"Tumben kamu tadi ke kantin?" chat Dimas kepada Refita yang menanyakan keheranannya terhadap tingkah Refita tadi. Sebenarnya Dimas sudah tahu apa yang Refita lakukan sebenarnya. Namun, sepertinya Dimas hanya ingin mengetahui kejujuran Refita.
"Eh iya, aku tadi lupa bawa bekal," jawab Refita membalas pesan Dimas. Memang benar tadi Refita tadi lupa membawa bekal. Tapi Refita biasanya juga gak akan ke kantin meskipun nggak bawa bekal.
"Bukannya kamu juga nggak akan ke kantin jika lupa bawa bekal?" tanya Dimas yang sudah cukup dekat dengan Refita. Dia sudah tahu gimana Refita dan hal hal apa saja yang sering dilakukan Refita.
"Aku tadi laper banget Dim, jadi ya terpaksa aku ke kantin," begitulah jawab Refita yang masih juga belum ngaku apa yang sebenarnya terjadi. Dimas melihat sekeliling tembok kamarnya, jam dindingnya menunjukkan jam 2 siang. Kamarnya nampak begitu sepi tanpa kehadiran teman dekatnya, Roni. Hari ini Roni nggak bisa ke rumah Dimas karena harus ikut latihan sepakbola. Jadi Dimas dapat dengan leluasa nge-chat Refita tanpa gangguan mata jelalatan Roni yang suka ngintip saat Dimas ngetik di Hp.
"Bener?" tanya singkat Dimas yang tampak masih meragukan Refita. Ya jelaslah dia ragu, memang Dimas sudah tahu kalo Refita membohonginya.
"Bener sayang," jawab Refita dengan memberikan embel-embel sayang. Mungkin Refita kesal ditanyain terus sama Dimas. Refita pun seperti tidak ingin berbohong lebih jauh lagi.
"Halah, kamu loh nggak ke kantin," balas Dimas yang langsung to the point.
"Kamu loh ke perpustakaan, buka surat amplop merah tadi, dan membacanya sambil senyam senyum," lanjut Dimas dalam pesan WhatsAppnya.
Refita yang sedang rebahan di kamarnya pun sontak terkejut. Dia bingung kenapa Dimas bisa tahu tentang apa yang dilakukannya tadi. Bahkan dia tahu kalo Refita baca suratnya sambil senyum-senyum sendiri. Perasaan Refita pun tiba-tiba tidak enak. Entah mengapa dia merasa bersalah kepada Dimas dan takut jika dia marah.
"Loh, kok kamu tau Dim?" Refita mencoba bertanya kepada Dimas. Dia juga menambahkan emoticon wajah tertawa malu yang terdapat gambar tetesan air di sebelah pelipis kirinya.
"Kamu tau darimana Dim?" lanjut Refita.
"Ya aku tau lah, Roni yang melihatnya," jawab Dimas yang mencoba mengeles namun tidak berbohong. Kan memang waktu itu Roni juga melihat Refita sedang membaca surat itu di perpustakaan.
"Halah, kamu mengikuti aku ya? Pasti kamu tidak percaya kalau aku pergi ke kantin," goda Refita yang kini mencoba membalikkan keadaan. Refita yang tadi udah ketangkap basah bohong kepada Dimas. Sekarang malah bertanya seakan memojokkan Dimas yang nggak ngomong apa yang sebenarnya Dimas lakukan.
"Iya iya, aku mengikuti kamu," jawab Dimas yang mencoba jujur.
"Lagian sih, kamu mencurigakan banget, pake ngomong mau ke kantin segala," begitu ucap Dimas seperti memberikan argumen logis kenapa ia sampai hati mau mengikuti Refita.
"He he, aku minta maaf ya kalo daritadi aku bohong ke kamu, surat yang tadi cuman surat biasa kok," balas Refita yang mencoba meminta maaf kepada Dimas. Ia juga mencoba menjelaskan bahwa surat yang tadi itu bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan.
"Tapi kamu loh bacanya sambil senyum senyum, pasti itu surat cinta?" tanya Dimas bak Intel yang sedang menginterogasi seorang terdakwa. Dimas kini pun hanya terus mantengin Hp nya. Ia merebahkan tubuhnya ke kasurnya setelah cukup lama duduk di bangku meja belajarnya.
"Hehe, iya, itu tadi surat cinta Dim, tapi sumpah, surat cintanya itu aneh banget, jadi ya aku sampek senyum senyum sendirilah," begitu balasan pesan dari Refita. Ia mencoba menjelaskan kenapa ia Sampek senyum senyum sendiri saat membaca surat itu.
"Suratnya dari siapa?" tanya Dimas tanpa berbasa-basi. Sepertinya Dimas sudah terbakar api cemburu. Ia seperti tidak sabar ingin mengetahui siapa yang berani-beraninya ngasih surat cinta ke Refita.
"Nggak tahu, nggak ada namanya, tapi yang jelas ini dari kakak kelas, Cherry juga sudah aku kasih tahu kalo dititipin surat jangan diterima lagi," balas Refita yang mencoba mendinginkan Dimas yang sudah cukup panas oleh api cemburu. Entah mengapa Refita tahu seperti apa kondisi Dimas saat ini dan berusaha memberikan jawaban yang menenangkan Dimas. Mungkin karena hubungan mereka yang sudah sangat dekat.
"Ya, harusnya terima aja suratnya, caritahu siapa orangnya, biar nanti aku tonjok orang itu," jawab Dimas yang seperti sok berani. Ya, mana mungkin Dimas bakal dengan beraninya nonjok pria misterius pengirim surat itu yang sudah jelas pria itu merupakan kakak kelasnya.
"Nggak usah ws Dim, lagian aku nggak suka sama pria itu, kan sudah ada kamu," goda Refita. Walaupun mereka belum berpacaran, namun kedekatan merek sudah layaknya seseorang yang sudah menjalin hubungan. Godaan-godaan yang mereka lontarkan pun juga sudah sangat loss, nggak seperti anak PDKT yang malu-malu. Namun itu cuman berlaku di dunia W******p, nggak di dunia nyata.
"Ya udah ya dim, aku mau keluar bentar, disuruh nemenin ibu belanja sayur ke pasar, nanti lagi ya chattingannya," pamit Refita kepada Dimas. Refita pun langsung mematikan data selulernya sehingga notifikasi pada W******pnya tertulis "terakhir dilihat pukul 14.38". Tak terasa sudah setengah jam mereka saling berbalas-balasan W******p.
Dimas pun juga mematikan data selulernya dan memasangkan charger ke Hp nya. Dimas pun merasa lega dengan hasil interogasi kepada Refita tadi. Ya, meskipun masih ngambang dan masih banyak pertanyaan yang ada di otak Dimas. Tapi yang jelas Dimas tahu, Refita lebih tertarik kepadanya kepada pria misterius yang nggak jelas itu.
Lagian mereka juga sudah sangat dekat. Di kelas ketemu Mulu, sering ngobrol saat pagi sebelum pelajaran dimulai dan siang saat istirahat dimulai. Mana mungkin kakak kelas yang ngasih surat aja masih titip bisa nyaingin dia.
Otak Dimas pun juga sudah semakin mendingin. Pikiran cemburu yang sedari pulang sekolah tadi menyelimutinya, sudah berubah menjadi pikiran percaya kepada Refita bahwa ia akan memilihnya sebagai seorang kekasih. Dimas pun memandangi lukisan wajah Refita yang pernah ia lukis di Kanvas A3 nya yang sekarang sudah ia tempel di dinding kamarnya tepat di atas lemari pakaiannya.
Memang semuanya butuh komunikasi. Tidak semua yang Dimas pikirkan itu benar. Dia harus bertanya terlebih dahulu untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman yang akan berujung pada konflik yang berkepanjangan.
Dimas pun sudah memaafkan Refita yang tadi jelas-jelas tertangkap basah berbohong kepadanya. Dimas pun lebih menghargai Refita yang sudah mau jujur dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin besok jika bertemu Dimas akan jauh lebih mendapatkan kejelasan dengan ngobrol langsung dengan Refita di kelas.
"Eh Dimas, silahkan masuk Dim, tunggu ya tak panggilin Refita dulu," ucap Raya, ibu Refita yang kira-kira berusia 30 tahunan dan merupakan ibu beranak tunggal. Dimas pun masuk ke rumah Refita dengan menenteng tas punggungnya. Roni yang bersama Dimas juga ikut masuk ke rumah Refita.Akhir-akhir ini mereka memang sering ke rumah Refita untuk belajar bersama. Hampir setiap hari Dimas, Refita, Roni dan Chery selalu berkumpul di rumah Refita untuk belajar bersama. Dimas pun juga semakin akrab dengan Raya, ibu Refita. Hubungannya dengan Refita pun juga semakin dekat dan Dimas pun semakin yakin bahwa ia benar-benar mencintai Refita."Tumben Cherry belum dateng, biasanya kan dia yang lebih dulu dateng ke rumah Refita," ucap Roni yang nampak heran dengan keterlambatan Cherry."Hi, kangen ya," goda Dimas. Wajah Roni langsung memerah seketika. Ia memang memiliki perasaan suka kepada Cherry. Apalagi dengan kondisi saat ini, dimana mereka hampir setiap hari berkumpul untuk b
Ujian semester satu pun telah berlangsung selama satu minggu. Dimas, Refita, Roni dan Cherry berhasil mendapatkan nilai yang memuaskan. Dimas berhasil mendapatkan peringkat satu di kelas X MIPA 7, Cherry dan dan Refita berturut-turut mendapatkan peringkat 4 dan 5 sedangkan Roni berhasil masuk ke dalam 10 besar dengan peringkat 10. Mereka akhirnya memutuskan untuk merayakan kesuksesan ujiannya dengan pergi berlibur ke puncak gunung Arjuna. "Hm, hebat kamu Ref, bisa masuk 5 besar," puji Dimas yang mengenakan jaket wol tebal berwarna hitam dengan segelas air hangat di tangannya. "Kamu tuh yang hebat, kamu kan peringkat satu," jawab Refita yang balik memuji Dimas. Ia juga mengenakan jaket wol tebal berwarna putih dengan syal berwarna merah muda. Ia menggesekkan kedua tangannya sambil sesekali meniup kedua telapak tangannya yang ditutupi oleh sarung tangan berwarna merah muda. "He, aku nih yang hebat, bayangin ya, aku ini dulu selalu dapet ranking terendah di kela
Semester dua pun dimulai. Namun, sekarang Dimas benar-benar dibuat galau oleh pikirannya. Semenjak pulang dari gunung Arjuna ia sudah tidak berkomunikasi dengan Refita lagi. Liburan dua Minggu yang dia lewati pun terasa hampa tanpa kehadiran Refita. Chat yang ia tanggalkan selepas dari gunung Arjuna tak pernah dibaca oleh Refita. "Cher, kok Refita belum datang ya, kan pelajarannya bentar lagi dimulai?" tanya Dimas kepada Cherry yang merupakan teman dekat Refita. Dimas berharap jika Cherry mengetahui keberadaan Refita sekarang. "Lah, ya gak tau dim, kan kamu pacarnya," jawab Cherry yang nampak heran dengan pertanyaan Dimas. Seharusnya Cherry yang menanyakan keberadaan Refita kepada Dimas. Eh, malah Dimas yang menanyakan keberadaan Refita kepadanya. "Kamu masih bisa chat Refita?" Dimas kembali bertanya. Ia benar-benar bingung lantaran Cherry juga tidak mengetahui keberadaan Refita. Terlintas di pikiran Dimas bahwa ini cuma akal-akalan yang dibuat Refita dan Che
Dua setengah tahun berlalu. Dimas pun sudah tidak pernah lagi menemui Refita, bahkan untuk telepon saja sudah tak pernah. Nomer Refita sudah tidak bisa dihubungi lagi. Namun, Dimas masih belum bisa melupakan Refita hingga kini saat kelulusannya tiba. "Selamat ya Dim, kamu berhasil jadi lulusan terbaik," ucap Roni kepada Dimas saat hari kelulusan. Roni pun juga lulus dengan keadaan yang memuaskan, tapi Dimas jauh lebih memuaskan. Ketiadaan Refita membuat Dimas hanya fokus pada pendidikan SMA nya. Itulah yang menyebabkannya menjadi lulusan terbaik. "Iya Ron, selamat juga ya, ayo foto bareng Ron, biar aku tampak ganteng," ujar Dimas dengan sedikit mengejek Roni. Memang Dimas memiliki wajah yang lebih ganteng ketimbang Roni. Roni pun mendadak kesal namun tetap mengiyakan Dimas untuk foto bareng. "Nggak mau sama aku juga Ron?" tanya Cherry yang tiba-tiba datang dengan dandanan kebaya berwarna putih. Ia nampak cantik dengan polesan make up ala salon di wajahnya. Ch
"Bu, Dimas berangkat dulu ya, doakan Dimas sukses ya Bu," pamit Dimas kepada ibunya saat di stasiun. Dia membawa tas ransel yang besar dan mencangking kardus kotak berukuran besar jug. "Iya nak, hati-hati, semoga kamu sukses nak" ucap Sonya dengan suara sedikit tersengal. Air mata Sonya tidak bisa terbendung lagi. Ia memeluk Dimas dan menangisi kepergian Dimas. Kereta jurusan Bandung pun sudah berada di stasiun dan segera berangkat. Dimas pun bergegas masuk ke dalam kereta setelah memeluk ibunya. Dimas sebenarnya tidak rela meninggalkan ibunya sendirian. Dia merasa kasihan jika Sonya harus tinggal di rumah sendiri tanpa seorang pun yang menemani. Tapi dirinya harus pergi untuk menggapai cita-citanya yaitu hidup mandiri di Bandung. Dia juga berharap dapat meraih kesuksesan disana. "Hati-hati nak," teriak Sonya sambil melambaikan tangannya. Air matanya tak henti-hentinya menetes. Dimas yang sudah berada dalam kereta hanya bisa memandang ibunya dari balik jendel
Di sebuah kamar kos kecil berukuran 3x3, Dimas sedang berbaring dan menunggu pesan di ponselnya. Sudah 10 perusahaan yang dia lamar, namun hingga kini belum ada satu pun perusahaan yang mengabarinya. Dia hanya bisa menunggu di kamar sembari berbaring. Melihat ponselnya yang tak kunjung mendapatkan pesan.Sebenarnya Dimas ingin melukis, namun kamar kosnya yang terlalu sempit membuatnya sulit untuk melukis di canvas. Dimas pun hanya bisa melukis di kertas berukuran A4. Ia mencoba melukis bagaimana suasana kelasnya dulu yang penuh dengan canda tawa. Ia menggambarkan ada dua orang yang sedang mengobrol di sudut kelas. Itu adalah dirinya dan Refita. Sedangkan Roni dan Cherry pun juga menemani disana. Ada beberapa anak yang bermain pesawat kertas dan seorang bendahara kelas yaitu Novia yang lagi narik iuran ke salah satu anak kelas.Mungkin Dimas begitu kangen masa-masa indahnya di SMA. Masa dimana dia tidak harus memikirkan kebutuhan hidupnya, kebutuhan buat makan, bayar ko
"kak untuk pesanannya kemarin sudah dapat diambil ya kak," Dimas mengirimkan sebuah pesan ke Adit, pelanggan pertamanya. Ini merupakan hari kedua Dimas mangkal di jalanan Kemang untuk mencari pelanggan yang ingin menggunakan jasa melukisnya. "Oh iya kak, ngambilnya dimana ya kak?" tanya Adit dalam pesan itu. "Di tempat kemarin kamu nemuin saya, soalnya saya mangkal disini," balas Dimas. Kini dirinya tetap memakai setelan pakaian seperti kemarin. Kaos hitam, kemeja kotak-kotak merah dan celana jeans dengan sobek-sobekan di lututnya. "Oh iya kak, nanti siang ya kak saya ambil, soalnya saya masih di sekolah kak, ini saja masih pelajaran kak," jawab Adit. Dimas pun sontak terkejut. Bisa-bisanya Adit bermain ponsel saat jam pelajaran dimulai. Kalau di sekolahnya dulu ya bisa disuruh keluar siswa seperti dulu. Bahkan dulu Dimas sering ditegur hanya karena melamun saja. Tapi Dimas tak mau ambil pusing dengan sekolahnya Adit. Mungkin sistem sekolahnya yang sudah beda
"Gimana, sudah selesai kah lukisannya?" tanya Rusli sambil menepuk pundak Dimas yang sedang melukis di tempat biasa ia mangkal. Dimas pun menengok ke belakang dan tersenyum ramah ketika melihat wajah Rusli."Oh iya paman, sudah kok paman, ini paman," jawab Dimas sembari menunjukkan lukisan wajah Rusli yang ia lukis dua hari lalu itu."Maaf ya, saya baru bisa ngambilnya sekarang, kemarin lagi sibuk soalnya," kata Rusli yang sudah dua hari tak kunjung menemui Dimas untuk mengambil lukisannya. Rusli pun sudah mengatakan sebelumnya melalui pesan WhatsApp yang ia kirimkan dua hari lalu bahwa ia tidak bisa mengambil lukisannya karena urusan pekerjaan."Iya paman, nggak papa kok," ucap Dimas sambil tersenyum kepada Rusli. Meskipun Rusli tak kunjung mengambil lukisan itu yang artinya Dimas tak kunjung mendapatkan uang dari Rusli. Tapi dua hari ini cukup banyak orang yang memakai jasa melukisnya. Kebanyakan mereka meminta untuk dilukiskan di kertas gambar A4 karena harga