LOGINTama memandang tubuh yang kini menghilang di balik gedung. Kini perasaan gusar memenuhi benaknya. Ia tidak menyangka tindakan kecil itu berefek besar padanya. Dadanya bergemuruh kencang, dan rasa ingin menemuinya lagi sangat begitu besar.
"Gadis kecil nakal! Susah payah aku menahan diri menjaga batasanku!" gerutunya kesal. Ia mengusap wajahnya yang tengah dilanda perasaan aneh itu. Sial, ia seperti seorang remaja yang tengah kasmaran saja! Tama sendiri sebenarnya pribadi yang cukup tertutup dan menghindari keterikatan emosional dengan lawan jenis. Ia sudah merasakan yang namanya jatuh cinta, namun hal itu terasa begitu rumit dan abstrak, tak dapat ditebak dan rentan akan kehilangan logika dan rasionalitasnya. Tama pun mengenyahkan perasaan itu jauh-jauh dan memilih fokus pada tujuan karirnya hingga ia bisa berdiri dengan jaya seperti saat ini. Namun kini, rasa ketertarikannya pada Zara begitu sulit terkendali. Sebuah rasa asing yang datang begitu kuat, mencengkram ingin menyatakan kepimilikannya. *** Suasana siang hari di aula kampus masih terasa ramai oleh mahasiswa meskipun seminar telah selesai beberapa saat yang lalu. Zara yang memilih diam sejenak bersama Inara, sahabatnya, nampak memandang suasana aula yang berisik. "Zar, Zara!! Lo kenapa sih dari tadi ngelamun terus?! Pas acara seminar juga lo kayaknya gak konsen. Ada apa? Masih mikirin ibu lo?" Zara menoleh ke arah Inara yang menatapnya penasaran. Sejak tiba di kampus, Zara terlihat begitu lesu dan banyak diam. Tidak seperti biasanya. Ditambah sejak acara seminar berlangsung, ia gadis itu terlihat begitu tegang dan gelisah. "Y-ya... Gitu deh." jawab Zara sekenanya. Sahabatnya itu sudah mengetahui semua kesulitan yang tengah dialaminya. Namun untuk kejadian semalam? Cukuplah hanya ia yang menyimpannya sendiri. Ia tidak mau dianggap rendahan setelah kesulitan dan kepedihan melekat erat pada dirinya. Inara berdecak, ia menatap Zara dengan tatapan menyalahkan. "Gue juga udah bilang, pake duit gue buat biaya rumah sakit. Ngeyel banget sih, sekarang susah buat cari duit instan kalau gak jual badan." cerocosnya tajam, namun Zara membenarkannya dalam hati. "Apasih.. jangan ngaco deh." elaknya, diam-diam Zara merasa tersinggung setelah semalam ia hampir saja menjual tubuhnya demi sejumlah uang. "Habisnya lo keras kepala banget." ujar Inara sinis, namun Zara tak terlalu menanggapi. Memang benar ia keras kepala menolak uang pinjaman dari Inara. "Gua gak mau ngerepotin lo lagi. Hutang gue yang dulu juga belum lunas kan." ucapnya memberi alasan. "Ya gak papa, santai aja kali. Gue juga lagi gak butuh-butuh amat." Zara menepuk bahu Inara cukup keras, matanya menyipit penuh tuduhan, "Bohong lo, itu duit buat bayar ukt kan?! Ngaku lo!" Inara tak mengelak, ia hanya tersenyum lebar seraya meringis tertangkap basah telah berbohong. "Untung gak gue ambil. Sana cepet bayarin dari pada nanti ketilep sama uang jajan lo!" gerutu Zara, namun ia lega karena keteguhan dirinya yang tak mengambil uang Inara. Karena ia tahu sahabatnya pun membutuhkannya. Inara sendiri merupakan mahasiswa perantauan, orang tuanya berada jauh di seberang pulau. Inara memberanikan diri kuliah di kota besar dan hanya mengandalkan uang kiriman dari orang tuanya. Dan Zara tahu pasti akan keuangan gadis itu. Sebisa mungkin ia tak menyusahkan sahabatnya juga. Cukup ia saja yang sedang mengalami masalah keuangan saat ini. "Iya iya... Eh btw narasumber kali ini keren banget ya. " ucap Inara mengalihkan pembicaraan. Inara kembali membayangkan sosok pria matang yang mengisi seminar tadi. "Gak nyangka aja umurnya udah setua itu. Like a..." "Hot daddy." gumam Zara tanpa sadar. Hingga sedetik kemudian, matanya mengerjap dan mengingat kembali apa yang baru saja ia ucapkan. Tangannya lantas menggetuk kepalanya yang telah lancang berbicara seperti itu. Inara sendiri hanya terkekeh seolah membenarkan ucapan Zara. "Kira-kira cowok kaya beliau punya ani-ani juga gak sih? Atau sugar baby, gitu... Kayak pengusaha-pengusaha mapan lainnya, lagi nge-tren kan tuh sugar daddy, ani-ani kan lagi naik daun." bisik Inara seraya melirik sekitar. Takut ada mahasiswi yang merasa tersinggung. "Lu dari pada mikirin sugar baby dia mending pikirin isi materi diskusi tadi buat dikumpulin ke Pak Galih nanti." ucap Zara sedikit gugup dan mengalihkan tatapannya. Hal itu lah yang membuatnya terdiam sejak tadi. Sosok Tama kembali muncul di depan matanya sebagai sosok yang tak biasa. Alexander Wijaya Utama, seorang CEO di sebuah perusahaan maskapai penerbangan internasional dan berhasil mencuri perhatian banyak mahasiswa, termasuk dirinya. Usianya 39 tahun, namun aura kepemimpinannya begitu kuat, terpancar dari tatapan mata tajamnya yang mampu membaca orang hanya dengan sekali pandang. Ia adalah perpaduan sempurna antara karisma dan kecerdasan, seorang visioner yang mampu membawa perusahaan penerbangannya menjadi salah satu yang terkemuka di dunia. Dan sosok itulah yang kemarin malam menolong Zara! Menolongnya dari kesengsaraan yang akan bertambah pelik jika Tama tak membantunya. Zara tak menyangkan akan kembali bertemu dengan pria itu. Ia berharap tidak akan bertemu lagi dengan sosok itu, namun kejelasan persoalan kemarin harus ia perjelas. Zara tidak mau merasa terbebani dengan hutang budi kepada orang lain, apalagi kepada orang yang tak dikenalnya. "Gue masih belum mau mikir! Otak gue masih ketinggalan di rinjani kemarin." ucap Inara dengan pikiran melanglang buana memikirkan kegiatan muncaknya minggu lalu. Senyum manis terpatri di bibir pinknya dengan mata yang tertutup membayangkan. Hingga suara gerak di sampingnya membuka kembali mata Inara dan menatap langsung Zara yang telah berdiri dan berberes. "Eh mau kemana lo?" tanyanya penasaran. Ia melihat Zara yang tengah memasukkan buku catatannya ke dalam ransel. "Kerja." "Di restoran Sinar Rasa?" Zara mengangguk meng-iya kan. Inara ikut membereskan buku catatannya dan ikut berjalan meninggalkan ruangan aula. Mereka berjalan bersisian melewati lorong kampus menuju gerbang utama. "Nanti lo pulang kemana?" tanya Inara sebelum mereka berpisah. Inara sendiri membawa motor pribadi, sedangkan Zara, ia harus menunggu bus untuk pulang pergi kemanapun. Siang hari yang begitu terik membuat Zara menyipitkan mata karena cahaya matahari terasa begitu menusuk mata. Ia berhenti sejenak menatap Inara yang kembali bertanya. "Rumah sakit, nyokap masih dirawat disana. Btw, barang-barang gue titip dulu sementara waktu. Kalau udah punya kost-an baru, gue bawa lagi." ucap Zara memberi pesan. Terpaksa ia harus menitipkan barang-barangnya di tempat Inara karena tak mungkin ia membawanya ke rumah sakit. Kamar rawat ibunya hanyalah kamar umum biasa yang ditempati 8 ranjang pasien dalam satu ruangan. Dan tempat itu begitu sempit untuk menampung barang-barangnya yang tak seberapa. "Santai aja. Kalau gue senggang, gue temenin nyokap lo nanti." Zara mengangguk, dalam hati merasa sangat bersyukur mempunyai sahabat yang begitu baik dan perhatian kepadanya. "Eh, kalau mau istirahat, pulang ke kost-an gue aja." ucap Inara memberi saran. Zara kembali mengangguk tak menolak. Ada kalanya ia melepas penat di kost-an sahabatnya itu karena tempatnya yang cukup luas dan nyaman. "Thanks. Gue duluan." Akhirnya mereka-pun berpisah. Zara berjalan ke arah halte bus dan menunggu bus berhenti disana. Kini ia harus bekerja sebagai pramusaji di sebuah restoran lokal selama 10 jam. Zara tak boleh melakukan kesalahan lagi, karena upah dari pekerjaan ini lumayan cukup untuk menutupi biaya rumah sakit. Zara melakukan pekerjaannya seperti biasa. Ia memakai seragam yang sama seperti pegawai yang lain. Ia mulai menghidangkan sajian kepada pelanggan dengan senyum ramahnya yang memikat. Restoran itu selalu ramai apalagi disaat jam siang tiba. Tentunya karena restoran itu sudah memiliki nama yang besar dan melegenda. Banyak orang yang kembali untuk mencicipi masakan khas dari restoran ini. Zara kembali mengantarkan makanan ke dalam sebuah ruangan vip yang terdapat di lantai 2. Ia tersenyum sopan kepada seorang pria yang berdiri di depan pintu. Dan beralih ke samping mempersilahkan Zara masuk. Ia pun mengetuk pintu dan membukanya pelan membawa trolli makanan masuk ke dalam. Dalam langkahnya, Zara tertegun kala melihat sosok tamu yang tak asing lagi baginya. "Pak Tama? Duh kenapa harus ketemu dia lagi sih?" gumam Zara tak menyangka. Ia menatap Tama yang juga tengah menatapnya seksama. Zara hanya tersenyum canggung sembari menghentikan trlooinya di dekat meja. Ia lantas menaruh piring-piring berisi berbagai macam makanan dengan rapi di atas meja. Dirinya berusaha fokus dengan tugasnya ditengah tatapan Tama yang tengah menelitinya. "Kamu kerja disini juga?" tanya Tama kemudian. Zara tersenyum canggung dan mengangguk meng-iya-kan. "Iya pak. Silahkan dinikmati makanannya, saya permisi." ucap Zara terburu-buru. Dengan cepat ia membawa trollinya hendak keluar ruangan. Namun suara Tama menghentikan pergerakannya seketika. "Tunggu... Temani saya makan." "T-tapi pak, saya harus kembali mengantar makanan." ucap Zara menolak secara profesional. Ia tidak mau kembali berhadapan dengan Tama secepat ini. Auranya kini terasa berbeda dan lebih mencekam aalagi setelah mengetahui identitasnya di kampus pagi tadi. "Saya atur." ucapnya yang sarat tak ingin dibantah. Tangannya nampak mengetik sebuah pesan perintah kepada pria di depan ruangannya. Zara masih terdiam di tempatnya. Ia ragu untuk maju ataupun mundur. "Saya tidak akan macam-macam. Saya sedang ingin ditemani makan." jelas Tama menyadari sikap waspada Zara. "Pengawal bapak...?" tanyanya memastikan. Jika Tama ingin makan ditemani seseorang, bukankah ada pria di depan yang tengah berdiri menunggu pintu? Seharusnya ia meminta pria tadi untuk menemaninya dari pada dirinya! Namun Zara mengurungkan usulannya. Ia tak mau memancing perdebatan dengan pria di hadapannya ini. Zara melihat Tama yang mulai menaruh makanan di atas piringnya. Lalu menatapnya kala tak ada pergerakan apapun darinya. Tatapan Tama begitu tajam dan seolah menghipnotis Zara untuk menuruti perintahnya. Dengan canggung akhirnya Zara duduk di kursi seberang memperhatikan Tama yang mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. "Makanlah." ujarnya tak acuh. Tama terlihat fokus dengan makanan di hadapannya. Dengan canggung Zara mulai menuangkan nasi beserta satu jenis lauk pauk. Ia tidak mau dianggap rakus karena terlalu banyak mengambil makanan. "Bagaimana keadaan ibu kamu?" tanya Tama disela suapannya, matanya menatap Zara yang hendak menyuapkan makanan ke dalam mulut. Zara menjawab pertanyaan terlebih dahulu, sebelum menyuapkan makanannya. "Sudah lebih baik, om. Tekanan darahnya sudah turun." jawab Zara dengan pikiran yang mengingat sang ibu yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit. Entah sampai kapan ibunya akan di rawat, mengingat riwayat struk ringan yang harus ditangani dengan cepat dan tepat jika tidak ingin berakibat lebih fatal. "Syukurlah." balas Tama yang dianggukki Zara. Hingga perkataan selanjutnya, sontak membuat Zara terkejut, hingga ia menatap Tama meminta kejelasan. "Mengenai tawaran kemarin, saya ingin menagihnya." "Apa om?" tanya Zara meyakinkan dirinya. "Tak mungkin kamu lupa akan apa yang kamu ucapkan kemarin." jawabnya santai. Ia kembali menyantap makanannya hingga habis tak tersisa. Menyisakan Zara yang terdiam kaku tak berdaya. "Sebuah kesenangan..."Di salah satu ruangan di rumah sakit, Zara menatap ibunya yang sadar dan tengah terbaring. Di sampingnya terdapat seorang dokter dan juga perawat yang tengah memeriksa perkembangan kondisi ibunya. Sedari tadi ia memperhatikan dalam diam bagaimana dokter dan perawat itu bekerja, ia tak mau mengganggu kinerja mereka karena kehadirannya itu."Bagaimana keadaan ibu saya dok?" tanya Zara setelah mereka dirasa selesai memeriksa ibunya."Sudah cukup membaik. Mungkin dua atau tiga hari lagi sudah bisa pulang jika grafik perkembangan kesehatannya naik, terutama tekanan darahnya."Zara tersenyum senang, perasaannya amat bersyukur mendengar kondisi ibunya semakin membaik. "Terima kasih, dok.""Oh ya... Pukul 9 nanti ibu anda bisa dialihkan ke ruangan vvip no 11. Nanti ada petugas yang membantu.""Zara, kenapa ibu dipindahin? Kamar vip pula?" tanya Ajeng hera, dari mana sang anak memiliki uang untuk menempatkannya di ruang vip ini."Ehm
Butuh waktu 30 menit waktu yang diperlukan dalam menyelesaikan kontrak perjanjian. Dan selama itu, Zara hanya terdiam, matanya menatap kosong jendela besar yang menghadirkan cahaya hangat di pagi hari.Pikirannya berkecamuk membayangkan kejadian-kejadian yang akan dialaminya di masa depan.Tinta hitam pada lembaran perjanjian itu masih basah, menandakan ikatan yang baru saja terjalin—ikatan yang mengikat Zara pada rahasia kelam bersama Tama.Zara menatap Tama yang menatap puas pada lembaran asli di tangannya,- sementara Zara hanya menerima salinannya.-Isi dari kontrak tersebut benar-benar membuatnya seperti budak saja. Budak yang harus memenuhi segala perintah majikannya. Setidaknya ada poin yang menguntungkan Zara dimana selama perjanjian, Tama akan menanggung semua finansial yang dibutuhkan Zara, berapapun itu."Apa sudah selesai?" tanya Zara memandang Utama datar. Ia perlu udara segar di luar setelah merasa bahwa udara di kamar hotel itu terasa
Zara membuka mata, cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah gorden, menyilaukan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba membiasakan diri dengan cahaya. Ingatan semalam masih begitu jelas, setiap sentuhan, setiap bisikan, setiap janji yang diucapkan ketika merasakan euforia-euforia yang kini terasa hampa dan menyakitkan. Tubuhnya terasa remuk, bukan hanya lelah fisik, tetapi juga lelah batin yang menghancurkan. Sentuhan Utama tadi malam, bukan sentuhan cinta, melainkan transaksi yang memalukan. Setiap sentuhan terasa seperti luka bakar yang tak akan pernah sembuh. Air mata mengalir deras, membasahi bantal yang masih berbau parfum Utama—parfum yang kini menjadi simbol pengkhianatan dirinya sendiri. Ia telah kehilangan sesuatu yang tak ternilai harganya, sesuatu yang takkan pernah bisa kembali. "Ya Tuhan..." gumamnya masih tak menyangka. Berharap ia kini berada di dalam semua mimpi yang tak akan pernah selesai. Ia takut untuk kem
Tama memasuki klub malam yang terletak di pinggiran kota. Tempat itu bukan klub elit yang berisi para borjuis yang selalu meluangkan waktunya untuk membuang uang. Tempat itu begitu gelap dan lebih liar dari yang ia bayangkan. Namun Tama tidak ada tujuan untuk bersenang-senang disana, ia ingin menemui seseorang yang sudah ia rencanakan sebelumnya. Di sampingnya, Juan sang asisten setia berjalan menemani dirinya. Matanya yang jelalatan tampak tak pernah berkedip sejak pertama kali memasuki klub. Memandang pyudr* serta bokong bulat setiap perempuan yang dilewatinya. Tama kemudian menaiki tangga menuju ruangan yang telah diberitahu oleh suruhannya. Sampai disana, ia melihat sosok pria tua yang telah menunggunya, duduk sembari menikmati segelas wine di tangannya. Suasana di dalam ruangan begitu senyap dan redup yang membuat ruangan itu terasa begitu privasi. "Selamat malam,
30 menit waktu yang ditempuh untuk Zara sampai di rumah sakit tempat ibunya di rawat. Ia turun di halte depan dan harus berjalan beberapa ratus meter untuk sampai di pintu utama rumah sakit.Dalam perjalanannya, Zara menikmati semilir angin yang berhembus menerpa tubuhnya. Matahari kini hanya menyisakan cahaya semu berlangitkan kelabu.Suasana sekitar nampak sepi dan hanya terdengar suara deru kendaraan di jalanan.Zara memperhatikan sebuah mobil hitam yang terparkir di depan pintu depan rumah sakit. Ia memelankan langkahnya disaat pandangannya tertuju pada tiga orang pria berpakaian hitam dengan gerak gerik yang mencurigakan.Mereka nampak memperhatikan suasana sekitar hingga tak lama kemudian dua orang yang berpakaian sama nampak keluar dari dalam gedung rumah sakit menghampiri mereka.Zara mencoba abaik dan berjalan seperti biasa. Ia menundukkan pandangannya kala jarak dengan keberadaan mereka semakin dekat. Entahlah, aura orang-orang
Di dalam kamar yang luas itu, Zara telihat sedang menangisi takdirnya yang merasa dipermainkan. Matanya menatap Tama dengan benci. Ia tak menyangka akan dipermainkan oleh pria dewasa yang baru ia temui. "Lalu, apa maksud om membawaku masuk ke tempat tinggal Om Tama? Tidak mungkin kan hanya sekedar meminta dipijat?" tanyanya tergugu. Air mata masih mengalir diiringi isak tangis yang terdengar menyayat hati. Tama menghembuskan nafas kasar, ia tak menyangka akan berakhir secara dramatis seperti ini. Dirinya masih terdiam beberapa saat menunggu tangis gadis itu mereda. Namun yang ada Zara malah bertanya dengan nada keras. Membuat egonya merasa tersinggung. "Ternyata benar, kamu begitu naif. Kamu selalu berprasangka seolah saya begitu buruk. Padahal saya yang membantumu kemarin." ucap Tama membela diri. Sialan, seharusnya ia tak ragu dengan keputusannya tadi. Namun karena rasa iba yang mendominasi, ia menahan hasratnya serta mengurungkan niatn







