Share

3

Author: fridayy
last update Last Updated: 2025-10-14 11:02:10

Tama memandang tubuh yang kini menghilang di balik gedung. Kini perasaan gusar memenuhi benaknya. Ia tidak menyangka tindakan kecil itu berefek besar padanya. Dadanya bergemuruh kencang, dan rasa ingin menemuinya lagi sangat begitu besar.

"Gadis kecil nakal! Susah payah aku menahan diri menjaga batasanku!" gerutunya kesal. Ia mengusap wajahnya yang tengah dilanda perasaan aneh itu.

Sial, ia seperti seorang remaja yang tengah kasmaran saja!

Tama sendiri sebenarnya pribadi yang cukup tertutup dan menghindari keterikatan emosional dengan lawan jenis.

Ia sudah merasakan yang namanya jatuh cinta, namun hal itu terasa begitu rumit dan abstrak, tak dapat ditebak dan rentan akan kehilangan logika dan rasionalitasnya. Tama pun mengenyahkan perasaan itu jauh-jauh dan memilih fokus pada tujuan karirnya hingga ia bisa berdiri dengan jaya seperti saat ini.

Namun kini, rasa ketertarikannya pada Zara begitu sulit terkendali. Sebuah rasa asing yang datang begitu kuat, mencengkram ingin menyatakan kepimilikannya.

***

Suasana siang hari di aula kampus masih terasa ramai oleh mahasiswa meskipun seminar telah selesai beberapa saat yang lalu. Zara yang memilih diam sejenak bersama Inara, sahabatnya, nampak memandang suasana aula yang berisik. "Zar, Zara!! Lo kenapa sih dari tadi ngelamun terus?! Pas acara seminar juga lo kayaknya gak konsen. Ada apa? Masih mikirin ibu lo?" 

Zara menoleh ke arah Inara yang menatapnya penasaran. Sejak tiba di kampus, Zara terlihat begitu lesu dan banyak diam. Tidak seperti biasanya. Ditambah sejak acara seminar berlangsung, ia gadis itu terlihat begitu tegang dan gelisah.

"Y-ya... Gitu deh." jawab Zara sekenanya. Sahabatnya itu sudah mengetahui semua kesulitan yang tengah dialaminya. Namun untuk kejadian semalam? Cukuplah hanya ia yang menyimpannya sendiri. Ia tidak mau dianggap rendahan setelah kesulitan dan kepedihan melekat erat pada dirinya.

Inara berdecak, ia menatap Zara dengan tatapan menyalahkan. "Gue juga udah bilang, pake duit gue buat biaya rumah sakit. Ngeyel banget sih, sekarang susah buat cari duit instan kalau gak jual badan." cerocosnya tajam, namun Zara membenarkannya dalam hati.

"Apasih.. jangan ngaco deh." elaknya, diam-diam Zara merasa tersinggung setelah semalam ia hampir saja menjual tubuhnya demi sejumlah uang.

"Habisnya lo keras kepala banget." ujar Inara sinis, namun Zara tak terlalu menanggapi. Memang benar ia keras kepala menolak uang pinjaman dari Inara.

"Gua gak mau ngerepotin lo lagi. Hutang gue yang dulu juga belum lunas kan." ucapnya memberi alasan.

"Ya gak papa, santai aja kali. Gue juga lagi gak butuh-butuh amat."

Zara menepuk bahu Inara cukup keras, matanya menyipit penuh tuduhan, "Bohong lo, itu duit buat bayar ukt kan?! Ngaku lo!" Inara tak mengelak, ia hanya tersenyum lebar seraya meringis tertangkap basah telah berbohong.

"Untung gak gue ambil. Sana cepet bayarin dari pada nanti ketilep sama uang jajan lo!" gerutu Zara, namun ia lega karena keteguhan dirinya yang tak mengambil uang Inara. Karena ia tahu sahabatnya pun membutuhkannya.

Inara sendiri merupakan mahasiswa perantauan, orang tuanya berada jauh di seberang pulau. Inara memberanikan diri kuliah di kota besar dan hanya mengandalkan uang kiriman dari orang tuanya. Dan Zara tahu pasti akan keuangan gadis itu.

Sebisa mungkin ia tak menyusahkan sahabatnya juga. Cukup ia saja yang sedang mengalami masalah keuangan saat ini.

"Iya iya... Eh btw narasumber kali ini keren banget ya. " ucap Inara mengalihkan pembicaraan.

Inara kembali membayangkan sosok pria matang yang mengisi seminar tadi. "Gak nyangka aja umurnya udah setua itu. Like a..." 

"Hot daddy." gumam Zara tanpa sadar. Hingga sedetik kemudian, matanya mengerjap dan mengingat kembali apa yang baru saja ia ucapkan. Tangannya lantas menggetuk kepalanya yang telah lancang berbicara seperti itu.

Inara sendiri hanya terkekeh seolah membenarkan ucapan Zara.

"Kira-kira cowok kaya beliau punya ani-ani juga gak sih? Atau sugar baby, gitu... Kayak pengusaha-pengusaha mapan lainnya, lagi nge-tren kan tuh sugar daddy, ani-ani kan lagi naik daun." bisik Inara seraya melirik sekitar. Takut ada mahasiswi yang merasa tersinggung.

"Lu dari pada mikirin sugar baby dia mending pikirin isi materi diskusi tadi buat dikumpulin ke Pak Galih nanti." ucap Zara sedikit gugup dan mengalihkan tatapannya.

Hal itu lah yang membuatnya terdiam sejak tadi. Sosok Tama kembali muncul di depan matanya sebagai sosok yang tak biasa. Alexander Wijaya Utama, seorang CEO di sebuah perusahaan maskapai penerbangan internasional dan berhasil mencuri perhatian banyak mahasiswa, termasuk dirinya.

Usianya 39 tahun, namun aura kepemimpinannya begitu kuat, terpancar dari tatapan mata tajamnya yang mampu membaca orang hanya dengan sekali pandang.  Ia adalah perpaduan sempurna antara karisma dan kecerdasan,  seorang visioner yang mampu membawa perusahaan penerbangannya menjadi salah satu yang terkemuka di dunia.

Dan sosok itulah yang kemarin malam menolong Zara! Menolongnya dari kesengsaraan yang akan bertambah pelik jika Tama tak membantunya.

Zara tak menyangkan akan kembali bertemu dengan pria itu. Ia berharap tidak akan bertemu lagi dengan sosok itu, namun kejelasan persoalan kemarin harus ia perjelas. Zara tidak mau merasa terbebani dengan hutang budi kepada orang lain, apalagi kepada orang yang tak dikenalnya.

"Gue masih belum mau mikir! Otak gue masih ketinggalan di rinjani kemarin." ucap Inara dengan pikiran melanglang buana memikirkan kegiatan muncaknya minggu lalu. Senyum manis terpatri di bibir pinknya dengan mata yang tertutup membayangkan.

Hingga suara gerak di sampingnya membuka kembali mata Inara dan menatap langsung Zara yang telah berdiri dan berberes.

"Eh mau kemana lo?" tanyanya penasaran. Ia melihat Zara yang tengah memasukkan buku catatannya ke dalam ransel.

"Kerja."

"Di restoran Sinar Rasa?" Zara mengangguk meng-iya kan.

Inara ikut membereskan buku catatannya dan ikut berjalan meninggalkan ruangan aula. Mereka berjalan bersisian melewati lorong kampus menuju gerbang utama. 

"Nanti lo pulang kemana?" tanya Inara sebelum mereka berpisah. Inara sendiri membawa motor pribadi, sedangkan Zara, ia harus menunggu bus untuk pulang pergi kemanapun.

Siang hari yang begitu terik membuat Zara menyipitkan mata karena cahaya matahari terasa begitu menusuk mata. Ia berhenti sejenak menatap Inara yang kembali bertanya.

"Rumah sakit, nyokap masih dirawat disana. Btw, barang-barang gue titip dulu sementara waktu. Kalau udah punya kost-an baru, gue bawa lagi." ucap Zara memberi pesan. Terpaksa ia harus menitipkan barang-barangnya di tempat Inara karena tak mungkin ia membawanya ke rumah sakit.

Kamar rawat ibunya hanyalah kamar umum biasa yang ditempati 8 ranjang pasien dalam satu ruangan. Dan tempat itu begitu sempit untuk menampung barang-barangnya yang tak seberapa.

"Santai aja. Kalau gue  senggang, gue temenin nyokap lo nanti." Zara mengangguk, dalam hati merasa sangat bersyukur mempunyai sahabat yang begitu baik dan perhatian kepadanya.

"Eh, kalau mau istirahat, pulang ke kost-an gue aja." ucap Inara memberi saran. Zara kembali mengangguk tak menolak. Ada kalanya ia melepas penat di kost-an sahabatnya itu karena tempatnya yang cukup luas dan nyaman.

"Thanks. Gue duluan."

Akhirnya mereka-pun berpisah. Zara berjalan ke arah halte bus dan menunggu bus berhenti disana. Kini ia harus bekerja sebagai pramusaji di sebuah restoran lokal selama 10 jam. Zara tak boleh melakukan kesalahan lagi, karena upah dari pekerjaan ini lumayan cukup untuk menutupi biaya rumah sakit.

Zara melakukan pekerjaannya seperti biasa. Ia memakai seragam yang sama seperti pegawai yang lain. Ia mulai menghidangkan sajian kepada pelanggan dengan senyum ramahnya yang memikat. Restoran itu selalu ramai apalagi disaat jam siang tiba. Tentunya karena restoran itu sudah memiliki nama yang besar dan melegenda. Banyak orang yang kembali untuk mencicipi masakan khas dari restoran ini.

Zara kembali mengantarkan makanan ke dalam sebuah ruangan vip yang terdapat di lantai 2. Ia tersenyum sopan kepada seorang pria yang berdiri di depan pintu. Dan beralih ke samping mempersilahkan Zara masuk.

Ia pun mengetuk pintu dan membukanya pelan membawa trolli makanan masuk ke dalam.

Dalam langkahnya, Zara tertegun kala melihat sosok tamu yang tak asing lagi baginya.

"Pak Tama? Duh kenapa harus ketemu dia lagi sih?" gumam Zara tak menyangka. Ia menatap Tama yang juga tengah menatapnya seksama.

Zara hanya tersenyum canggung sembari menghentikan trlooinya di dekat meja. Ia lantas menaruh piring-piring berisi berbagai macam makanan dengan rapi di atas meja. Dirinya berusaha fokus dengan tugasnya ditengah tatapan Tama yang tengah menelitinya.

"Kamu kerja disini juga?" tanya Tama kemudian. Zara tersenyum canggung dan mengangguk meng-iya-kan.

"Iya pak. Silahkan dinikmati makanannya, saya permisi." ucap Zara terburu-buru. Dengan cepat ia membawa trollinya hendak keluar ruangan. Namun suara Tama menghentikan pergerakannya seketika.

"Tunggu... Temani saya makan."

"T-tapi pak, saya harus kembali mengantar makanan." ucap Zara menolak secara profesional. Ia tidak mau kembali berhadapan dengan Tama secepat ini. Auranya kini terasa berbeda dan lebih mencekam aalagi setelah mengetahui identitasnya di kampus pagi tadi.

"Saya atur." ucapnya yang sarat tak ingin dibantah. Tangannya nampak mengetik sebuah pesan perintah kepada pria di depan ruangannya.

Zara masih terdiam di tempatnya. Ia ragu untuk maju ataupun mundur. "Saya tidak akan macam-macam. Saya sedang ingin ditemani makan." jelas Tama menyadari sikap waspada Zara.

"Pengawal bapak...?" tanyanya memastikan. Jika Tama ingin makan ditemani seseorang, bukankah ada pria di depan yang tengah berdiri menunggu pintu? Seharusnya ia meminta pria tadi untuk menemaninya dari pada dirinya!

Namun Zara mengurungkan usulannya. Ia tak mau memancing perdebatan dengan pria di hadapannya ini.

Zara melihat Tama yang mulai menaruh makanan di atas piringnya. Lalu menatapnya kala tak ada pergerakan apapun darinya.

Tatapan Tama begitu tajam dan seolah menghipnotis Zara untuk menuruti perintahnya. Dengan canggung akhirnya Zara duduk di kursi seberang memperhatikan Tama yang mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

"Makanlah." ujarnya tak acuh. Tama terlihat fokus dengan makanan di hadapannya.

Dengan canggung Zara mulai menuangkan nasi beserta satu jenis lauk pauk. Ia tidak mau dianggap rakus karena terlalu banyak mengambil makanan.

"Bagaimana keadaan ibu kamu?" tanya Tama disela suapannya, matanya menatap Zara yang hendak menyuapkan makanan ke dalam mulut.

Zara menjawab pertanyaan terlebih dahulu, sebelum menyuapkan makanannya.

"Sudah lebih baik, om. Tekanan darahnya sudah turun." jawab Zara dengan pikiran yang mengingat sang ibu yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit. Entah sampai kapan ibunya akan di rawat, mengingat riwayat struk ringan yang harus ditangani dengan cepat dan tepat jika tidak ingin berakibat lebih fatal.

"Syukurlah." balas Tama yang dianggukki Zara. Hingga perkataan selanjutnya, sontak membuat Zara terkejut, hingga ia menatap Tama meminta kejelasan.

"Mengenai tawaran kemarin, saya ingin menagihnya."

"Apa om?" tanya Zara meyakinkan dirinya.

"Tak mungkin kamu lupa akan apa yang kamu ucapkan kemarin." jawabnya santai. Ia kembali menyantap makanannya hingga habis tak tersisa. Menyisakan Zara yang terdiam kaku tak berdaya.

"Sebuah kesenangan..."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terbelenggu Hasrat CEO Tampan   39

    Lukman tak bisa berkata-kata, keputusannya untuk mengikuti anak dan menantunya setelah mengantar dirinya ke rumah ternyata membawanya pada suatu hal yang selama ini ditakutinya. Jauh di seberang sana, ia dapat melihat mobil menantunya yang berhenti di depan gerbang cukup lama, entah apa yang anak dan menantunya lakukan karena mobil tak kunjung memasuki halaman rumah. Namun, melihat Anna yang keluar dengan raut wajah marah, diiringi mobil menantunya yang melaju meninggalkan rumah membuat Lukman semakin terkejut melihatnya. Lukman tak bisa membiarkan kebingungan melanda dirinya, ia menyuruh sopir mendekat lalu berhenti di depan gerbang rumah anaknya. Disana, ada satpam yang langsung sigap menghampirinya. "Enggak masuk ke dalam, pak?" tanya satpam yang mengenal Lukman sebagai ayah dari majikan perempuannya. Ia melihat Lukman yang hanya menatap ke dalam melalui kaca mobilnya di luar sana. "Kenapa Tama tidak pula

  • Terbelenggu Hasrat CEO Tampan   38

    Di dalam ruangan Tama, Zara duduk di sofa dengan gelisah . Sudah beberapa menit ia menghabiskan waktunya disana sendirian, dan Tama tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya.Zara merasa kesal sendiri, di luar juga tidak ada sosok Juan yang berkata akan berdiam menemaninya saja. Sepertinya lelaki itu meninggalkannya sendirian di lantai itu.Dan kini Zara mencoba menunggu kedua lelaki itu datang kembali ke ruangan itu, namun sebuah pesan yang dikirim Tama membuat kekesalannya semakin menjadi.'Sayang, maafkan aku karena telah meninggalkanmu sendirian disana. Ayah mertuaku memaksa untuk datang ke ruanganku namun aku berhasil mencegahnya. Kamu sekarang pulang sendiri dulu, nanti aku menyusul.'Zara berdecak, lalu beranjak dari sana setelah membalasnya dengan pesan singkat. 'Ya.' Ia terlalu malas meneror Tama dengan pesan berantainya, karena saat ini ia benar-benar kesal.Zara memutuskan untuk menaiki taksi dan pulang ke tempat ibunya. Biar

  • Terbelenggu Hasrat CEO Tampan   37

    Sore hari, Zara keluar dari ruangan divisinya lalu disambut Juan di lobi lantai satu. Lelaki itu membawa Zara ke basement dan memasuki lift khusus presdir yang langsung menuju ke ruangannya."Oh ya, Pak Tama masih menyelesaikan meetingnya, mungkin sekitar 10 sampai 20 menit lagi selesai. Mau ku buatkan minuman?""Gak usah, pak." jawab Zara sopan mengingat saat ini ia masih berada di tempat kerja.Juan mengagguk lalu duduk di sofa sebelah.Suasana di dalam ruangan terasa hening, terlebih Zara merasa tak nyaman dengan kehadiran Juan di sampingnya."Ehm, Pak Juan... Kalau mau pulang silahkan, tidak perlu menemani saya disini." ujar Zara mempersilahkan Juan pergi jika kehadirannya disana hanya sekedar menemaninya yang sendirian."Benarkah? Kau berani tinggal disini sendirian?" tanya Juan menantang.Zara mengangguk meskipun agak sedikit ragu di dalam tatapannya, ruangan luas itu nampak tenang dengan interior mewahnya, meskip

  • Terbelenggu Hasrat CEO Tampan   36

    Zara kembali ke apartemen setelah ia selesai mengajari Davin di rumahnya. Ia pergi dengan terburu-buru mengingat perlakuan diam-diam Tama yang semakin menjadi kepada dirinya.Karena sejak kedatangan lelaki itu, Tama tak berhentinya mencari celah untuk mendekatinya dan melakukan sentuhan-sentuhan samar yang membuat Zara kalang kabut.Akal sehatnya menentang perlakuan Tama yang bisa menimbulkan kecurigaan dari Anna yang tengah berada di tempat yang sama.Kini, Zara memutuskan untuk membereskan apartemen seorang diri mengingat ia tak punya pekerjaan lain. Ia mulai membuka semua gorden yang tertutup sehingga cahaya dapat masuk ke dalam ruangan yang luas itu.Seluruh ruangan Zara bersihkan hingga tak ada debu yang beterbangan atau menempel di atas permukaan.Hingga kemudian, Zara membawa tubuhnya ke ruang kerja milik Tama dimana ruangan tersebut yang belum dibersihkan. Karena rencananya, Zara akan menghabiskan waktunya disana setelah pekerjaan bersih-bersihnya selesai. Ia ingin membaca buk

  • Terbelenggu Hasrat CEO Tampan   35

    Di akhir pekan, Zara kembali ke rutinitasnya sebagai guru les sesuai permintaan-lebih tepatnya dipaksa-orang tua Davin. Ia akan mengunjungi rumah Davin yang dimana adalah rumah Utama sendiri bersama sang istri.Zara meringis akan pikirannya, bukankah saat ini ia sama saja tengah memasuki kandang singa? Zara tidak tahu apakah disana Tama memang sengaja memasang perangkap untuk menjebaknya? Atau untuk apa? Bukankah lelaki itu sendiri yang memaksa Zara agar kembali menerima tawaran mengajarnya? Untuk apa? Untuk meyakinkan dirinya kembali bahwa posisinya kini hanya sebagai simpanannya saja? Begitukah?Zara merasakan cubitan kecil di ulu hatinya, entah kenapa kini ia merasa tak rela jika lelaki yang telah membuatnya nyaman itu memiliki keluarga di depan sana, sementara dirinya, hanya bisa terus bersembunyi di balik dinding tak kasat mata membayangi punggung lelaki itu.Motor yang ditumpangi Zara akhirnya terhenti di depan gerbang yang lebar dan menjulang tinggi

  • Terbelenggu Hasrat CEO Tampan   34

    Zara duduk tak nyaman di kursinya setelah kejadian beberapa saat lalu. Keduanya banyak terdiam, terlebih Daniel yang terlihat murung membuat Zara semakin dilanda perasaan bersalah.Hingga kemudian, seseorang nampak menghampiri mereka. Lalu menyapanya dengan senyum ramahnya, "Zara? Sarapan disini? Gue ikut gabung, boleh?" "Inara? Boleh.. sini duduk." ucap Zara setelah melihat Daniel yang tak keberatan akan kehadiran orang lain di meja mereka.Inara pun duduk di samping kursi Zara dan menatap penasaran akan sosok lelaki asing yang tengah berbicara bersama sahabatnya."Kak Daniel, kenalin temanku, Inara." ucap Zara mengenalkan kedua temannya."Daniel Santoso...""Inara Rusman."Keduanya berjabat tangan beberapa saat sebelum melepasnya kembali."Bukan artis, kan kamu?" tanya Daniel mengingat nama yang hampir mirip dengan seorang artis yang tak asing di telinganya.Inara menggeleng, "Bukan... Agak mirip sih

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status