Share

Part 6 Twilight 1

Delia kaget saat tangannya diraih oleh seseorang dari belakang. Ketika menoleh, Barra sudah berdiri di sebelahnya dan mengajaknya masuk ke kamar.

"Maaf, maaf karena tadi malam aku lupa membuka lagi kuncinya," ucap Delia setelah Barra merebahkan diri di ranjang. Dan dia berdiri di samping pembaringan.

"Nggak apa-apa," jawab Barra dengan mata terpejam, masih mengantuk. Dia baru bisa tidur kira-kira jam tiga pagi. Setelah tahu kamarnya masih dikunci, Barra tidur di salah satu kamar kosong di lantai dua itu.

Sang papa mengajaknya bicara hingga jam satu malam. Bukan bicara tentang pekerjaan saja, tapi bagaimana dia harus memperlakukan Delia yang sebenarnya belum benar-benar pulih. Rupanya selama ini papanya mengawasi, bisa jadi bertanya juga pada Mak Ni. "Barra, papa nggak ingin mendengar kamu menyia-nyiakan Delia. Awas saja kalau kamu jadi lelaki yang nggak tahu tanggungjawab."

Baru saja Delia duduk di sisi ranjang sebelah Barra, ia dikagetkan oleh sang suami yang kembali bangun dari tidurnya. "Kita pulang saja," ucap Barra sambil berdiri.

"Se-sekarang?"

"Iya. Nggak usah ganti, pakai saja baju itu."

Delia meraih ponselnya di atas meja dan memasukkan ke dalam hand bag. Mengambil gaunnya yang ada di kursi dan tergesa mengekori Barra menuruni tangga.

Belum ada yang bangun kecuali dua asisten rumah tangga yang sedang memasak di dapur. Mereka yang membukakan pintu depan untuk Barra dan Delia.

Meski masih subuh, aktivitas di jalanan sudah ramai. Kendaraan pengguna jalan memadati lalu lintas pagi itu. Mereka keluar rumah di awal pagi karena berbagai tujuan dan kepentingan. Mengais rezeki tentunya.

Di langit sebelah timur, mulai terang oleh sinar kekuningan dari sisi teratas matahari, mengakhiri twilight atau peristiwa cahaya mentari mulai akhir senja hingga terbitnya fajar.

Delia suka sekali menikmati fajar seperti ini. Apalagi jika dinikmati dari pegunungan, di Bromo misalnya.

Sudah lama sekali dia tidak pernah ke Bromo. Terakhir ke sana waktu liburan keluarga kira-kira dua tahun yang lalu. Delia kangen suasana pegunungan dan pedesaan yang menenangkan. Dia rindu juga naik kuda. Rindu balapan bersama Samudra dengan mengendarai hewan paling kuat dan berlari cepat itu.

"Delia, kamu ingat kan bagaimana menunggang kuda dan menaklukan hewan itu di bawah kendalimu? Hal yang nggak bisa dilakukan oleh kebanyakan perempuan, tapi kamu mampu. Dan Mas yakin, kamu mampu mengendalikan segala emosi, ketakutan dalam dirimu. Ayo, bangkit adikku. Bangkit lagi menjadi perempuan tangguh." Delia ingat ucapan Samudra suatu hari saat menyemangati dirinya.

Samudra tidak pernah menyerah dan paling sabar menghadapi naik turun emosinya Delia. Saat gadis itu histeris, saat menggigil dan meringkuk dalam ketakutan, Samudra dengan sabar menenangkannya. Laki-laki itu tidak pernah menyerah memberikan semangat supaya Delia kembali bangkit dan melawan traumanya.

Ketika ia takut pulang ke rumahnya sendiri karena di sana traumanya bermula. Tapi dengan gigih Samudra meyakinkan bahwa semua telah berlalu. Saat takut ke rumah sakit karena kakak dan satu pembantunya meninggal, Samudra juga yang membantunya terlepas dari ketakutan itu.

Melia dan salah satu asisten rumah tangga mereka memang meninggal setelah di larikan ke rumah sakit.

"Kamu ingat pas kita jadi sukarelawan saat Gunung Semeru meletus kan? Kamu dengan sabar menenangkan para warga yang nggak hanya kehilangan tempat tinggal. Tapi harta dan keluarga. Suami, istri, anak, orang tua, dan kerabat. Mereka kehilangan semuanya. Kehilangan orang-orang yang dicintainya. Namun mereka tetap tabah. Semua sudah menjadi takdir. Dan kamu pun harus begitu, ridho dengan apa yang sudah terjadi. Setidaknya kamu hanya kehilangan satu kakak, tapi kamu masih memiliki papa, mama, Mas, dan Nira. Masih memiliki kerabat kita. Sementara mereka, tempat untuk pulang pun sudah nggak ada." Delia kembali mengingat kalimat panjang Samudra. Pagi ini terasa mengena dalam benaknya. Ia harus bangkit, harus mampu melawan sugesti buruk dalam dirinya. Delia menarik napas dalam-dalam, mengembuskan, begitu hingga berkali-kali dan ia merasa jauh lebih tenang.

Semua yang Delia lakukan tak luput dari perhatian Barra yang sesekali meliriknya.

Mobil berhenti di parkiran apartemen. Dia mengikuti Barra yang melangkah dengan gontai. Tidak tergesa-gesa seperti biasanya.

Sampai di apartemen, laki-laki itu langsung berbaring di atas tempat tidur, tanpa berganti pakaian. Sedangkan Delia ke dapur untuk menemui Mak Ni dan membantunya memasak.

"Saya mau bikin urap sama goreng ikan asin, Mbak," kata Mak Ni yang seketika membuat Delia menelan saliva. Menu sederhana kesukaannya.

"Iya, Mak. Aku nggak sabar ingin segera sarapan." Delia membantu ART-nya menggoreng ayam untuk sarapannya Barra.

Namun hingga jam tujuh pagi laki-laki itu belum juga keluar kamar. Biasanya jam enam sudah rapi dan bersiap untuk sarapan atau hanya sekedar minum kopi dan makan sekeping roti.

"Pak Barra kok belum bangun, Mbak?" Mak Ni pun ikut heran.

"Biar saya lihat dulu, Mak." Delia bergegas ke kamar. Di sana Barra masih tertidur. Apa dia tidak tahu kalau hari sudah siang? Delia bingung harus membangunkan apa tidak. Wanita itu perlahan menyentuh lengan Barra. Tangan itu terasa panas. Apa Barra sakit? Ganti keningnya di sentuh pelan. Panas juga.

"Mas," panggil Delia lirih.

Barra membuka mata dengan malas setelah beberapa kali dibangunkan.

"Mas, sakit?"

Pria itu kembali memejam dan mengangguk samar.

"A-aku ambilkan obat dulu!" Delia bangkit dari duduknya dan keluar kamar. Ia bicara pada Mak Ni dengan nada panik sambil menyiapkan sarapan dan mencari obat di kotak P3K.

"Jangan panik, Mbak. Mungkin Pak Barra demam karena kecapekan. Biar saya buatin teh hangat sama nyiapin kompresnya. Mbak Delia duduk saja dulu." Mak Ni menenangkan Delia. Dengan cekatan ia menyiapkan sarapan, teh hangat, dan obat dalam satu nampan. Setelah itu membiarkan Delia membawanya masuk kamar.

Delia menyentuh lagi lengan suaminya. "Mas, sarapan dan minum obat dulu."

Setelah beberapa saat menunggu, Barra bangun dan duduk. Delia memberikan piring berisi nasi pada suaminya. Lelaki itu tanpa bicara hanya menatap Delia. Membuat sang istri berdebar karena takut. Tapi Delia berusaha terus melawan perasaan itu. Nasi berlaukkan ayam goreng lalapan hanya dimakan separuh oleh Barra. Kemudian minum teh hangat dan menelan satu pil Paracetamol yang diberikan oleh istrinya.

"Bajunya ganti dulu. Aku ambilin." Delia mengambilkan kaus tanpa kerah dan celana pendek. "Gantilah bajumu, setelah ini aku akan mengompresmu."

Melihat Barra tidak berganti pakaian di kamar mandi, Delia buru-buru keluar dan menutup pintu. Dia kembali beberapa menit kemudian dan langsung mengompres kening suaminya.

Pagi itu mereka berinteraksi lebih dekat tanpa perdebatan dan tatapan sinis Barra. Lelaki yang demam tinggi itu hanya diam dan memejam.

Ponsel di nakas berdering. Delia melihat siapa yang telepon. Mungkin dari kantor karena Barra tidak masuk kerja. Cintiara My Beloved Girl, nama yang tertera di layar bening. Membuat hati Delia terusik dan nyeri. Bagaimanapun hubungan mereka dimulai, seorang istri pasti akan merasakan kecewa jika ada perempuan lain yang mencintai dan berhubungan dengan suaminya.

Dibiarkannya panggilan hingga berhenti sendiri. Sampai siang perempuan itu berkali-kali menghubungi Barra. Menjelang sore ketika keadaan Barra membaik, lelaki itu bangun dan menerima telepon. Delia mendengar percakapan mereka dari luar kamar.

Entah apa yang dipikirkan gadis itu. Bukankah dia tahu kalau Barra telah menikah? Tampaknya ikatan pernikahan Barra dan Delia tidak menghalangi mereka untuk terus menjalin hubungan.

Delia menarik napas dalam-dalam sambil memejam. Dia tidak tahu, bagaimana akhir dari kisahnya dengan Barra.

Di tengah kemelut perasaannya. Samudra menelepon.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
Semoga Barra bisa mencintai Delia ,dan melupakan Cintiara
goodnovel comment avatar
istriyangdisyng
yg ngurusin sakit istrimu bara bkn pacar gelapmu. semoga bara berpikir kesitu.
goodnovel comment avatar
Arif Zaif
barra mudah - mudahan bisa lembut hatinya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status