Share

Part 6 Twilight 1

Penulis: Lis Susanawati
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-30 19:49:38

Delia kaget saat tangannya diraih oleh seseorang dari belakang. Ketika menoleh, Barra sudah berdiri di sebelahnya dan mengajaknya masuk ke kamar.

"Maaf, maaf karena tadi malam aku lupa membuka lagi kuncinya," ucap Delia setelah Barra merebahkan diri di ranjang. Dan dia berdiri di samping pembaringan.

"Nggak apa-apa," jawab Barra dengan mata terpejam, masih mengantuk. Dia baru bisa tidur kira-kira jam tiga pagi. Setelah tahu kamarnya masih dikunci, Barra tidur di salah satu kamar kosong di lantai dua itu.

Sang papa mengajaknya bicara hingga jam satu malam. Bukan bicara tentang pekerjaan saja, tapi bagaimana dia harus memperlakukan Delia yang sebenarnya belum benar-benar pulih. Rupanya selama ini papanya mengawasi, bisa jadi bertanya juga pada Mak Ni. "Barra, papa nggak ingin mendengar kamu menyia-nyiakan Delia. Awas saja kalau kamu jadi lelaki yang nggak tahu tanggungjawab."

Baru saja Delia duduk di sisi ranjang sebelah Barra, ia dikagetkan oleh sang suami yang kembali bangun dari tidurnya. "Kita pulang saja," ucap Barra sambil berdiri.

"Se-sekarang?"

"Iya. Nggak usah ganti, pakai saja baju itu."

Delia meraih ponselnya di atas meja dan memasukkan ke dalam hand bag. Mengambil gaunnya yang ada di kursi dan tergesa mengekori Barra menuruni tangga.

Belum ada yang bangun kecuali dua asisten rumah tangga yang sedang memasak di dapur. Mereka yang membukakan pintu depan untuk Barra dan Delia.

Meski masih subuh, aktivitas di jalanan sudah ramai. Kendaraan pengguna jalan memadati lalu lintas pagi itu. Mereka keluar rumah di awal pagi karena berbagai tujuan dan kepentingan. Mengais rezeki tentunya.

Di langit sebelah timur, mulai terang oleh sinar kekuningan dari sisi teratas matahari, mengakhiri twilight atau peristiwa cahaya mentari mulai akhir senja hingga terbitnya fajar.

Delia suka sekali menikmati fajar seperti ini. Apalagi jika dinikmati dari pegunungan, di Bromo misalnya.

Sudah lama sekali dia tidak pernah ke Bromo. Terakhir ke sana waktu liburan keluarga kira-kira dua tahun yang lalu. Delia kangen suasana pegunungan dan pedesaan yang menenangkan. Dia rindu juga naik kuda. Rindu balapan bersama Samudra dengan mengendarai hewan paling kuat dan berlari cepat itu.

"Delia, kamu ingat kan bagaimana menunggang kuda dan menaklukan hewan itu di bawah kendalimu? Hal yang nggak bisa dilakukan oleh kebanyakan perempuan, tapi kamu mampu. Dan Mas yakin, kamu mampu mengendalikan segala emosi, ketakutan dalam dirimu. Ayo, bangkit adikku. Bangkit lagi menjadi perempuan tangguh." Delia ingat ucapan Samudra suatu hari saat menyemangati dirinya.

Samudra tidak pernah menyerah dan paling sabar menghadapi naik turun emosinya Delia. Saat gadis itu histeris, saat menggigil dan meringkuk dalam ketakutan, Samudra dengan sabar menenangkannya. Laki-laki itu tidak pernah menyerah memberikan semangat supaya Delia kembali bangkit dan melawan traumanya.

Ketika ia takut pulang ke rumahnya sendiri karena di sana traumanya bermula. Tapi dengan gigih Samudra meyakinkan bahwa semua telah berlalu. Saat takut ke rumah sakit karena kakak dan satu pembantunya meninggal, Samudra juga yang membantunya terlepas dari ketakutan itu.

Melia dan salah satu asisten rumah tangga mereka memang meninggal setelah di larikan ke rumah sakit.

"Kamu ingat pas kita jadi sukarelawan saat Gunung Semeru meletus kan? Kamu dengan sabar menenangkan para warga yang nggak hanya kehilangan tempat tinggal. Tapi harta dan keluarga. Suami, istri, anak, orang tua, dan kerabat. Mereka kehilangan semuanya. Kehilangan orang-orang yang dicintainya. Namun mereka tetap tabah. Semua sudah menjadi takdir. Dan kamu pun harus begitu, ridho dengan apa yang sudah terjadi. Setidaknya kamu hanya kehilangan satu kakak, tapi kamu masih memiliki papa, mama, Mas, dan Nira. Masih memiliki kerabat kita. Sementara mereka, tempat untuk pulang pun sudah nggak ada." Delia kembali mengingat kalimat panjang Samudra. Pagi ini terasa mengena dalam benaknya. Ia harus bangkit, harus mampu melawan sugesti buruk dalam dirinya. Delia menarik napas dalam-dalam, mengembuskan, begitu hingga berkali-kali dan ia merasa jauh lebih tenang.

Semua yang Delia lakukan tak luput dari perhatian Barra yang sesekali meliriknya.

Mobil berhenti di parkiran apartemen. Dia mengikuti Barra yang melangkah dengan gontai. Tidak tergesa-gesa seperti biasanya.

Sampai di apartemen, laki-laki itu langsung berbaring di atas tempat tidur, tanpa berganti pakaian. Sedangkan Delia ke dapur untuk menemui Mak Ni dan membantunya memasak.

"Saya mau bikin urap sama goreng ikan asin, Mbak," kata Mak Ni yang seketika membuat Delia menelan saliva. Menu sederhana kesukaannya.

"Iya, Mak. Aku nggak sabar ingin segera sarapan." Delia membantu ART-nya menggoreng ayam untuk sarapannya Barra.

Namun hingga jam tujuh pagi laki-laki itu belum juga keluar kamar. Biasanya jam enam sudah rapi dan bersiap untuk sarapan atau hanya sekedar minum kopi dan makan sekeping roti.

"Pak Barra kok belum bangun, Mbak?" Mak Ni pun ikut heran.

"Biar saya lihat dulu, Mak." Delia bergegas ke kamar. Di sana Barra masih tertidur. Apa dia tidak tahu kalau hari sudah siang? Delia bingung harus membangunkan apa tidak. Wanita itu perlahan menyentuh lengan Barra. Tangan itu terasa panas. Apa Barra sakit? Ganti keningnya di sentuh pelan. Panas juga.

"Mas," panggil Delia lirih.

Barra membuka mata dengan malas setelah beberapa kali dibangunkan.

"Mas, sakit?"

Pria itu kembali memejam dan mengangguk samar.

"A-aku ambilkan obat dulu!" Delia bangkit dari duduknya dan keluar kamar. Ia bicara pada Mak Ni dengan nada panik sambil menyiapkan sarapan dan mencari obat di kotak P3K.

"Jangan panik, Mbak. Mungkin Pak Barra demam karena kecapekan. Biar saya buatin teh hangat sama nyiapin kompresnya. Mbak Delia duduk saja dulu." Mak Ni menenangkan Delia. Dengan cekatan ia menyiapkan sarapan, teh hangat, dan obat dalam satu nampan. Setelah itu membiarkan Delia membawanya masuk kamar.

Delia menyentuh lagi lengan suaminya. "Mas, sarapan dan minum obat dulu."

Setelah beberapa saat menunggu, Barra bangun dan duduk. Delia memberikan piring berisi nasi pada suaminya. Lelaki itu tanpa bicara hanya menatap Delia. Membuat sang istri berdebar karena takut. Tapi Delia berusaha terus melawan perasaan itu. Nasi berlaukkan ayam goreng lalapan hanya dimakan separuh oleh Barra. Kemudian minum teh hangat dan menelan satu pil Paracetamol yang diberikan oleh istrinya.

"Bajunya ganti dulu. Aku ambilin." Delia mengambilkan kaus tanpa kerah dan celana pendek. "Gantilah bajumu, setelah ini aku akan mengompresmu."

Melihat Barra tidak berganti pakaian di kamar mandi, Delia buru-buru keluar dan menutup pintu. Dia kembali beberapa menit kemudian dan langsung mengompres kening suaminya.

Pagi itu mereka berinteraksi lebih dekat tanpa perdebatan dan tatapan sinis Barra. Lelaki yang demam tinggi itu hanya diam dan memejam.

Ponsel di nakas berdering. Delia melihat siapa yang telepon. Mungkin dari kantor karena Barra tidak masuk kerja. Cintiara My Beloved Girl, nama yang tertera di layar bening. Membuat hati Delia terusik dan nyeri. Bagaimanapun hubungan mereka dimulai, seorang istri pasti akan merasakan kecewa jika ada perempuan lain yang mencintai dan berhubungan dengan suaminya.

Dibiarkannya panggilan hingga berhenti sendiri. Sampai siang perempuan itu berkali-kali menghubungi Barra. Menjelang sore ketika keadaan Barra membaik, lelaki itu bangun dan menerima telepon. Delia mendengar percakapan mereka dari luar kamar.

Entah apa yang dipikirkan gadis itu. Bukankah dia tahu kalau Barra telah menikah? Tampaknya ikatan pernikahan Barra dan Delia tidak menghalangi mereka untuk terus menjalin hubungan.

Delia menarik napas dalam-dalam sambil memejam. Dia tidak tahu, bagaimana akhir dari kisahnya dengan Barra.

Di tengah kemelut perasaannya. Samudra menelepon.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
Semoga Barra bisa mencintai Delia ,dan melupakan Cintiara
goodnovel comment avatar
istriyangdisyng
yg ngurusin sakit istrimu bara bkn pacar gelapmu. semoga bara berpikir kesitu.
goodnovel comment avatar
Arif Zaif
barra mudah - mudahan bisa lembut hatinya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 157 Hari yang Indah 2

    Tangan Johan membingkai wajah sang anak. Mereka saling tatap dalam diam. Mata bening itu memandang sang ibu. Minta penjelasan, siapa pria yang bolak-balik menciuminya."Ini Bapaknya Ubed." Mahika bicara sambil tersenyum, meski hatinya menangis haru.Saat tangan Johan terulur untuk menggendong, Ubed tidak menolak. Meski masih kebingungan, bocah itu tidak memberontak meski diciumi bapaknya berulang kali.Mereka bertiga melepaskan rindu. Mahika juga mengabadikan momen pertemuan perdana itu dengan kamera ponselnya."Agustus ini aku dapat remisi, Ka," ucap Johan dengan mata berbinar."Alhamdulillah. Aksara sudah memberitahuku waktu dia baru pulang dari menjengukmu, Mas.""Ya, Alhamdulillah banget. Semoga segalanya dipermudahkan," kata Johan sambil mencium kening Mahika. Mahika juga menceritakan tentang kedua orang tuanya. Papanya ingin rujuk, tapi sang mama masih belum terbuka hatinya."Doakan saja semoga mereka bisa bersatu lagi," ucap Johan."Aamiin. Aku harap juga begitu, daripada hidu

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 156 Hari yang Indah 1

    "Mama sudah nyaman hidup seperti ini, Ka. Fokus ibadah saja sekarang," jawab wanita yang selama ini terbiasa dipanggil Bu Raul. Bahkan setelah bercerai pun para tetangga masih memanggilnya dengan sebutan itu. Wanita yang masih menampakkan gurat kecantikannya memandang sang anak yang duduk di sampingnya."Papa tampak bersungguh-sungguh, Ma." Mahika mencoba meyakinkan. Sebab tadi papanya sampai menangis mengutarakan penyesalannya. Meski Mahika pernah murka, tapi rasa iba untuk sang papa tetap ada."Papamu hanya lelah hidup sendiri nggak ada yang ngurusi. Berapa kali dia sudah mengkhianati mama. Selama ini mama diam pura-pura nggak tahu. Demi keutuhan rumah tangga ini. Mama pikir dia hanya bermain-main lalu kembali pulang. Nyatanya ada benihnya yang tumbuh di rahim wanita lain."Mahika senyap. Tidak mungkin akan memaksakan jika mamanya merasa tidak nyaman. Sang mama sendiri sebenarnya sudah tidak ingin mengingat hal menyakitkan itu lagi. Dia juga sudah bilang memaafkan perbuatan suaminya

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 155 Lamaran 2

    Jam tiga mereka telah bersiap untuk berangkat. Mak Ni menggandeng Riz masuk mobil dan mendudukkan di car seat. Sedangkan Delia menggendong Fia. Samudra juga telah bersiap hendak mengajak keluarganya berakhir pekan di rumah mertuanya. Sudah lama mereka tidak menginap di sana. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti yang melambaikan tangan ke arah anak, menantu, dan cucunya yang bergerak pergi dengan kendaraan masing-masing. "Tahun depan, kita hanya tinggal berdua di rumah, Pa. Nira pasti ikut suaminya juga," kata Bu Hesti sambil memandang Pak Irawan."Iya. Sudah semestinya begitu, Ma. Tugas kita membesarkan anak-anak dan mengantarkan mereka bertemu jodohnya. Setelah itu kita harus ridho jika akhirnya harus berjauhan. Toh mereka juga bisa datang sewaktu-waktu. Kalau kita kangen sama cucu juga nggak jauh kalau ingin menemui." Pak Irawan menghibur istrinya sambil mengajak wanita yang telah mendampinginya puluhan tahun masuk ke dalam rumah.* * *Agustus merupakan puncak musim kemarau. Walau

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 154 Lamaran 1

    Tiga bulan kemudian ....Rumah megah itu terlihat semarak di pagi yang cerah. Beberapa mobil terparkir di halaman depan rumah. Para kerabat dengan sabar duduk menunggu acara di mulai. Mereka berpakaian laiknya menghadiri sebuah acara resepsi.Hari itu memang acara lamarannya Xavier dan Nira. Di salah satu sudut dinding ada backdrop dengan nuansa putih berkombinasi kuning keemasan. Hiasan bunga hidup semerbak wangi memenuhi penjuru ruangan. Bunga yang terdiri dari mawar putih, mawar merah muda, melati, dan bunga peony kesukaan Nira. Warnanya beraneka macam di sana. Ada putih, merah, kuning, dan merah muda. Bunga yang melambangkan bentuk cinta, romansa, dan keindahan.Nira yang memakai kebaya warna tosca tampak duduk anggun di dampingi Delia dan Diva. Dua kakaknya itu kini berhijab rapi sudah dua bulan ini. Sepulang dari umroh, Bu Hesti mengajak dua anak perempuannya dan sang menantu untuk berhijab. Ajakan yang disambut baik oleh mereka. Tepat jam sembilan pagi beberapa mobil memasuki

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 153 Damai 2

    Di tempat lain, Cintiara tidak bisa tidur karena harus menggendong keponakannya yang sejak tadi menangis. Bayi perempuan yang baru dilahirkan dua minggu yang lalu itu tidak mau di tidurkan di kasur.Sementara Siska tidak mau menyusui. Wanita itu memilih meringkuk memeluk guling. Tidak peduli."Tidurkan saja, nanti kamu capek dan besok kamu harus kerja," seloroh seorang wanita yang tidak lain adalah ibunya Cintiara."Kasihan, Ma. Sebenarnya dia kehausan dan mau minum ASI.""Kasihkan saja susu yang kamu buat tadi.""Dia nggak mau," jawab Cintiara sambil terus menimang-nimang bayi tak berdosa itu.Kegagalan usaha Siska untuk menggugurkan kandungannya telah berakibat fatal pada bayinya. Kelopak matanya yang indah hanya bisa berkedip-kedip menatap lurus ke atas, tapi telinganya tidak bisa merespon suara apapun yang ada di sekitarnya. Tidak ada reflek kaget saat ada suara keras di dekatnya. Bahkan matanya tidak berkedip atau mengerutkan wajah seperti pada umumnya bayi yang terkejut.Cintia

  • Cinta yang Kau Bawa Pergi    Part 152 Damai 1

    Setiap pilihan pasti akan ada konsekuensinya. Dampak dari lingkungan, circle pertemanan, dan pekerjaan. Mahika juga harus siap jika muncul banyak pertanyaan saat anaknya masuk sekolah nanti. Sebelumnya semua itu sudah ia pikirkan secara detail. Perjalanannya pun tentu tidak akan mudah setelah ini. Namun ia yakin Ubaidillah akan tumbuh menjadi anak yang kuat.Mahika menyusut air mata kemudian melipat lagi kertas istimewa itu dan menyimpannya ke dalam tas. Dipandanginya bayi mungil yang terlelap di dalam kelambu. Lalu beralih melihat ke arah ponselnya yang berpendar. Ada pesan masuk dari Aisyah yang mengucapkan selamat atas kelahiran putranya, juga mengabari bahwa besok mereka akan datang sekeluarga untuk menengok Mahika dan anaknya.[Besok kami akan datang, Mbak. Anak-anak aku izinkan nggak masuk sekolah sehari, aku dan Mas Yuda juga akan libur. Ibu, Nur, dan anaknya juga akan ikut. Tapi suaminya nggak bisa ikut karena lagi tugas.]Buru-buru Mahika membalas pesan itu. Dia bahagia menun

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status