Pagi ini matahari sedang sembunyi di balik awan. Sepertinya dia juga tersipu malu melihat wajah Debi yang selalu menyimpulkan senyuman bahagia. Setelah Debi bertemu dengan dosen pembimbingnya. Rasanya Debi tidak ingin berhenti tersenyum. Bagaimana tidak, skripsi Debi di ACC dosen pembimbingnya dan tidak lama lagi Debi akan sidang skripsi.
Ketegangan saat berhadapan dengan dosen pembimbingnya, membuat Debi merasa lapar. Saat Debi hendak berjalan ke kantin. Debi berpas-pasan dengan Marko. Debi tersenyum kepada Marko, namun Debi dibuat kecewa saat Marko tidak membalas senyumannya. Marko melangkahkan kakinya meninggalkan Debi yang masih termenung di tempatnya.
"Sepertinya Marko sangat marah kepadaku. Ya Tuhan, kenapa rasanya sakit saat melihat sikpa Marko kepadaku? Aku harus kuat, aku tidak mau keadaan ini membuat aku terpuruk," bisik Debi dalam hati.
Debi mengabaikan perasaan sedihnya, dan kembali melangkahkan kakinya. Baru beberapa langkah Debi berjalan. Tiba-tiba ada seseorang yang menarik tangannya.
"Mau kemana sih buru-buru banget."
Ternyata orang yang menarik tangan Debi adalah Maya yang saat ini sudah berdiri di samping Debi bersama gengnya. Debi memutar bola mata malas meladeni mereka.
"Sepertinya ada yang sedang dicampakkan nih," kata Lidya yang diiringi gelak tawa.
"Maaf, aku harus pergi," kata Debi yang mencoba menghindari mereka, namun tangan Debi kembali ditarik.
"Maya, lepaskan tanganku."
Debi merintih kesakitan saat Maya mencengkeram kuat tangannya. Tidak hanya itu saja. Maya juga mendorong Debi hingga terjatuh.
"Jangan sok kamu di sini. Seharusnya kamu sadar kalau kamu hanya anak haram yang tidak jelas asal usulnya."
Ucapan Maya yang sangat keras, menarik perhatian anak-anak yang lainnya yang kebetulan saat itu lewat di samping mereka.
"Betul, anak haram seperti kamu tidak pantas kuliah di tempat elit seperti ini. Adanya kamu di sini hanya memperburuk citra kampus," sahut Lidya.
"Kenapa kalian suka sekali menggangguku. Padahal aku tidak pernah membuat masalah sama kalian," kata Debi.
"Karena kami tidak suka ada anak haram di kampus kita."
"Berhenti memanggilku seperti itu. Aku bukan anak haram," kata Debi dengan nada tingginya.
"Kalau kamu bukan anak haram, lalu kamu anak apa? Anak terhormat? Iya? Pimpi kamu. Jika kamu bisa mengatakan orang tua kamu di mana. Kami tidak akan mengganggu kamu lagi."
"Betul. Tapi sayangnya, dia tidak akan pernah mungkin bisa menemukan orang tuanya. Dia kan anak yang tidak diharapkan kehadirannya," sahut Lidya yang diikuti gelak tawa.
Hati Debi terasa sakit menahan setiap hinaan yang dilontarkan Maya dan gengnya. Rasanya sangat perih, hingga membuat kedua mata Debi tidak sanggup menahan air mata yang sudah menggantung di sudut matanya. Debi terdiam. Debi tidak bisa menjawab pertanyaan mereka. Karena sampai saat ini pun Debi memang belum tahu keberadaan kedua orang tuanya.
"Lihat, dia menangis," kata Lidya sembari mencambak rambut Debi, dan menampakkan wajah Debi yang penuh dengan linangan air mata.
Maya dan gengnya yang melihatnya pun semakin senang. Yah, karena tujuan mereka membulliy Debi agar dia menangis dan menderita. Sementara anak-anak lainnya yang mengerumuni mereka, hanya diam sembari terus memperhatikan mereka, seolah mereka seperti pertunjukan yang seru untuk ditonton tanpa ada niatan untuk membantu Debi.
"Terus saja memangis, kalau bisa yang keras sekalian. Karena sekeras apapun kamu menangis, tidak akan ada yang menolong kamu, termasuk Marko," kata Maya.
"Apa salahku kepada kalian? Aku tidak pernah membuat masalah dengan kalian, tapi kalian selalu saja menggangguku," kata Debi sembari menangis.
"Apakah kamu tuli anak haram? Sudah berulang kali kami katakan, jika kami tidak pernah suka dengan keberadaan kamu di sini," sahut Mira penuh penekanan di setiap ucapannya.
"Kenapa aku tidak pantas? Aku juga sama seperti kalian?"
"Sama? He, anak haram. Ngaca dong, kamu dan kita itu tidak akan pernah mungkin sama. Kamu anak yang tidak jelas asal usulnya, tidak untuk kita," kata Maya.
"Sepertinya dia harus diberi pelajaran agar dia sadar diri," usul Lidya.
"Betul, dia memang harus diberi pelajaran Maya," sahut Mira.
Maya berjalan mendekati Debi dengan tersenyum sinis. Tanpa berucap. Maya menarik rambut Debi dan membenturkan kepalanya pada dinding. Seketika kening Debi yang tergores mengeluarkan darah segar.
"Ini pelajaran untuk anak haram yang tidak tahu diri seperti kamu," kata Maya dengan tatapan penuh kebencian.
"Ayo pergi, tinggalkan dia sendiri," sambung Maya yang diangguki gengnya.
Maya melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu bersama kedua temannya. Begitu juga dengan anak-anak kampus lainnya yang membubarkan diri mereka tanpa ada niatan menolong Debi.
Dari kejauhan. Tanpa Debi sadari. Ada seseorang yang sedari tadi memperhatikan kejadian tadi. Tangannya terkepal kuat. Ada rasa kesal dan marah saat melihat Debi diperlakukan seperti tadi. Ingin rasanya ia menolong Debi, namun langkahnya terasa berat untuk mendekat.
"Maafkan aku, Debi," ucapnya penuh penyesalan. Ia terus memperhatikan Debi tanpa ada niatan ingin pergi.
Debi memegang keningnya yang terasa sakit. Debi meraih tasnya dan mengambil sapu tangannya yang ada di dalam.
"Auuuu," kata Debi kesakitan saat ia mengelap lukanya seorang diri.
Debi berdiri sembari mengambil tas dan juga skripsinya yang tercecer di atas lantai. Debi tidak langsung berjalan ke kantin, namun Debi melangkahkan kakinya untuk berjalan ke toilet. Meski Debi merasa lapar, namun Debi mengabaikan perutnya yang terus berbunyi.
Debi melihat pantulan dirinya di cermin. Darah segar masih terus mengalir di kening Debi yang terluka. Rasanya sakit, namun tidak lebih sakit dari hatinya saat ini.
Debi menangis meratapi nasibnya. Yah, karena statusnya Debi sering mendapatkan makian dan hinaan dari orang-orang yang tidak menyukainya.
"Ya Tuhan, jika aku dilahirkan hanya untuk menjadi bahan hinaan dan makian. Aku tidak akan pernah memilih untuk dilahirkan," kata Debi yang saat itu tangisnya pecah.
Debi memegang dadanya yang terasa sakit. Begitu teganya orang tua Debi kepadanya hingga membuat Debi menjadi seperti sekarang.
"Kenapa kalian melahirkanku? Jika kalian tidak pernah mengharapkan kehadiranku, seharunya kalian jangan biarkan aku lahir. Aku benci sama kalian."
Tubuh Debi luruh saat ia tidak sanggup lagi menahan perih yang selama ini ia simpan seorang diri. Debi menangis meluapkan rasa kecewa, sedih dan sakit hati. Tidak ada yang mengganggunya karena kebetulan saat itu toilet sedang sepi.
"Sekarang aku sendirian, tidak ada lagi yang akan menolongku," kata Debi sembari menekuk lututnya. Debi menyembunyikan wajahnya di antara kakinya.
Yah, sekarang Debi memang sendirian. Tidak ada lagi Marko yang biasa menolongnya. Marko sudah tidak memperdulikannya lagi dan semua ini gara-gara Debi.
"Aku memang pantas dibenci semua orang. Aku memang pantas dijauhi semua orang."
Di balik pintu toilet wanita. Seseorang dengan setianya menunggu Debi yang menangis di dalam sana. Hatinya sangat sakit mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut Debi.
"Aku tidak akan pernah pergi dari kamu, Debi. Aku akan selalu bersama kamu, meski tak lagi sama seperti dulu," ucapnya.
"Dia apa Renata? Jawab!!!!!" Deg Renata terkejut saat Rafa membentaknya. Renata melihat Rafa tak percaya. Ini pertama kalinya Renata melihat Rafa membentaknya, dan itu dia lakukan karena Debi. Renata sedih. Renata semakin membenci Debi saat itu. "Malah diam. Ayo jawab." "Pak Rafa, sudah Pak. Semua ini salah saya." "Mana bisa aku membiarkan orang yang hampir saja melukai kamu, Debi." "Tapi ini salah saya, Pak. Kak Renata tidak salah. Tidak sepantasnya Kak Renata dimarahi seperti ini." "Tidak. Dia memang pantas dimarahi seperti ini."Hati Renata semakin dibalut luka. Mendengar setiap ucapan yang keluar dari mulut Rafa, laki-laki yang sangat ia cintai. Begitu sakit rasanya. Bahkan, Renata sangat mencemburui itu. Renata sampai tidak sanggup melihat pemandangan di hadapannya. "Kenapa diam? Jawab alasannya apa tadi?""Maaf Pak Rafa, saya salah." "Nah, gitu dong. Kalau salah ya minta maaf. Sekarang minta maaf sama Debi." "Baik Pak Rafa," balas Renata yang mengalihkan pandangannya.
"Ini Sapu tangan Om, Marko." DegMarko terkejut mendengar ucapan omnya. Saking terkejutnya Marko sampai bengong. "Terima kasih ya sudah menemukan sapu tangan Om," sambung Rafa. Rafa tersenyum, namun tak mendapatkan respon dari keponakannya. Rafa tak memperdulikan itu, dia memilih kembali melangkahkan kakinya. Marko tertegun di tempatnya. Ucapan omnya terus terngiang-ngiang di telinganya. Rasanya Marko tak percaya dengan yang didengarnya tadi. "Jika yang aku temukan tadi sapu tangan Om Rafa. Berarti yang menolong Debi?"Perasaan Marko tak karuan. Marko cemas dan juga khawatir. Yah, Marko tidak mau yang ditakutkannya akan benar terjadi. "Enggak, enggak mungkin. Pasti hanya kebetulan saja. Siapa tahu Om Rafa ke kampusku hanya untuk jalan-jalan. Om Rafa kan memang suka kayak gitu. Iya, pasti benar seperti itu." BrukkkkRafa menghempaskan badannya di tempat tidur. Hemzzztttt, nyaman sekali. Tangan Rafa meraih benda pipih yang ada di dalam saku bajunya. "Kira-kira Debi lagi ngapain y
"Debi."DegDebi terkejut saat tiba-tiba mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata itu Rafa yang saat ini berdiri di depannya."Kamu sedang mikirin apa Debi?""Tidak sedang mikirin apa-apa kok Pak.""Enggak sedang mikirin apa-apa kok sampai enggak denger aku panggil dari tadi.""Iya, itu karena kurang konsentrasi aja Pak," balas Debi tersenyum malu. "Kalau ada masalah cerita ya. Jangan dipendam sendiri. Gak baik buat kesehatan mental." "Iya Pak, tapi aku tidak sedang ada masalah kok Pak." "Alhamdulillah kalau begitu " "Iya Pak.""Ya sudah, aku antar pulang kamu sekarang ya." "Iya Pak Rafa." Dengan jalan berdampingan. Debi dan Rafa berjalan keluar dari dalam rumah makan. Hari ini jalanan beraspal tak seramai biasanya. Mobil yang Debi tumpangi bebas hambatan tanpa macet sedikitpun. Meski ada pemandangan yang bisa menyejukkan mata Debi di sepanjang jalan. Namun hal itu tak mengalihkan Debi dari lamunannya. "Ya Tuhan, bagaimana ini? Apakah aku bilang saja sama Rafa ya. Kalau aku
"Debi, kamu tidak usah khawatir. Semua sudah.......""Tolong." Deg Jantung Rafa berdegup kencang saat Debi memeluknya. Tangan Rafa bergetar membalas pelukan Debi padanya. "Jangan takut. Ada aku yang akan menolongmu." Debi semakin mengeratkan pelukannya, begitu pun Rafa sebaliknya.Debi mulai tenang. Seiring itu Debi mulai melepaskan pelukannya. Debi melihat Rafa yang tersenyum kepadanya. "Maaf.""Tidak apa-apa, jika kamu butuh sandaran. Bahuku siap untuk kamu buat sandaran.""Kenapa kamu begitu baik padaku. Padahal aku jahat. Aku sudah menolak cintamu." "Kamu tidak jahat. Kamu punya hak untuk menolak cinta laki-laki yang tidak kamu cintai." "Tapi bukankah seharusnya kamu membenciku? Menjauhiku? Seperti mereka yang melakukan itu padaku." "Tidak ada alasan bagiku untuk menjauhimu. Aku mencintaimu, tapi bukan berarti kamu harus menerima cintaku juga. Inilah yang dinamakan dewasa." Debi melihat Rafa takjub. Dia laki-laki yang sangat baik padanya. Bahkan pemikirannya pun juga sang
"Pak Rafa." Rafa menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badannya dan melihat Debi dan Doni berjalan mendekatinya. "Terima kasih ya Pak sudah menolong saya." ."Iya Debi, sama-sama. Tapi kamu tidak kenapa-kenapa kan?" "Iya Pak, saya tidak kenapa-kenapa kok.""Syukurlah kalau begitu," balas Rafa lega. Entah perasaan apa yang tiba-tiba menyelimuti hati Debi. Rasanya Debi begitu nyaman. Bahkan Debi merasa aman saat berada di dekat Rafa. Mungkinkah ini cinta? Entahlah, hati Debi tak berhenti bertanya.Tanpa Debi dan yang lainnya sadari. Renata yang sedari tadi berdiri di depan pintu bar. Tak berhenti mengepalkan tangannya. Renata tidak suka melihat pemandangan di depannya. Apalagi melihat perhatian Rafa yang terlihat jelas untuk Debi. Renata pun cemburu dibuatnya. "Dasar enggak tahu terima kasih," ucapnya yang langsung pergi dari sana. Malam pun semakin larut. Bar pun juga mulai sepi, saat jam tutup telah tiba. Semua karyawan menuju loker untuk mengambil barang-barang milik mereka.
Deg Debi terkejut saat Doni memanggilnya. Ya Tuhan, tubuh Debi bergetar hebat. Pasti Maya mendengarnya. Debi semakin tak berkutik di tempatnya. "Oh, ternyata kamu."Tubuh Debi langsung gemetaran. Perasaan takut pun memenuhi hatinya. Debi seperti trauma akan kejadian penusukan waktu itu. "Masih hidup kamu. Aku kira udah mati," sambung Maya yang diikuti gelak tawa. Debi tetap diam tanpa ingin merespon mereka. "Tuli ya kamu!!!!!" bentak Maya membuat mereka yang ada di sekitar sana pun menjadi mereka pusat perhatian. Tak terkejut Doni yang terlihat terkejut dan juga penasaran. "Maaf Maya, aku mau bekerja," balas Debi yang langsung turun dari tempat duduknya. BrukkkkDebi yang hendak berjalan pun terjatuh saat Maya menjagal kakinya. "Mau kemana kamu? Takut ya kalau pekerjaan kamu ini sampai terbongkar sama kita." "Aku enggak ada urusan sama kalian," balas Debi sembari berdiri. Debi kembali melangkahkan kakinya, namun lagi-lagi Maya menjagal kakinya, dan Debi pun terjatuh kembali.