Share

Perasaan Gelisah

Setelah puas menumpahkan kesedihannya. Debi berdiri dari duduknya. Debi melihat bayangannya di cermin. Berantakan dan penuh linangan air mata. Debi membasuh wajahnya dengan air dan berusaha menghilangkan bekas air matanya. Setelah dirasa bersih. Debi memperbaiki penampilannya dan langsung berjalan keluar dari dalam toilet dengan membawa tas dan tumpukan skripsinya. 

Cklek

Sepasang mata Debi menangkap sosok laki-laki yang tengah berdiri di depan pintu toilet wanita. Laki-laki itu terkejut saat tiba-tiba Debi membuka pintu.

"Marko?" tanya Debi. 

"Aku ingin pergi ke toilet laki-laki, tapi aku ternyata salah toilet," balasnya tanpa memalingkan wajah dan langsung melangkahkan kaki.

"Marko," panggil Debi yang membuat Marko menghentikan langkahnya, namun tetap tidak mengalihkan pandangannya.

"Ada hal yang ingin aku bicarakan sama kamu?" sambung Debi yang terdengar serius.

"Bicara apa?"

"Kamu kenapa Marko? Kenapa kamu seperti menghindariku kayak gitu?" 

"Bukankah kamu sendiri yang ingin aku menghindari kamu?" 

"Aku tidak pernah meminta kamu untuk menghindari aku, Marko. Aku hanya tidak bisa menerima cinta kamu."

"Bukankah itu sama saja kamu menginginkan aku menjauhi kamu?" balas Marko yang sedikitpun tak memalingkan wajahnya.

"Marko, itu tidak sama. Aku hanya menolak cinta kamu, bukan memutus persahabatan kita," kata Debi yang masih belum menyerah untuk menjelaskan.

"Lalu, kamu senang melihat aku menderita dengan mempertahankan persahabatan ini?" 

Deg

Debi terdiam saat mendengar ucapan Marko yang seolah seperti memojokkannya. Yah, Debi bisa merasakan betapa kecewanya Marko kepadanya dari setiap ucapannya.

"Ya Tuhan, apakah aku terlalu egois tanpa memikirkan perasaan Marko? Tapi, aku benar-benar tidak ingin persahabatan yang kita bangun sejak dulu hancur begitu saja. Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" bisik Debi dalam hati. 

"Sudahlah Debi, lebih baik kita jalan sendiri-sendiri saja. Aku berharap, kamu ataupun aku sama-sama tidak saling mengganggu kehidupan masing-masing," kata Marko yang saat itu langsung melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Debi seorang diri. 

Deg

Debi terdiam di tempatnya mendengar perkataan Marko. Perkataan Marko begitu terasa menyakitkan. Yah, Debi tidak ingin mengakhiri persahabatan mereka, namun Debi juga tidak bisa memaksakan keinginan Marko. 

"Ya Tuhan, seperti inikah rasanya kehilangan sahabat yang begitu dekat? Rasanya sangat menyakitkan."

Debi menghapus air matanya yang mulai berjatuhan menggenangi kedua pipinya. 

"Kamu harus tegar dan kuat Debi. Harus," kata Debi menyemangati diri.

Debi melangkahkan kakinya kembali, dan keluar dari area toilet.

Rasa lapar yang sempat Debi rasakan. Kini rasanya sudah tidak terasa lagi. Debi mengurungkan niatnya untuk ke kantin, dan lebih memilih untuk pulang. Yah, mungkin saat ini lebih baik menyendiri untuk menyembuhkan perasaan sedih. 

Lagi-lagi Debi berpas-pasan dengan Marko di parkiran. Marko tidak sendirian. Ada ketiga temannya yang sedang menemaninya. Biasanya jika mereka berkumpul seperti itu. Debi akan ikut bergabung dan berbagi cerita ataupun canda bersama mereka, namun sekarang rasanya beda tak lagi sama. Debi melihat ketiga teman Marko yang melihat kearahnya tanpa ada niatan ingin menyapa seperti biasanya. Sementara Marko, sibuk dengan ponselnya. 

"Sudahlah Debi, lebih baik kamu terima keputusan Marko meski rasanya sangat sakit," bisik Debi dalam hati. 

Debi mengabaikan mereka dan melangkahkan kakinya kembali. 

"Kamu dan Debi beneran sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi? Meskipun hanya sekedar sahabat?" tanya Bima.

"Tidak," balas Marko yang tetap sibuk dengan ponselnya.

"Kamu yakin ingin memutus hubungan dengannya?" 

"Iya."

"Apakah kamu bisa tanpanya?"

Mendengar ucapan Bima, Marko langsung melihat Bima dengan tatapan tak bersahabat.

"Maksudnya kan kamu dan Debi sudah bersahabat lama. Takutnya, kamu akan tersakiti karena masalah ini," sambung Bima memperjelas.

"Aku sudah memikirkannya, dan itu keputusan final," balas Marko tanpa ingin diganggu gugat. 

"Baiklah, sebagai teman kami hanya bisa mendukung keputusan kamu," sahut Gilang sembari memegang pundak Marko. 

"Terima kasih." 

Setelah Debi membayar ongkos angkutan umum. Debi berjalan keluar. Angkutan umum itu pun berlalu meninggalkan Debi yang masih berdiri di pinggir jalan raya. Yah, Debi ingat betul. Sebelum terjadinya konflik antara ia dan Marko. Debi selalu pulang diantar Marko, dan baru kali ini Debi merasakan naik angkutan umum. Sepertinya, kebiasaan ini akan menjadi kebiasaannya setiap hari nantinya. 

Debi tersenyum kecut membayangkan setiap kenangannya bersama Marko. 

"Sudahlah Debi, lebih baik kamu fokus mengejar mimpi. Jangan perdulikan hati kamu, yang hanya akan menghambat kesuksesan kamu," kata Debi yang saat itu langsung melangkahkan kakinya.

Setelah cukup lama masuk ke dalam gang. Akhirnya Debi sampai di depan kos-kosannya. 

Cklek

Debi berjalan masuk ke dalam kos-kosannya. Tidak ada yang ingin Debi lakukan, karena itulah Debi langsung menuju kamarnya.

Debi membuang tas dan tumpukkan skripsinya begitu saja. Debi langsung menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Entahlah, apa yang ingin Debi lakukan saat ini. Hatinya sangat kacau sampai Debi malas mau melakukan apapun.

"Kenapa perasaanku sampai segininya. Aku ini kenapa sih? Apa karena Marko memutus hubungan persahabatan aku sampai seperti ini," kata Debi frustasi. 

Saat ini Debi tengah bingung, resah dan perasaan yang berkecamuk. Sebenarnya Debi mengetahui keresahannya saat ini karena masalahnya dengan Marko, namun Debi berulang kali menyangkalnya. Debi menipu perasannya dengan tetap bersikap baik-baik saja. 

"Mungkin dengan memasak aku bisa menenangkan pikiranku," kata Debi yabg langsung bangun dari tidurnya. 

Debi berjalan keluar dari dalam kamarnya dan langsung menuju dapur. 

Tap tap tap

Dengan senyuman bahagia. Maya berjalan mendekati seseorang yang saat ini tengah menunggunya di halaman kampus.

"Maaf, sudah membuat kamu menunggu lama," kata Maya yang masih tetap dengan senyumannya. 

"Iya, tidak apa-apa."

"Kenapa kamu ingin bertemu denganku? Memangnya ada yang ingin kamu katakan kepadaku?" 

"Iya, ada."

"Apa?" tanya Maya tidak sabar. 

"Kita jadian." 

Brakkkk

"Auwww," kata Debi saat tangannya tidak sengaja terkena penggorengan. 

Debi berjongkok dan mengambil sendok yang tadinya tidak sengaja ia jatuhkan. Debi kembali menaruh sendok yang ia jatuhkan tadi di tempatnya.

"Kenapa aku sampai ceroboh gini ya!" kata Debi sembari mengambil salep yang biasa ia persiapkan di dalam dapur. Debi mengolesi luka di tangannya agar tidak sampai membekas. 

"Kenapa tiba-tiba perasaanku tidak enak ya! Apa yang sedang terjadi ya!" sambung Debi lagi.

Yah, perasaan Debi saat ini benar-benar tidak menentu. Debi merasa ada sesuatu yang sakit di dalam dadanya, namun Debi tidak tahu perasaan apa itu. Debi terus menerka-nerka, namun tetap saja Debi tidak menemukan jawabannya. 

"Ka-kamu tidak bercanda kan Marko?" tanya Maya terkejut. 

Bagaimana tidak, padahal dulu Maya mengejar-ngejar Marko dan terus berusaha mendekati Marko dengan cara apapun, namun saat itu Marko selalu mengabaikannya, tapi kali ini tiba-tiba Marko mendatanginya dan mengatakan sesuatu yang membuat Maya sangat shock.

"Aku......." 

Maya menunggu jawaban Marko yang membuat jantungnya terus berdebar-debar. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status