"Dia hanya seorang yang Mama tugaskan untuk menjagamu di sini, Nathan," ujar Mytha sambil tersenyum puas.
Pertanyaan Nathan saja cukup mengejutkan bagi Sabrina, ditambah lagi dengan pernyataan Mytha membuat hati Sabrina sakit. Ia langsung keluar dari ruang ICU sambil menangis.
"Dokter, ada apa dengan Nathan?" tanya Mytha.
Sunardi yang datang tidak lama setelah Mytha masuk belum bisa memastikan sebelum memeriksa kondisi Nathan.
"Biar saya periksa dulu ya, Bu," ujar Sunardi.
"Iya, Dok, kalau begitu saya pamit keluar sebentar." Mytha buru-buru keluar mencari Sabrina.
Di luar Mytha melihat Sabrina yang sedang duduk di kursi tunggu. Ia segera menghampiri dan menyodorkan sebuah amplop pada Sabrina.
"Ambil ini dan ingat kamu jangan pernah muncul lagi di hadapan anak saya," ujar Mytha penuh penekanan.
Sabrina menoleh dan bertanya dengan heran. "Apa ini, Tante?"
"Itu bayaran karena sudah membuat Nathan kembali sadar
Sekaligus bayaran untukmu yang mengincar harta keluarga kami agar segera kamu segera pergi dari anak saya." Mytha berjalan kembali ke ruangan Nathan meninggalkan Sabrina yang berdiri mematung.
Sabrina membuka amplop di tangannya dan terkejut melihat isinya. Buru-buru ia mengejar Mytha dan mengembalikan amplop berisi uang yang Mytha serahkan padanya. "Aku tidak bisa terima ini, Tante."
"Pergi dari sini, keluarga saya tidak butuh kamu lagi!" bentak Mytha.
Sabrina mengira ia diterima oleh keluarga Nathan, karena mereka mau menjemputnya jauh-jauh dari Jakarta. Tapi ternyata ia salah, orang tua Nathan menjemputnya hanya karena mereka butuh Sabrina untuk menyadarkan Nathan dari koma. Pantas saja sikap Mytha sangat tidak bersahabat padanya.
Setelah Nathan sadar, Mytha menyuruh Sabrina melupakan Nathan dan memberinya sejumlah uang agar ia mau menjauhi Nathan.
"Ma, cewek yang jagain aku tadi mana? Namanya siapa, Ma? Kok aku kayak kenal sama dia?" tanya Nathan begitu Mytha masuk.
Mytha heran melihat Nathan, ia pikir mungkin ingatan Natha sedang bermasalah. Dengan senang hati Mytha menjawab pertanyaan Nathan dengan berbohong.
"Dia suda pulang, Nathan, pekerjaannya sudah selesai."
Nathan tidak puas dengan jawaban ibunya. "Tapi, Ma, aku mau ngucapin makasih sama dia. Apa nanti aku bisa bertemu dengannya?
Mytha tersenyum, menutupi kebohongannya menjawab pertanyaan Nathan. "Tidak perlu sayang, dia bukan orang baik dan Mama baru tahu itu."
"Dokter, bagaimana kondisi Nathan, dia sudah sembuh kan?" tanya Mytha mengalihkan pembicaraan.
Sunardi menatap Nathan sebentar lalu bicara. "Untuk saat ini sudah tidak ada masalah, Bu. Tinggal tunggu beberapa hari lagi mungkin sudah bisa pulang."
"Syukurlah kalau begitu, dok. Terima kasih." Mytha tersenyum senang.
"Kalau begitu saya pamit, Bu, permisi," pamit Sunardi.
"Baik, Dok, silahkan," sahut Mytha.
Sebelum mencapai pintu Sunardi kembali dan berkata, "Oh iya, Bu Mytha, bisa bicara di ruangan saya sebentar?"
Mytha mengangguk dan segera berdiri mengikuti Sunardi yang sudah berjalan keluar.
"Ada apa ya, Dok, apa ada masalah serius tentang penyakit Nathan?" tanya Mytha ketika sudah di ruangan Sunardi.
"Jadi begini, Bu Mytha, ada kemungkinan ada sedikit masalah pada ingatan anak Ibu." Sunardi mulai menjelaskan.
"Maksudnya masalah seperti apa ya, Dok? Bukannya Nathan baik-baik saja?" tanya Mytha tidak mengerti.
"Benar, Bu Mytha. Tapi, apa benar Sabrina yang Bu Mytha bawa itu memang Sabrina yang selalu Nathan sebut saat dia koma?" tanya Sunardi meyakinkan.
"Benar, Dok. Sebentar, saya punya fotonya." Mytha membuka tasnya dan mengambil ponsel Nathan yang slalu ia bawa.
"Ini foto Sabrina, Dok." Mytha memperlihatkan foto Sabrina di ponsel Nathan.
"Sebenarnya apa hubungan antara Nathan dengan Sabrina?" tanya Sunardi.
"Itu ... sebenarnya mereka menjalin hubungan, Dok. Saya tidak tahu kenapa Nathan bisa mencintai orang itu, bahkan sampai kabur dari rumah dan kecelakaan seperti ini. Padahal ada banyak gadis di kota ini, tapi dia malah memilih janda kampungan itu." Mytha menjelaskan panjang lebar dengan perasaan kecewa.
"Baik, Bu, sekarang saya sudah bisa menyimpulkan bahwa Nathan sebenarnya mengalami Amnesia Anterogard. Amnesia ini biasanya hanya melupakan orang yang paling penting dalam hidupnya," ujar Sunardi.
"Amnesia, Dok? Hanya melupakan orang penting dalam hidupnya?" tanya Mytha tidak percaya.
Perasaan Mytha tidak karuan. Antara sedih dan bersyukur karena Nathan bisa melupakan Sabrina. Ia sedih karena ternyata dalam hidup Nathan ada orang lain yang lebih penting dari dirinya. Ia juga bersyukur karena itu berarti ia bisa menjatuhkan Nathan dari Sabrina dengan mudah.
***
"Sabrina, kapan kamu bayar uang yang kamu pinjam untuk ke Jakarta kemarin? Cepat bayar!" Nuraeni—bibi Sabrina menagih dengan ketus.
"Maaf, Bi, aku tidak bisa kembaliin sekarang," jawab Sabrina.
"Kalau tidak bisa sekarang terus kapan? Nathan juga kenapa tidak datang lagi? Bukannya dia berjanji untuk melamarmu?" tanya Nuraeni tanpa memikirkan perasaan Sabrina.
"Kalau uangnya sudah ada, Bi," lirih Sabrina.
"Bayar secepatnya ya." Nuraeni berbalik pergi meninggalkan Sabrina.
Setelah mengembalikan uang dari Mytha, Sabrina langsung pulang kembali ke Kalimantan. Ia benar-benar sedih dan kecewa, apalagi setelah mendengar Nathan yang bertanya siapa dirinya. Ia pikir Nathan hanya pura-pura lupa padanya karena disuruh oleh orang tuanya.
"Ma, papa?" Sofia, gadis kecil yang belum genap dua tahun itu mencari Nathan.
"Sudahlah, Nak. Mulai sekarang tidak ada lagi papa untuk Sofia," ujar Sabrina dengan sedih.
"Papa?" ulang Sofia.
Sabrina hanya menggeleng, tidak sanggup untuk berbicara. Apalagi Sofia masih kecil, tentu belum mengerti apa-apa. Sabrina pikir Sofia pasti akan dengan mudah melupakan Nathan.
Hari-hari Sabrina lalui dengan menyibukkan diri bekerja di sawah dan kebun milik Nuraeni. Ia juga giat menambah unggahan inspiratif pada media sosialnya yang lumayan menghasilkan uang tambahan untuknya.
"Sabrina, nanti pulang jangan terlalu sore, ada yang ingin paman bicarakan." Ferdi, suami Nuraeni tersebut mengingatkan Sabrina agar pulang cepat.
"Baik, Paman," jawab Sabrina.
Sabrina meneruskan memetik cabai yang sudah mulai memenuhi bakul yang ia gunakan sebagai wadah. Sayuran lain sudah di angkut oleh pekerja pria yang juga bekerja di kebun tersebut.
Setelah bakulnya penuh, Sabrina bersiap untuk pulang. Ia tidak tahu apa yang akan dibicarakan pamannya, tapi ia takut kalau terlambat. Karena biasanya apa yang suami istri itu perintahkan tidak bisa diabaikan walau hanya terlambat sedikit saja.
Belum sampai di rumah Ferdi, Sabrina di cegat oleh seorang laki-laki yang tidak ia kenali.
"Kamu yang namanya Sabrina kan?" tanya orang yang mencegat Sabrina.
"Iya, ada apa ya Pak?" tanya Sabrina.
"Pak, pak, saya belum bapak-bapak," ujar orang tersebut. "Perkenalkan, saya Antoni, calon suamimu."
Sabrina terkejut bukan main tanpa sadar ia bergidik ngeri melihat penampilan Antoni. Tubuhnya yang berisi, kumis tebal dan tato besar di dadanya yang terbuka membuat kesan menyeramkan. Apalagi ketika ia menghembuskan asap rokoknya ke sembarang arah membuat Sabrina takut.
"Maaf, saya tidak mengenal anda, dan saya tidak pernah memiliki hubungan dengan anda," tolak Sabrina.
"Alah sok jual mahal kamu. Sini kita senang-senang dulu." Antoni menarik tangan Sabrina.
"Tidak! Saya tidak mau! Lepaskan saya!" pekik Sabrina.
Antoni terus berusaha menarik Sabrina yang terus memberontak, tapi ia terkejut ketika Sabrina melakukan sesuatu padanya.
"Kamu...!"
Di sebuah ruangan yang lembab dengan sedikit pencahayaan yang masuk terbaring seorang wanita yang tidak sadarkan diri. Ruangan itu sedikit kotor dan berdebu karena jarang dikunjungi, gudang.Sudah hampir satu jam wanita itu tak kunjung sadar. Hingga ia terkejut dan langsung terbatuk-batuk akibat sedikit parfum yang disemprotkan ke wajahnya.Amelia, pelaku penyemprotan parfum tersebut berkata dengan sinis, "Akhirnya, sadar juga.""Di mana aku?" Sabrina masih belum bisa mencerna karena baru saja siuman."Oh, masih linglung rupanya. Mau ku bantu ingatkan?" tanya Amelia."Anda siapa?" Sabrina menatap wajah Amelia."Hei, jangan melihatku seperti itu!" bentak Amelia."Ma-maaf." Sabrina tergagap.Sabrina yang masih bingung berusaha keras mengingat-ingat sebelum ia berada di gudang tersebut. Perlahan ia ingat ketika akan berangkat ke Jakarta untuk menemui Leon."Sofia, di mana anak saya?" Sabrina langsung menanyakan keberadaan Sofia pada Amelia, matanya langsung memindai isi gudang ters
"Kamu ... kenapa ada di sini?" tanya Sabrina dengan kesal."Mengikuti mu.""Untuk apa? Aku tetap tidak akan mau," tegas Sabrina."Aku akan berusaha."Sabrina menatap tidak suka pada orang di depannya yang tidak lain adalah Antoni. Kali ini Antoni mengenakan pakaian yang lebih rapi untuk menemui Sabrina. Tetapi Sabrina tidak peduli, sekalipun Antoni berubah menjadi baik tapi hati Sabrina masih menyimpan Nathan. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Nathan di hatinya."Jangan harap," sinis Sabrina.Ekspresi wajah Antoni sedikit berubah ada kemarahan yang tidak bisa langsung ia hilangkan. Tetapi kali ini Sabrina tidak takut lagi terhadap Antoni, sebab para pekerja sudah mulai berdatangan. Tidak mungkin Antoni berani melakukan hal yang buruk padanya di saat seperti itu.Karena ada Antoni, Sabrina tidak meninggalkan Sofia sendirian di gubuk. Ia membawa Sofia untuk membersihkan rumput saja di kebun cabai yang sudah mulai tinggi. Sementara Antoni duduk di teras gubuk sambil terus mengamati
"Kamu, aaaargh ...!" jerit Antoni.Sabrina segera berlari setelah tangannya dilepas Antoni yang kepedasan karena cabai. Untung saja dia cepat mengambil dan meremas cabai tersebut dan tanpa ragu ia lemparkan ke mata Antoni.Sabrina sudah di depan rumah Nuraeni dengan nafas ngos-ngosan. "Assalamualaikum, Bibi, Sofia."Mendengar suara ibunya Sofia langsung keluar dan menghampiri Sabrina. "Mama.""Kok baru pulang?" Nuraeni keluar dengan wajah masam."Maaf, Bi, cabainya sudah tidak banyak yang tua jadi nyarinya lama, harus di semua pohon," ujar Sabrina."Ya sudah sana timbang dulu," titah Nuraeni."Baik, Bi." Sabrina segera masuk dan menimbang cabai tersebut agar cepat pulang.Nuraeni mengikuti Sabrina masuk dan mengawasinya menimbang cabai. Seperti biasa cabai yang dipetik Sabrina tidak pernah kurang, lebihnya pun hanya sedikit. Itu semua karena Sabrina sudah terbiasa dan hafal dengan beratnya."Cabainya lima kilogram, Bi, semua sudah aku bungkus dan ini lebihnya," kata Sabrina."Ya sudah
"Dia hanya seorang yang Mama tugaskan untuk menjagamu di sini, Nathan," ujar Mytha sambil tersenyum puas.Pertanyaan Nathan saja cukup mengejutkan bagi Sabrina, ditambah lagi dengan pernyataan Mytha membuat hati Sabrina sakit. Ia langsung keluar dari ruang ICU sambil menangis."Dokter, ada apa dengan Nathan?" tanya Mytha.Sunardi yang datang tidak lama setelah Mytha masuk belum bisa memastikan sebelum memeriksa kondisi Nathan."Biar saya periksa dulu ya, Bu," ujar Sunardi."Iya, Dok, kalau begitu saya pamit keluar sebentar." Mytha buru-buru keluar mencari Sabrina.Di luar Mytha melihat Sabrina yang sedang duduk di kursi tunggu. Ia segera menghampiri dan menyodorkan sebuah amplop pada Sabrina."Ambil ini dan ingat kamu jangan pernah muncul lagi di hadapan anak saya," ujar Mytha penuh penekanan.Sabrina menoleh dan bertanya dengan heran. "Apa ini, Tante?""Itu bayaran karena sudah membuat Nathan kembali sadar Sekaligus bayaran untukmu yang mengincar harta keluarga kami agar segera kamu
Empat hari sudah Nathan terbaring lemah di rumah sakit dalam keadaan koma. Mytha begitu khawatir melihat kondisi anaknya, apalagi terkadang ia melihat air mata Nathan mengalir dengan sendirinya."Dokter, kenapa Nathan belum juga sadar?" tanya Mytha pada Sunardi--dokter yang menangani Nathan di rumah sakit tersebut."Mohon sabar ya, Bu. Benturan di kepala anak Ibu cukup parah, saya tidak bisa memastikan kapan ia akan sadar," jawab Sunardi.Mytha dan Sunardi bicara di ruangan Nathan karena Sunardi baru saja melakukan pemeriksaan rutin pada pasiennya. Begitu banyak yang Mytha tanyakan terkait dengan kondisi Nathan. Hingga saat Mytha tengah asyik membicarakan Nathan ia melihat mulut anaknya tersebut bergerak seperti sedang bicara."Dokter, apakah saya salah lihat? Sepertinya mulut Nathan bergerak." Mytha mendekatkan telinganya pada mulut Nathan."Sabrina," ujar Nathan lemah.Mytha tidak percaya dengan apa yang ia dengar hingga membuat Sunardi penasaran dan ikut mendekatkan telinganya pada
"Sayang, aku pergi dulu ya. Kalau sudah sampai aku kabarin." Dengan perasaan sedih Nathan mencoba kuat saat berpamitan pada Sabrina, kekasihnya.Sabrina mengangguk. "Hati-hati di jalan," ujar Sabrina.Dengan langkah berat Nathan pergi meninggalkan kekasihnya. Wanita yang sudah lama ia cintai lewat media sosial itu bernama Sabrina, seorang janda muda beranak satu. Hari itu adalah hari terakhirnya di desa tempat Sabrina berada. Ia berpamitan untuk kembali ke Jakarta untuk meminta restu orang tuanya sekaligus untuk melamar Sabrina.***Taxi yang Nathan tumpangi sudah sampai, dengan langkah pasti Nathan menuju rumahnya."Assalamu'alaikum," ucap Nathan di depan pintu rumah, ia tidak langsung masuk meski tahu rumahnya tidak di kunci. Sebab sudah ada security yang menjaga gerbang didepan rumahnya."Iya, sebentar!" jawab asisten rumah tangga di rumah itu.Pintu rumah terbuka dan Surti keluar menyapa tamunya."Maaf, cari siapa ya?" Tanya Surti pada Nathan yang berdiri membelakanginya.Nathan b