Sekian menit yang lalu bis yang ditumpangi oleh Tabitha dan Armandi sudah mulai menempuh perjalanan. Dan, dalam beberapa jam ke depan mereka akan segera sampai di kota tujuan. Kota yang terkenal dengan lumpia. Kota kelahiran mereka berdua.Biasanya, setiap orang yang pulang ke kampung halaman pasti akan merasa senang dan bahagia karena sebentar lagi akan bertemu dengan sanak keluarga dan saudara mereka. Tetapi, tidak begitu dengan Tabitha.Pikiran gadis itu malah kacau tidak karuan. Hatinya tidak tenang. Smenjak dia naik ke dalam bus itu, yang dia pikirkan hanya satu, dia akan segera dinikahkan dengan Armandi. Pemuda yang tidak pernah dia cintai.Beban pikiran itu yang membuat Tabitha duduk dengan gelisah di bangkunya. Sebentar dia menyandarkan kepala ke kaca jendela. Sebentar kemudian dia menyandarkan kepala ke bangku di depannya. Sebentar kemudian lagi dia malah duduk tegak tanpa bersandar sama sekali.Armandi yang duduk di samping Tabitha mulai memperhatikan kelakuan gadis itu denga
Armandi memang mencintai Tabitha. Tetapi, bukan Armandi namanya kalau dia masih terus berharap pada satu orang gadis saja, yang bahkan tidak mau membalas cintanya sama sekali!Memangnya perempuan cantik di dunia ini cuma dia? Rugi waktu, rugi uang, rugi tenaga juga kalau aku masih saja mengejar-ngejar dia! Di kampung ini, perempuan mana sih yang nggak mau menikah sama aku, Armandi putra juragan Juhari, kecuali si perempuan sok jual mahal itu? Semua perempuan di sini pasti mau menjadi istriku! Apalagi perempuan yang satu ini! Nggak kubalas cintanya pun dia nggak perduli! Dia tetap saja mengejar aku!Armandi berbicara sendiri di dalam hatinya.Pemuda itu lalu menatap tubuh molek seorang gadis yang terbaring tanpa busana di sampingnya, di balik selimut tipis yang hanya menutupi sebagian dari tubuh mereka.Waktu masih jauh dari kata "pagi". Mereka berdua baru saja menyelesaikan “acara senang-senang”, yang entah sudah untuk ke berapa kali mereka lakukan semenjak gadis itu dengan senang hati
“Sepenggal Cerita Malam”. Kalau saja Tabitha pandai menulis novel, atau biasa menulis di buku harian, mungkin dia akan memberi judul seperti itu pada halaman buku yang akan dia tulis malam ini.Usianya belum lagi genap dua puluh tahun. Belum pernah merasakan punya pacar. Belum pernah membaca novel dewasa, apalagi menonton film khusus orang dewasa. Tetapi, malam ini dia malah langsung disuguhi tontonan adegan khusus untuk orang dewasa di depan matanya.“Sayang, sabar dong! Aku kan lagi kunci pintu dulu! Iih ... sayang suka begitu deh! Suka nggak sabaran ah!”“Tapi kamu suka kan?”“Iya, suka! Tapi tadi kan sudah dua kali, masa’ masih mau minta lagi!”“Iya dong! Aku memang mau minta lagi! Boleh kan ya? Masa’ nggak sih? Kan kamu juga suka!” ujar pria itu, sambil mulai menciumi leher Ambar."Iya, boleh! Tapi ... sayang, lepasin aku dulu dong ah! Gelii...! Aaah ...! Sayang ... aaah!" Ambar mendesah. Lalu, terdengar suara tawa cekikikannya dari arah ruang tamu. Tabitha mengerutkan keningnya
Mama hobi selingkuh!Siapa sebenarnya papanya Vina?Bukan papa?Kata-kata Dian masih terngiang-ngiang dan terdengar bagai petir yang terus menyambar di telinga Vina, adiknya. Dan terdengar bagai granat di telinga Ambar, ibu tirinya.Ambar berdiri mematung.Vina ternganga.Mama ... jadi ... Vina itu bukan ... bukan anak papa?Vina jatuh terduduk lemas.“PERGI KAMU, DIAN! MULUT KAMU ITU SUDAH LANCANG SAMA MAMA! MAMA NGGAK MAU LIHAT KAMU LAGI!” teriak Ambar, histeris, tanpa menyadari bahwa putri keduanya sudah terduduk lemas di lantai, di samping kakinya.Emosi Ambar meledak. Marah, kecewa, malu, campur aduk menjadi satu."Ooh ... jadi sekarang Mama juga berani mengusir Dian? Kenapa, Ma? Mama malu karena ternyata Dian sudah lama tahu rahasia Mama? Nggak usah, Ma! Nggak usah malu! Mama juga nggak usah usir Dian! Dian juga sudah lama ingin pergi dari rumah ini! Walau sebenarnya ini rumah Dian! Mama yang dulu datang ke rumah ini! Jadi seharusnya Mama yang keluar kan? Dian menyesal, Ma! Terny
Bapak! Ibu! Dilla! Rangga!Air mata Tabitha merembes seketika.“Ibuuu...!”Bitha langsung berlari menghambur ke pelukan Lasmi. Tangis Ibu dan anak itu pecah. Keduanya lantas saling berpelukan sambil menangis tersedu-sedu. Kerinduan dan penyesalan bertumpuk menjadi satu.“Ibuuu...! Bitha kangen sama Ibu! Bitha minta maaf ya, Bu! Maafkan Bitha, Bu!”“Iya, Nduk! Iya!”Lasmi tidak mampu berkata banyak. Cukup air mata yang mengalir deras yang memberi jawaban untuk semua pertanyaan, sekaligus menjadi pernyataan untuk semua yang tidak mampu terucapkan.“Bapaaak...!”Tabitha lantas memeluk Rismanto yang berdiri di samping Lasmi.“Maafkan Bitha ya, Pak! Bitha minta maaf!”“Iya, Nduk! Iya! Bapak sudah memaafkan kamu!” Rismanto berkata dengan suara terbata-bata.“Bapak dan Ibu juga minta maaf ya, Nduk! Maafkan kami! Kami juga sudah buat salah sama kamu! Kami lupa memikirkan perasaan kamu! Kamu mau memaafkan Ibu dan Bapak kan, Nduk? Mau ya?” tanya Rismanto dengan mata berkaca-kaca sambil memeluk
“Pare satu, tahu putih satu, kentang satu, kol satu, sisanya siomay ya, Bang!” ujar Tabitha.“Siaap! Suka makan pare juga, Neng?” tanya Abang penjual siomay sambil memindahkan siomay pesanan Tabitha dari panci kukusan besar ke atas piring.“Suka lah, Bang!”“Lah, pare kan pahit, Neng!”“Ah, biasa aja kok! Kalau pahitnya pare aja sudah nggak suka, bagaimana mau jalani pahitnya kehidupan, Bang?”“Ciaelaa ...." Abang penjual siomay langganan Tabitha itu tertawa tergelak."Si eneng bisa aja ya!" ujarnya.Puas tertawa, dengan cekatan pria setengah tua itu mulai memotong-motong siomay di atas piring sebelum memindahkannya ke dalam kotak makan kosong milik Tabitha.Memang begitu kebiasaan gadis muda itu.Abang penjual siomay yang biasa mangkal di belakang gedung kampusnya itu pun sudah maklum akan kebiasaannya. Masih saja enggan untuk sekedar makan sebentar sambil berkumpul bersama rekan mahasiswi atau mahasiswa yang juga sedang menikmati sepiring siomay di dekatnya.Gadis itu lebih suka mena
Tabitha tertegun.Rino sudah punya pacar?“Serius lo, San?” tanyanya.“Ya serius lah! Ngapain juga gue bercanda soal si Rino? Apa asyiknya sih?" sahut Sandra."Eh, lo ... kenapa?” Sandra mengerutkan keningnya. Gadis itu menangkap ada perubahan ekspresi di wajah Tabitha.“Lo ... lo nggak jatuh cinta sama Rino kan, Bith?” tanya Sandra, hati-hati.Tabitha menggeleng.“Nggak! Nggak mungkin lah!” bantah Tabitha, lalu tertawa kecil sambil membuang muka. Menyembunyikan perasaan terkejut sekaligus sedihnya.“Ooh ... syukurlah kalo nggak!” Sandra menarik nafas lega.Kalau mau jujur, Sandra sebenarnya tidak seratus persen percaya pada apa yang baru saja diucapkan oleh Tabitha. Setelah hampir dua tahun dia mengenal Tabitha sebagai teman yang paling dekat dengannya di kampus, dia merasa sudah memahami hampir setiap perilaku gadis itu.Sorot mata penuh cinta dari Tabitha untuk Rino yang selalu tergambar jelas di mata bulatnya setiap kali Tabitha menatap sosok pemuda itu, terlalu sulit untuk disembu
Sakitnya akan terasa nggak ya? Atau ... aku malah sama sekali nggak akan sempat merasakan sakitnya, dan langsung pergi ke alam baka, begitu?Sekali lagi, gadis itu melihat ke bawah.“Ada di mana dia, San? Lu yakin kita kagak salah tempat ini ya? Beneran ini dia ada di sini? Kalo kita salah tempat yang ada dia malah udah mejret duluan, Sandra! Dia keburu lompat dah ke bawah!” ujar Anwar, kawatir.“Iiissh ... berisik! Sembarangan banget sih lo kalo ngomong! Doain aja dia itu masih baik-baik aja gitu kenapa sih! Bisa nggak sih lo?" protes Sandra sambil melotot.“Iya! Iya! Semoga itu bocah masih sehat wal afiat dah ya! Jangan sampe lompat dulu kèk! Tunggu sampe kita udah dateng aja gitu, baru dah dia boleh lompat gitu ya!”Sandra tambah melotot.Anwar langsung mingkem.“Lo bisa diam nggak, War? Mendingan lo nggak usah ngomong aja deh sekalian!” bentak Sandra.“Iya, ini gua udah diem! Udah mingkem! Masih salah aja sih kalo gua ngomong di depan lu! Makanya lu kalo lagi ngomong sama gua kagak