"Hai Ref, ada surat nih," ujar Cherry kepada Refita sambil memberikan sebuah amplop berwarna merah, mirip seperti angpao Imlek. Dimas pun melihat hal itu, dia nampak penasaran dan secara diam-diam menguping pembicaraan Cherry dan Refita.
"Dari siapa ini Cher?" tanya Refita yang nampak terkejut dengan surat beramplop merah itu. Dia penasaran siapa yang memberikan amplop itu. Jika Dimas kan pasti akan memberikannya secara langsung, nggak lewat perantara kayak gini.
"Dari cowok pokoknya, aku nggak tau siapa dia, tapi dia anak kelas XI pokoknya," jawab Cherry yang juga masih belum mengenali siapa pria yang menitipkan surat padanya. Cherry waktu itu hanya asal terima aja karena yang menitipkan surat itu adalah pria kelas XI, kakak kelasnya. Jadi, tidak mungkin jika Cherry menolak titipan kakak kelasnya itu.
"Lah, kamu kok terima terima aja sih?" tanya Refita yang sedikit sebel sama tindakan Cherry yang nggak mau menolak titipan itu.
"Udah, buka aja, siapa tau jodoh," goda Cherry.
"He, ngawur kamu," Refita sedikit berteriak, ia mengeraskan suaranya. Refita nampak kaget dengan perkataan Cherry dan sontak menanggapi dengan menyangkal Cherry mentah mentah. Refita nampak tak enak hati jika perkataan Cherry sampai terdengar oleh Dimas yang duduk tepat di depannya.
"Surat apa itu Fi?" Dimas tiba-tiba menoleh ke belakang dan menanyakan perihal surat yang diterima Refita.
"Pagi pagi udah dapat surat aja nih," goda Dimas yang malah bikin Refita nampak sebel. Dua teman dekatnya bisa bisanya kompak menggodanya.
"Eh, nggak kok, surat biasa ini, aku juga nggak tau ini surat dari mana," jawab Refita dengan sedikit malu-malu. Tangannya langsung mengambil surat yang diletakkan Cherry di meja Refita tadi dan langsung memasukkannya ke laci yang ada di mejanya. Refita sepertinya takut jika surat itu tiba-tiba direbut Dimas apalagi jika sampai terbaca oleh Dimas. Mau ditaruh dimana wajah Refita yang pemalu ini.
"Buka aja ws Ref, nggak penasaran ta sama isi suratnya? Siapa tahu itu penting," ujar Dimas yang terlihat penasaran dengan isi surat itu. Dia ingin memastikan apakah dia sekarang sedang memiliki saingan apa tidak. Dimas tetap mencoba untuk berpikir positif, siapa tahu itu bukan surat cinta tapi surat yang berisi pengumuman penting yang ditujukan kepada Refita.
"Nanti aja ws Dim, bentar lagi juga kelas, nanti aku baca pas istirahat aja," jawab Refita yang sekarang tidak mengiyakan perkataan Dimas. Refita ingin untuk membaca surat itu sendiri tanpa sepengetahuan Dimas. Dia takut menyakiti Dimas jika isi surat itu ternyata surat cinta yang dilayangkan kepadanya. Ya gimana lagi, dilihat dari amplopnya saja, suary itu sudah nampak seperti surat cinta.
Refita sebenarnya juga sangat bingung dengan surat yang didapatkannya itu. Jika itu surat cinta, ya siapa dong yang ngasih surat cinta itu. Lantaran selama ini cowok yang dekat dengan dirinya ya Dimas, nggak ada yang lain. Toh, dia juga bakal tetap memilih Dimas yang bisa melukis wajahnya ketimbang orang yang cuma bisa ngasih surat kepadanya
"Oh iya, bentar lagi kelas, buku presensinya udah kamu ambil?" tanya Dimas, seorang ketua kelas kepada Refita, sekretarisnya. Ya itulah tugas ketua kelas, mengingatkan tugas-tugas sekretarisnya yang manis itu.
"Loh, iya Dim, aku lupa belum ngambil buku presensinya," kata Refita dengan wajah kagetnya. Dia pun beranjak dari duduknya, pergi meninggalkan kelas untuk mengambil buku presensi yang berada di lobby sekolahnya. Tak lupa tangan kanannya meraih tangan Cherry. Ia selalu mengajak Cherry untuk menemaninya mengambil buku presensi ke lobby. Kayak ada yang kurang jika tidak ada Cherry di sampingnya.
"Kok gk kamu ambilin aja sih Dim, yang romantis gitu loh dim," kata Roni yang sekarang duduk di sebelahnya. Karena sudah sangat dekat dengan Dimas, Roni memutuskan untuk pindah bangku ke sebelah Dimas. Jadi jika Refita punya Cherry yang selalu menemaninya, maka Dimas juga punya Roni yang selalu mengikuti kemana pun Dimas pergi.
"Ya nggak lah Ron, itu kan tugas sekretaris, aku kan juga punya kesibukan tersendiri sebagai ketua kelas," tegas Dimas yang sok bijak kepada Roni.
"Kamu sibuk apa cobak?, Wong ya kamu sekarang nggak ngapa-ngapain," kata Roni mencoba untuk berdebat dengan Dimas.
"Eh, jangan salah kamu, diam diam begini, aku sedang latihan untuk memimpin doa pagi ini," jelas Dimas mencoba meyakinkan Roni, ya meskipun itu terlihat cukup konyol.
"Halah, kamu kan tiap hari mimpin doa, kenapa harus latihan?" Roni masih saja mendebat Dimas dengan tidak menerima alasan Dimas.
"Refita juga tiap hari ngambil buku presensi, kenapa aku yang harus ngambilin?" ujar Dimas mencoba menggiring opini Roni.
"Kalau aku yang ngambil buku presensi, terus Refita mau ngapain? Mimpi doa?" lanjut Dimas yang nampak pintar dengan logika-logika uniknya.
"Oh iya ya," ucap Roni yang sekarang nampak bego. Ya, sepertinya memang IQ Dimas masih jauh di atas IQ Roni. Jadi wajar jika Dimas selalu menang debat dengan Roni. Secara akademis pun, Roni sering nyontek tugas-tugas Dimas. Roni juga heran dengan Dimas, udah ganteng, pinter, pandai ngelukis, punya wibawa sebagai pemimpin, pokok komplit dah. Sementara dia, jelek, hitam, pinter juga nggak, memang hidup itu tidak adil.
Singkat cerita jam pelajaran pertama hingga jam pelajaran ketiga pun telah berakhir. Refita bergegas keluar pergi meninggalkan kelas.
"Mau kemana Ref?" tanya Dimas yang heran dengan tingkah Refita. Tak biasanya Refita keluar saat jam istirahat. Biasanya Refita ya hanya duduk di kelas dan ngobrol bersama Dimas sepanjang istirahat. Palingan baru keluar kalo ada kepentingan seperti membayar SPP atau hendak meminjam buku di perpustakaan. Itu pun nggak langsung pergi seperti ini.
"Mau ke kantin bentar," jawab Refita dengan sedikit buru-buru meninggalkan kelas. Ia juga mengajak Cherry dengan menyeret tangan kanannya. Sudah seperti kambing saja itu Cherry, kemana-mana harus ditarik untuk menemani Refita.
Dimas pun merasa sangat heran, apalagi dengan jawaban yang dilontarkan Refita. Seumur-umur, Dimas nggak pernah melihat Refita pergi ke kantin sekolahnya. Bagi Refita, kantin sekolahnya kurang bersih dan makanannya kurang sehat. Jadi, dia tidak pernah pergi ke kantin dan memilih untuk membawa bekal sendiri dari rumah. Tapi, tiba-tiba hari ini Refita pergi ke kantin.
Dimas yang penasaran pun secara diam-diam mengikutinya secara diam-diam, Roni pun tidak lupa untuk mengikuti Dimas dari belakang. Kalau ini bak ayam jantan yang kemana-mana mengikuti betinanya saat musim kawin tiba.
"Lah kok Refita malah ke perpustakaan sih?" kata Dimas pelan.
"Oh, kamu ngikutin Refita to," ucap Roni yang sedari tadi di belakang Dimas dan mendengar suara pelan dari Dimas.
"Eh, Ron, ngapain kamu ngikutin aku? Bikin kaget aja," Dimas nampak kaget dengan keberadaan Roni.
"He he," Roni hanya meringis bodoh kepada Dimas.
Mereka pun memutuskan untuk masuk ke perpustakaan dan melihat apa yang dilakukan Refita. Ternyata Refita membaca surat misterius tadi. Dimas pun nampak sebal dengan ekspresi Refita yang senyam senyum saat membaca surat itu. Dimas bahkan menyimpulkan bahwa surat itu ialah surat cinta dari seseorang yang akan menjadi malapetaka bagi usaha PDKT nya dengan Refita selama ini.
"Tumben kamu tadi ke kantin?" chat Dimas kepada Refita yang menanyakan keheranannya terhadap tingkah Refita tadi. Sebenarnya Dimas sudah tahu apa yang Refita lakukan sebenarnya. Namun, sepertinya Dimas hanya ingin mengetahui kejujuran Refita."Eh iya, aku tadi lupa bawa bekal," jawab Refita membalas pesan Dimas. Memang benar tadi Refita tadi lupa membawa bekal. Tapi Refita biasanya juga gak akan ke kantin meskipun nggak bawa bekal."Bukannya kamu juga nggak akan ke kantin jika lupa bawa bekal?" tanya Dimas yang sudah cukup dekat dengan Refita. Dia sudah tahu gimana Refita dan hal hal apa saja yang sering dilakukan Refita."Aku tadi laper banget Dim, jadi ya terpaksa aku ke kantin," begitulah jawab Refita yang masih juga belum ngaku apa yang sebenarnya terjadi. Dimas melihat sekeliling tembok kamarnya, jam dindingnya menunjukkan jam 2 siang. Kamarnya nampak begitu sepi tanpa kehadiran teman dekatnya, Roni. Hari ini Roni nggak bisa ke rumah Dimas karena harus ikut
"Eh Dimas, silahkan masuk Dim, tunggu ya tak panggilin Refita dulu," ucap Raya, ibu Refita yang kira-kira berusia 30 tahunan dan merupakan ibu beranak tunggal. Dimas pun masuk ke rumah Refita dengan menenteng tas punggungnya. Roni yang bersama Dimas juga ikut masuk ke rumah Refita.Akhir-akhir ini mereka memang sering ke rumah Refita untuk belajar bersama. Hampir setiap hari Dimas, Refita, Roni dan Chery selalu berkumpul di rumah Refita untuk belajar bersama. Dimas pun juga semakin akrab dengan Raya, ibu Refita. Hubungannya dengan Refita pun juga semakin dekat dan Dimas pun semakin yakin bahwa ia benar-benar mencintai Refita."Tumben Cherry belum dateng, biasanya kan dia yang lebih dulu dateng ke rumah Refita," ucap Roni yang nampak heran dengan keterlambatan Cherry."Hi, kangen ya," goda Dimas. Wajah Roni langsung memerah seketika. Ia memang memiliki perasaan suka kepada Cherry. Apalagi dengan kondisi saat ini, dimana mereka hampir setiap hari berkumpul untuk b
Ujian semester satu pun telah berlangsung selama satu minggu. Dimas, Refita, Roni dan Cherry berhasil mendapatkan nilai yang memuaskan. Dimas berhasil mendapatkan peringkat satu di kelas X MIPA 7, Cherry dan dan Refita berturut-turut mendapatkan peringkat 4 dan 5 sedangkan Roni berhasil masuk ke dalam 10 besar dengan peringkat 10. Mereka akhirnya memutuskan untuk merayakan kesuksesan ujiannya dengan pergi berlibur ke puncak gunung Arjuna. "Hm, hebat kamu Ref, bisa masuk 5 besar," puji Dimas yang mengenakan jaket wol tebal berwarna hitam dengan segelas air hangat di tangannya. "Kamu tuh yang hebat, kamu kan peringkat satu," jawab Refita yang balik memuji Dimas. Ia juga mengenakan jaket wol tebal berwarna putih dengan syal berwarna merah muda. Ia menggesekkan kedua tangannya sambil sesekali meniup kedua telapak tangannya yang ditutupi oleh sarung tangan berwarna merah muda. "He, aku nih yang hebat, bayangin ya, aku ini dulu selalu dapet ranking terendah di kela
Semester dua pun dimulai. Namun, sekarang Dimas benar-benar dibuat galau oleh pikirannya. Semenjak pulang dari gunung Arjuna ia sudah tidak berkomunikasi dengan Refita lagi. Liburan dua Minggu yang dia lewati pun terasa hampa tanpa kehadiran Refita. Chat yang ia tanggalkan selepas dari gunung Arjuna tak pernah dibaca oleh Refita. "Cher, kok Refita belum datang ya, kan pelajarannya bentar lagi dimulai?" tanya Dimas kepada Cherry yang merupakan teman dekat Refita. Dimas berharap jika Cherry mengetahui keberadaan Refita sekarang. "Lah, ya gak tau dim, kan kamu pacarnya," jawab Cherry yang nampak heran dengan pertanyaan Dimas. Seharusnya Cherry yang menanyakan keberadaan Refita kepada Dimas. Eh, malah Dimas yang menanyakan keberadaan Refita kepadanya. "Kamu masih bisa chat Refita?" Dimas kembali bertanya. Ia benar-benar bingung lantaran Cherry juga tidak mengetahui keberadaan Refita. Terlintas di pikiran Dimas bahwa ini cuma akal-akalan yang dibuat Refita dan Che
Dua setengah tahun berlalu. Dimas pun sudah tidak pernah lagi menemui Refita, bahkan untuk telepon saja sudah tak pernah. Nomer Refita sudah tidak bisa dihubungi lagi. Namun, Dimas masih belum bisa melupakan Refita hingga kini saat kelulusannya tiba. "Selamat ya Dim, kamu berhasil jadi lulusan terbaik," ucap Roni kepada Dimas saat hari kelulusan. Roni pun juga lulus dengan keadaan yang memuaskan, tapi Dimas jauh lebih memuaskan. Ketiadaan Refita membuat Dimas hanya fokus pada pendidikan SMA nya. Itulah yang menyebabkannya menjadi lulusan terbaik. "Iya Ron, selamat juga ya, ayo foto bareng Ron, biar aku tampak ganteng," ujar Dimas dengan sedikit mengejek Roni. Memang Dimas memiliki wajah yang lebih ganteng ketimbang Roni. Roni pun mendadak kesal namun tetap mengiyakan Dimas untuk foto bareng. "Nggak mau sama aku juga Ron?" tanya Cherry yang tiba-tiba datang dengan dandanan kebaya berwarna putih. Ia nampak cantik dengan polesan make up ala salon di wajahnya. Ch
"Bu, Dimas berangkat dulu ya, doakan Dimas sukses ya Bu," pamit Dimas kepada ibunya saat di stasiun. Dia membawa tas ransel yang besar dan mencangking kardus kotak berukuran besar jug. "Iya nak, hati-hati, semoga kamu sukses nak" ucap Sonya dengan suara sedikit tersengal. Air mata Sonya tidak bisa terbendung lagi. Ia memeluk Dimas dan menangisi kepergian Dimas. Kereta jurusan Bandung pun sudah berada di stasiun dan segera berangkat. Dimas pun bergegas masuk ke dalam kereta setelah memeluk ibunya. Dimas sebenarnya tidak rela meninggalkan ibunya sendirian. Dia merasa kasihan jika Sonya harus tinggal di rumah sendiri tanpa seorang pun yang menemani. Tapi dirinya harus pergi untuk menggapai cita-citanya yaitu hidup mandiri di Bandung. Dia juga berharap dapat meraih kesuksesan disana. "Hati-hati nak," teriak Sonya sambil melambaikan tangannya. Air matanya tak henti-hentinya menetes. Dimas yang sudah berada dalam kereta hanya bisa memandang ibunya dari balik jendel
Di sebuah kamar kos kecil berukuran 3x3, Dimas sedang berbaring dan menunggu pesan di ponselnya. Sudah 10 perusahaan yang dia lamar, namun hingga kini belum ada satu pun perusahaan yang mengabarinya. Dia hanya bisa menunggu di kamar sembari berbaring. Melihat ponselnya yang tak kunjung mendapatkan pesan.Sebenarnya Dimas ingin melukis, namun kamar kosnya yang terlalu sempit membuatnya sulit untuk melukis di canvas. Dimas pun hanya bisa melukis di kertas berukuran A4. Ia mencoba melukis bagaimana suasana kelasnya dulu yang penuh dengan canda tawa. Ia menggambarkan ada dua orang yang sedang mengobrol di sudut kelas. Itu adalah dirinya dan Refita. Sedangkan Roni dan Cherry pun juga menemani disana. Ada beberapa anak yang bermain pesawat kertas dan seorang bendahara kelas yaitu Novia yang lagi narik iuran ke salah satu anak kelas.Mungkin Dimas begitu kangen masa-masa indahnya di SMA. Masa dimana dia tidak harus memikirkan kebutuhan hidupnya, kebutuhan buat makan, bayar ko
"kak untuk pesanannya kemarin sudah dapat diambil ya kak," Dimas mengirimkan sebuah pesan ke Adit, pelanggan pertamanya. Ini merupakan hari kedua Dimas mangkal di jalanan Kemang untuk mencari pelanggan yang ingin menggunakan jasa melukisnya. "Oh iya kak, ngambilnya dimana ya kak?" tanya Adit dalam pesan itu. "Di tempat kemarin kamu nemuin saya, soalnya saya mangkal disini," balas Dimas. Kini dirinya tetap memakai setelan pakaian seperti kemarin. Kaos hitam, kemeja kotak-kotak merah dan celana jeans dengan sobek-sobekan di lututnya. "Oh iya kak, nanti siang ya kak saya ambil, soalnya saya masih di sekolah kak, ini saja masih pelajaran kak," jawab Adit. Dimas pun sontak terkejut. Bisa-bisanya Adit bermain ponsel saat jam pelajaran dimulai. Kalau di sekolahnya dulu ya bisa disuruh keluar siswa seperti dulu. Bahkan dulu Dimas sering ditegur hanya karena melamun saja. Tapi Dimas tak mau ambil pusing dengan sekolahnya Adit. Mungkin sistem sekolahnya yang sudah beda