DING! … DING!
Suara bel besar dari luar altar pernikahan menyapu perhatian dari tamu undangan, yang tengah menanti dengan rapi di masing-masing bangku sesuai nomor antrean.
Bunga lili putih dan pita-pita transparan yang menghiasi setiap sudut dinding tempat sakral ini sangat indah sekali.
Bak hamparan bunga dari surga, juga bak berada di negeri dongeng.
“Ekhem!”
Di tengah-tengah nuansa putih suci dan berseri itu, terdapatlah sesosok orang yang berpenampilan kontras dari semuanya.
Seorang pria berambut hitam keunguan, bersetelan jas hitam formal berpadu kemeja putih dan dasi kupu-kupu, berdiri dengan gagah di atas panggung yang sudah biasa menjadi tempat pertukaran janji suci dari orang-orang.
Dia berdehem pelan sewaktu membenarkan dasinya yang seperti mencekik jalur pernafasan, saking gugupnya ia terhadap situasi sekarang.
Kendati begitu ….
“Wah, Tuan Adijaya ganteng sekali ya?”
“Iyaaa ih! Rasa-rasanya gak rela lihat dia nikah di depan mata kepalaku sendiri!”
“Aku jadi penasaran dengan wanita macam apa yang akan dinikahi olehnya!”
… Di sela-sela kegugupannya itu, ia justru menyita banyak perhatian dari orang-orang.
Terutama, para tamu undangan berjenis kelamin wanita.
“Semuanya, dimohon untuk diam sejenak ya? Ini sudah waktunya pengantin perempuan untuk masuk,” ucap pembawa acara mengingatkan, saking banyaknya bisikan-bisikan para tetamu sehingga menjadi kebisingan besar.
“Penjaga gerbang, silakan buka pintunya dan persilakan bintang utama kita ….”
Alhasil, setelah keributan dadakan pun kembali hilang, segera saja pembawa acara mengemukakan tujuannya menggiring semua tatapan mata serta perhatian para tamu undangan.
“… Tuk segera menjadi milik Tuan Adijaya!” seru pembawa acara dengan heboh, memeriahkan acara pernikahan bagi pria bernama belakang Adijaya ini.
KRIETT~!
Pintu gerbang altar pernikahan dibuka secara perlahan, sedikit demi sedikit, seperti sengaja menambahkan kesan menegangkan bagi sang mempelai pria di dekat penghulu upacara sakral tersebut.
Berpuluh-puluh pasang mata memandang ke arah yang satu, yakni ke arah pintu.
"…."
Mereka menanti dengan hati yang tak sabar, mengira-ngira gerangan siapakah yang telah sukses besar menggaet hati sang Adijaya yang dikenal sebagai pria dingin nan tak peduli dengan godaan wanita.
Suara benturan pintu gerbang raksasa yang telah menyentuh ke tembok terdengar, tanda bahwa penutup tempat sakral dan dunia luar ini telah selesai dibukakan semua, menjadikan nafas dari semua orang seperti sengaja ditahan.
"Huft …!"
Terutama, nafas milik si pria yang memandang gugup arah sepatu hitam di bibir pintu, dengan mata ungu menawan miliknya yang seperti dapat membius siapa pun.
Setelah positif melihat ada sepasang kaki bersepatu hitam di sana, pandangan Adijaya pun mulai naik lagi sedikit lebih ke atas.
Kali ini ….
“Huh? M-mengapa pengantin wanitanya berpakaian seperti itu?”
"Iya, ya? Mengapa penampilannya seperti …?"
… Dia membeku begitu mendapati adanya betis kaki seorang wanita yang tak memiliki penghalang pasti.
Bukankah pengantin wanitanya sudah seharusnya mengenakan gaun pernikahan yang telah ia pesankan?
Lalu mengapa …?
DEG!
Jantung Adijaya serasa dihunjam benda tajam begitu rasa penasarannya, lekas mendorongnya tuk melihat langsung wajah dari orang yang ditaksir akan segera menjadi calon istrinya itu.
Namun, omong kosong macam apa yang ia hadapi sekarang?
“M—mohon maafkan kami, Tuan Adijaya!”
Wanita yang mengenakan rok sependek lutut, sepatu hak hitam, dan juga kemeja putih yang sudah menjelaskan dengan penampilannya kalau ia bukanlah bintang utama acara ini, membungkuk meminta maaf dengan bersungguh-sungguh.
“Itu …! K-kami …! P-pengantin wanitanya …!”
Wanita itu berusaha menjelaskan situasi penyebab mempelai wanita tidak hadir di altar pernikahan sini.
Namun, karena ucapannya terbata-bata dan juga kurang jelas, … itu malah membuat urat-urat kemarahan merentang di leher Adijaya.
Terhadap si pria yang mengepalkan kedua tangannya erat-erat, di mana ia memiliki nama lengkap berupa ….
“Pengantin wanitanya telah melarikan diri!”
… Kenan Adijaya.
KEPAK~!
Burung merpati yang tadinya berjejer di hamparan rumput hijau pada taman di daerah bangunan bersejarah untuk mengikat janji suci setiap pasangan ini, … seketika langsung terbang berhamburan ke udara begitu seorang wanita berpakaian serba putih berlari seperti mempertaruhkan nyawanya, … walau harus menyeret rok gaun pernikahan yang berat karena menyapu permukaan bumi.
“Aku harus kabur, aku harus kabur, aku harus kabur!” gumam wanita itu mengulang ucapannya sendiri seperti burung beo, berusaha mengeratkan pegangan tangannya pada sisi-sisi gaun supaya ia tidak tersandung sewaktu berlari.
Keringat dingin membasahi pelipis wanita itu, dan rasa takut tidak ingin rencana kabur diam-diam sewaktu para pembantu pengantin lengah menjadi ketahuan … telah membuat wajah tegangnya berubah warna menjadi pucat.
"Aku mau pulang!"
Padahal, dia sudah didandani dengan cantik seperti ini.
Di mana penampilannya berupa rambut berwarna coklat hangat seperti kulit gandum yang baru matang itu disanggul indah sambil disemati oleh mahkota kecil serta tudung yang menjuntai ke belakang, dan gaun pengantin mewah yang berkilauan bagaikan dirinya telah dibubuhi mantra ibu perinya Cinderella.
Namun, hal itu tetap tak membuatnya menjadi goyah untuk pergi ke pelukan Kenan Adijaya secara sukarela.
“Aku harus perg—!”
—DUAK!
“Urshh?!”
Asyik memfokuskan diri untuk mengunci pandangannya pada gerbang pintu keluar halaman depan gedung altar pernikahan, wanita yang memiliki warna mata hijau indah sama seperti namanya itu, yakni Ayunira Larasti … berhenti berlari karena meringis kesakitan, sembari mengusap wajahnya yang menabrak sesuatu barusan.
Sesuatu yang terasa sangat keras dan ….
“Altar pernikahannya bukan ke arah sini ….”
… Mematikan.
“… Calon istri.”
DEG!
Betapa mengejutkannya suara itu.
Suara yang keluar dari mulut seseorang dengan nada dingin dan seperti menusuk ke dalam tulang, secara spontan langsung membuat Ayunira menengadahkan wajah, menatap paras orang di hadapan, lalu menjadi merinding sebadan-badan.
“Apa kamu sudah merasa puas bermain-mainnya?”
Kenan Adijaya, pria bermata ungu yang kini menatapnya tajam itu, membuat tubuh Ayunira tidak bisa digerakkan.
Hanya dengan kehadirannya, hanya dengan aura yang menguat dari tubuh proporsional miliknya, wanita yang hidungnya terlihat memerah karena benturan barusan itu, menggigil ketakutan.
“Sekarang, sudah saatnya untuk mengakhiri permainan.”
Dia berusaha menguatkan dirinya dengan mencengkeram gaunnya kembali dengan erat, serta memundurkan langkah perlahan-lahan, dengan sepasang mata hijau gemetaran miliknya tetap waspada memerhatikan gerak-gerik Kenan Adijaya.
“Kalau begitu, mari.”
Namun, sepertinya sia-sia saja kewaspadaannya itu.
SRUAKK!
“Gyaaa?!”
Dalam sekejap mata, Kenan mencengkeram erat pergelangan tangan kanannya, seterusnya menarik dan mengangkat pinggangnya seolah-olah tidak berat, supaya dipanggul di bahu.
“Mari kita menikah.”
“Tidak!”
Mau seberapa kerasnya Ayunira meronta-ronta, Kenan tak memiliki niatan untuk melepaskan.
“Tidak mau! Lepaskan aku! Lepas …!”
Bahkan, saat mereka berdua berjalan di antara para tamu undangan yang melongo melihat aksi pengantin laki-laki yang membawa pengantin perempuan dengan cara tidak biasa itu, di mana Ayunira memanfaatkannya untuk memperlakukan Kenan supaya mereka tidak jadi menikah, tetap saja pria itu memasang wajah setebal tembok.
“Lepas … kan!”
Padahal, demi menghancurkan imaji keren Kenan Adijaya, Ayunira sudah memukul punggung, menjambak rambut, dan juga menendang-nendang pria itu … namun, sayangnya, semua caranya tidak ada yang berguna.
Sampai, Kenan pun memenuhi keinginan Ayunira yang ingin dilepaskan.
“Lihat, aku sudah melepaskanmu, tapi ….”
Dilepaskan sih, dilepaskan.
Akan tetapi, mengapa …?
“… Kenapa kamu malah menangis?”
… Mengapa harus dilepaskan tepat di atas panggung pertukaran janji suci, serta di antara penghulu upacara pernikahan yang telah lama menunggu kehadirannya sedari tadi?
“Jangan menangis, Ayunira,” bisik Kenan lembut sambil menyunggingkan senyuman samar, disertai mengusap pelan pipi Ayunira tuk menghapus jejak air mata.
“Aku berjanji, aku akan membahagiakanmu selalu,” lanjutnya kemudian dengan senyuman semakin diperlebar, yang entah kenapa di mata Ayunira justru terlihat menakutkan.
Oleh sebab itu, wanita yang tak sadar sudah berapa butir air mata ia jatuhkan di hari yang sakral ini, hanya bisa menunduk lemah.
“Penghulu, kami sudah siap untuk janji suci.”
“Ekhem! Kita mulai ya!”
“….”
Mau berapa kali pun ia mencoba melarikan diri bajak sebelum hari ini terjadi, Kenan tetap saja selalu tahu ke mana ia pergi.
Kenan selalu mengejar, dan membawanya kembali.
Tidak ada celah untuknya berhasil melarikan diri.
“Pengantin pria, apakah Anda bersedia menerima Ayunira Larasti untuk menjadi istri Anda, mencintainya dalam suka maupun duka, dan berjanji setia untuk senantiasa bersama dengannya?
“Saya bersedia.”
Dia sangat menakutkan.
Tidak, tunggu.
“Pengantin wanita.”
Sedari awal kemunculannya untuk membawanya pergi dari rumah mantan suaminya, Kenan sudah benar-benar menakutkan!
“Apakah Anda bersedia menerima Kenan Adijaya sebagai suami Anda, menemani dan mencintainya dalam keadaan susah mau pun senang, dan berjanji setia untuk senantiasa bersama dengannya?”
“….”
Lagian, orang waras macam apa yang menerima tawaran gila dari mantan suaminya yang bajingan itu, ….
“Pengantin wanita?”
… Untuk menerima dan menjadikannya sebagai alat gadai hutang?!
DRIP! … DRIP!
Air mata Ayunira semakin berjatuhan dengan deras bagaikan hujan pertama di musim kemarau, seiring diulangnya pertanyaan dari penghulu pernikahan.
Kenan terdiam memasang ekspresi mukayang ketus dan juga sedikit merasa kesal, melihat wajah yang seharusnya berseri-seri karena menikah dengannya “pria pujaan seluruh wanita” ini, … justru diban
jiri air mata kesedihan begitu.
Setidaknya sampai bibir Ayunira yang gemetar hebat itu terbuka secara perlahan … untuk mengucapkan sesuatu.
“… S-Saya …."
Sesuatu yang membuat Kenan Adijaya … melebarkan pupil mata ungu indah miliknya, sembari terpaku seperti orang bisu.
"… Saya bersedia."
“Bagaimana?”Pagi yang baru telah berlalu.Hari ini, Kenan direpotkan oleh rasa terganggu, saat mengetahui bahwa wanita yang telah sah menjadi istrinya itu, tak kunjung menampakkan batang hidungnya sedikit pun.Jangankan tuk keluar dari kamar dan bertegur sapa dengan penghuni rumah ini.“Beliau masih mendiamkan diri.”Mendengar penuturan dari kepala pelayan, Kenan jadi tahu kalau istrinya, Ayunira Larasati Adijaya, memang seperti sudah tak memiliki niatan tuk hidup terus.“Beliau tidak mengisi perutnya sedari malam. Saya jadi khawatir, Tuan.”Dia tidak menolak atau pun menerima makanan yang disodorkan kepala pelayan ke kamarnya.Walau masakan yang disajikan tercium wangi, serta berbahan dasar makanan kualitas terbaik, sepertinya itu tak cukup untuk menggugah selera Ayunira.Diam. Dia hanya mendiamkannya.Yang wanita itu lakukan sampai pagi buta ini hanya berbaring menyamping kanan, dengan sorot mata hijau kosongnya memandang ke arah luar kaca jendela secara hampa.“Haa.” Kenan menghel
BRUKK!Pada akhirnya, kesempatan untuk melarikan diri yang kedua kali selagi ada momen dirinya keluar dari kediaman, justru tak kunjung datang.Bagaimana bisa ia melakukan itu, sedangkan, orang yang paling ingin dihindarinya saja terus-menerus berada di sampingnya sepanjang hari ini, dan seperti sedang mengawasinya dari jarak yang sangat-sangat dekat?Benar-benar seperti mimpi di siang bolong saja!“….”Sehingga, di sinilah Ayunira sekarang.Selepas membersihkan diri dan mengeringkan rambut, wanita itu berbaring pasrah di atas ranjang, menatap kosong langit-langit kamarnya yang lagi-lagi masih belum terasa akrab, seterusnya melamunkan sesuatu.“Apakah aku, akan berakhir di sini selamanya?” pikirnya dalam hati, merasa takut sekaligus bimbang dengan situa
“Kita sampai.” Kenan bergumam kecil, memberitahu Ayunira secara tidak langsung selagi ia memarkirkan mobilnya dengan hati-hati di tempat yang sudah semistiknya.Tak lama dari itu, selepas mematikan mesinnya, ia pun segera keluar dari mobil, dan lekas bergegas mengitari kendaraan roda empat itu untuk membukakan pintu bagi wanita yang ditaksir sebagai calon pasangan hidupnya tersebut.“Silakan melangkah keluar, Tuan Putri,” tukas Kenan sambil melintangkan tangan kiri di depan dada, tangan kanan merentang meminta uluran lengan Ayunira, badan sedikit membungkuk, dan kepala yang ditundukkan, kurang lebih semacam meniru apa yang tadi Imelda lakukan.“….”Ayunira mengatupkan bibirnya rapat.Manik mata hijau zamrud itu mendelik.Menatap tidak suka akan rentangan jemari
CHIRP~! CHIRP!Pagi kedua dan ketiga sudah terlewat, dan kini, pagi keempat pun telah datang.Suasananya yang hangat nan menentramkan membawa Ayunira tuk membuka terpejamnya kelopak mata dan menampakkan netra hijau indahnya secara lambat, seakan-akan pasrah dengan keadaan.“Selamat pagi, Nona.”“….”Wanita itu diam.Nyaris tak bergerak sama sekali, dan hanya menatap kosong langit-langit selagi ia masih membaringkan diri di ranjang.Seakan-akan dia adalah orang yang tunarungu, Ayunira tak mengindahkan sapaan sang kepala pelayan, dan hanya menebalkan muka tuk memalingkan wajahnya ke arah samping lain.“Mari kita bersiap-siap mengawali pagi dengan penuh semangat~!”
“…!”Ayunira diam membisu.Wanita itu mematung, kaku seperti patung, dan mulai memalingkan wajahnya tuk menoleh ke samping supaya menatap permukaan tanah berlapis papin blok saja, sebab tak berani menghadap serta memandang langsung akan pria yang kini tengah mengungkungnya.Keringat dingin mulai muncul, datang berjatuhan membasahi dahi.Ditatap intens oleh Kenan dalam posisi yang memojokkan seperti itu, ini sama saja dengan adegan saat sang raja hutan mengagumi mangsa yang memberikannya seonggok daging segar.“Ke mana Imelda?”Cukup lama hanya mendiamkan diri dan lebih memilih tuk memandang Ayunira secara lamat-lamat saja, kini, hal pertama yang ditanyakan oleh Kenan adalah keberadaan kepala pelayan pribadinya, yang membuat wanita dalam kungkungannya tersebut terlonjak kaget.“Kenapa dia tak bersama denganmu?” Tanya Kenan sekali lagi, yang masih diberikan jawaban tak pasti berupa wajah bermulut tersegel rapat nan dipalingkan ke arah lain.Bertepatan dengan rampungnya pertanyaan barusa
“Apa ada yang Anda perlukan?”Sarapan pagi di dalam kamar berlangsung dengan lancar.Ayunira makan dengan lahap tanpa menyisakan sedikit pun makanan yang disodorkan, dan berhasil membuat sang kepala pelayan menyunggingkan senyuman merasa puas sekaligus terlihat bangga. “Tidak ada, terima kasih,” tukas Ayunira sembari menyodorkan nampan berisikan perkakas yang ia gunakan tuk makan, secara malu-malu.Sang kepala pelayan, Imelda, lekas memanggil sodoran tersebut.Sebelum ia benar-benar membalikkan badannya dan pergi meninggalkan Ayunira kembali, Imelda menatap wanita bermata hijau yang tengah duduk melamun di atas tepi ranjang itu, seterusnya bersuara.“Apakah ada suatu hal lain yang sekiranya bisa Saya bantu?” Tanya Imelda sekali lagi, yang justru menyundul hati sang narasumber tuk merasakan sedikit kekesalan.“Tidak ada, tapi ….”Namun, berkat kesadaran diri bahwa ia harus bersabar demi mencapai “rencana itu” dengan tanpa menimbulkan kecurigaan apa pun, dia, si wanita tersebut, Ayunir