"Kamu pergi dengan siapa?" tanya Barra sambil berdiri dan menghampiri Delia."Dengan Nira. Dia sudah menungguku di bawah.""Harusnya kamu tadi bilang dulu kalau mau pergi."Delia menegakkan tubuh tepat di depan Barra. Tengadah menatap suaminya. "Mas, juga nggak pernah menghargaiku sebagai istri, karena masih berhubungan dan sering janjian dengan kekasihmu. Aku nggak pernah protes, Mas. Kamu nggak mempedulikanku sebagai istri karena aku perempuan nggak waras, kan?"Wanita itu mengambil jeda. "Sementara aku keluar siang ini bukan untuk berselingkuh. Aku ingin menemui kakakku sore nanti. Aku keluar lebih awal karena ingin membelikan hadiah untuk Mas Samudra. Dia bisa mewujudkan satu keinginannya untuk membuka praktek sendiri. Aku bangga padanya." Delia menunduk, "Kenapa kita nggak bercerai saja? Pernikahan ini nggak sehat. Kamu hanya akan membuatku makin gila di sini!"Barra masih mematung. "Aku tahu kenapa Mas bertahan. Karena aku menguntungkan, bukan? Orang tuaku sudah mempersiapkan M
Hanya dua puluh menit berkendara, akhirnya mereka sampai juga disebuah bangunan salah satu deretan perkantoran yang cukup terkenal di tengah kota. Tempat praktek Samudra.Sebenarnya jarak antara mall dan pertokoan itu tidak jauh. Namun karena sesaknya lalu lintas dan banyaknya jalur satu arah yang membuat mereka harus berputar, jadinya perjalanan memakan waktu lebih lama.Meski baru beberapa hari buka praktek, tapi pasien yang mengantri cukup lumayan. Tentunya mereka pasien Samudra yang sudah mengenalnya di rumah sakit. Tidak heran, dia pria yang sangat sabar, ramah, dan humble dengan semua orang. Makanya yang berobat pun merasa nyaman dan dihargai.Delia meminta nomer antrian paling akhir pada seorang gadis yang mengurusi pendaftaran pasien. Kurang lebih jam sembilan nanti dia baru bisa bertemu Samudra. Mesti nunggu kurang lebih dua jam lagi."Mbak, Mas Barra meneleponku." Nira menunjukkan ponselnya yang berdering pada Delia. Saat mereka duduk di kursi tunggu."Angkat saja," jawab sa
"Akhir pekan ini jangan berkencan. Kita butuh bicara. Aku ingin kita segera menyelesaikan semuanya." Selesai bicara Delia segera beranjak menuju sisi ranjang biasa ia tidur. Menyingkap selimut dan membenamkan diri di bawahnya.Netranya memejam, tapi alam bawah sadarnya masih merasakan kegaduhan-kegaduhan dalam benaknya. Delia masih tidak percaya, kalau orang tuanya tega menikahkan anaknya yang baru pulih dari trauma demi membayar hutang budi. Dan orang tua Barra pun mana mungkin tega menikahkan putranya dengan perempuan seperti dirinya. Sementara Barra sendiri adalah pria tampan, terpelajar, dan karirnya mulai cemerlang.Delia tidak percaya, perusahaan papanya mengalami goncangan. Sepertinya itu tidak mungkin.Barra yang mengira Delia telah terlelap, ia bangkit dan melihat isi paper bag yang dibawa sang istri dari butik El-Diva. Gaun yang kurang bahan itu menarik perhatiannya. Warnanya memikat dan transparan. Dia pernah melihat pakaian seperti ini dipakai oleh manekin yang terpajang d
"Aku pernah bertemu dengan istrimu yang sedang memilih lingerie," kata Cintiara ketika tengah makan siang bersama Barra. Wajahnya penuh api cemburu, karena terbawa oleh bayanganya sendiri. Bayangan percintaan Barra dan istrinya. "Apa dia selalu memakainya jika di rumah?"Sambil mengunyah nasi Barra menatap gadis dihadapannya. Cintiara yang dulu tidak begitu njelimet mengurusi sesuatu tentang dirinya, sekarang dia sangat detail memperhatikan Barra. Menanyakan hal sekecil apapun yang sebenarnya tidak penting. Bukankah jika bertanya tentang banyak hal, hanya akan membuat gadis itu sakit sendiri."Aku masih menunggu janjimu. Kurasa kamu nggak lupa kalau kita pernah merencanakan pernikahan," ucap Cintiara lagi sambil menatap lekat Barra. Pria itu meletakkan sendoknya. "Tiara, aku terikat pernikahan dengan Delia nggak tahu sampai kapan. Aku belum bisa melepaskan dia begitu saja." Walaupun mungkin setelah libur dua hari minggu depan, antara dirinya dan Delia akan mempersiapkan perpisahan. K
Barra melangkah untuk membuka pintu. Mamanya sudah berdiri dengan menunjukkan wajah geram padanya. Wanita itu tadi mencari sang putra di kantor dan asistennya bilang kalau Barra sedang keluar. "Mama ingin bicara sama kamu."Bu Diyah masuk dan duduk di sofa ruang tamu. "Delia mana?" "Lagi tidur siang, Ma."Mak Ni dengan sopan bertanya pada Bu Diyah, mau minum apa?"Nggak usah, Mak Ni. Terima kasih. Saya nggak akan lama," jawab Bu Diyah. Mak Ni mengangguk kemudian mundur ke dapur."Kita bicara di luar saja!" Bu Diyah meraih tali tasnya dan langsung melangkah keluar tanpa menunggu jawaban putranya.Barra mengikuti dan mereka turun menggunakan lift. Pria itu tidak mengerti kenapa tiba-tiba mama mencarinya. Biasa sang mama jika butuh bicara hanya akan menelepon saja.Mereka duduk di bangku besi dekat taman kecil samping apartemen."Inneke tadi pagi cerita sama mama. Melihatmu makan siang bareng Cintiara beberapa hari yang lalu. Benar kamu masih berhubungan dengan perempuan itu?" tanya Bu
Senyum manis terukir di wajah Delia saat Barra melangkah pelan menghampiri meja makan. Mereka sekarang duduk saling berhadapan. Delia mengambilkan nasi, lalu bertanya, "Mas, mau lauk apa? Ayam rica-rica, ikan bakar, atau udang crispy?""Aku akan mengambilnya sendiri."Piring diberikan Delia pada sang suami. Kemudian ia mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Mereka makan tanpa percakapan. Delia menyantap nasi berlaukkan ayam rica-rica dengan lahapnya. Wanita itu begitu santai makan dengan pakaian minim bahan yang melekat di badan. Terlihat santai, tapi siapa yang tahu bagaimana perasaannya.Sesekali Barra memandang pada wanita di hadapannya. Dalam dada ia merasakan satu sayatan yang terasa perih. Ada yang tersentuh ketika menyaksikan semua yang dilakukan Delia malam itu. Bukankah seharusnya dia bahagia karena akan mendapatkan haknya? Namun sayangnya, semua itu dilakukan dengan dalih sebuah 'transaksi' seperti yang dikatakan Delia tadi. Makanan yang seharusnya terasa enak, kini terasa me
Delia masuk dan langsung ke dapur untuk mencuci tangan. Barra mengekori di belakang lalu duduk di kursi meja makan."Sudah jam setengah enam. Mas, nggak mandi dulu. Nanti telat ke kantor." Delia mengingatkan sambil membuatkan secangkir kopi.Beberapa saat Barra masih diam termangu. Sungguh, tidak menyangka kalau Delia bisa setenang itu setelah kejadian semalam. Padahal dulu memandangnya saja sudah ketakutan. "Aku mandi dulu," pamit Barra kemudian bangkit dan melangkah masuk kamar.Setelah kepergian Barra, Delia menarik napas dalam-dalam untuk menghalau sesak yang membuatnya susah bernafas. Netranya berkaca-kaca. Siapa bilang dia tidak hancur? Delia hanya berusaha menunjukkan menjadi perempuan tegar di hadapan laki-laki yang telah membuat retak perasaannya.Ternyata dari konflik ini, Delia bisa mengendalikan hati. Tidak histeris, tidak teriak, juga tidak meringkuk ketakutan. Di puncak tertinggi rasa sakitnya, ia menemukan ketegaran dan keberanian. Dirinya berusaha sekuat hati menekan e
Barra tidak menjawab ucapan sang papa. Ia paham bagaimana jika laki-laki itu sudah berkehendak tidak akan bisa di bantah. Terlebih jika beliau tahu kalau Barra sekarang sedang bermasalah dengan Delia, pasti papanya akan mengamuk karena tahu putranya yang bersalah. Masih berlanjutnya hubungan dengan Cintiara sudah jadi bukti kalau Barra yang berulah."Jauhi Cintiara sebelum papa yang ngasih peringatan sama dia. Sampai kapanpun papa dan mamamu nggak akan merestui kalian. Dia hanya ingin hartamu saja. Jangan kamu pikir, papa nggak tahu kamu telah membelikannya banyak barang-barang branded, termasuk mobil. Mutasi rekeningmu terdeteksi semua, Barra."Mendengar ucapan sang papa membuat Barra makin bungkam. Dulu ia sudah memprediksi kalau lambat laun papanya bakalan tahu juga. Makanya dia bilang pada Cintiara supaya tidak terlalu sering memakai kendaraannya. Alhasil, gadis itu malah sering memintanya untuk menjemput di kantor dan mengantarnya pulang.Bunyi intercom di meja kerja Pak Adibrata