Ketulusan tidak pernah mengharap balasan atau imbalan atas semua yang telah dilakukan. Ketulusan tersebut muncul dari dalam lubuk hati yang paling dalam. Meskipun tanpa diminta.
Dengan ketulusan bisa membuat kita menerima segala sesuatu dengan apa adanya. Orang yang benar-benar tulus biasanya tidak akan peduli dengan keadaan diri sendiri. Karena lebih mengutamakan memberikan terbaik pada orang lain.
***
Saat ini Arni dan penghuni kamarnya sedang berkumpul di musholla putri untuk sholat dzuhur berjamaah yang akan diimami Ummi Syarifah. Setelah salat Zuhur selesai para pengurus mengumpulkan santri baru dan meminta santri lama untuk kembali beraktivitas lainnya.Ketua pengurus putri yang bernama Hamidah memberikan beberapa nasehat dan semangat pada santri baru sebelum ia membacakan tata tertib peraturan pondok pesantren. Setelah membacakan peraturan, larangan dan hukuman bagi yang melanggar, mbak Hamidah menyudahi pertemuan mereka semua.dan membuyarkan pata santri baru. Karena keramahannya Arni sudah mengenal beberapa teman batu di pondok ini. Arni mengedarkan pandangannya untuk mencari temannya, Halimah. Yang sejak tadi tidak terlihat. Padahal Halimah sudah berangkat ke pondok ini sejak kemarin.
Akhirnya Arni menemukan Halimah. Arni melihat Halimah yang berada di ujung mushollah sedang duduk sendirian. Arni berjalan ke arah Halimah untuk menghampiri teman sekampungnya itu.
"Mah ...," tepuknya membuyarkan lamunan Halimah.
"Arni ...," lirihnya.
"Kamu kok ngelamun sih, di pojakan lagi! kebiasaan buruk jangan diteruskan ya! ini di pondok entar ke sambet lho," ucapnya menggoda Halimah. Remaja itu terlihat tidak bersemangat dan terlihat sedih.
"Aku kangen mama, Ni," lirihnya.
"Aku juga kangen sama ibu, tapi aku sudah bertekad untuk mencari ilmu dan membanggakan mereka," lirihnya.
"Aku belum terbiasa makan makanan di sini, Ni. Rasanya hambar, nggak enak! Bahkan di rumah segala keinginanku akan dituruti ayahku," ucapnya.
"Kita ini di pondok, kita harus lebih banyak tirakat, Mah." ujarnya.
"Iya aku tau, tapi aku tidak bisa makan makanan seperti itu," lirihnya.
"Bukan tidak bisa tapi kamu belum terbiasa, seiring waktu kamu akan menyukai makanan di sini," bujuk Arni.
"Aku nggak tau, Ni. Aku bingung aku jadi jarang makan karena nggak suka dengan makanannya, mau beli di kantin, kantinnya juga masih tutup. Dua hari aja aku sudah nggak betah, Ni. Apalagi tinggal di sini sampai lama," isaknya.
"Jangan ngomong gitu, Mah. Coba bertahan ya, aku tau orang tuamu tidak mempermasalahkan uang yang mereka keluarkan untuk membiayaimu ke pondok karena mereka kaya, tapi masalahnya bukan dilihat nominal uangnya saja, kita harus bertahan mewujudkan impian mereka, katamu dulu mamamu ingin sekali punya anak mondok," bujuknya lagi.
"Iya sih, tapi aku nggak tau lagi harus bagaimana, selain masalah sama makanan, penghuni di kamarku anaknya sewot-sewot kalau aku tanya mereka jawabnya sengak," ucapnya.
Arni sangat tau bagaimana sikap Halimah yang suka menang sendiri tapi dirinya juga tidak Mau menjudge teman satu kampungnya itu.
"Coba dekati mereka dengan baik, sopan dan tanpa merendahkan, kita sebaiknya mengalah pada mereka apalagi kita santri baru, insyaallah nanti mereka bisa menghormati kita sendiri bahkan sayang sama kita. Meskipun kita anak baru," ucapnya lembut supaya Halimah tidak salah faham.
Halimah melihat wajah Arni yang tersenyum lembut padanya. Ia masih terisak.
"Begitu ya, Ni. Benar katamu. Memang aku selalu ingin menang sendiri. Suka bertindak sesuka hati, dan sering nggak menghargai orang lain, makanya mereka memperlakukan aku seperti itu, aku akan berusaha baik pada mereka, biar mereka
bisa baik padaku," ujarnya."Ya sudah, ayo kita kembali ke kamar kita masing-masing! O iya kamu tinggal di kamar apa, Mah?"
"Kamar Hafshoh. Kamu sendiri di kamar apa?"
"Kamar Masyithoh," jawabnya.
"Owalah berarti kamu di kamar kelas unggulan ya, Ni. Senang banget, berarti kemarin pas kamu di tes lisan, kamu dapat nilai yang bagus. Senang ya," ujarnya.
"Hehehe, Alhamdulillah," jawabnya nyengir.
"Kalau kamu berkenan main ya ke kamarku!" pinta Arni lembut.
"Iya, pingin sih tapi minder sama anak kelas unggulan, hehehe," jawabnya nyengir.
"Ya nggak pakai hutu 'lah, Mah. Kita semua sama kok nggak pakai unggul-unggulan," jawab Arni merendah.
Mereka berpisah Arni segera masuk ke kamarnya begitu juga Halimah.
Satu minggu berlalu, para santri baru sudah banyak yang berdatangan, kamar Arni ketambahan santri baru lagi yang sepantaran dengannya namanya Mutia. Teman barunya itu sangat baik hati, ramah dan lemah lembut sama sepertinya. Bedanya Mutia anak orang kaya, ayahnya memiliki tambak dan seorang mudin di desanya.
Saat ini santri baru sedang di kumpulkan di aula putri untuk proses taaruf, pengenalan lingkungan pondok, para keluarga ndalem, pengurus, hal-hal yang dilarang untuk di langgar, bahkan hal-hal yang harus dikerjakan selama di pondok dan tempat-tempat yang tidak diizinkan di masuki oleh santri putri. Mereka diajak berkeliling pondok, para pengurus dengan sabarnya menunjukkan dan memberi tau semua tempat yang ada di lingkungan itu.
Setelah berjalan-jalan keliling pondok, mereka kembali ke aula untuk mendengarkan pembacaan paraturan-peraturan pondok dan pembagian kelas diniyah.
Setelah mendengarkan pengumuman semua santri baru dimohon untuk kembali ke kamar mereka masing-masing. Sebentar lagi juga waktu untuk sholat ashar.
***
Suara adzan subuh berkumandang, para santri segera bangun sebelum mbak pengurus yang membangunkan mereka, kalau tidak begitu mereka akan ditakzir(dihukum). Rasa kantuk masih ada karena baru satu jam mereka tertidur setelah mengerjakan sholat malam beserta dzikirnya. Itulah kegiatan Arni setiap harinya selama satu minggu di pondok, memang tidak jauh berbeda dari kegiatannya di rumah, karena selama ini Arni selalu dibiasakan oleh ibunya untuk mengerjakan sholat malam dan sholat dhuha. Perbedaannya hanya setelah sholat shubuh Arni sudah harus membantu ibunya berbelanja kebutuhan untuk jualan ibunya. Sekarang tidak lagi, setelah sholat shubuh Arni harus mengikuti kajian kitab kuning yang langsung diajarkan oleh Buya Laqief selaku pengasuh pondok pesantren ini.
Dengan khidmat para santri baik putri maupun putra mendengarkan kajian kitab kuning tentunya di tempat yang berbeda yang dipisahkan sekat bangunan yang kokoh. Ya mereka saat ini berada di masjid besar pondok pesantren.
Pukul 06.30 setelah mengantri mengambil sarapan, Arni dan Mutia segera bersiap untuk datang ke sekolah mereka, hari ini mereka MOS. Setelah semua siap mereka segera berangkat, cukup lima menit mereka sudah sampai di gedung sekolah.
Arni dan Mutia sama-sama masuk di kelas 10 kelas unggulan. Namun saat MOS mereka tetap berkumpul jadi satu dengan siswa dari kelas lain.
Pukul 3 sore mereka baru pulang dan langsung membersihkan diri karena harus melaksanakan sholat ashar berjamaah. Setelah sholat ashar para santri kemvsli mengikuti kajian kitab kuning oleh Buya. Kajian kitab kuning yang diajarkan pemangku pondok pesantren memang diadakan dua kali dalam sehari, setelah sholat shubuh dan sholat ashar. Kegiatan itu selesai pada pukul 4.30. Setelah selesai para santri bersiap mengantri untuk mengambil jatah makan mereka. Dengan sabar Arni mengantri.
Setelah sholat maghrib mereka bersiap lagi untuk sekolah diniyah yang dimulai dari pukul 18.30 hingga pukul 20.00 baru selesai. Untuk mengulang kembali pelajaran sekolah dilakukan setelah sholat isya' setelah kegiatan diniyah. Pukul 10 malam para santri diharuskan untuk tidur tidak boleh berkeliaran di luar kamar, kecuali ada hal yang mendesak. Arni menjalankan kegiatannya dengan perasaan gembira. Jauh di lubuk hatinya ada secercah rindu untuk keluarganya namun dirinya berusaha menahan semua itu, dirinya hanya ingin mengalihkan rasa rindu itu pada kegiatannya supaya tidak membuatnya larut dalam kesedihan. Begitulah hari-harinya Arni, dilewati dengan suka cita.
Satu minggu sudah Arni sibuk dengan kegiatannya baik di pondok maupun di sekolah. Arni juga sudah terbiasa dengan kegiatan, dan tata tertib di pondok itu. Arni juga semakin banyak mendapatkan teman, baik di sekolah Diniyah maupun di sekolah formalnya, Madrasah Aliyah.
Sedangkan kabar Halimah temannya yang satu kampung, ia memutuskan boyong karena sudah tidak betah (tidak kerasan), setiap hari Halimah selalu menangis. Seminggu yang lalu setelah selesai MOS Halimah memutuskan untuk meninggalkan pondok dan memutuskan untuk sekolah saja tanpa mondok sama seperti Yuni dan Tutus teman satu sekolahnya bersama Arni dulu. Arni menghargai keputusan teman satu kampungnya itu. Meskipun ada ketidak relaan karena tidak punya teman satu kampung di pondok itu lagi, meskipun di sekolah mereka masih sering bertemu.
Jika aku jatuh cinta, cintakanlah aku pada seseorang yang melebihkan cintanya padaMu, agar bertambah kekuatanku untuk lebih mencintaiMu. (Cinta dalam Balutan doa)***Satu bulan berlalu. Hari ini Arni dijenguk ibunya bersama Airin, kakaknya. Kak Airin juga mengajak Syahrul keponakannya. Arni datang ke aula setelah namanya dipanggil lewat pengeras suara yang ada di tempat konfirmasi pondok putri.Arni sangat bahagia, Arni memeluk erat ibunya juga kakaknya, tak luput dari serangannya, keponakannya diciuminya hingga bangun dari tidurnya yang berada digendongan ibunya. Syahrul bayi yang berusia 4 bulan itu langsung merengek karena ulah tantenya. "Gimana, Dek. Kerasan 'kan?" tanya kak Airin.Arni tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. "Alhamdulillah, Kak," jawabnya.Bu Syafaah hanya tersenyum bangga melihat putri bungsunya kerasan, meskipun Arni terlihat sedikit kurusan."Tapi kamu sedikit kurusan, Dek," ungkap Airin."Iya, Nak. Kamu sedikit kurusan," ucap ibunya."Nggak apa
Orang bilang, pertemuan pertama selalu kebetulan. Tapi, bagaimana caramu menjelaskan pertemuan-pertemuan kita selanjutnya?***Sudah satu bulan Gus Afnan pulang ke Indonesia. Ia sudah berkali-kali menggantikan Buya Laqief mengisi kajian kitab kuning untuk para santri pada pagi dan sore hari, tentu saja saat Buya Laqief berhalangan hadir atau ada acara di luar pondok pesantren. Cara pengajarannya pun sangat mudah di cerna ole semua santri, apalagi di usianya yang masih sangat muda, menjadikan Gus Afnan bisa lebih menguasai para santri dan berbaur dengan mereka tanpa canggung, bahkan kabarnya Gus Afnan tidak malu dan canggung ikut bermain sepak bola di lapangan pondok putra bersama santri yang lain.Gus Afnan juga terkenal sebagai pemuda sholeh yang santun dan baik hati, tidak membeda-bedakan status dan kepintaran. Para santri juga terbiasa berkumpul dengannya, meskipun masih ada canggung para santri terhadapnya karena mereka menghormati statusnya sebagai putra Kyai. Bakal penerus pondo
Memperhatikanmu diam-diam, mendoakanmu setiap hari dan mencintaimu secara rahasia. (-Afnan- Cinta dalam Balutan Doa)***Semenjak kejadian Jum'at yang lalu, Arni semakin canggung, apapun yang dirinya dengar tentang Gus Afnan, yang menjadi idola seantero pondok putri, membuat gadis itu sedikit menghindar bila ada bahasan tentang penerus Buya Laqief itu. Tidak mau munafik. Dirinya juga masih normal, apalagi remaja seusia dirinya baru mengenal arti cinta, labil sekali hatinya, jujur sejak kejadian itu hati Arni terpaut dengan pemuda tampan nan sholeh itu. Namun ia menyakini kalau itu hanya perasaan sesaat, perasan seorang santri mengidolakan ustadz atau Gusnya, bukan perasaan cinta perempuan dewasa. Arni selalu berusaha mengubur rasa yang sudah mulai mengakar di hatinya itu, tak membiarkan semakin berkembang, ia fokus dengan tujuannya untuk mondok, mengejar cita-citanya, membanggakan kedua orang tuanya, dan ngalap barokah dari kyai Laqief.Malam ini selepas sholat maghrib, Arni
Jika aku jatuh cinta padanya, cintakanlah aku pada seseorang yang melebihkan cintanya padaMu agar bertambah kekuatan untuk lebih mencintaiMu (Gus Afnan~ Cinta dalam Balutan Doa)***Afnan langsung merebahkan tubuhnya di ranjangnya. Menghilangkan capek di tubuhnya. Dirinya tersenyum mengingat kejadian saat di kelas dan di kantor madrasah Diniyah tadi."Kamu semakin menantang, dan membuatku semakin penasaran. Khairina Azzalina Arni, nama yang bagus, pintar namun sayang usianya masih 15 tahun. 1 juli 2006. Terpaut 7 tahun denganku," lirihnya.Afnan tau data lengkap Arni, tadi di kantor madrasah Diniyah dirinya sedang mencari data-data itu, sempat membuat kang Dedik, sepupunya yang juga menjadi kepala Diniyah itu heran bukan kepalang. Afnan yang tau sepupunya menatapnya dengan beribu tanda tanya di benaknya berdalih mencari data santri baru supaya mempermudah memberi soal nantinya. Biar santri-santri baru itu tidak terbebani dengan soal yang belum mereka kuasai. Antara percaya d
Satu bulan berlalu.Saat ini Arni siap mengikuti lomba mewakili ponpesnya bersama para santri lainnya yang juga dipilih untuk mewakili pondok sama seperti dirinya.Gus Afnan sudah siap menunggu di halaman pondok dengan mobilnya. Ia berdiri di depan mobilnya. Sudah tersedia 4 mobil lainnya untuk mengantar para peserta lomba dan pengurus pendamping. Dua mobil untuk santri putra dan dua mobil untuk santri putri."Kalian atur sekarang ya, Kita sudah sedikit terlambat, ayo segera berangkat!"ucap Afnan.Setelah mengatakan itu Afnan segera masuk dan melajukan mobilnya bersama Kang Dedik. Arni masuk ke dalam mobil bersama santriwati lainnya.Saat ini mereka sudah sampai di tempat lomba. Arni dan para santri lainnya segera berkumpul dengan para peserta lainnya untuk mendengarkan peraturan-peraturan lomba dari panitia.Sudah satu bulan ini Afnan mencoba menghilangkan perasaanya pada Arni, mencoba mencari kesibukan lain. Namun tetap saja Arni tidak bisa aja hilangkan di dalam hari dan pikira
Cinta bukan hanya sekedar ucapan namun harus dibarengi dengan pengorbanan. Mencintai dan dicintai itu adalah anugrah terindah dari Allah Subhanallah Wa Ta'ala***Satu tahun setengah Arni menjadi santri di pondok ini, suka duka sudah ia lewati bersama santri lainnya, terkhusus teman dan sahabat sekamarnya. Selama di pondok Arni tidak pernah berbuat macam-macam ataupun melanggar tata tertib pondok. Ia belajar sesuai apa yang menjadi cita-citanya. Saat ini ia sudah kelas dua program IPA. Tinggal satu tahun setengah lagi ia sudah lulus.Bagaimana perasaannya pada Gus Afnan? Kalau boleh jujur Arni masih menyimpan perasaannya itu dalam-dalam di relung hatinya, dirinya hanya tidak ingin terluka, biarkan saja ia mencintai dalam diam, mengagumi tanpa harus mengumbar. Toh, hal itu alamiah bagi remaja sepertinya. Yang mulai mengenal cinta.Arni selalu memupusnya dalam hati, karena apa yang diimpikan tentang Gus Afnan hanya hayalan semata, karena ia tau mereka tidak akan pernah bersatu. Biarkan
Allah menguji kita dengan sesuatu yang kita cintai, maka janganlah berlebihan mencintainya, agar saat sedih tidak berlebihan.***Setelah sholat isya'. Airin menyuruh Arni untuk segera mengganti pakaiannya yang sudah Airin siapkan."Dek, cepet ganti pakaianmu ya, keluarga calon besan sudah mengabari, mereka sudah bersiap untuk berangkat ke sini," ujar Airin."Aku gak bisa, Kak. Aku gak bisa ...," pekiknya."Dek, kakak mohon jangan mempermalukan ibu dan bapak, apalagi keluarga mereka keluarga terpandang di kecamatan ini," bujuk Airin lagi. Arni masih menangis terisak sambil menenggelamkan wajahnya di pahanya."Apa ini sudah takdir Arni ya, Kak?" lirihnya. Airin mendekat dan ikut menangis. "Ada saatnya kita harus berkorban demi kebahagian orang tua kita, mengubur apa yang kita mimpikan. Dan percayalah ibu dan bapak hanya ingin yang terbaik untuk kita, kamu harus ikhlas. Insya Allah, Allah akan memberimu kebahagiaan. Percayalah, Dek!"Arni mengangguk. " Insya Allah, semoga keputusan ib
Belajarlah tenang dan sabar. Jalan keluar sebuah masalah dan kemenangan selalu diraih oleh mereka yang tenang dan sabar.***Pagi ini setelah membantu ibunya berbelanja Arni segera bersiap untuk kembali ke pondok. Arni membereskan meja makan sederhana setelah dirinya, Ibu dan bapaknya selesai sarapan. Syafaah dan Herman terlihat sedih, karena Arni tidak lagi ceria seperti biasanya, biasanya Arni selalu cerewet, manja pada sang bapak. Setelah prosesi lamaran semalam Arni menjadi lebih pendiam."Bapak berangkat kerja dulu ya, Bu, Nak." pamit Herman.Arni mengangguk. "Hati-hati, Pak. Setelah ini Arni juga langsung balik ke pondok, Pak" pamitnya."Belajar yang pintar, Nak ya. Jangan pikirin yang belum terjadi, jalanilah hidupmu sebagai santri dan pelajar seperti biasa, bapak harap kamu bisa ceria seperti biasanya," ucap Herman."Iya, Pak," jawab Arni singkat. "Buk, bapak berangkat.""Iya, Pak. Hati-hati."Sebelum Herman sampai di pintu, ada sepeda motor besar yang berhenti di depan