“Ayah dan Om Tama sepakat akan menjodohkan kamu dengan anak sulungnya.”
Raut wajah Kinara berubah mendengar kalimat yang keluar dari mulut ayahnya. Satu detik, dua detik, tiga detik. Kinara menyemburkan tawanya. “Malah ketawa. Ayah tidak sedang bercanda. Kesehatan Ayah kian menurun, Kinara. Harus ada lelaki yang bisa menemani kamu saat Ayah tidak lagi di sisi kamu.”
Fahri sengaja menyempatkan diri mengunjungi anak semata wayangnya yang tengah menempuh studi S1 di Malaysia setelah menjalani pengobatan rutin di negeri jiran itu.
Ayah Kinara itu memiliki riwayat penyakit jantung, tapi jelas itu tidak bisa dijadikan alasan. Kinara tidak setuju dengan permintaan ayahnya. “I’ll do anything for you, tapi tidak dengan perjodohan. Kayak anaknya nggak laku saja. Yang mengantri ini banyak, loh, Yah,” katanya bernada santai.
“Sekalian pun yang mengantri banyak, itu tidak menjamin kehidupanmu setelah Ayah pergi. Ayah mengenal baik Om Tama.”
Kinara Ayudia Riyani, biasa disapa Kinara, anak tunggal Fahri. Ibunya meninggal dunia saat Kinara berusia tujuh tahun. Lima tahun kemudian, Fahri menikah dengan Diani, seorang janda dengan dua anak kembar—Dita Arimbi dan Dito Prajasutra—yang usianya tiga tahun lebih tua dari Kinara. Dari pernikahan keduanya, Fahri dan Diani dikaruniai seorang anak perempuan, Tiara Fani.
Kinara memicingkan matanya—menatap ayahnya dengan curiga. Ia bingung, sebenarnya siapa yang ingin dijodohkan dengannya, Om Tama atau anaknya?
Tangan Fahri terulur mengusap puncak kepala anaknya seraya berkata, “Om Tama tidak pernah salah dalam mendidik anaknya. Itu sebabnya Ayah yakin, lelaki ini adalah pilihan yang tepat untukmu.”
Percakapan keduanya berlanjut tentang kepergian Fahri di kemudian hari membuat hati Kinara menjerit pilu. Darahnya berdesir setiap kali mendengar Fahri seolah menyerah pada penyakitnya.
Sudah banyak hal yang Fahri lakukan untuk jantungnya dan mulai membuatnya lelah. Beliau rasa waktunya tidak banyak lagi. Perasaan itu mengalir begitu saja.
“Kita bicara lagi lain kali. Sungguh, Kinara tidak suka topik ini.”
“Tidak ada lain kali Kinara.”
Darah Kinara berdesir bersamaan dengan air matanya yang lolos begitu saja. Fahri mengatakan ia ingin melakukan satu hal untuk sang anak di ujung usianya.
Wajah lelah Fahri mengusik hati Kinara. Lelaki paruh baya itu terlihat bulat dengan tekadnya. Kinara merangkul lengan ayahnya bersandar pada bahu yang tidak lagi kokoh itu.
"Namanya Aditama," lanjut Fahri, meraih ponselnya penuh semangat hendak menunjukkan foto lelaki yang dijodohkan dengan putrinya.
"Beri Kinara waktu, Yah," lirihnya, menahan tangan sang ayah.
Ini adalah ‘plot twist’ terbesar dalam hidup Kinara. Dijodohkan dengan lelaki yang tidak ia cintai, yang benar saja? Jangankan cinta, kenal saja tidak. Akan seperti apa pernikahan yang harus ia jalani nanti?
Hari itu, kepulangan sang ayah ke Indonesia menyisakan sendu baik di hati Kinara maupun Fahri.
Kinara menatap kosong ke arah punggung Fahri yang kian menjauh. Hatinya terasa penuh sesak. Ia tidak siap. Namun, setiap kali ia mencoba membayangkan menolak, wajah sang ayah muncul di benaknya. Meski hidup berjauhan, selama ini Kinara hampir tak pernah menolak keinginan sang ayah.
Sekolah jauh dari rumah bukan keinginannya. Memang, Kinara memilih Malaysia sebagai tempat menimba ilmu, tetapi ide untuk bersekolah di luar negeri berasal dari ibu tirinya. Sejak SMA, ia sudah merantau ke negeri orang. Bukan Kinara tidak tahu kalau ibu tirinya tidak menyukainya. Jika bisa, mungkin ia akan dikirim lebih jauh lagi agar benar-benar terpisah dari keluarga.
Namun, Kinara berusaha menepis pikiran itu dengan satu hal positif—mungkin ibunya hanya menginginkan yang terbaik untuknya. Buktinya, ia tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan bersahaja, meskipun berasal dari keluarga berada.
Lalu, apa yang harus ia lakukan sekarang? Mengikuti kehendak ayahnya dan mengorbankan dirinya sendiri?
***
Tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Fahri mengatakan bahwa ia akan segera memesankan tiket pesawat untuk Kinara pulang ke tanah air. Sudah ditentukan, akhir pekan ini keluarga Tama, calon besan, akan datang melamar.
“Waktu Ayah mungkin tak sebanyak dulu, Nak. Kita tak pernah tahu sampai kapan Ayah bisa menemanimu,” ujar Fahri melalui sambungan panggilan video.
Kinara diam sesaat, kemudian berkata lirih, “Yah, apa dengan menikah dengannya, Ayah akan bahagia?”
Fahri bisa melihat mata putrinya mulai berkaca-kaca. “Tentu, tapi yang akan lebih bahagia adalah kamu.”
Air mata Kinara jatuh bersama dengan anggukan pelan. “Kalau begitu, Kinara bersedia menerima perjodohan ini. Tapi janji, setelah Kinara menikah nanti jangan lagi bahas soal kepergian, ya, Yah?” tekannya dan Fahri mengangguk setuju.
Kinara ikut tersenyum tipis saat melihat wajah sang ayah yang tampak lebih ceria, seolah bebannya berkurang.
Bisa menolak? Tidak. Kinara tidak diberi pilihan. Namun, demi sang ayah—cinta pertamanya—Kinara berusaha mengesampingkan egonya dengan menerima perjodohan ini. Lalu, bagaimana dengan bahagia Kinara? Entahlah. Saat ini, kebahagiaan ayahnya adalah segalanya.
Hi ... salam kenal. Mau cek ombak untuk cerita pertamaku huhu ... yang siap hanyut dalam ceritanya mana suarrahhnyahh hihi ... Yuk! Ah, lanjut kenalan dengan Kinara dan Aditama
Aditama menangkap sinyal keberatan yang terpancar dari sorot mata Kinara. Ia memberi pengertian pada ibunya—mengisyaratkan bahwa istrinya butuh istirahat—karena baru saja diizinkan pulang dari rumah sakit sore ini. Rindu sempat tampak kecewa, tapi akhirnya mengangguk pelan, mencoba memahami.“Ma,” panggil Kinara ragu. Hanya ada dirinya dan sang ibu mertua di ruang tengah itu. Sementara itu, Gania sedang membantu Aditama di dapur, membersihkan ruang makan dan peralatannya usai makan malam.“Soal perceraian—”“Anak itu…,” pangkas Rindu—matanya melirik perut Kinara. “Apakah anak Aditama?” lanjutnya. Kinara menelan salivanya perlahan, tubuhnya menegang mendengar pertanyaan itu.“Ma …,” lirihnya.“Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan padamu, Kinara,” lanjut Rindu. “Tapi saya tahan. Karena... lihatlah,” katanya menunjuk ke arah Aditama yang tengah tertawa bersama Gania. “Saya belum pernah melihatnya sebahagia ini, Kinara. Dan saya tidak ingin menghancurkan kebahagiaannya. Tapi jawabanmu
“Mas, aku keceplosan bilang mau ke apartemenmu. Jadinya Mama mau ikut, katanya,” ujar Gania meringis dari ujung telepon.“Biar Mas saja yang bicara sama Mama, Dek,” jawab Aditama, meminta Gania menyerahkan ponsel pada sang ibu.Aditama mencoba memberi pengertian pada Rindu. Ia berjanji akan mempertemukan Kinara dengan sang ibu di waktu yang lebih tepat. Tapi Rindu bersikeras. Ia ingin ikut. Katanya, ingin melihat langsung menantunya.“Kamu ini kenapa sih, Mas?” tanya Rindu curiga, menyadari kegelisahan anaknya.“Mas banyak salah sama Kinara, Ma. Mas takut kehilangan dia untuk kedua kalinya.”Rindu terdiam. Lalu bertanya lirih, “Sebegitunya kamu bela dia? Lalu bagaimana dengan anak dalam kandungannya itu, Mas? Apa kamu bisa menerima itu?”“Itu anak Mas, Ma. Cucu Mama.”Rindu terperangah. Aditama tahu Kinara membantah hal itu, tapi entah kenapa ia yakin itu anaknya.“Tapi... cucu Mama sudah nggak ada, Ma. Kinara keguguran.”Seketika, dada Rindu sesak. Meski bingung, tapi tak bisa ia bay
Seminggu kemudian“Saya pasti bakaln kangen dengan Bu Kinara,” ucap perawat lirih sambil membantu Aditama merapikan barang-barang.“Hanya ini, Pak?” tanyanya, memastikan.Aditama mengangguk. “Iya. Terima kasih, ya.”Perawat itu lalu berjongkok di hadapan Kinara yang duduk di kursi roda. “Saya pasti kangen sama Ibu. Tapi, semoga kita bertemu lagi di tempat yang lebih baik, bukan di rumah sakit, ya.”“Terima kasih, Suster. Sudah merawat dan menemani saya selama di sini,” ujar Kinara tulus.“Semu aini berkat Bapak yang sabar,” kata perawat menatap Aditama yang berdiri tidak jauh dari mereka. “Semoga Bapak dan Ibu baik-baik saja, ya. Selalu sehat dan bahagia.”“Pasti,” jawab Aditama. Kinara hanya diam, tidak menanggapi—menjelingkan matanya jengah.Dengan hati-hati, Aditama membantu Kinara masuk ke dalam mobil. Namun, Kinara menolak duduk di kursi penumpang depan dan memilih duduk di bangku belakang.“Ponselku,” pinta Kinara sesaat setelah Aditama masuk ke sisi kemudi.“Sampai rumah, ya,”
"Dia bukan anakmu, Mas," ucap Kinara, membuat Aditama menggeleng, tak percaya. "Kenapa? Kenapa kamu diam saja? Mana semua caci maki yang biasanya kamu lontarkan padaku?"Entah mengapa, kali ini Aditama tak sanggup berpikir jernih. Kalimat Kinara terasa menamparnya, tapi hatinya masih menolak percaya. Kinara bukan wanita seperti itu, pikirnya.Kinara mulai menggebu-gebu dengan emosinya. Itu membuat Aditama panik, khawatir kondisinya yang tak stabil bisa memburuk."Ra, tolong tenang," pintanya lembut. "Aku salah, aku akui itu. Aku mohon maaf. Tapi tolong ingat kesehatan kamu."Air mata yang sejak tadi Kinara tahan akhirnya pecah juga. Ia menangis sejadi-jadinya, mengguncang suasana."Kamu jahat, Mas!" teriaknya pilu.Aditama berusaha menggenggam tangannya, tapi Kinara menepis. Ia mencoba lagi, kali ini berhasil, dan ia mengecupnya penuh penyesalan.“Beri aku kesempatan, Ra.”"Tinggalkan aku, Mas.""Tidak akan. Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu. Jangan pernah minta itu, Ra." Aditam
Aditama punya teman baru, siapa lagi kalau bukan dokter Sagara. Banyak hal seputar kondisi Kinara yang bisa dibagi bersama, tentunya seputar kesehatannya.“Saya mau kamar itu, Dok. Tolong tunjukkan,” pinta Aditama saat dokter sagara mengatakan Kinara sudah bisa dipindahkan ke ruangan perawatan. Dokter residen itu menawarkan kamar VIP yang memiliki ruangan khusus untuk wali pasien. Namun, masalahnya … apa wanita itu mau seruangannya dengannya? Seminggu pasca operasi, dalam tiga hari terakhir Aditama tidak muncul di hadapan Kinara. Bukan berarti dia menyerah. Dia hanya memberi jeda Kinara untuk beristirahat. Dan benar saja, kini wanita itu sudah lebih membaik dan akan dipindahkan ke ruang perawatan.Kinara meminta ponselnya pada pihak rumah sakit, tapi jawabannya membuat ia kesal karena semua barang pribadinya ada pada Aditama.Hanya Kinara orang yang habis operasi besar memikirkan barang-barangnya. Pasalnya waktu dia menginap di sebuah hotel sudah habis. Rencana habis sidang, dia akan j
Tatapan penuh kebencian dari Kinara membuat hati Aditama runtuh seketika. Belum sempat ia membujuk, Kinara sudah mengusirnya berulang kali—dingin, tegas, tanpa sedikit pun keraguan.Kinara menatap lurus ke depan, menolak bertemu mata dengan Aditama yang masih berdiri di sisinya, tampak ragu untuk benar-benar pergi.“Maafkan aku, Ra.” Suara Aditama terdengar berat, bergetar. Ia menunduk, tak kuasa menatap wajah wanita yang telihat begittu tersakiti. Ingin rasanya memeluknya, tapi tangan itu tak berdaya. Jarak yang Kinara buat terasa lebih tajam dari pisau.“Pergi!” seru Kinara karena Aditama tidak kunjung meninggalkannya.Aditama akhirnya melangkah mundur, perlahan membalikkan badan menuju pintu. Tepat saat ia melangkah keluar, air mata Kinara jatuh tanpa bisa ditahan.Bohong kalau tidak rindu, tapi rasanya semua sudah tidak ada artinya lagi. Aditama dan Kinara sudah selesai, bahkan sebelum semua ini dimulai.‘Kamu bisa, Kinara. Semua ini sudah berakhir,’ batinnya.Aditama keluar, tapi
Air mata Aditama jatuh saat melihat kelopak mata Kinara perlahan terbuka. Dari balik dinding kaca ruang ICU, ia menyaksikan wanita yang dicintainya mulai merespons arahan dokter—kepala yang sedikit mengangguk, jemari yang bergerak perlahan. Kinara sadar, ini adalah anugerah terindah bagi Aditama.Sesaat kemudian, dokter spesialis keluar dari ruang ICU. Senyum puas terpancar di wajahnya, disertai anggukan mantap sebagai isyarat bahwa semuanya berjalan baik. Di belakangnya, dr. Sagara juga mengangguk, memberi keyakinan tambahan kepada Aditama.“Istri Anda sudah sadar dan kondisinya stabil, Pak. Silakan jika ingin menemuinya,” ujar sang dokter ramah.Namun Aditama hanya diam terpaku. Matanya masih memandang ke dalam ruang ICU, dadanya sesak oleh rasa haru dan bersalah yang saling berebut ruang.“Saya… saya takut memperburuk keadaannya, Pak,” lirihnya, nyaris tak terdengar.Kedua dokter saling bertukar pandang. Lalu, dokter spesialis menepuk pelan pundak Aditama dan berkata lembut, “Masukl
Panggilan telepon itu terputus begitu saja, meninggalkan Aditama dalam kepanikan. Percakapan tadi singkat, padat, dan sangat jelas—menyisakan tekanan yang luar biasa.Aditama tidak ingin berpisah. Apa pun caranya, ia akan memperjuangkan Kinara.Ia mencoba menghubungi sang ayah, tapi panggilannya berulang kali diabaikan.Frustrasi membuncah dalam diri Aditama, tapi di sisi lain, ia sedikit lega—paling tidak, sang ayah tidak membahas soal Sheila. Mungkin memang belum tahu.Tama lebih sering berada di Jepang, menjalani hidup terpisah dari keluarganya—bekerja. Sesekali, istri dan anaknya menyusul hanya untuk melepas rindu.***Sudah dua hari ini Aditama hanya beristirahat di ruang tunggu khusus wali pasien yang disediakan rumah sakit. Rindu, sang ibu, mengirim asisten untuk membawa mobil anak sulungnya ke rumah sakit sekaligus mengantar keperluan pribadinya. Ia sempat menyarankan Aditama untuk pulang dan beristirahat dengan layak—tapi Aditama menolak. Ia tidak sanggup meninggalkan Kinara s
Seorang dokter muda menawarkan diri untuk mendonorkan darah setelah mengetahui golongan darahnya sama dengan Kinara dan berhasil.“Satria Sagara,” ucapnya sambil mengulurkan tangan kepada Aditama.Aditama langsung menggenggam tangan itu erat, suaranya bergetar menahan haru. “Terima kasih... terima kasih banyak, Dok.”Dokter Sagara hanya tersenyum hangat, berusaha menenangkan Aditama yang terlihat kalut. Kehadirannya membawa sedikit ketenangan di tengah situasi mencekam itu.Dua jam berlalu dalam kecemasan. Hingga akhirnya, pintu ruang operasi terbuka dan salah satu dokter keluar.“Operasinya berjalan lancar. Sekarang kita masuk tahap observasi pasca operasi,” ujar dokter tersebut. Dokter Sagara yang masih menemani Aditama—menoleh seraya mengangguk.“Istirahatlah,” saran Dokter Sagara.Aditama menghela napas panjang, menolak saran itu. Mana bisa dia beristirahat sementara wanitanya terbaring lemah di dalam sana.“Paling tidak, sebaiknya kamu ganti dulu bajumu. Lihatlah itu penuh noda da