Delia kaget saat tangannya diraih oleh seseorang dari belakang. Ketika menoleh, Barra sudah berdiri di sebelahnya dan mengajaknya masuk ke kamar.
"Maaf, maaf karena tadi malam aku lupa membuka lagi kuncinya," ucap Delia setelah Barra merebahkan diri di ranjang. Dan dia berdiri di samping pembaringan."Nggak apa-apa," jawab Barra dengan mata terpejam, masih mengantuk. Dia baru bisa tidur kira-kira jam tiga pagi. Setelah tahu kamarnya masih dikunci, Barra tidur di salah satu kamar kosong di lantai dua itu.Sang papa mengajaknya bicara hingga jam satu malam. Bukan bicara tentang pekerjaan saja, tapi bagaimana dia harus memperlakukan Delia yang sebenarnya belum benar-benar pulih. Rupanya selama ini papanya mengawasi, bisa jadi bertanya juga pada Mak Ni. "Barra, papa nggak ingin mendengar kamu menyia-nyiakan Delia. Awas saja kalau kamu jadi lelaki yang nggak tahu tanggungjawab."Baru saja Delia duduk di sisi ranjang sebelah Barra, ia dikagetkan oleh sang suami yang kembali bangun dari tidurnya. "Kita pulang saja," ucap Barra sambil berdiri."Se-sekarang?""Iya. Nggak usah ganti, pakai saja baju itu."Delia meraih ponselnya di atas meja dan memasukkan ke dalam hand bag. Mengambil gaunnya yang ada di kursi dan tergesa mengekori Barra menuruni tangga.Belum ada yang bangun kecuali dua asisten rumah tangga yang sedang memasak di dapur. Mereka yang membukakan pintu depan untuk Barra dan Delia.Meski masih subuh, aktivitas di jalanan sudah ramai. Kendaraan pengguna jalan memadati lalu lintas pagi itu. Mereka keluar rumah di awal pagi karena berbagai tujuan dan kepentingan. Mengais rezeki tentunya.Di langit sebelah timur, mulai terang oleh sinar kekuningan dari sisi teratas matahari, mengakhiri twilight atau peristiwa cahaya mentari mulai akhir senja hingga terbitnya fajar.Delia suka sekali menikmati fajar seperti ini. Apalagi jika dinikmati dari pegunungan, di Bromo misalnya.Sudah lama sekali dia tidak pernah ke Bromo. Terakhir ke sana waktu liburan keluarga kira-kira dua tahun yang lalu. Delia kangen suasana pegunungan dan pedesaan yang menenangkan. Dia rindu juga naik kuda. Rindu balapan bersama Samudra dengan mengendarai hewan paling kuat dan berlari cepat itu."Delia, kamu ingat kan bagaimana menunggang kuda dan menaklukan hewan itu di bawah kendalimu? Hal yang nggak bisa dilakukan oleh kebanyakan perempuan, tapi kamu mampu. Dan Mas yakin, kamu mampu mengendalikan segala emosi, ketakutan dalam dirimu. Ayo, bangkit adikku. Bangkit lagi menjadi perempuan tangguh." Delia ingat ucapan Samudra suatu hari saat menyemangati dirinya.Samudra tidak pernah menyerah dan paling sabar menghadapi naik turun emosinya Delia. Saat gadis itu histeris, saat menggigil dan meringkuk dalam ketakutan, Samudra dengan sabar menenangkannya. Laki-laki itu tidak pernah menyerah memberikan semangat supaya Delia kembali bangkit dan melawan traumanya.Ketika ia takut pulang ke rumahnya sendiri karena di sana traumanya bermula. Tapi dengan gigih Samudra meyakinkan bahwa semua telah berlalu. Saat takut ke rumah sakit karena kakak dan satu pembantunya meninggal, Samudra juga yang membantunya terlepas dari ketakutan itu.Melia dan salah satu asisten rumah tangga mereka memang meninggal setelah di larikan ke rumah sakit."Kamu ingat pas kita jadi sukarelawan saat Gunung Semeru meletus kan? Kamu dengan sabar menenangkan para warga yang nggak hanya kehilangan tempat tinggal. Tapi harta dan keluarga. Suami, istri, anak, orang tua, dan kerabat. Mereka kehilangan semuanya. Kehilangan orang-orang yang dicintainya. Namun mereka tetap tabah. Semua sudah menjadi takdir. Dan kamu pun harus begitu, ridho dengan apa yang sudah terjadi. Setidaknya kamu hanya kehilangan satu kakak, tapi kamu masih memiliki papa, mama, Mas, dan Nira. Masih memiliki kerabat kita. Sementara mereka, tempat untuk pulang pun sudah nggak ada." Delia kembali mengingat kalimat panjang Samudra. Pagi ini terasa mengena dalam benaknya. Ia harus bangkit, harus mampu melawan sugesti buruk dalam dirinya. Delia menarik napas dalam-dalam, mengembuskan, begitu hingga berkali-kali dan ia merasa jauh lebih tenang.Semua yang Delia lakukan tak luput dari perhatian Barra yang sesekali meliriknya.Mobil berhenti di parkiran apartemen. Dia mengikuti Barra yang melangkah dengan gontai. Tidak tergesa-gesa seperti biasanya.Sampai di apartemen, laki-laki itu langsung berbaring di atas tempat tidur, tanpa berganti pakaian. Sedangkan Delia ke dapur untuk menemui Mak Ni dan membantunya memasak."Saya mau bikin urap sama goreng ikan asin, Mbak," kata Mak Ni yang seketika membuat Delia menelan saliva. Menu sederhana kesukaannya."Iya, Mak. Aku nggak sabar ingin segera sarapan." Delia membantu ART-nya menggoreng ayam untuk sarapannya Barra.Namun hingga jam tujuh pagi laki-laki itu belum juga keluar kamar. Biasanya jam enam sudah rapi dan bersiap untuk sarapan atau hanya sekedar minum kopi dan makan sekeping roti."Pak Barra kok belum bangun, Mbak?" Mak Ni pun ikut heran."Biar saya lihat dulu, Mak." Delia bergegas ke kamar. Di sana Barra masih tertidur. Apa dia tidak tahu kalau hari sudah siang? Delia bingung harus membangunkan apa tidak. Wanita itu perlahan menyentuh lengan Barra. Tangan itu terasa panas. Apa Barra sakit? Ganti keningnya di sentuh pelan. Panas juga."Mas," panggil Delia lirih.Barra membuka mata dengan malas setelah beberapa kali dibangunkan."Mas, sakit?"Pria itu kembali memejam dan mengangguk samar."A-aku ambilkan obat dulu!" Delia bangkit dari duduknya dan keluar kamar. Ia bicara pada Mak Ni dengan nada panik sambil menyiapkan sarapan dan mencari obat di kotak P3K."Jangan panik, Mbak. Mungkin Pak Barra demam karena kecapekan. Biar saya buatin teh hangat sama nyiapin kompresnya. Mbak Delia duduk saja dulu." Mak Ni menenangkan Delia. Dengan cekatan ia menyiapkan sarapan, teh hangat, dan obat dalam satu nampan. Setelah itu membiarkan Delia membawanya masuk kamar.Delia menyentuh lagi lengan suaminya. "Mas, sarapan dan minum obat dulu."Setelah beberapa saat menunggu, Barra bangun dan duduk. Delia memberikan piring berisi nasi pada suaminya. Lelaki itu tanpa bicara hanya menatap Delia. Membuat sang istri berdebar karena takut. Tapi Delia berusaha terus melawan perasaan itu. Nasi berlaukkan ayam goreng lalapan hanya dimakan separuh oleh Barra. Kemudian minum teh hangat dan menelan satu pil Paracetamol yang diberikan oleh istrinya."Bajunya ganti dulu. Aku ambilin." Delia mengambilkan kaus tanpa kerah dan celana pendek. "Gantilah bajumu, setelah ini aku akan mengompresmu."Melihat Barra tidak berganti pakaian di kamar mandi, Delia buru-buru keluar dan menutup pintu. Dia kembali beberapa menit kemudian dan langsung mengompres kening suaminya.Pagi itu mereka berinteraksi lebih dekat tanpa perdebatan dan tatapan sinis Barra. Lelaki yang demam tinggi itu hanya diam dan memejam.Ponsel di nakas berdering. Delia melihat siapa yang telepon. Mungkin dari kantor karena Barra tidak masuk kerja. Cintiara My Beloved Girl, nama yang tertera di layar bening. Membuat hati Delia terusik dan nyeri. Bagaimanapun hubungan mereka dimulai, seorang istri pasti akan merasakan kecewa jika ada perempuan lain yang mencintai dan berhubungan dengan suaminya.Dibiarkannya panggilan hingga berhenti sendiri. Sampai siang perempuan itu berkali-kali menghubungi Barra. Menjelang sore ketika keadaan Barra membaik, lelaki itu bangun dan menerima telepon. Delia mendengar percakapan mereka dari luar kamar.Entah apa yang dipikirkan gadis itu. Bukankah dia tahu kalau Barra telah menikah? Tampaknya ikatan pernikahan Barra dan Delia tidak menghalangi mereka untuk terus menjalin hubungan.Delia menarik napas dalam-dalam sambil memejam. Dia tidak tahu, bagaimana akhir dari kisahnya dengan Barra.Di tengah kemelut perasaannya. Samudra menelepon."Assalamu'alaikum, Mas.""Wa'alaikumsalam. Lagi ngapain?""Lagi santai. Mas Sam, di rumah sakit ya?""Ya, habis Shalat Zhuhur. Kamu sudah shalat?""Belum.""Loh, udah jam berapa ini? Bentar lagi udah masuk waktu Asar. Mas saja hampir telat tadi. Delia, jangan tinggalkan shalat selagi kamu tidak uzur. Shalat dulu, ya!""Iya, Mas.""Shalat dulu, nanti baru telepon mas lagi.""Hu um." Delia mematikan panggilannya dan segera bangkit untuk menemui Mak Ni yang tengah menyetrika. Ingin sembahyang di kamar wanita itu saja.Delia menatap ujung sajadah cukup lama setelah selesai berdoa. Ada tenteram yang menyusup perlahan ke sanubarinya. Ada ketenangan menghuni jiwanya. Gadis itu menunduk dan menangis. Ia memang harus kembali pulih dan bangkit. Biar pengorbanan yang dilakukan Samudra yang setia mendampinginya tidak sia-sia. Supaya orang tuanya juga bahagia melihatnya pulih seperti sedia kala.* * *"Mak Ni, mana kunci pintu balkon? Aku ingin mencari udara segar di luar." Delia mendekati pembant
Barra termenung di kursi ruang kerjanya sambil memperhatikan map warna kuning yang ada di atas meja. Di situ sudah lengkap surat-surat persyaratan untuk pengajuan nikah secara hukum negara. Namun perkataan Delia tadi malam masih tergiang di telinga. "Nggak usah, Mas. Nggak perlu ngurus surat nikah ke KUA. Mas, layak mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik dariku. Aku ini ... perempuan nggak waras. Kekasihmu pasti jauh lebih baik untuk menjadi istrimu."Tidak waras. Dirinya pernah mengatakan hal itu juga, tapi sekarang kenapa ikut merasakan sakit ketika Delia mengatai dirinya sendiri. Sekejam itukah Barra?Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan laki-laki berkemeja warna biru itu. "Masuk!" perintahnya.Muncul office boy yang tadi dimintanya untuk membelikan makan siang karena ia malas keluar. "Makasih," ucapnya pada pemuda yang mengangguk hormat padanya.Baru saja membuka kotak nasi, ponselnya di atas meja berdenting. [Aku sedang makan siang. Kamu sudah makan apa belum?] Cintiara
Pak Irawan kemudian mengalihkan percakapan dengan membahas bisnisnya. Samudra anak yang paling bisa mengerti kalau diajak cerita, meski bisnis bukan dunianya. Dia tidak perlu lagi membahas tentang jodoh untuk Samudra. Sejak awal dia dan istrinya sudah sepakat memberikan kebebasan pada sang putra. Padahal banyak rekan bisnis mereka yang memiliki putri berprestasi, ada yang dokter juga, bahkan sudah ada rekan Pak Irawan yang berniat menjodohkan putrinya dengan Samudra. Namun Pak Irawan tidak ingin memaksakan kehendaknya. Dia menghargai keputusan anak lelakinya. Nanti saja kalau sudah kelewat usia dan Samudra belum segera menikah, baru mereka akan mengambil sikap.* * *Sabtu pagi keluarga Pak Irawan bersiap-siap hendak bepergian. Tadi malam telah disepakati kalau mereka akan traveling hari itu. Kulineran, pergi ke pacuan kuda, dan akan menginap di Malang. Kebetulan Samudra tidak ada jadwal piket untuk hari Sabtu ini.Dua mobil dipersiapkan. Satu mobil milik Pak Irawan, satunya lagi mobi
Sepanjang perjalanan tol Sidoarjo-Malang Delia sibuk dengan ponselnya. Dia melihat ulang video yang dikirimkan oleh sang adik. Senyum menghiasi bibirnya yang merah muda alami tanpa polesan lipstik. Di video itu Samudra memilih menjajarinya ketimbang menuruti tantangannya untuk berpacu dengan tunggangan masing-masing. Pasti kakaknya khawatir, karena baru pertama kali setelah setahun ini dirinya tidak pernah menunggang kuda. Makanya lebih memilih menjaganya daripada berlomba. "Kamu kakak yang baik, kamu anak yang berbakti, tentunya kamu akan jadi suami idaman yang sangat bertanggungjawab. Semoga kamu akan mendapatkan jodoh wanita sholehah, Mas." Doa tulus dalam hati Delia untuk Samudra, sambil menatap lekat video di layar ponsel.Apa yang dilakukan Delia tidak luput dari perhatian Barra. Walaupun laki-laki itu tengah mengemudi dan fokus pada jalan tol yang ramai oleh pengguna jalan. Namun ia tahu apa yang sedang dilakukan istrinya. Kira-kira apa tanggapan Delia jika laki-laki yang dian
Delia kembali masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Dia memakai daster bercorak polkadot warna toska sebatas lutut. Rasa gamang dan takutnya berada dalam satu kamar dengan Barra kian terkikis. Toh dua bulan bersama, pria itu cukup anteng. Tentu saja tidak berselera karena yang dia cintai hanya Cintiara. Buktinya ketika melihat dirinya hanya memakai dalaman saja, pria itu memilih pergi meninggalkannya. Padahal Delia sebenarnya sangat ketakutan waktu itu.Selesai makan kantuknya datang, karena faktor kelelahan juga. Menunggu beberapa menit lagi untuk rebahan sudah tidak tahan. Jika Samudra tahu habis makan langsung tidur, pasti dirinya kena tegur.Barra masuk kamar setelah Delia terlelap. Istrinya tidur miring menghadap ke dinding seperti biasanya. Enam puluh hari ini, belum pernah sekalipun Delia tidur menghadap dirinya. Betah sekali tubuhnya miring ke satu arah saja.Beberapa saat lamanya Barra memandang wanita yang telah pulas dengan selimut menutupi kakinya. Setelah itu perlahan Ba
Barra belum bisa terlelap. Di sebelahnya Delia masih tidur dengan pulas. Hawa dingin pegunungan sangat mendukung untuk memanjakan diri tidur lebih nyaman, apalagi tubuh Delia juga lebih relaks setelah di pijat tadi.Namun Barra yang tersiksa. Ada yang memberontak dalam diri dan membuatnya tidak bisa tidur hingga dini hari. Bangkit dari pembaringan, berdiri di pintu kaca balkon sambil menatap pekatnya malam tanpa batas, lantas berbaring lagi. Dan begitu terus berulang-ulang. Tidak munafik. Sebagai laki-laki dewasa dia menginginkannya. Kalau meminta pun itu adalah haknya, tapi ... sungguh sangat rumit.Barra keluar kamar dan menuruni tangga. Dia berhenti ketika melihat lampu ruang tengah masih menyala. Ternyata Samudra duduk sendirian di sofa. Namun pandangannya bukan pada layar televisi yang menyala dan menayangkan acara pertandingan bola. Samudra seperti sedang termenung. Apa laki-laki itu juga tidak bisa tidur seperti dirinya? Setelah diam lama di anak tangga, akhirnya Barra kembal
Wanita yang membuatnya tidak bisa tidur hampir semalaman, pagi ini sangat ceria di samping pria yang diam-diam mencintainya. Barra segera keluar kamar, ketika menuruni tangga ada papa mertua yang tersenyum menyambutnya. "Selamat pagi, Pa.""Pagi, Barra. Semalam papamu nelepon, katanya lagi staycation juga di Sarangan. Sekalian mau kondangan sore nanti."Barra mengangguk. Di kantor kemarin papanya sudah memberitahu."Pagi ini, Samudra pengen ke paralayang bersama Nira. Kamu mau ikut atau pergi ke luar sendiri bersama Delia?""Nanti saya tanyakan ke Delia dulu, Pa.""Oke."Barra tidak bisa berkonsentrasi saat diajak bicara mertuanya. Kebersamaan Delia dan Samudra di depan membuat pikirannya kacau. Namun setelah keluar villa, tinggal Samudra saja yang masih duduk di sana. Ke mana Delia?"Mas, ini kopi untukmu!" Tiba-tiba Delia sudah berdiri di belakangnya sambil membawa nampan berisi segelas teh panas dan secangkir kopi panas yang dari aromanya saja Barra tahu kalau itu kopi robusta. Dia
"Kamu pergi dengan siapa?" tanya Barra sambil berdiri dan menghampiri Delia."Dengan Nira. Dia sudah menungguku di bawah.""Harusnya kamu tadi bilang dulu kalau mau pergi."Delia menegakkan tubuh tepat di depan Barra. Tengadah menatap suaminya. "Mas, juga nggak pernah menghargaiku sebagai istri, karena masih berhubungan dan sering janjian dengan kekasihmu. Aku nggak pernah protes, Mas. Kamu nggak mempedulikanku sebagai istri karena aku perempuan nggak waras, kan?"Wanita itu mengambil jeda. "Sementara aku keluar siang ini bukan untuk berselingkuh. Aku ingin menemui kakakku sore nanti. Aku keluar lebih awal karena ingin membelikan hadiah untuk Mas Samudra. Dia bisa mewujudkan satu keinginannya untuk membuka praktek sendiri. Aku bangga padanya." Delia menunduk, "Kenapa kita nggak bercerai saja? Pernikahan ini nggak sehat. Kamu hanya akan membuatku makin gila di sini!"Barra masih mematung. "Aku tahu kenapa Mas bertahan. Karena aku menguntungkan, bukan? Orang tuaku sudah mempersiapkan M