Di sebuah ruangan yang lembab dengan sedikit pencahayaan yang masuk terbaring seorang wanita yang tidak sadarkan diri. Ruangan itu sedikit kotor dan berdebu karena jarang dikunjungi, gudang.
Sudah hampir satu jam wanita itu tak kunjung sadar. Hingga ia terkejut dan langsung terbatuk-batuk akibat sedikit parfum yang disemprotkan ke wajahnya.
Amelia, pelaku penyemprotan parfum tersebut berkata dengan sinis, "Akhirnya, sadar juga."
"Di mana aku?" Sabrina masih belum bisa mencerna karena baru saja siuman.
"Oh, masih linglung rupanya. Mau ku bantu ingatkan?" tanya Amelia.
"Anda siapa?" Sabrina menatap wajah Amelia.
"Hei, jangan melihatku seperti itu!" bentak Amelia.
"Ma-maaf." Sabrina tergagap.
Sabrina yang masih bingung berusaha keras mengingat-ingat sebelum ia berada di gudang tersebut. Perlahan ia ingat ketika akan berangkat ke Jakarta untuk menemui Leon.
"Sofia, di mana anak saya?" Sabrina langsung menanyakan keberadaan Sofia pada Amelia, matanya langsung memindai isi gudang tersebut.
Amelia mendekati Sabrina dengan angkuh. "Oh, jadi namanya Sofia?" tanya Amelia. "Tenang saja, selama kau baik-baik di dalam sini maka anakmu aman."
"Anda siapa? Kenapa saya di kurung di sini? Apa orang bernama Leon yang merencanakan semua ini?" Karena yang memintanya ke Jakarta adalah Leon, maka tidak ada orang lain yang Sabrina curigai.
Amelia tersenyum sinis, dibiarkannya Sabrina berpikir demikian. Sengaja ia lakukan untuk menghalangi niat Leon yang berusaha menyadarkan Nathan lewat Sabrina.
Sabrina mencari tas yang ia bawa tapi tidak ia temukan, tuduhannya kembali kepada Leon. "Leon, ternyata kau penipu."
Ponsel Amelia berdering, ia mengangkat panggilan telepon sambil melangkah keluar. Melihat pintu yang tidak ditutup Sabrina segera mengikuti. Namun, baru saja ia mendekati pintu seorang pria berbadan kekar menutup kasar pintu tersebut lalu menguncinya.
Sabrina mendekat dan menggedor-gedor pintu tersebut sambil berteriak. "Buka pintunya!"
Berkali-kali ia menggedor-gedor pintu dan berteriak tetapi semua sia-sia saja, tidak ada yang memperdulikannya. Hingga ia pasrah karena kelelahan.
"Ya Allah, Sofia, semoga kamu baik-baik saja di luar sana."
Tangis Sabrina pun pecah tapi ia tidak menyerah. Ia mencari cara untuk keluar dari gudang tersebut. Tidak ada perasaan takut sedikitpun di dalam gudang itu, yang ia takutkan hanyalah Sofia. Ia takut anaknya diapa-apakan oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal.
"Leon, siapa kamu sebenarnya? Apa kamu suruhan Tante Mytha?" tebak Sabrina menduga-duga.
"Tapi untuk apa? Bukannya lebih baik kalau aku tidak ada di sini?" Sabrina terus bicara sendiri, memikirkan berbagai kemungkinan.
"Harusnya aku tidak di sini, kalaupun benar Nathan amnesia itu juga bukan salahku," sesal Sabrina.
"Nathan, siapa kamu sebenarnya? Apa kalian semua komplotan? Apa kami akan dijual?" Pikiran Sabrina semakin kacau akibat terlalu stres memikirkan Sofia.
***
Di sisi lain, Leon tengah kebingungan mencari Sabrina. Orang-orang suruhannya tidak satupun yang berhasil melacak keberadaan Sabrina. Padahal ia yakin kalau Sabrina memang ada di pesawat itu.
"Aaaaargh!" teriak Leon frustasi.
Ia menyesal telah percaya pada orang yang menemaninya menunggu Sabrina di bandara. Orang itu bilang sedang menunggu kerabatnya yang sebentar lagi tiba. Ia memberikan sebotol minuman pada Leon, minuman yang sudah dimasukkan obat pencahar sehingga membuat Leon bolak-balik ke toilet dan tidak fokus menunggu Sabrina. Salahnya lagi, Leon menitipkan kertas karton bertulisan nama Sabrina itu pada orang tersebut sehingga memudahkannya untuk mencari Sabrina.
"Coba kalian cek CCTV lagi, cari di depan rumah-rumah warga yang ada CCTV-nya. Kalau sudah dihapus, pulihkan sebisa mungkin," titah Leon pada orang suruhannya.
Orang-orang suruhannya segera melaksanakan perintah Leon. Mereka berpencar untuk mencari informasi lebih cepat.
"Astaga, Nathan, malang sekali nasibmu," gumam Leon.
Leon dan Nathan bersahabat sejak masih duduk di bangku SMP. Hingga mereka selesai kuliah dan memiliki pekerjaan masing-masing, tetapi persahabatan mereka tetap erat. Sebab itulah Leon berusaha untuk membuat Nathan ingat kembali pada Sabrina. Karena ia tahu perjuangan cinta Nathan terhadap Sabrina dan Nathan juga tidak pernah menyukai Amelia.
"Amelia," pekik Leon, ia teringat Amelia yang akhir-akhir ini sedang berusaha memisahkannya dari Nathan.
Tanpa pikir panjang Leon mengambil motor dan mengendarainya menuju rumah Amelia. Sesampainya di depan rumah Amelia, Leon langsung berteriak memanggil.
"Amelia, keluar kamu," panggil Leon.
Hingga tiga kali panggilan Amelia tidak kunjung keluar. Hingga membuat Leon marah.
"Amelia!" teriak Leon.
Amelia keluar dengan wajah mengantuk. "Apa sih, ganggu aja orang lagi tidur siang.
"Tidur siang? Sudah sore ini." Leon berkata sambil menatap tajam pada Amelia. "Mana Kak Sabrina?" lanjutnya.
"Hah, siapa? Sabrina?" Amelia pura-pura tidak mengerti.
"Jangan pura-pura tidak tahu, setahuku hanya kamu yang pasti tahu aku meminta Kak Sabrina akan datang," bentak Leon.
"Pura-pura apa? Sabrina siapa?" Lagi-lagi Amelia pura-pura tidak mengerti.
"Kak Sabrina itu calon istrinya Nathan!" marah Leon, emosinya memuncak ketika melihat Amelia yang terus berpura-pura.
"Apa? Calon istrinya?" ejek Amelia sambil memamerkan jari tangannya yang terpasang cincin tunangannya dengan Nathan.
"Cih, pertunangan palsu. Biar ku kasih tahu ya, itu semua palsu. Nathan tidak pernah cinta sama kamu," sinis Leon.
"Kenapa, kamu iri? Cemburu melihat aku jadi tunangan Nathan?" ejek Amelia.
"Cemburu? Kepedean. Kalaupun di dunia ini hanya ada satu wanita tapi seperti dirimu, aku memilih lajang seumur hidup," tampik Leon.
"Munafik," cela Amelia.
"Terserah, mana Kak Sabrina?" tanya Leon lagi.
"Kalau dibilangin tidak ada, ya tidak ada," tegas Sabrina.
"Kamu pikir aku percaya?" sentak Leon.
"Kalau tidak percaya periksa saja." Amelia membuka pintu lebar-lebar dan menyuruh Leon memeriksa sendiri.
Leon pun masuk dan memeriksa seisi rumah Amelia, semua kamar ia cek dengan teliti sekaligus mencari petunjuk.
"Hei, kau membuat rumahku berantakan," protes Amelia.
"Kalau tidak mau berantakan cepat bawa Kak Sabrina ke sini."
Leon mengobrak-abrik kamar Amelia, mencari di dalam lemari juga karena ia ingat Nathan pernah bercerita kalau Sabrina itu bertubuh mungil jadi ada kemungkinan ia disembunyikan di lemari. Tapi yang ia cari tidak ia temukan, meski sikap Amelia benar-benar mencurigakan.
"Dasar tidak tahu aturan," maki Amelia setelah Leon keluar dari kamarnya.
Leon pulang dengan frustasi, belum sempat ia bertemu Sabrina malah sudah hilang saja. Ada sedikit penyesalan karena melibatkan Sabrina sejauh itu. Ia sendiri tidak menyangka kalau Sabrina akan menghilang begitu saja. Nomor ponselnya tidak kunjung aktif sehingga membuat Leon tidak bisa melacak keberadaan Sabrina.
Leon berusaha keras mengingat wajah di balik masker orang yang menemaninya di bandara, berharap bisa mengenali lewat matanya.
"Kenapa, Le, kok bengong?" Nathan menepuk pundak Leon.
"Than, kapan datang?" tanya Leon sedikit terkejut.
"Baru saja, kamu kenapa sih? Kalau ada masalah cerita aja," ujar Nathan.
"Aku ...."
"Ka ...." Jaka menghentikan ucapannya setelah melihat Martin mendekat ke arahnya."Apa yang kalian lakukan di belakang rumah saya?" Martin melangkah semakin mendekat, menatap satu persatu wajah Jaka dan teman-temannya bergantian."A-anu, Pak. Kami ...." Jaka kebingungan."Mereka habis memperbaiki gudang, Pak," jawab Rahma.Martin menatap Rahma, asisten rumah tangganya itu mengangguk dengan wajah tenang. "Benarkah? Tapi saya rasa gudang dalam keadaan baik-baik saja, tidak ada yang perlu diperbaiki."Martin melangkah menuju gudang untuk memeriksa, tetapi dengan cepat Rahma menahannya. "Maafkan saya, Pak, sebaiknya anda jangan masuk, di dalam berbahaya. Saya tidak sengaja membuat kaca jendelanya pecah."Martin berbalik dan menatap Rahma dengan tatapan curiga lalu bertanya, "Pecah? Kok bisa?""I—iya, Pak, saat menaruh barang di gudang saya tidak sengaja menyenggol tangga dan membuat tangga itu roboh tepat mengenai kaca jendela," jawab Rahma yang tentu saja berbohong.Jaka dan teman-temann
"Anu .... Mungkin dia merindukan papanya? Iya, rindu," ajar Amelia gelagapan.Nathan mengangguk tanpa bertanya lagi, ia memperhatikan Sofia yang diam dalam pelukannya. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu, sebuah kerinduan yang dalam pada gadis kecil yang sedang memeluknya erat."Apa alasan ibunya membuang gadis kecil yang malang ini?" tanya Nathan.Amelia terdiam sejenak, ia menatap Rahma dan memberi kode untuk meninggalkan mereka bertiga saja. Setelah Rahma pergi, Amelia menjawab pertanyaan Nathan yang tentu saja dengan jawaban yang ia karang."Kalau ku lihat-lihat ibunya seperti mengalami gangguan jiwa, ia terlihat depresi. Makanya aku berinisiatif membawa anaknya. Aku takut kalau Sofi terus ikut dengan ibunya akan mengalami hal yang merugikan buat masa depannya."Jawaban Amelia begitu meyakinkan, ia menjawab dengan wajah serius seakan-akan jawabannya memang benar sehingga Nathan percaya saja padanya."Siapa namanya tadi, Sofi?" tanya Nathan."Iya, namanya Sofi," jawab Amelia. Ia sengaja
"Aku .... Than, kamu benar-benar tidak ingat Sabrina?" tanya Leon."Sabrina siapa sih, kok kamu dari kemarin nanyain dia?" Nathan penasaran."Astaga, Nathan, aku harus jelasin bagaimana lagi sih? Dia itu orang yang selama ini kamu kejar sampai ke luar pulau," ujar Leon."Hah, segitunya?" Nathan tidak yakin.Leon menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Hilangnya Sabrina belum ada titik terang dan sekarang Nathan malah datang di waktu yang tidak tepat."Sini masuk, biar ku jelaskan semuanya."Leon mengajak Nathan masuk ke rumahnya untuk menceritakan tentang Sabrina, berharap Nathan bisa mengingatnya. Ia pikir mumpung Amelia tidak ada merupakan kesempatan bagus, sebab biasanya Nathan selalu bersama Amelia yang selalu menghalangi Leon untuk menceritakan tentang Sabrina."Duduk dulu, aku haus mau ambil minum. Kamu mau minum apa?" tanya Leon.Nathan duduk sambil menjawab pertanyaan Leon. "Apa aja boleh kok, Le."Leon bergegas ke dapur lalu menyiapkan minuman dan cemilan untuk menemani mereka
Di sebuah ruangan yang lembab dengan sedikit pencahayaan yang masuk terbaring seorang wanita yang tidak sadarkan diri. Ruangan itu sedikit kotor dan berdebu karena jarang dikunjungi, gudang.Sudah hampir satu jam wanita itu tak kunjung sadar. Hingga ia terkejut dan langsung terbatuk-batuk akibat sedikit parfum yang disemprotkan ke wajahnya.Amelia, pelaku penyemprotan parfum tersebut berkata dengan sinis, "Akhirnya, sadar juga.""Di mana aku?" Sabrina masih belum bisa mencerna karena baru saja siuman."Oh, masih linglung rupanya. Mau ku bantu ingatkan?" tanya Amelia."Anda siapa?" Sabrina menatap wajah Amelia."Hei, jangan melihatku seperti itu!" bentak Amelia."Ma-maaf." Sabrina tergagap.Sabrina yang masih bingung berusaha keras mengingat-ingat sebelum ia berada di gudang tersebut. Perlahan ia ingat ketika akan berangkat ke Jakarta untuk menemui Leon."Sofia, di mana anak saya?" Sabrina langsung menanyakan keberadaan Sofia pada Amelia, matanya langsung memindai isi gudang ters
"Kamu ... kenapa ada di sini?" tanya Sabrina dengan kesal."Mengikuti mu.""Untuk apa? Aku tetap tidak akan mau," tegas Sabrina."Aku akan berusaha."Sabrina menatap tidak suka pada orang di depannya yang tidak lain adalah Antoni. Kali ini Antoni mengenakan pakaian yang lebih rapi untuk menemui Sabrina. Tetapi Sabrina tidak peduli, sekalipun Antoni berubah menjadi baik tapi hati Sabrina masih menyimpan Nathan. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Nathan di hatinya."Jangan harap," sinis Sabrina.Ekspresi wajah Antoni sedikit berubah ada kemarahan yang tidak bisa langsung ia hilangkan. Tetapi kali ini Sabrina tidak takut lagi terhadap Antoni, sebab para pekerja sudah mulai berdatangan. Tidak mungkin Antoni berani melakukan hal yang buruk padanya di saat seperti itu.Karena ada Antoni, Sabrina tidak meninggalkan Sofia sendirian di gubuk. Ia membawa Sofia untuk membersihkan rumput saja di kebun cabai yang sudah mulai tinggi. Sementara Antoni duduk di teras gubuk sambil terus mengamati
"Kamu, aaaargh ...!" jerit Antoni.Sabrina segera berlari setelah tangannya dilepas Antoni yang kepedasan karena cabai. Untung saja dia cepat mengambil dan meremas cabai tersebut dan tanpa ragu ia lemparkan ke mata Antoni.Sabrina sudah di depan rumah Nuraeni dengan nafas ngos-ngosan. "Assalamualaikum, Bibi, Sofia."Mendengar suara ibunya Sofia langsung keluar dan menghampiri Sabrina. "Mama.""Kok baru pulang?" Nuraeni keluar dengan wajah masam."Maaf, Bi, cabainya sudah tidak banyak yang tua jadi nyarinya lama, harus di semua pohon," ujar Sabrina."Ya sudah sana timbang dulu," titah Nuraeni."Baik, Bi." Sabrina segera masuk dan menimbang cabai tersebut agar cepat pulang.Nuraeni mengikuti Sabrina masuk dan mengawasinya menimbang cabai. Seperti biasa cabai yang dipetik Sabrina tidak pernah kurang, lebihnya pun hanya sedikit. Itu semua karena Sabrina sudah terbiasa dan hafal dengan beratnya."Cabainya lima kilogram, Bi, semua sudah aku bungkus dan ini lebihnya," kata Sabrina."Ya sudah