Share

Perangko Berjalan

Maya masih menunggu, namun Marko tak kunjung juga memberikan jawaban.

"Aku apa Marko?"

"A-aku tidak sedang bercanda. Aku serius dengan ucapanku."

"Benarkah?"

Maya kegirangan mendengar jawaban Marko, namun tidak dengan Marko yang hanya tersenyum kecut.

"Ini demi Debi, Marko. Lakukan sandiwara ini agar Maya percaya," bisiknya.

Maya tak hentinya tersenyum senang. Bahkan Marko bisa melihat hal itu.

"Aku akan memberitahu teman-temanku kalau aku sama kamu sudah jadian."

"U-untuk apa kamu memberitahu mereka? Apakah tidak sebaiknya kita merahasiakan hal ini?"

Marko panik jika sampai Maya memberitahu hal ini kepada teman-temannya. Bukan tidak mungkin, kabar ini akan menyebar, dan yang paling Marko takutkan. Kabar ini sampai terdengar Debi.

"Biar semua orang tahu kalau kita sudah jadian."

"Aku rasa itu tidak perlu Maya."

"Kenapa? Kamu tidak ingin mengakui aku sebagai pacar kamu? Atau jangan-jangan kamu jadian denganku karena ada maksud tertentu?"

Maya melihat Marko penuh selidik. Meski awalnya Marko sempat panik, namun Marko buru-buru menenangkan dirinya.

"Maksud apa maksud kamu? Aku tidak punya maksud apa-apa selain ingin jadian sama kamu. Jika kamu tidak suka dengan usulanku. Tidak apa-apa, mungkin kita tidak perlu jadian."

Setelah mengucapkan itu, Marko melangkahkan kakinya.

"Marko, tunggu."

Maya menarik tangan Marko, yang membuat Marko menghentikan langkahnya.

"Jangan marah dulu Marko. Aku kan hanya khawatir saja. Kalau kamu memang serius sama aku, aku tidak akan bilang sama teman-temanku kok. Asal kita pacaran ya!"

Maya menggenggam tangan Marko. Tatapannya mengisyaratkan penuh permohonan. Marko melukiskan senyumannya semanis mungkin. Rasanya digenggam oleh Maya seperti ini, membuat Marko ingin sekali menarik tangannya.

"Iya, kita tetap jadian. Tapi jangan bilang sama siapa-siapa ya! Termasuk teman kamu."

"Iya, aku tidak akan bilang sama mereka kok."

"Kalau gitu bisa kamu lepas tanganku ini?"

Lagi-lagi Marko memberikan senyuman termanisnya. Meski itu hanya sebuah kebohongan belaka.

"Kenapa sih, aku kan menggenggam tangan pacarku sendiri."

Maya semakin erat menggenggam tangan Marko. Tidak hanya itu saja, Maya juga mulai mendekatkan badannya. Saat Maya hampir memeluk Marko. Tiba-tiba suara ponsel Marko berbunyi.

"Aku angkat telpon dulu ya!"

Marko segera menarik tangannya. Setelah Marko mengambil ponselnya. Marko bergegas menjauhkan dirinya dari Maya.

"Untung kamu menelponku Bima."

"Ada apa Marko? Suara kamu seperti sedang dikerjar-kejar sama seseorang?"

"Aku tidak hanya dikejar-kejar sama seseorang, tapi aku juga dikurang."

"Dikurung? Dikurung bagaimana maksud kamu?"

"Sudahlah, kamu tidak usah banyak bertanya. Kamu ada apa menelponku?"

"Oh ini, aku mau tanya sama kamu. Anak-anak mau pulang, kamu mau pulang bareng atau pulang sendiri?

"Jelas bareng lah. Tunggu aku, aku akan segera ke sana."

Marko memutuskan panggilan sepihak. Marko melangkahkan kakinya mendekati Maya.

"Marko, nanti kita pulang bareng ya!" kata Maya saat menyadari kedatangan Marko.

"Maaf Maya, aku tidak bisa. Aku sudah ditunggu sama anak-anak."

"Yah, padahal aku pingin banget pulang bareng sama kamu."

"Mungkin lain waktu kita bisa pulang bareng. Sudah ya! Aku pergi dulu."

Marko melangkahkan kakinya berjalan pergi meninggalkan Maya.

Langkah Marko terus berderap menuju parkiran. Yah, karena saat ini teman-temannya sudah menunggunya di sana.

"Marko!" panggil Bima dari kejauhan. Marko mengangguk dan berjalan mendekatinya.

"Huh, untung saja aku bisa terlepas dari prangko berjalan."

"Kamu ini kenapa sih Marko. Datang-datang kayak habis lari maraton," tanya Gilang heran.

"Tahu tuh, tadi apa coba maksudnya dikurung?"

"Sudahlah, kalian tidak perlu banyak bertanya. Ayo kita pulang. Nanti kalau ketemu prangko berjalan. Bahaya."

Meski ketiga teman Marko merasa bingung dengan ucapan Marko. Mereka tetap mengikuti Marko yang berjalan masuk ke dalam mobil.

Setelah berjibaku di dalam dapur. Akhirnya sepiring nasi goreng Debi hidangkan di atas piring. Debi membawa masakannya keluar dari dalam dapur.

"Emz, pasti enak ini."

Debi menghirup aroma lezat yang menguar dari nasi goreng buatannya. Debi duduk di depan televisi. Saat Debi hendak menikmati sesendok nasi goreng. Tiba-tiba Debi teringat dengan Marko.

"Marko sangat menyukai nasi goreng buatanku. Kalau dia ada di sini, pasti dia akan langsung menghabiskannya."

Debi tidak lagi berselera makan. Debi menyokong dagunya. Pikiran Debi kembali memikirkan kejadian saat di kampus tadi.

"Ya Tuhan, aku kira aku akan kuat meski tanpa Marko di sampingku. Ternyata aku salah, aku hanya wanita yang pura-pura tegar dan kuat."

Tes tes tes

Dan lagi, air mata Debi berjatuhan. Debi baru merasakan. Ternyata semenyiksa ini rasanya jika itu berhubungan dengan perasaan.

"Kamu tidak boleh menangis. Kamu pasti bisa Debi. Karena kamu wanita kuat dan tangguh."

Tok tok tok

Debi buru-buru menghapus air matanya saat mendengar suara pintu diketuk. Debi diam, mungkin ia salah dengar.

Debi kembali mendengar suara pintu diketuk, dan kali ini Debi mendengarnya diiringi suara seseorang. Debi beranjak dari duduknya untuk membukakan pintu.

Cklek

Pintu pun terbuka, dan memperlihatkan seseorang yang saat ini tengah berdiri di depan pintu.

"Bu Maurin."

"Mana uang kosnya? Saya tidak mau mendengar lagi kamu akan mengusahakannya."

"Maaf Bu Maurin. Saat ini saya benar-benar tidak punya uang untuk bayar uang kos, tapi setelah gajian, saya akan langsung membayarnya."

"Tidak bisa. Kalau kamu tidak bisa bayar kos, lebih baik kamu pergi dari sini."

"Jangan usir saya dari sini Bu Maurin. Kalau saya tidak tinggal di sini, saya mau tinggal di mana?"

"Itu bukan urusan saya. Urusan saya hanya meminta uang kos yang sudah menunggak dua bulan."

"Berikan saya waktu Bu Maurin. Secepatnya saya akan mengusahakannya."

"Beri waktu terus. Saya sampai bosan mendengar kamu bicara seperti itu. Sudahlah, kalau tidak punya uang. Lebih baik pergi dari sini. Masih banyak yang mau tinggal di kos-kosan saya."

"Saya mohon Bu Maurin. Saya janji, minggu ini saya akan membayarnya."

Debi memohon dengan wajah penuh iba. Yah, Debi tidak ingin sampai diusir dari sana, dan menjadi gelandangan di pinggir jalan.

"Baik, saya akan memberi kamu waktu satu minggu, tapi kalau sampai lebih dari satu minggu kamu tidak juga membayar kos. Saya tidak akan segan-segan mengusir kamu dari sini."

"Iya Bu Maurin. Saya janji, sebelum satu minggu saya sudah membayar uang kos."

"Iya. Saya harap kamu tidak membohongi saya."

Setelah mengucapkan itu, Bu Maurin melangkahkan kakinya pergi.

Debi menutup pintu kamarnya. Debi tak langsung beranjak dari tempatnya. Debi duduk di depan pintu dengan tangannya menyangga kepalanya yang terasa pusing.

"Ya Tuhan, baru saja aku mendapatkan masalah dengan Marko. Dan sekarang masalah baru datang lagi. Kenapa hidupku penuh dengan masalah setiap harinya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status