"Kamu ... kenapa ada di sini?" tanya Sabrina dengan kesal.
"Mengikuti mu."
"Untuk apa? Aku tetap tidak akan mau," tegas Sabrina.
"Aku akan berusaha."
Sabrina menatap tidak suka pada orang di depannya yang tidak lain adalah Antoni. Kali ini Antoni mengenakan pakaian yang lebih rapi untuk menemui Sabrina. Tetapi Sabrina tidak peduli, sekalipun Antoni berubah menjadi baik tapi hati Sabrina masih menyimpan Nathan. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Nathan di hatinya.
"Jangan harap," sinis Sabrina.
Ekspresi wajah Antoni sedikit berubah ada kemarahan yang tidak bisa langsung ia hilangkan. Tetapi kali ini Sabrina tidak takut lagi terhadap Antoni, sebab para pekerja sudah mulai berdatangan. Tidak mungkin Antoni berani melakukan hal yang buruk padanya di saat seperti itu.
Karena ada Antoni, Sabrina tidak meninggalkan Sofia sendirian di gubuk. Ia membawa Sofia untuk membersihkan rumput saja di kebun cabai yang sudah mulai tinggi. Sementara Antoni duduk di teras gubuk sambil terus mengamati Sabrina.
Baru saja membersihkan sedikit rumput Sabrina merasakan getaran ponselnya di dalam tas yang ia gunakan untuk membawa kebutuhan Sofia. Ia segera mengambil ponsel tersebut karena getarannya sudah cukup lama.
"Halo, siapa ya?" tanya Sabrina pada penelpon yang nomornya tidak dia kenali.
[Halo, benar ini nomor Kak Sabrina?] tanya penelpon.
"Iya, saya sendiri. Ini siapa ya?" tanya Sabrina.
[Syukurlah. Maaf, Kak, kenalin aku Leon—temannya Nathan.]
"Oh?" tanya Sabrina yang tidak tahu mau menjawab apa.
[Maaf, Kak, aku boleh bicara sebentar?] Leon meminta izin.
"Emb ... bukannya dari tadi sudah bicara?" Sabrina mencoba mencarikan kecanggungannya.
Sabrina menunggu Leon bicara, nafasnya terdengar berat dari sambungan telepon. Sabrina yakin ada sesuatu yang penting yang akan Leon bicarakan.
[Jadi gini, Kak, emb ... sebelumnya aku mau tanya dulu. Kak Sabrina cinta kan sama Nathan?] Dengan sedikit ragu Leon bertanya.
Sabrina diam, dia tidak mengerti kenapa Leon menanyakan itu dan kenapa juga dia sampai menghubunginya Hanaya untuk menanyakan perasaannya pada Nathan.
[Kak, masih dengar aku kan?] tanya Leon.
"Eh, iya. Sampai mana tadi?" Sabrina tergagap.
[Sampai perasaan Kak Sabrina sana Nathan,] jawab Leon.
Bukannya menjawab, Sabrina malah balik bertanya. "Apa terjadi sesuatu?"
[Iya, Kak, sesuatu ini sangat berbahaya,] tegas Leon.
"Maksudnya?" tanya Sabrina.
[Itu ... Nathan, Kak,] jawab Leon sedikit ragu.
"Ada apa dengan Nathan?" Sabrina mulai khawatir.
[Nathan ... dia belum sepenuhnya sembuh, Kak,] jawab Leon.
"Apa? Bukannya dia sudah lama sembuh?" Sabrina kebingungan.
[Iya. Tapi, tidakkah Kak Sabrina merasa aneh? Dia lupa sama Kak Sabrina bukan?] tanya Leon.
"Jadi?" tanya Sabrina.
[Nathan mengalami Amnesia Anterograde, Kak, dia kehilangan ingatan hanya pada orang yang belum lama ia kenal yaitu dirimu, Kak.]
Leon menunggu Sabrina bicara, tetapi Sabrina tidak kunjung menjawab. Sehingga membuat Leon sedikit ragu, khawatir kalau Sabrina tidak percaya padanya. Padahal Leon sangat butuh Sabrina untuk menyadarkan sahabatnya. Leon tidak bisa mencegah pertunangan Nathan dan Amelia yang tinggal beberapa bulan lagi. Karena itu dia menghubungi Sabrina.
[Kak, aku butuh bantuanmu untuk menyadarkan Nathan kembali. Tolong ya, Kak, demi aku dan demi cinta kalian berdua. Kak Sabrina boleh pikir-pikir dulu kok. Hubungi aku kalau Kak Sabrina sudah pikirkan dengan matang. Nanti aku bantu urus semuanya, Kak Sabrina tinggal terima beres.] Leon bicara panjang lebar lalu berpamitan.
"Telponan sama siapa, kok lama banget?"
Antoni sudah lama memperhatikan Sabrina, tapi dia baru mendekat ketika Sabrina sudah menyimpan ponselnya.
"Bukan urusanmu," ketus Sabrina.
Sabrina kembali membersihkan rumput, tak dihiraukannya Antoni yang mencabuti rumput tidak jauh darinya. Meski tangannya bekerja, pikirannya hanya tertuju pada Nathan. Perkataan Leon sangat menggangu pikirannya.
Seharian pikiran Sabrina tidak fokus pada pekerjaannya. Bahkan sampai di rumahnya pun dia masih memikirkan kata-kata Leon. Apalagi setelah Leon mengirim beberapa foto Nathan bersama Amelia. Pikirannya semakin tidak karuan, anter cemburu, marah, sedih dan juga khawatir.
[Kak Sabrina punya rekening?]
Sabrina membaca pesan masuk dari Leon lalu membalasnya. [Ada.]
[Boleh aku minta nomornya?] tanya Leon.
[Untuk apa?] balas Sabrina.
[Kalau kak Sabrina bersedia datang ke sini, aku akan tanggung jawab sepenuhnya kebutuhan Kakak,] balas Leon.
[Kalau kamu serius, kirim lima puluh juta,] balas Sabrina, tidak lupa menyertakan nomor rekeningnya.
Sabrina tidak bermaksud untuk memeras Leon. Dia hanya jaga-jaga kalau nanti Leon membohonginya. Jika Leon benar-benar mentransfer sebanyak itu, maka Sabrina bersedia pergi ke Jakarta. Meski sedikit risih dengan panggilan Leon terhadapnya, tapi ia sadar kalau Nathan juga memanggilnya begitu saat baru bertemu. Jadi dia harus membiasakan panggilan itu, karena nanti dia pasti akan lebih sering bertemu Leon daripada Nathan.
***
Pagi-pagi sekali Sabrina sudah bersiap, dia pergi diam-diam untuk menghindari Ferdi. Sebab, jika Ferdi tahu Sabrina akan berangkat menemui Nathan, pasti tidak akan diizinkan olehnya.
Sabrina tidak membawa pakaian saat berangkat. Uang yang Leon transfer lebih dari permintaannya, jadi dia akan membeli pakaian di Jakarta saja agar tidak menyulitkannya selama di perjalanan.
"Bi, aku pamit ke pasaran dulu ya," pamit Sabrina pada Nuraeni.
Sabrina meraih tangan bibinya itu dan mencium punggung tangannya. Tidak lupa ia selipkan secarik kertas untuk memberitahu Nuraeni kalau dia akan berangkat ke Jakarta. Nuraeni yang paham menyembunyikan kertas itu dari suaminya.
"Paman, kami berangkat dulu," pamit Sabrina.
"Kenapa Sofia dibawa?" tanya Ferdi.
"Tidak apa-apa, Paman, aku ingin mengajaknya sesekali," jawab Sabrina.
Sabrina pun berangkat dengan mantap, tujuannya adalah untuk menyatukan kembali cintanya yang telah terjadi kesalahpahaman. Sebelum berangkat menuju bandara ia menarik sejumlah uang dari rekeningnya untuk pegangan.
[Aku sudah di Bandara Syamsudin Noor, sebentar lagi berangkat.] Sabrina mengirim pesan pada Leon.
[Oke, Kak. Nanti kalau sudah mau berangkat bilang aja, biar aku tungguin di sini,] balas Leon.
Sabrina membalas pesan itu dengan stiker bertulisan oke, lalu menyimpan ponselnya ke dalam tas. Sabrina lupa mengabari Leon ketika akan berangkat. Tapi ia pikir Leon pasti tahu keberangkatannya dari nomornya yang tidak bisa dihubungi saat di dalam pesawat.
Pesawat yang Sabrina tumpangi sudah hampir tiba di Bandara Soekarno Hatta. Di saat bersamaan Leon sedang ke toilet. Kertas yang ia bawa dengan tulisan nama Sabrina ia titipkan pada orang di sampingnya yang baru ia kenal di tempat itu.
Sabrina turun dari pesawat sambil celingukan. Ia ingat pesan Leon agar mencarinya yang sedang memegang tulisan nama Sabrina. Setelah menemukannya Sabrina segera menghampiri.
"Leon?" sapa Sabrina dengan nada bertanya.
Orang yang di sapa Sabrina mengangguk dan memberi kode pada Sabrina agar mengikutinya. Sabrina mengikuti tanpa ragu, ia pikir orang yang ia temui memang Leon yang ia cari.
"Kita ke mana dulu, Le?" tanya Sabrina.
Orang yang Sabrina kira Leon itu menjawab dengan ragu. "Kita ke ...."
"Ka ...." Jaka menghentikan ucapannya setelah melihat Martin mendekat ke arahnya."Apa yang kalian lakukan di belakang rumah saya?" Martin melangkah semakin mendekat, menatap satu persatu wajah Jaka dan teman-temannya bergantian."A-anu, Pak. Kami ...." Jaka kebingungan."Mereka habis memperbaiki gudang, Pak," jawab Rahma.Martin menatap Rahma, asisten rumah tangganya itu mengangguk dengan wajah tenang. "Benarkah? Tapi saya rasa gudang dalam keadaan baik-baik saja, tidak ada yang perlu diperbaiki."Martin melangkah menuju gudang untuk memeriksa, tetapi dengan cepat Rahma menahannya. "Maafkan saya, Pak, sebaiknya anda jangan masuk, di dalam berbahaya. Saya tidak sengaja membuat kaca jendelanya pecah."Martin berbalik dan menatap Rahma dengan tatapan curiga lalu bertanya, "Pecah? Kok bisa?""I—iya, Pak, saat menaruh barang di gudang saya tidak sengaja menyenggol tangga dan membuat tangga itu roboh tepat mengenai kaca jendela," jawab Rahma yang tentu saja berbohong.Jaka dan teman-temann
"Anu .... Mungkin dia merindukan papanya? Iya, rindu," ajar Amelia gelagapan.Nathan mengangguk tanpa bertanya lagi, ia memperhatikan Sofia yang diam dalam pelukannya. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu, sebuah kerinduan yang dalam pada gadis kecil yang sedang memeluknya erat."Apa alasan ibunya membuang gadis kecil yang malang ini?" tanya Nathan.Amelia terdiam sejenak, ia menatap Rahma dan memberi kode untuk meninggalkan mereka bertiga saja. Setelah Rahma pergi, Amelia menjawab pertanyaan Nathan yang tentu saja dengan jawaban yang ia karang."Kalau ku lihat-lihat ibunya seperti mengalami gangguan jiwa, ia terlihat depresi. Makanya aku berinisiatif membawa anaknya. Aku takut kalau Sofi terus ikut dengan ibunya akan mengalami hal yang merugikan buat masa depannya."Jawaban Amelia begitu meyakinkan, ia menjawab dengan wajah serius seakan-akan jawabannya memang benar sehingga Nathan percaya saja padanya."Siapa namanya tadi, Sofi?" tanya Nathan."Iya, namanya Sofi," jawab Amelia. Ia sengaja
"Aku .... Than, kamu benar-benar tidak ingat Sabrina?" tanya Leon."Sabrina siapa sih, kok kamu dari kemarin nanyain dia?" Nathan penasaran."Astaga, Nathan, aku harus jelasin bagaimana lagi sih? Dia itu orang yang selama ini kamu kejar sampai ke luar pulau," ujar Leon."Hah, segitunya?" Nathan tidak yakin.Leon menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Hilangnya Sabrina belum ada titik terang dan sekarang Nathan malah datang di waktu yang tidak tepat."Sini masuk, biar ku jelaskan semuanya."Leon mengajak Nathan masuk ke rumahnya untuk menceritakan tentang Sabrina, berharap Nathan bisa mengingatnya. Ia pikir mumpung Amelia tidak ada merupakan kesempatan bagus, sebab biasanya Nathan selalu bersama Amelia yang selalu menghalangi Leon untuk menceritakan tentang Sabrina."Duduk dulu, aku haus mau ambil minum. Kamu mau minum apa?" tanya Leon.Nathan duduk sambil menjawab pertanyaan Leon. "Apa aja boleh kok, Le."Leon bergegas ke dapur lalu menyiapkan minuman dan cemilan untuk menemani mereka
Di sebuah ruangan yang lembab dengan sedikit pencahayaan yang masuk terbaring seorang wanita yang tidak sadarkan diri. Ruangan itu sedikit kotor dan berdebu karena jarang dikunjungi, gudang.Sudah hampir satu jam wanita itu tak kunjung sadar. Hingga ia terkejut dan langsung terbatuk-batuk akibat sedikit parfum yang disemprotkan ke wajahnya.Amelia, pelaku penyemprotan parfum tersebut berkata dengan sinis, "Akhirnya, sadar juga.""Di mana aku?" Sabrina masih belum bisa mencerna karena baru saja siuman."Oh, masih linglung rupanya. Mau ku bantu ingatkan?" tanya Amelia."Anda siapa?" Sabrina menatap wajah Amelia."Hei, jangan melihatku seperti itu!" bentak Amelia."Ma-maaf." Sabrina tergagap.Sabrina yang masih bingung berusaha keras mengingat-ingat sebelum ia berada di gudang tersebut. Perlahan ia ingat ketika akan berangkat ke Jakarta untuk menemui Leon."Sofia, di mana anak saya?" Sabrina langsung menanyakan keberadaan Sofia pada Amelia, matanya langsung memindai isi gudang ters
"Kamu ... kenapa ada di sini?" tanya Sabrina dengan kesal."Mengikuti mu.""Untuk apa? Aku tetap tidak akan mau," tegas Sabrina."Aku akan berusaha."Sabrina menatap tidak suka pada orang di depannya yang tidak lain adalah Antoni. Kali ini Antoni mengenakan pakaian yang lebih rapi untuk menemui Sabrina. Tetapi Sabrina tidak peduli, sekalipun Antoni berubah menjadi baik tapi hati Sabrina masih menyimpan Nathan. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Nathan di hatinya."Jangan harap," sinis Sabrina.Ekspresi wajah Antoni sedikit berubah ada kemarahan yang tidak bisa langsung ia hilangkan. Tetapi kali ini Sabrina tidak takut lagi terhadap Antoni, sebab para pekerja sudah mulai berdatangan. Tidak mungkin Antoni berani melakukan hal yang buruk padanya di saat seperti itu.Karena ada Antoni, Sabrina tidak meninggalkan Sofia sendirian di gubuk. Ia membawa Sofia untuk membersihkan rumput saja di kebun cabai yang sudah mulai tinggi. Sementara Antoni duduk di teras gubuk sambil terus mengamati
"Kamu, aaaargh ...!" jerit Antoni.Sabrina segera berlari setelah tangannya dilepas Antoni yang kepedasan karena cabai. Untung saja dia cepat mengambil dan meremas cabai tersebut dan tanpa ragu ia lemparkan ke mata Antoni.Sabrina sudah di depan rumah Nuraeni dengan nafas ngos-ngosan. "Assalamualaikum, Bibi, Sofia."Mendengar suara ibunya Sofia langsung keluar dan menghampiri Sabrina. "Mama.""Kok baru pulang?" Nuraeni keluar dengan wajah masam."Maaf, Bi, cabainya sudah tidak banyak yang tua jadi nyarinya lama, harus di semua pohon," ujar Sabrina."Ya sudah sana timbang dulu," titah Nuraeni."Baik, Bi." Sabrina segera masuk dan menimbang cabai tersebut agar cepat pulang.Nuraeni mengikuti Sabrina masuk dan mengawasinya menimbang cabai. Seperti biasa cabai yang dipetik Sabrina tidak pernah kurang, lebihnya pun hanya sedikit. Itu semua karena Sabrina sudah terbiasa dan hafal dengan beratnya."Cabainya lima kilogram, Bi, semua sudah aku bungkus dan ini lebihnya," kata Sabrina."Ya sudah