosongan begitu lengan lebar itu terlepas mencengkram tangannya yang lebih kecil.

Zara memperhatikan suasana basemant yang terasa sepi. Mobil-mobil banyak terparkir disana, namun hanya mereka berdua manusia yang ada disana. Membuatnya merasakan sedikit perasaan tidak nyaman. Tama akhirnya menyerahkan sebuah tas yang ia bawa malam ini. Ia pun melihat isinya yang membuatnya meringis, hanya berisi ponsel, serta uang pecahan lima ribu dua lembar ditambah sebuah kaca yang selalu ia bawa.

"Makasih om." cicit Zara akhirnya. Ucapannya terdengar begitu tulus dan penuh kelegaan.

Tama diam memperhatikan, hingga pertanyaan lain meluncur dari mulutnya, "Kemana kamu setelah ini?" Pertanyaan itu begitu menghenyak dirinya.

Pasalnya ia tidak punya rumah untuk pulang. Kost-an yang selama 6 bulan sudah ditempati terpaksa harus ia tibggalkan karena sang pemilik sudah muak akan pembayaran yang menunggak. Sore tadi ia keluar dari kontrakan tersebut dan menitip barang bawaannya yang sedikit kepada temannya. Kini ia hanya punya seseorang yang menjadi alasannya kembali, ibunya.

"Saya mau ke rumah sakit, om." lirih Zara.

"Saya antar." Jawaban yang tak disangka. Namun Zara secepat mungkin menolak. Ia tak mau pria itu kembali dibuat repot olehnya.

"Gak usah om. Saya sudah banyak ngerepotin om."

"Lalu, kamu mau naik apa tengah malam begini? Gak takut orang-orang berbuat kriminal sama kamu?" tanyanya menghardik, menyisakan cubitan kecil dihatinya.

Tama menarik Zara menuju sebuah mobil hitam yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berhenti. "Ayo naik!" titahnya kemudian.

Zara pun hanya diam menuruti. Ia menatap pergerakan Tama yang berjalan memutari mobil dan membuka pintu kemudi. Ia pun duduk dan mulai kenyalakan mesin mobilnya.

Mobil mulai berjalan meninggalkan area klub malam menuju ke arah rumah sakit yang diberitahukan Zara.

Zara menunduk disaat Tama menoleh dan membalas tatapannya. "Sekali lagi makasih om." gumamnya lirih.

Entah kenapa ia sedikit melow saat ini. Ia merasa lelah, takut, dan lega bercampur menjadi satu setelah mengalami berbagai kenyataan pahit yang terasa begitu beruntun menubruknya secara singkat.

"Siapa nama kamu?" Pertanyaan itu kembali menyentak Zara ke permukaan.

"S-saya?"

"Hm... Kamu lupa? Kamu sudah memberikan tawaran kepada saya. Setidaknya saya harus tahu nama kamu terlebih dahulu sebelum memutuskan tawaran itu." Ucapan itu kembali diingatkannya akan perkataan spontannya tadi. Kini Zara menyesali telah berkata seperti itu. Zara tak menyangka pria di sampingnya ternyata menganggap serius obrolan paniknya tadi.

"Zara. Nama saya Zara."

"Umur?"

"20."

Tama menghembuskan nafas gusar. Masih muda sekali, pikirnya.

"Seharusnya kamu menikmati masa-masa kuliah kamu, bukannya terjun di dunia malam seperti itu." Zara tersenyum meringis.

"Nasib orang beda-beda om." jawabnya kemudian.

Tama mengangguk setuju. "Ya, dan kamu cukup beruntung bertemu saya yang mau bantu kamu." ucapnya merasa bangga. Namun Zara tidak merasakan ada ketenangan. Ia masih mengantisipasi tindakan pria ini selanjutnya. Apalagi setelah tadi ia sempat mengulik lagi penawaran yang terpaksa ia berikan tadi.

'Beruntung apanya kalau harus ada imbalan?!' Benaknya menggerutu. Sedikit kesal mendengar nada pongah yang diucapkan Tama.

Merasa sesak dengan udara di sekitar, Zara akhirnya membuka masker yang sedari tadi menutupi wajahnya. Ia pun meringis melihat bedak serta lipstik merah yang menempel di permukaan kain masker tersebut.

Pasti wajahnya sangat berantakan saat ini. Zara pun mengambil kaca kecil dari dalam tasnya, dan benar saja. Riasan wajahnya sudah tak terbentuk. Lipstik yang meluber serta polesan bedak yang tebal sudah luntur tak beraturan menyatu dengan keringatnya.

"Kenapa buka masker? Bukannya tadi kamu nolak?" tanya Tama melihat heran, meskipun dalam benaknya ia begitu terpesona setelah melihat wajah itu dengan jelas, meskipun riasan tebalnya nampak begitu berantakan.

"Karena tadi saya bertemu orang yang saya kenal sebelumnya. Dan om belum mengenal saya."

"Minta tisu-nya om." izin Zara sebelum mengambilnya dari atas dashboard. Tama hanya mengangguk membiarkan.

"Memangnya kenapa dengan mereka?" tanya Tama penasaran. Gunawan terlihat begitu panik dan kekeuh tadi. Ia seolah sedang menyimpan rahasia dan takut ada penyusup yang memaksa ingin mengetahuinya.

"Om gak perlu tahu." jawab Zara kemudian.

Tama hanya berdehem dengan perasaan seikit kesal. Entah kenapa ia tak suka Zara menutupi hal itu padanya.

Keduanya terdiam beberapa saat. Menikmati kesunyian di tengah gemerlapnya jalanan kota. Zara yang telah membersihkan wajahnya kini terasa ngantuk dan ingin tertidur. Hingga suara utama kembali memecah keheningan dan membuat kantuk Zara menghilang.

"Sudah sampai."

Zara menatap bangunan besar yang menyala terang di setiap sudut gedung. Ternyata mereka telah sampai di rumah sakit tempat ibunya Zara di rawat.

Zara kemudian menatap Tama dan hendak mengucapkan terima kasih, namun pria itu menyela dengan menyebutkan nama dirinya.

"Utama." ucapnya seraya mengulurkan jabatan tangannya.

Zara menerima uluran itu dan tersenyum tipis menanggapi.

"Makasih ya om." ucap Zara sepenuh hati. Ia kemudian bergegas hendak membuka pintu, namun Tama kembali mencegahnya.

"Pakai ini sebelum keluar." ujarnya seraya melemparkan sebuah jaket jeans kepada Zara. Zara pun menerimanya penuh rasa syukur.

"Sebenarnya saya sungkan om, tapi saya juga malu kalau harus masuk rumah sakit pakai pakaian pendek seperti ini. Sekali lagi, terima kasih banyak om." Zara kemudian memakai jaket tersebut dengan rapat untuk menutupi pundaknya yang terbuka.

Zara mendengus kesal, kini ia teringat akan pakaian yang ia pakai untuk datang ke klub. Sebuah kemeja biru polos dengan jeans belel. Dan kini pakaian itu tertinggal disana. Perlukah ia mengambilnya lagi? Tidak, pikir Zara. Ia tak mau kembali berurusan dengan tempat itu. Jadi, biarkan saja pakaian itu. Toh mungkin baju itu akan dibuang, atau dipakai oleh orang yang membutuhkannya.

Disela-sela itu, Tama terlihat membuka dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan seratus ribu dan sebuah kartu nama lalu menyerahkannya kepada Zara.

"Ini, uang untuk berobat ibu kamu. Saya tidak punya uang cash banyak dan hanya bisa memberi sedikit. Kalau butuh bantuan lagi, kamu hubungi nomor disana." Tama menyerahkan uang itu ke hadapan Zara, menunggu gadis muda itu menerimanya.

Zara terdiam menatap uang itu, ia merasa sungkan untuk menerimanya. Tama sudah banyak membantunya malam ini. Namun gerakan tangan Tama sedikit memaksa dan menyuruh Zara untuk menerimanya. "Om-" ucap Zara yang langsung disela Tama.

"Dan jangan bicara terima kasih lagi. Saya sudah muak mendengarnya." dengusnya.

Zara terdiam beberapa saat, entah kenapa pikirannya memikirkan cara apa yang akan ia berikan sebagai tanda terima kasih kepada lelaki itu.

Hingga saat itu, dengan gerakan tiba-tiba Zara mendekat lalu mengecup pipi Tama secepat kilat. Membuat Tama terkejut dan terdiam beberapa saat.

Dan ketika sadar, Zara telah keluar dari mobilnya. Berjalan cepat tanpa menoleh dua kali meninggalkan Tama yang masih termenung di balik kemudi mobilnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Yang Dibayar   10

    Di salah satu ruangan di rumah sakit, Zara menatap ibunya yang sadar dan tengah terbaring. Di sampingnya terdapat seorang dokter dan juga perawat yang tengah memeriksa perkembangan kondisi ibunya. Sedari tadi ia memperhatikan dalam diam bagaimana dokter dan perawat itu bekerja, ia tak mau mengganggu kinerja mereka karena kehadirannya itu."Bagaimana keadaan ibu saya dok?" tanya Zara setelah mereka dirasa selesai memeriksa ibunya."Sudah cukup membaik. Mungkin dua atau tiga hari lagi sudah bisa pulang jika grafik perkembangan kesehatannya naik, terutama tekanan darahnya."Zara tersenyum senang, perasaannya amat bersyukur mendengar kondisi ibunya semakin membaik. "Terima kasih, dok.""Oh ya... Pukul 9 nanti ibu anda bisa dialihkan ke ruangan vvip no 11. Nanti ada petugas yang membantu.""Zara, kenapa ibu dipindahin? Kamar vip pula?" tanya Ajeng hera, dari mana sang anak memiliki uang untuk menempatkannya di ruang vip ini."Ehm

  • Cinta Yang Dibayar   9

    Butuh waktu 30 menit waktu yang diperlukan dalam menyelesaikan kontrak perjanjian. Dan selama itu, Zara hanya terdiam, matanya menatap kosong jendela besar yang menghadirkan cahaya hangat di pagi hari.Pikirannya berkecamuk membayangkan kejadian-kejadian yang akan dialaminya di masa depan.Tinta hitam pada lembaran perjanjian itu masih basah, menandakan ikatan yang baru saja terjalin—ikatan yang mengikat Zara pada rahasia kelam bersama Tama.Zara menatap Tama yang menatap puas pada lembaran asli di tangannya,- sementara Zara hanya menerima salinannya.-Isi dari kontrak tersebut benar-benar membuatnya seperti budak saja. Budak yang harus memenuhi segala perintah majikannya. Setidaknya ada poin yang menguntungkan Zara dimana selama perjanjian, Tama akan menanggung semua finansial yang dibutuhkan Zara, berapapun itu."Apa sudah selesai?" tanya Zara memandang Utama datar. Ia perlu udara segar di luar setelah merasa bahwa udara di kamar hotel itu terasa

  • Cinta Yang Dibayar   8

    Zara membuka mata, cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah gorden, menyilaukan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba membiasakan diri dengan cahaya. Ingatan semalam masih begitu jelas, setiap sentuhan, setiap bisikan, setiap janji yang diucapkan ketika merasakan euforia-euforia yang kini terasa hampa dan menyakitkan. Tubuhnya terasa remuk, bukan hanya lelah fisik, tetapi juga lelah batin yang menghancurkan. Sentuhan Utama tadi malam, bukan sentuhan cinta, melainkan transaksi yang memalukan. Setiap sentuhan terasa seperti luka bakar yang tak akan pernah sembuh. Air mata mengalir deras, membasahi bantal yang masih berbau parfum Utama—parfum yang kini menjadi simbol pengkhianatan dirinya sendiri. Ia telah kehilangan sesuatu yang tak ternilai harganya, sesuatu yang takkan pernah bisa kembali. "Ya Tuhan..." gumamnya masih tak menyangka. Berharap ia kini berada di dalam semua mimpi yang tak akan pernah selesai. Ia takut untuk kem

  • Cinta Yang Dibayar   7

    Tama memasuki klub malam yang terletak di pinggiran kota. Tempat itu bukan klub elit yang berisi para borjuis yang selalu meluangkan waktunya untuk membuang uang. Tempat itu begitu gelap dan lebih liar dari yang ia bayangkan. Namun Tama tidak ada tujuan untuk bersenang-senang disana, ia ingin menemui seseorang yang sudah ia rencanakan sebelumnya. Di sampingnya, Juan sang asisten setia berjalan menemani dirinya. Matanya yang jelalatan tampak tak pernah berkedip sejak pertama kali memasuki klub. Memandang pyudr* serta bokong bulat setiap perempuan yang dilewatinya. Tama kemudian menaiki tangga menuju ruangan yang telah diberitahu oleh suruhannya. Sampai disana, ia melihat sosok pria tua yang telah menunggunya, duduk sembari menikmati segelas wine di tangannya. Suasana di dalam ruangan begitu senyap dan redup yang membuat ruangan itu terasa begitu privasi. "Selamat malam,

  • Cinta Yang Dibayar   6

    30 menit waktu yang ditempuh untuk Zara sampai di rumah sakit tempat ibunya di rawat. Ia turun di halte depan dan harus berjalan beberapa ratus meter untuk sampai di pintu utama rumah sakit.Dalam perjalanannya, Zara menikmati semilir angin yang berhembus menerpa tubuhnya. Matahari kini hanya menyisakan cahaya semu berlangitkan kelabu.Suasana sekitar nampak sepi dan hanya terdengar suara deru kendaraan di jalanan.Zara memperhatikan sebuah mobil hitam yang terparkir di depan pintu depan rumah sakit. Ia memelankan langkahnya disaat pandangannya tertuju pada tiga orang pria berpakaian hitam dengan gerak gerik yang mencurigakan.Mereka nampak memperhatikan suasana sekitar hingga tak lama kemudian dua orang yang berpakaian sama nampak keluar dari dalam gedung rumah sakit menghampiri mereka.Zara mencoba abaik dan berjalan seperti biasa. Ia menundukkan pandangannya kala jarak dengan keberadaan mereka semakin dekat. Entahlah, aura orang-orang

  • Cinta Yang Dibayar   5

    Di dalam kamar yang luas itu, Zara telihat sedang menangisi takdirnya yang merasa dipermainkan. Matanya menatap Tama dengan benci. Ia tak menyangka akan dipermainkan oleh pria dewasa yang baru ia temui. "Lalu, apa maksud om membawaku masuk ke tempat tinggal Om Tama? Tidak mungkin kan hanya sekedar meminta dipijat?" tanyanya tergugu. Air mata masih mengalir diiringi isak tangis yang terdengar menyayat hati. Tama menghembuskan nafas kasar, ia tak menyangka akan berakhir secara dramatis seperti ini. Dirinya masih terdiam beberapa saat menunggu tangis gadis itu mereda. Namun yang ada Zara malah bertanya dengan nada keras. Membuat egonya merasa tersinggung. "Ternyata benar, kamu begitu naif. Kamu selalu berprasangka seolah saya begitu buruk. Padahal saya yang membantumu kemarin." ucap Tama membela diri. Sialan, seharusnya ia tak ragu dengan keputusannya tadi. Namun karena rasa iba yang mendominasi, ia menahan hasratnya serta mengurungkan niatn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status