"Kamu, aaaargh ...!" jerit Antoni.
Sabrina segera berlari setelah tangannya dilepas Antoni yang kepedasan karena cabai. Untung saja dia cepat mengambil dan meremas cabai tersebut dan tanpa ragu ia lemparkan ke mata Antoni.
Sabrina sudah di depan rumah Nuraeni dengan nafas ngos-ngosan. "Assalamualaikum, Bibi, Sofia."
Mendengar suara ibunya Sofia langsung keluar dan menghampiri Sabrina. "Mama."
"Kok baru pulang?" Nuraeni keluar dengan wajah masam.
"Maaf, Bi, cabainya sudah tidak banyak yang tua jadi nyarinya lama, harus di semua pohon," ujar Sabrina.
"Ya sudah sana timbang dulu," titah Nuraeni.
"Baik, Bi." Sabrina segera masuk dan menimbang cabai tersebut agar cepat pulang.
Nuraeni mengikuti Sabrina masuk dan mengawasinya menimbang cabai. Seperti biasa cabai yang dipetik Sabrina tidak pernah kurang, lebihnya pun hanya sedikit. Itu semua karena Sabrina sudah terbiasa dan hafal dengan beratnya.
"Cabainya lima kilogram, Bi, semua sudah aku bungkus dan ini lebihnya," kata Sabrina.
"Ya sudah. Kalian jangan pulang dulu, bibi masak banyak," balas Nuraeni.
Sabrina mengangguk meski sebenarnya ia ingin segera pulang. Ia takut Antoni datang dan takut juga untuk membicarakan tentang Antoni yang mencegatnya di jalan tadi.
"Pulang juga kamu," sinis Ferdi yang baru keluar dari kamar mandi.
"Iya, Paman." Sabrina menjawab sambil menundukkan kepalanya.
"Sudah bertemu orangnya?" Tanya Ferdi.
"Orang?" Sabrina tidak mengerti.
"Antoni," jelas Ferdi singkat.
"Jadi Paman yang menyuruhnya mencegatku?" tanya Sabrina.
"Mencegat? Hei apa-apaan itu? Dia itu calon suamimu yang paman pilihkan," jawab Ferdi.
"Aku tidak mau dengannya, Paman," tolak Sabrina.
"Tidak ada penolakan," tegas Ferdi.
"Bi, aku nggak mau sama Antoni, Bi, tolong aku jelasin sama paman," mohon Sabrina.
"Sudahlah Sabrina, turuti saja kata pamanmu. Antoni itu anak orang kaya, dia pasti mampu membahagiakanmu," saran Nuraeni.
"Aku nggak mau, Bi, aku nggak mau nikah lagi," tolak Sabrina.
"Kenapa? Masih menunggu Nathan? Yang tidak jelas asal-usulnya itu diharapkan, mending kalau jadi," sindir Ferdi.
"Tidak, Paman, aku tidak akan menikah dengan siapapun." Sabrina menolak, keputusannya untuk tidak menikah lagi sudah bulat.
"Kamu pikir kalau terus sendirian begitu kamu bisa bayar hutang-hutangmu yang sudah puluhan juta itu?" desak Ferdi.
"Akan ku usahakan, Paman." Sabrina berlalu pulang. "Aku pulang ya, Tante," pamit Sabrina.
"Tunggu sebentar, Sabrina, masakan Tante sebentar lagi siapa," teriak Nuraeni.
"Biarkan saja, kalau tidak habis kasih kucing saja." Perkataan Ferdi masih bisa di dengar oleh Sabrina.
Sabrina mengajak Sofia pulang dengan perasaan sedih. "Bu, Pak, aku rindu," lirih Sabrina.
Menjadi sebatang kara sejak kecil membuat Sabrina dipaksa untuk menjadi kuat dalam segal keadaan. Nuraeni yang merupakan adik kandung ayahnya tidak bisa di harapkan. Meski ia sering berharap di sayangi oleh bibinya seperti anak sendiri, tapi itu tidak pernah terjadi. Padahal Nuraeni dan Ferdi tidak memiliki anak, hanya Sabrina yang mereka rawat sebagai anak mereka. Tapi Sabrina diperlakukan buruk oleh Nuraeni dan Ferdi sejak ia kecil.
"Nur, besok terus bujuk Sabrina agar mau menikah dengan Antoni," titah Ferdi.
"Iya, Bang." Nuraeni yang tidak punya pilihan selalu mengiyakan saja perintah suaminya.
"Bagaimana pun caranya dia harus menikah dengan Antoni," lanjut Ferdi.
"Memangnya kenapa, Bang?" tanya Nuraeni memberanikan diri.
"Dia adalah alat untuk membuat kita semakin kaya di desa ini," jelas Ferdi.
"Alat?" tanya Nuraeni.
"Sudah jangan banyak tanya, lakukan saja apa yang ku perintahkan," titah Ferdi.
Kalau sudah begitu Nuraeni tidak bisa bertanya lagi. Jika ia bersikeras untuk tahu, bukan jawaban yang ia dapat tetapi pukulan dan murka suaminya. Sebenarnya Nuraeni sudah tidak tahan tinggal bersama Ferdi. Tetapi ia terus bertahan demi Sabrina dan Sofia yang tidak tahu apa-apa. Ia merencanakan untuk mengambil kembali hak milik Sabrina yang dikuasai suaminya.
"Bang Ikhsan, aku akan pastikan Sabrina mendapatkan haknya," batin Nuraeni.
Keesokan harinya Sabrina keluar dengan hati-hati, ia takut Antoni kembali menghadangnya di jalan seperti kemarin. Pekerjaan sehari-harinya tidak bisa ia tinggalkan, kalau tidak ingin kelaparan. Ferdi selalu tega tidak memberinya upah jika ia tidak bekerja. Kalau sakit pun dia tetap harus bekerja, kecuali jika ia benar-benar tidak bisa bangun dari tempat tidurnya.
"Lagi nyari siapa, Sabrina?" Nuraeni yang melihat Sabrina berjalan dengan waspada jadi penasaran.
"Astaghfirullah, Bibi, tidak mencari siapa-siapa, Bi," jawab Sabrina.
"Lalu kenapa berjalan seperti itu?" tanya Nuraeni lagi.
"Tidak, Bi, tidak ada apa-apa," kata Sabrina.
"Kamu mencari Antoni?" tanya Nuraeni.
Sabrina terkejut karena tebakan Nuraeni benar. Padahal dia tidak nyaman mendengar nama Antoni di sebut, tapi malah ada saja yang menyebut namanya.
"Bibi, kok tahu? Apa dia ada di rumah Bibi?" tanya Sabrina.
"Tidak ada," jawab Nuraeni.
"Syukurlah," lirih Sabrina, langkah kakinya ia percepat agar segera sampai ke sawah.
"Tapi ...." Nuraeni ragu untuk bicara.
"Tapi apa, Bi?" Sabrina penasaran.
"Tapi, kamu harus menikah dengannya," tukas Nuraeni.
"Bibi juga menyuruhku menikah dengan Antoni?" Mata Sabrina berkaca-kaca.
Sabrina tidak menyangka kalau bibinya melakukan hal yang sama lagi. Seperti dulu, ia menikah juga karena perintah Ferdi. Nyatanya pernikahan mereka tidak bahagia dan kandas saat Sabrina baru saja mengandung.
"Iya, Sabrina, kamu harus menikah. Tidak baik kalau kamu lama sendirian begitu," tutur Nuraeni.
"Tapi aku tidak mau, Bi, kenapa harus Antoni? Bibi pernah melihatnya? Dia bukan orang baik, Bi," protes Sabrina.
"Apa kamu masih mengharapkan Nathan?" tanya Nuraeni.
Sabrina terdiam, dugaan Nuraeni benar tapi dia tidak ingin siapapun tahu tentang perasaannya.
"Bukan begitu, Bi, aku memang tidak ingin menikah lagi," terang Sabrina.
"Yakin?" Nuraeni memastikan.
"Yakin, Bi," jawab Sabrina.
"Bagaimana kalau pamanmu memaksa?" tanya Nuraeni.
Sabrina kembali terdiam, jika bicara dengan Ferdi maka perintahnya adalah mutlak, tidak ada siapapun yang boleh membantahnya.
"Bi, tolong, bantu aku jelasin sama paman, bantu bujuk paman agar tidak memaksaku menikah," mohon Sabrina.
Nuraeni menghentikan langkahnya ditatapnya lekat keponakannya itu. "Sabrina, kamu sendiri tahu kan bagaimana sikap pamanmu, bagaimana kerasnya dia? Apa kamu mau bibi tiada karena membelamu?"
"Mama, onyet." Sofia yang dari tadi diam berteriak sambil menunjuk ke depan.
Sabrina dan Nuraeni bergegas menghalau kawanan monyet yang sedang menikmati buah mangga di dekat gubuk tempat Sofia di tinggal sementara Sabrina bekerja. Sabrina mengambil ketapel yang selalu ia bawa untuk menghalau monyet yang selalu datang menyerbu kebun paman dan bibinya. Sofia yang ia gendong di punggung Sabrina sama sekali tidak takut, ia malah tertawa kegirangan.
Sabrina fokus membidikkan ketapelnya ke atas, tanpa ia sadari seekor monyet berada tidak jauh dari kakinya.
"Sabrina, awas!"
Sabrina terkejut bukan main saat seekor monyet berlari tepat di hadapannya. Kalau tidak ada yang memanggilnya Sabrina masih tetap fokus pada monyet yang di pohon mangga.
Sabrina menatap orang yang baru saja memanggilnya. "Kamu ...?"
Di sebuah ruangan yang lembab dengan sedikit pencahayaan yang masuk terbaring seorang wanita yang tidak sadarkan diri. Ruangan itu sedikit kotor dan berdebu karena jarang dikunjungi, gudang.Sudah hampir satu jam wanita itu tak kunjung sadar. Hingga ia terkejut dan langsung terbatuk-batuk akibat sedikit parfum yang disemprotkan ke wajahnya.Amelia, pelaku penyemprotan parfum tersebut berkata dengan sinis, "Akhirnya, sadar juga.""Di mana aku?" Sabrina masih belum bisa mencerna karena baru saja siuman."Oh, masih linglung rupanya. Mau ku bantu ingatkan?" tanya Amelia."Anda siapa?" Sabrina menatap wajah Amelia."Hei, jangan melihatku seperti itu!" bentak Amelia."Ma-maaf." Sabrina tergagap.Sabrina yang masih bingung berusaha keras mengingat-ingat sebelum ia berada di gudang tersebut. Perlahan ia ingat ketika akan berangkat ke Jakarta untuk menemui Leon."Sofia, di mana anak saya?" Sabrina langsung menanyakan keberadaan Sofia pada Amelia, matanya langsung memindai isi gudang ters
"Kamu ... kenapa ada di sini?" tanya Sabrina dengan kesal."Mengikuti mu.""Untuk apa? Aku tetap tidak akan mau," tegas Sabrina."Aku akan berusaha."Sabrina menatap tidak suka pada orang di depannya yang tidak lain adalah Antoni. Kali ini Antoni mengenakan pakaian yang lebih rapi untuk menemui Sabrina. Tetapi Sabrina tidak peduli, sekalipun Antoni berubah menjadi baik tapi hati Sabrina masih menyimpan Nathan. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Nathan di hatinya."Jangan harap," sinis Sabrina.Ekspresi wajah Antoni sedikit berubah ada kemarahan yang tidak bisa langsung ia hilangkan. Tetapi kali ini Sabrina tidak takut lagi terhadap Antoni, sebab para pekerja sudah mulai berdatangan. Tidak mungkin Antoni berani melakukan hal yang buruk padanya di saat seperti itu.Karena ada Antoni, Sabrina tidak meninggalkan Sofia sendirian di gubuk. Ia membawa Sofia untuk membersihkan rumput saja di kebun cabai yang sudah mulai tinggi. Sementara Antoni duduk di teras gubuk sambil terus mengamati
"Kamu, aaaargh ...!" jerit Antoni.Sabrina segera berlari setelah tangannya dilepas Antoni yang kepedasan karena cabai. Untung saja dia cepat mengambil dan meremas cabai tersebut dan tanpa ragu ia lemparkan ke mata Antoni.Sabrina sudah di depan rumah Nuraeni dengan nafas ngos-ngosan. "Assalamualaikum, Bibi, Sofia."Mendengar suara ibunya Sofia langsung keluar dan menghampiri Sabrina. "Mama.""Kok baru pulang?" Nuraeni keluar dengan wajah masam."Maaf, Bi, cabainya sudah tidak banyak yang tua jadi nyarinya lama, harus di semua pohon," ujar Sabrina."Ya sudah sana timbang dulu," titah Nuraeni."Baik, Bi." Sabrina segera masuk dan menimbang cabai tersebut agar cepat pulang.Nuraeni mengikuti Sabrina masuk dan mengawasinya menimbang cabai. Seperti biasa cabai yang dipetik Sabrina tidak pernah kurang, lebihnya pun hanya sedikit. Itu semua karena Sabrina sudah terbiasa dan hafal dengan beratnya."Cabainya lima kilogram, Bi, semua sudah aku bungkus dan ini lebihnya," kata Sabrina."Ya sudah
"Dia hanya seorang yang Mama tugaskan untuk menjagamu di sini, Nathan," ujar Mytha sambil tersenyum puas.Pertanyaan Nathan saja cukup mengejutkan bagi Sabrina, ditambah lagi dengan pernyataan Mytha membuat hati Sabrina sakit. Ia langsung keluar dari ruang ICU sambil menangis."Dokter, ada apa dengan Nathan?" tanya Mytha.Sunardi yang datang tidak lama setelah Mytha masuk belum bisa memastikan sebelum memeriksa kondisi Nathan."Biar saya periksa dulu ya, Bu," ujar Sunardi."Iya, Dok, kalau begitu saya pamit keluar sebentar." Mytha buru-buru keluar mencari Sabrina.Di luar Mytha melihat Sabrina yang sedang duduk di kursi tunggu. Ia segera menghampiri dan menyodorkan sebuah amplop pada Sabrina."Ambil ini dan ingat kamu jangan pernah muncul lagi di hadapan anak saya," ujar Mytha penuh penekanan.Sabrina menoleh dan bertanya dengan heran. "Apa ini, Tante?""Itu bayaran karena sudah membuat Nathan kembali sadar Sekaligus bayaran untukmu yang mengincar harta keluarga kami agar segera kamu
Empat hari sudah Nathan terbaring lemah di rumah sakit dalam keadaan koma. Mytha begitu khawatir melihat kondisi anaknya, apalagi terkadang ia melihat air mata Nathan mengalir dengan sendirinya."Dokter, kenapa Nathan belum juga sadar?" tanya Mytha pada Sunardi--dokter yang menangani Nathan di rumah sakit tersebut."Mohon sabar ya, Bu. Benturan di kepala anak Ibu cukup parah, saya tidak bisa memastikan kapan ia akan sadar," jawab Sunardi.Mytha dan Sunardi bicara di ruangan Nathan karena Sunardi baru saja melakukan pemeriksaan rutin pada pasiennya. Begitu banyak yang Mytha tanyakan terkait dengan kondisi Nathan. Hingga saat Mytha tengah asyik membicarakan Nathan ia melihat mulut anaknya tersebut bergerak seperti sedang bicara."Dokter, apakah saya salah lihat? Sepertinya mulut Nathan bergerak." Mytha mendekatkan telinganya pada mulut Nathan."Sabrina," ujar Nathan lemah.Mytha tidak percaya dengan apa yang ia dengar hingga membuat Sunardi penasaran dan ikut mendekatkan telinganya pada
"Sayang, aku pergi dulu ya. Kalau sudah sampai aku kabarin." Dengan perasaan sedih Nathan mencoba kuat saat berpamitan pada Sabrina, kekasihnya.Sabrina mengangguk. "Hati-hati di jalan," ujar Sabrina.Dengan langkah berat Nathan pergi meninggalkan kekasihnya. Wanita yang sudah lama ia cintai lewat media sosial itu bernama Sabrina, seorang janda muda beranak satu. Hari itu adalah hari terakhirnya di desa tempat Sabrina berada. Ia berpamitan untuk kembali ke Jakarta untuk meminta restu orang tuanya sekaligus untuk melamar Sabrina.***Taxi yang Nathan tumpangi sudah sampai, dengan langkah pasti Nathan menuju rumahnya."Assalamu'alaikum," ucap Nathan di depan pintu rumah, ia tidak langsung masuk meski tahu rumahnya tidak di kunci. Sebab sudah ada security yang menjaga gerbang didepan rumahnya."Iya, sebentar!" jawab asisten rumah tangga di rumah itu.Pintu rumah terbuka dan Surti keluar menyapa tamunya."Maaf, cari siapa ya?" Tanya Surti pada Nathan yang berdiri membelakanginya.Nathan b