***
Satu bulan berlalu.
Hari ini Arni dijenguk ibunya bersama Airin, kakaknya. Kak Airin juga mengajak Syahrul keponakannya. Arni datang ke aula setelah namanya dipanggil lewat pengeras suara yang ada di tempat konfirmasi pondok putri.Arni sangat bahagia, Arni memeluk erat ibunya juga kakaknya, tak luput dari serangannya, keponakannya diciuminya hingga bangun dari tidurnya yang berada digendongan ibunya. Syahrul bayi yang berusia 4 bulan itu langsung merengek karena ulah tantenya. "Gimana, Dek. Kerasan 'kan?" tanya kak Airin.Arni tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. "Alhamdulillah, Kak," jawabnya.Bu Syafaah hanya tersenyum bangga melihat putri bungsunya kerasan, meskipun Arni terlihat sedikit kurusan."Tapi kamu sedikit kurusan, Dek," ungkap Airin."Iya, Nak. Kamu sedikit kurusan," ucap ibunya."Nggak apalah kurusan dikit, 'kan di pondok harus banyak tirakat," ungkapnya sambil nyengir."Buk, bagaimana kabar bapak?" tanyanya. Arni juga merindukan sang bapak, maklum Arni sangat dekat dengan bapaknya."Alhamdulillah, bapak sehat, nggak mungkin 'lah bapak ikut sekalian ke sini, motornya nggak muat, masak harus dibandrek sama kakak kamu, bapak kamu juga nggak bisa bawa motor 'kan!" ucap Ibunya.Memang bapak nya tidak berani mengendarai sepeda motor setelah kecelakaan dulu, traumanya sampai sekarang, jadi kalau berpergian lebih mengandalkan ojek, angkot atau di antar Airin, itu pun kalau Airin sedang libur kerja seperti saat ini."Alhamdulillah kalau bapak sehat," ungkapnya. "O iya, ini tadi dibuatkan Ibu cilok kesukaanmu, juga bubur kacang ijo. Sengaja Ibu buatkan banyak supaya bisa kamu bagikan sama teman sekamar kamu lainnya. Selain itu juga ibu bawakan makanan kesukaanmu," ujarnya."Masya Allah, makasih, Bu. Arni seneng banget," ujarnya sambil berbinar."Iya, sama-sama, yang semangat ya di pondok," ucapnya."Ini juga Ibu kasih uang, dicukup-cukupkan ya," ucap Bu Syafaah sambil memberikan uang untuk Arni."Tadi untuk pembayaran pondok, uang makan beserta spp sekolah sudah kakak bayar di bagian administrasi, Dek," ungkap Airin menimpali. "Makasih ya, Kak," ucapnya."Eits, jangan bilang makasih ke aku, itu uangnya ibu dan bapak, gajiku ya buat beli susunya Syahrul dan kebutuhan rumah, jadi maaf Kakak nggak bisa bantu ibu dan bapak biayai sekolah dan pondok kamu, kakak bantu doa aja ya," ujar Airin nyengir."Hehehe, nggak apa, Kak. Aku masih butuh doa, supaya bisa sukses, begitu juga bapak dan ibu. Makasih ya, Kak."Arni sangat tau kakaknya juga harus bekerja keras menghidupi anaknya karena suaminya lepas tanggung jawab dan saat ini tak tau ada di mana."Kami pulang dulu ya, Dek. Jadwal jenguk santri sudah selesai," ucap Airin. "Adek madih kangen kalian," ungkap Arni manja."Hush ... Nggak boleh gitu, nanti tambah nggak kerasan lho, ibu dan kakak kamu nggak mau lagi lho jenguin kamu, biar uangnya kami titipin ke Halimah atau yang lain aja kalau kamu pakai rewel," ucap bu Syafaah menakuti Arni."Jangan, Bu. Baiklah Arni nggak rewel kok," ungkapnya masih memeluk Ibunya."Sudah kami pulang ya, Assalamualaikum," pamit Airin.Arni segera mencium punggung tangan sang kakak dan sang ibu lalu memeluk mereka. "Wa'alaikumussalam," jawabnya.Arni segera masuk ke kamarnya dan membagi makanan yang dibawakan ibu dan kakaknya tadi pada temannya yang lain di kamar itu, mereka semua segera berkumpul dan menikmati makanan itu bersama."Enak banget, Ni. Masakan ibu kamu," ucap mbak Reva."Beneran, aku juga setuju sama kamu, Rev," ucap mbak Ratna ikut menimpali.Arni tersenyum. "Jadi pingin banget liburan terus main ke rumah kamu menikmati pecel dan jualan ibu kamu yang lain, Ni," ujar mbak Raya. "Silahkan, Mbak. Silahkan ke rumahku kalau liburan nanti," jawabnya."Insyaallah, siap ...," ucap semuanya.Mereka semua tertawa bersama penuh dengan cinta.
***Hari ini hari kamis. Kegiatan di pondok putri bertambah meskipun sekolah diniyah sedang libur, setelah pembacaan surat yasin dan surat al kahfi selepas sholat maghrib tadi. Kegiatan selanjutnya setelah sholat pada malam jumat kali ini manaqiban. Para santri putri sudah bersiap untuk berkumpul di aula putri untuk mengikuti kegiatan manaqiban. Kegiatan ini selesai pada pukul 10 malam. Setelah kegiatan selesai para santri di wajibkan untuk segera tidur karena pukul 1 malam nanti mereka semua harus bangun untuk mengikuti sholat tasbih yang dikerjakan setiap malam jumat dan dilanjut sholat malam.
Pagi pun tiba ....Saat ini kamar Arni kebagian piket untuk membersihkan ndalem. Mereka semua segera bersiap membawa alat-alat kebersihan. Dengan dipantau mbak pengurus yakni mbak Rista, mereka segera menuju ndalem."Arni kamu ke kamar buya ya, sama Ratna!" ucap mbak Rista memerintahkan."Baiklah, Mbak."Ratna dan Arni segera masuk ke kamar buya. Mereka segera membersihkan kamar itu, menata buku dan pakaian buya mereka. Saat-saat ini 'lah yang santri harapakan, karena bisa langsung menyentuh barang pribadi milik pemangku pondok pesantren ini."Mbak Ratna, buya dan ummi itu punya anak berapa?" tanya Arni."Dua," jawab Ratna. "Laki-laki atau perempuan, Mbak?""Dua-duanya.""Mereka sekarang ada di mana?" tanya Arni."Sekarang Gus Afnan putra bungsu Buya sedang melanjutkan pendidikannya di Mekkah, sedangkan Neng Fauziah ikut suaminya yang mengajar di Mesir."Arni mengangguk mengerti."O iya, kabarnya Gus Afnan akan pulang dalam waktu dekat ini, dia akan mengajar di pondok ini juga,kamu tau nggak, Ni? Gus Afnan itu tampan buanget, semua santri putri 0ada kleoek-kleprk sana ketampanan nya, masya Allah deh ...," ungkap mbak Ratna.Arni hanya tersenyum melihat ekspresi mbak Ratna saat mengatakan tampan Gusnya itu.Usianya masih muda sekitar 22 tahun tapi kepintarannya patut diacungi jempol, tampan, pintar, anak kiyai, nasabnya tidak diragukan lagi," puji mbak Ratna. Arni menyimak cerita mbak Ratna. "Sayang ya, kita cuma bisa mengagumi ketampananya saja, nggak mungkin 'lah santri kayak kita dapat berjodoh dengannya, yang jelasnya pasti anak kiyai pemangku pondok besar juga yang akan me jadi istrinya," ucap mbak Ratna."Iya, Mbak. Nggak berani aku mimpi terlalu tinggi nanti kalau jatuh bisa sakit dan remuk hati ini, hehehe," ucap Arni melucu. Ratna sangat menyukai tingkah polos Arni.Setelah semua rapi, mereka segera keluar dari kamar itu, tidak disangka mereka berdua berpapasan dengan kiyai Laqief yang akan memasuki kamarnya.Kiyai Laqief melihat sekilas pada Arni, ada sesuatu di hatinya. Entah melihat gadis itu kiyai Laqief langsung suka dengan kepribadian gadis manis itu."Nama kamu siapa, Nduk?" tanyanya. Membuat Arni dan Ratna menoleh sopan."Maaf, Buya. Saya Ratna.""Bukan kamu, Nduk! Teman kamu ini," ucapnya sambil menunjuk Arni."Maaf, Buya. Nama saya Arni,"ucapnya sopan dan sambil menunduk.Kiyai Laqief tersenyum sambil melangkahkan kakinya menuju kamarnya. "Ya Allah, Ni. Seumur-umur selama mondok di sini hampir 6 tahun nggak pernah aku ditanya atau bicara langsung sama Buya," ungkap mbak Ratna."Mungkin kamu santri baru, yang pertama kali di sapa langsung oleh Buya," ucapnya lagi.Arni tersenyum."Kamu harus senang, Ni," ucapnya. Ratna tetap heboh sampai di kamar mereka, membuat semua penghuni kamar yang ada di dalam berdecak kagum pada Arni.***Hari minggu seluruh penghuni pondok pesantren putri heboh dengan kedatangan putra bungsu Kiyai Laqief. Gus Afnan beserta rombongannya datang dari Arab, ia memutuskan untuk menetap dan akan menggantikan ayahnya, Kiyai Laqief. Semua santri putri berebut untuk menyaksikan moment itu meskipun hanya melihat dari kejauhan, melihat dari balkon lantai 3.
"Masya Allah, tampan banget," ucap salah satu santri.Mereka semua han6a bisa mengagumi sosok tampan bersahaja itu dari kejauhan. "Arni, Ayo! Aku penasaran dengan wajah Gus Afnan," ajak Mutia sambil menarik tangan Arni."Iya, Tia. Sebentar," jawabnya.Mereka ikut berdesakan bersama para santri lain yang penasaran dengan Gus Afnan."Masya Allah, iya benar kata mbak-mbak, Gus Afnan memang tampan, pakai banget, mirip oppa korea," puji Mutia sambil malu-malu.Arni ikut melihat, sekilas Arni juga mengagumi sosok bersahaja itu."Gimana, Ni. Cakep bin tampan bin ganteng 'kan?" ucap Mutia nyengir."Hehehe, kamu bisa aja, Tia. Udah ah, nggak baik terlalu mengagumi sosok yang bukan mahram kita, nanti timbulnya zina hati. Boleh sih kagum tapi sewajarnya saja, takut juga ah kalau kepikiran wajah gus Afnan terus," ujar Arni.Mutia menanggapinya dengan senyum. "Ya Allah ... Berharap dapat jodoh seperti Gus Afnan, kalau tidak Gus Afnan, setidaknya hampir mendekati, Aamiin ...," ucap Mutia berdoa. "Aamiin ... Semoga Alhah kabulkan," jawab Arni sambil tersenyum.Mereka memutuskan untuk kembali ke kamar mereka, masih banyak tugas dari sekolah yang harus mereka kerjakan supaya tidak benturan dengan jadwal pondok.Orang bilang, pertemuan pertama selalu kebetulan. Tapi, bagaimana caramu menjelaskan pertemuan-pertemuan kita selanjutnya?***Sudah satu bulan Gus Afnan pulang ke Indonesia. Ia sudah berkali-kali menggantikan Buya Laqief mengisi kajian kitab kuning untuk para santri pada pagi dan sore hari, tentu saja saat Buya Laqief berhalangan hadir atau ada acara di luar pondok pesantren. Cara pengajarannya pun sangat mudah di cerna ole semua santri, apalagi di usianya yang masih sangat muda, menjadikan Gus Afnan bisa lebih menguasai para santri dan berbaur dengan mereka tanpa canggung, bahkan kabarnya Gus Afnan tidak malu dan canggung ikut bermain sepak bola di lapangan pondok putra bersama santri yang lain.Gus Afnan juga terkenal sebagai pemuda sholeh yang santun dan baik hati, tidak membeda-bedakan status dan kepintaran. Para santri juga terbiasa berkumpul dengannya, meskipun masih ada canggung para santri terhadapnya karena mereka menghormati statusnya sebagai putra Kyai. Bakal penerus pondo
Memperhatikanmu diam-diam, mendoakanmu setiap hari dan mencintaimu secara rahasia. (-Afnan- Cinta dalam Balutan Doa)***Semenjak kejadian Jum'at yang lalu, Arni semakin canggung, apapun yang dirinya dengar tentang Gus Afnan, yang menjadi idola seantero pondok putri, membuat gadis itu sedikit menghindar bila ada bahasan tentang penerus Buya Laqief itu. Tidak mau munafik. Dirinya juga masih normal, apalagi remaja seusia dirinya baru mengenal arti cinta, labil sekali hatinya, jujur sejak kejadian itu hati Arni terpaut dengan pemuda tampan nan sholeh itu. Namun ia menyakini kalau itu hanya perasaan sesaat, perasan seorang santri mengidolakan ustadz atau Gusnya, bukan perasaan cinta perempuan dewasa. Arni selalu berusaha mengubur rasa yang sudah mulai mengakar di hatinya itu, tak membiarkan semakin berkembang, ia fokus dengan tujuannya untuk mondok, mengejar cita-citanya, membanggakan kedua orang tuanya, dan ngalap barokah dari kyai Laqief.Malam ini selepas sholat maghrib, Arni
Jika aku jatuh cinta padanya, cintakanlah aku pada seseorang yang melebihkan cintanya padaMu agar bertambah kekuatan untuk lebih mencintaiMu (Gus Afnan~ Cinta dalam Balutan Doa)***Afnan langsung merebahkan tubuhnya di ranjangnya. Menghilangkan capek di tubuhnya. Dirinya tersenyum mengingat kejadian saat di kelas dan di kantor madrasah Diniyah tadi."Kamu semakin menantang, dan membuatku semakin penasaran. Khairina Azzalina Arni, nama yang bagus, pintar namun sayang usianya masih 15 tahun. 1 juli 2006. Terpaut 7 tahun denganku," lirihnya.Afnan tau data lengkap Arni, tadi di kantor madrasah Diniyah dirinya sedang mencari data-data itu, sempat membuat kang Dedik, sepupunya yang juga menjadi kepala Diniyah itu heran bukan kepalang. Afnan yang tau sepupunya menatapnya dengan beribu tanda tanya di benaknya berdalih mencari data santri baru supaya mempermudah memberi soal nantinya. Biar santri-santri baru itu tidak terbebani dengan soal yang belum mereka kuasai. Antara percaya d
Satu bulan berlalu.Saat ini Arni siap mengikuti lomba mewakili ponpesnya bersama para santri lainnya yang juga dipilih untuk mewakili pondok sama seperti dirinya.Gus Afnan sudah siap menunggu di halaman pondok dengan mobilnya. Ia berdiri di depan mobilnya. Sudah tersedia 4 mobil lainnya untuk mengantar para peserta lomba dan pengurus pendamping. Dua mobil untuk santri putra dan dua mobil untuk santri putri."Kalian atur sekarang ya, Kita sudah sedikit terlambat, ayo segera berangkat!"ucap Afnan.Setelah mengatakan itu Afnan segera masuk dan melajukan mobilnya bersama Kang Dedik. Arni masuk ke dalam mobil bersama santriwati lainnya.Saat ini mereka sudah sampai di tempat lomba. Arni dan para santri lainnya segera berkumpul dengan para peserta lainnya untuk mendengarkan peraturan-peraturan lomba dari panitia.Sudah satu bulan ini Afnan mencoba menghilangkan perasaanya pada Arni, mencoba mencari kesibukan lain. Namun tetap saja Arni tidak bisa aja hilangkan di dalam hari dan pikira
Cinta bukan hanya sekedar ucapan namun harus dibarengi dengan pengorbanan. Mencintai dan dicintai itu adalah anugrah terindah dari Allah Subhanallah Wa Ta'ala***Satu tahun setengah Arni menjadi santri di pondok ini, suka duka sudah ia lewati bersama santri lainnya, terkhusus teman dan sahabat sekamarnya. Selama di pondok Arni tidak pernah berbuat macam-macam ataupun melanggar tata tertib pondok. Ia belajar sesuai apa yang menjadi cita-citanya. Saat ini ia sudah kelas dua program IPA. Tinggal satu tahun setengah lagi ia sudah lulus.Bagaimana perasaannya pada Gus Afnan? Kalau boleh jujur Arni masih menyimpan perasaannya itu dalam-dalam di relung hatinya, dirinya hanya tidak ingin terluka, biarkan saja ia mencintai dalam diam, mengagumi tanpa harus mengumbar. Toh, hal itu alamiah bagi remaja sepertinya. Yang mulai mengenal cinta.Arni selalu memupusnya dalam hati, karena apa yang diimpikan tentang Gus Afnan hanya hayalan semata, karena ia tau mereka tidak akan pernah bersatu. Biarkan
Allah menguji kita dengan sesuatu yang kita cintai, maka janganlah berlebihan mencintainya, agar saat sedih tidak berlebihan.***Setelah sholat isya'. Airin menyuruh Arni untuk segera mengganti pakaiannya yang sudah Airin siapkan."Dek, cepet ganti pakaianmu ya, keluarga calon besan sudah mengabari, mereka sudah bersiap untuk berangkat ke sini," ujar Airin."Aku gak bisa, Kak. Aku gak bisa ...," pekiknya."Dek, kakak mohon jangan mempermalukan ibu dan bapak, apalagi keluarga mereka keluarga terpandang di kecamatan ini," bujuk Airin lagi. Arni masih menangis terisak sambil menenggelamkan wajahnya di pahanya."Apa ini sudah takdir Arni ya, Kak?" lirihnya. Airin mendekat dan ikut menangis. "Ada saatnya kita harus berkorban demi kebahagian orang tua kita, mengubur apa yang kita mimpikan. Dan percayalah ibu dan bapak hanya ingin yang terbaik untuk kita, kamu harus ikhlas. Insya Allah, Allah akan memberimu kebahagiaan. Percayalah, Dek!"Arni mengangguk. " Insya Allah, semoga keputusan ib
Belajarlah tenang dan sabar. Jalan keluar sebuah masalah dan kemenangan selalu diraih oleh mereka yang tenang dan sabar.***Pagi ini setelah membantu ibunya berbelanja Arni segera bersiap untuk kembali ke pondok. Arni membereskan meja makan sederhana setelah dirinya, Ibu dan bapaknya selesai sarapan. Syafaah dan Herman terlihat sedih, karena Arni tidak lagi ceria seperti biasanya, biasanya Arni selalu cerewet, manja pada sang bapak. Setelah prosesi lamaran semalam Arni menjadi lebih pendiam."Bapak berangkat kerja dulu ya, Bu, Nak." pamit Herman.Arni mengangguk. "Hati-hati, Pak. Setelah ini Arni juga langsung balik ke pondok, Pak" pamitnya."Belajar yang pintar, Nak ya. Jangan pikirin yang belum terjadi, jalanilah hidupmu sebagai santri dan pelajar seperti biasa, bapak harap kamu bisa ceria seperti biasanya," ucap Herman."Iya, Pak," jawab Arni singkat. "Buk, bapak berangkat.""Iya, Pak. Hati-hati."Sebelum Herman sampai di pintu, ada sepeda motor besar yang berhenti di depan
Biasakanlah untuk jujur karena kejujuran itu menuntun kita pada kebaikan dan kebaikan itu menuntun kita pada keselamatan.Dan ....Tinggalkanlah segala yang meragukanmu dan ambillah yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya, kejujuran akan mendatangkan ketenangan, sedangkan kedustaan akan mendatangkan kegelisahan. ***Saat ini Afnan menemui sang abah, Kiyai Laqief. Beliau saat ini berada di perpustakaan pribadinya."Assalamu'alaikum, Abah," sapanya."Wa'alaikumussalam, Nak. Masuklah!" jawab Kiyai Laqief menyudahi aktivitasnya. "Apa saya mengganggu Abah?" tanyanya ragu sebelum masuk ke ruangan itu. "Tidak, Nak. Ada apa? Apa ada hal yang membuatnya gelisah?" Afnan mengangguk. Kiyai Laqief menyuruhnya duduk di sofa sampingnya. "Maafkan saya, Abah," lirihnya."Apa kamu melakukan kesalahan, Nak?""Banyak, Abah. Mungkin dosa Afnan terlalu banyak, Abah. Afnan sudah membagi cinta Afnan untuk Allah pada makhluknya, Afnan tidak bisa menjaga pandangan(gadhul bashar) pada lawan jenis," lirih Af