Lampu di Balai Rektorat meredup. Suara Rowan Nathaniel, yang kini menggunakan gelar Dr. Nathaniel, terdengar nyaring dan berwibawa.
Aerin menghela napas. Tanpa sengaja saat ia menoleh ke barisan VIP yang duduk di sebelah panggung, ia melihat seorang wanita yang memancarkan aura keanggunan duduk dengan punggung tegak, mengenakan gaun cocktail berwarna emerald green yang mewah dan rambut cokelat keemasannya tertata sempurna. “Lilith?” gumam Aerin. Dia tersenyum kecil setiap Ronn mengucapkan kalimat yang penting, anggukan yang penuh dukungan dan kebanggaan. Aerin merasakan kejanggalan menusuk. “Aku tidak tahu ada dosen secantik itu di kampus ini!” bisik mahasiswa di belakang Aerin. “Aku tahu yang kau maksud, wanita bergaun emerald itu kan?” sahut temannya. Si mahasiswa mengangguk dengan antusias. “Dia bukan dosen! Itu istri Dr. Nathaniel. Lilith Nathaniel. Dia benar-benar definisi sempurna dari power couple akademis,” jawab temannya lagi penuh kekaguman. “Dia juga Direktur Galeri Seni di West End, tahu. Karyanya dipamerkan di sana.” “Oh, ya ampun. Mereka pasangan yang sempurna, ya?” Aerin mencibir tanpa suara. Ia melihat lagi ke panggung. Lilith mengelus lengan Ronn dengan gerakan yang begitu halus. “Sempurna dari mana? Di rumah mereka terlihat seperti anjing dan kucing yang terjebak di kandang yang sama,” gumam Aerin dengan suara pelan, sangat pelan hingga Liz tak mendengarnya. “Wanita angkuj,” Itu suara Liz. Aerin lantas menoleh, menatap takjub Liz yang seakan membaca pikirannya. Aerin menggigit bibir, menahan tawa. "Kau menyadarinya juga?" "Tentu saja. Kau tidak lihat, wanita itu tak mempunyai kerutan di sudut matanya. Artinya ia jarang tersenyum. Dari caranya mengangkat wajahpun sama. Senyumnya—jelas senyum palsu," Liz tersenyum misterius. "Mereka berdua terlalu... polished. Seperti patung marmer yang indah, tapi kau tahu di dalamnya ada keretakan." Lagi-lagi Aerin terbelalak takjub dengan semua tebakan Liz. “Kau ini mahasiswi Sastra Inggris atau Psikologi?” bisik Aerin, ia terkikik. Disambut dengusan napas Liz yang seolah membenarkan ungkapan Aerin. Pidato Ronn selesai, disambut tepuk tangan meriah. Ronn melangkah turun dari podium. Ronn berjalan langsung ke arah Lilith. Ia membungkuk, wajahnya mendekat ke telinga Lilith, berbisik sesuatu—sebuah momen yang terlihat sangat intim. “Oohh,” terdengar desahan lembut dari beberapa freshers. Ronn dan Lilith tertawa pelan. Dari gerakannya, Ronn seperti hampir mencium Lilith. “Lihat itu,” bisik Liz. “Aku bertaruh seratus pound mereka hanya melakukan itu untuk tontonan publik.” "Aku setuju," balas Aerin, menelan ludah. Ia hampir saja keceplosan mengungkapkan fakta tentang suami istri itu. Tapi ia segera menahan diri. Ia ingat aturan yang diberikan Lilith dan bagaimana Ronn terus menerus mengingatkannya soal hal itu: tidak ada skandal, jangan mengganggu karir Ronn. “Baiklah, hadirin sekalian, kita berlanjut ke acara berikutnya, Pameran Karya Mahasiswa Tingkat Akhir di South Wing! Jangan lewatkan kesempatan untuk bersosialisasi dan menemukan inspirasi!” ***~*** Pameran Karya ramai. Karena ini terbuka untuk umum, jadi mahasiswa dari jurusan seklain Seni tetap bisa menikmatinya. Aerin dan Liz berjalan beriringan, mengomentari berbagai karya seni yang membuat mereka tertarik. "Kau suka melukis?" tanya Liz. "Tidak mahir, tapi bisa dipamerkan.” jawab Aerin sambil tersenyum lebar. Ia mendekat ke salah satu lukisan yang menarik perhatiannya. Lukisan bunga warna-warni yang terlihat sangat cantik. "Kenapa kau berhenti?" Aerin mengangkat bahu. "Hidupku... mengambil jalan yang berbeda. Aku tidak punya waktu untuk melakukannya lagi." "Semua orang selalu punya waktu. Kau hanya memilih untuk tidak memilikinya," kata Liz serius. "Sastra dan Seni itu sama. Itu pelarian. Jangan pernah melepaskan pelarianmu." Aerin tak menjawab. Tapi hanya tertawa kecil. Tiba-tiba, sebuah suara menyapa dari belakang. “Tampaknya cepol acak-acakanmu hari ini menjadi tren baru,” sapa Kaleb, mendekat sambil tersenyum. "Itu membuatmu terlihat cute, Aerin." Aerin menoleh, wajahnya memanas. Dulu saat menjadi seorang penyanyi, rambut Aerin beberapa kali diatur messy bun seperti ini oleh stylistnya. Katanya, membuat bentuk wajahnya yang kecil jadi terlihat lebih menarik. Jadi ia sering mendengar pujian seperti ini. Tapi entah kenapa, mungkin karena senyum manis Kaleb, membuatnya sedikit tersipu. "K-kaleb! Kau juga di sini? Aku tidak tahu kau suka lukisan." "Ini karyaku. Aku mengambil minor Seni Rupa, ingat?” Kaleb tertawa kecil. “Aku harus hadir di Pameran ini karena aku juga anggota Komite Orientasi kampus. Kami harus memastikan semuanya berjalan lancar, bahkan untuk mahasiswa tingkat akhir sepertiku.” Ia melihat bun hair Aerin sekali lagi. "Serius, ini adalah penampilan paling cute yang pernah kulihat darimu. Kau akan datang ke Grand Welcome Ball malam ini, Aerin?” "Aku... belum tahu. Ronn dan—" Aerin segera mengoreksi dirinya. "Maksudku, aku belum tahu apakah aku ada waktu luang." "Kau harus datang," desak Kaleb. "Aku ada di sana. Liz juga pasti di sana kan?” Liz mengangguk cepat. “Akan ada pertunjukan band. Ini kesempatanmu untuk bersosialisasi." "Aku akan mencoba, Kaleb. Serius," janji Aerin. "Lebih baik kau mencoba keras. Aku mungkin akan mencarimu di sana," Kaleb mengedipkan mata, lalu berjalan kembali ke karya seninya. Aerin membuang napas panjang. “Dia naksir berat padamu, lho,” goda Liz. "Tidak mungkin. Dia hanya... ramah," kilah Aerin. "Oh, tentu saja. Dan Dr. Natahaniel adalah malaikat," Liz memutar mata. "Aku harus pergi sekarang. Gaun malam sudah menungguku. Kau datang kan? Kita bisa bertemu di sana!" "Tentu," Aerin menjawab seadanya. Karena ia sendiri belum tahu apakah dia bisa pergi atau tidak, membayangkan berada dalam kerumunan dan hingar bingar musik saja membuatnya bergidik. Ia takut seseorang akan menyerangnya lagi seperti yang terjadi di 4 bulan yang lalu. Aerin melihat ke sekeliling, mencari jalan keluar yang cepat. Ronn dan Lilith pasti sudah meninggalkan Balai Rektorat, tetapi Ronn mungkin akan mencarinya di antara kerumunan ini. Ia harus segera pergi sebelum Ronn melihat interaksi akrabnya dengan Kaleb. Ia benci jika dianggap menggoda pria seperti yang Ronn ucap padanya kemarin, saat melihatnya berciuman dengan Rafferty. Aerin mempercepat langkahnya, keluar dari sayap pameran, menuju lobby. "Cepat, Aerin, cepat!" gumamnya. "Jangan sampai Ronn melihatmu. Kau harus pulang sekarang dan bersiap untuk bersembunyi di dalam kamarmu.” Tapi sepertinya Dewi Fortuna tidak memihaknya. Saat ia sudah berada agak jauh dari gerbang kampus, ia mendengar suara mobil Ronn yang datang dengan cepat, suara rem yang mendadak memekakkan telinga. Aerin menoleh, dan melihat Ronn membuka jendela mobilnya dengan wajah gelap, jaket akademiknya sudah dilepas dan dasinya sedikit longgar. “Masuk! Aku akan mengantarmu ke suatu tempat,” perintahnya. Aerin tak segera menjawab. Matanya menjelajahi kursi belakang dari mobil Mercedes-Benz S-class berwarna hitam itu. Tak ada siapapun. Hanya ada Ronn seorang diri. ‘Di mana Lilith? Mereka tidak pulang bersama?’ tanyanya dalam hati. “Aerin! Apa yang kau tunggu?? Cepat masuk!” Sekali lagi, suara dalam dan berat milik Ronn menyadarkannya. Dengan langkah ragu, ia membuka pintu mobil dan masuk. Jantungnya berdegup dengan kencang, seakan ia baru saja masuk ke kandang singa.Lampu di Balai Rektorat meredup. Suara Rowan Nathaniel, yang kini menggunakan gelar Dr. Nathaniel, terdengar nyaring dan berwibawa.Aerin menghela napas. Tanpa sengaja saat ia menoleh ke barisan VIP yang duduk di sebelah panggung, ia melihat seorang wanita yang memancarkan aura keanggunan duduk dengan punggung tegak, mengenakan gaun cocktail berwarna emerald green yang mewah dan rambut cokelat keemasannya tertata sempurna.“Lilith?” gumam Aerin.Dia tersenyum kecil setiap Ronn mengucapkan kalimat yang penting, anggukan yang penuh dukungan dan kebanggaan. Aerin merasakan kejanggalan menusuk.“Aku tidak tahu ada dosen secantik itu di kampus ini!” bisik mahasiswa di belakang Aerin.“Aku tahu yang kau maksud, wanita bergaun emerald itu kan?” sahut temannya. Si mahasiswa mengangguk dengan antusias.“Dia bukan dosen! Itu istri Dr. Nathaniel. Lilith Nathaniel. Dia benar-benar definisi sempurna dari power couple akademis,” jawab temannya lagi penuh kekaguman. “Dia juga Direktur Galeri Seni di
Aerin berteriak tertahan. Air matanya berlinang tak beraturan sejak ia meninggalkan ruang kerja Dr. Nathaniel. Ia membuang sembarangan kertas jadwal itu, lalu menyambar bantalnya dan berteriak sekuat tenaga dengan wajah tertutup bantal.“Huaaahh! Aku hanya ingin hidup tenang! Lalu apa bedanya hidup di Jakarta dengan di sini?! Screw Ronn!”Aerin mengacungkan jari tengahnya ke udara. Lalu ia menatap sinis pintu kamarnya yang tertutup.“Aku akan mengalah kali ini dan akan kubuktikan kalau kau tidak bisa memperlakukanku seenaknya!”Sekali lagi, ia mengacungkan jari tengahnya ke arah pintu. Amarahnya menurun saat tiba-tiba ia mendengar deringan telepon. Aerin menoleh, nama Papa tertulis di layar ponselnya. Ia segera mengambilnya dari atas ranjang.[“Sayang, bagaimana kabarmu?”] suara dari seberang segera menyapa begitu Aerin mengangkat teleponnya.Aerin melempar tubuhnya ke atas ranjang. Ia menarik napas dalam-dalam, untuk menyembunyikan emosinya dari Sang Ayah.“Aku baik-baik saja, Pa. Pa
Ronn terduduk di bangku kerja, tetapi pikirannya terasa jauh. Meja kayunya terasa dingin, sama seperti suasana rumah tangganya. Mata kuliah yang harus ia persiapkan untuk minggu depan terasa seperti debu; ia hanya bisa memikirkan satu hal: Aerin. || “Kau memang suami yang sangat romantis, Ronn.” || Ronn mendengus keras. Ia mengambil gelas air dan meminumnya hingga tandas. “Gadis kecil itu. Apa haknya dia menilai pernikahanku?” geramnya. Sindiran seorang remaja. Sebuah evaluasi tajam tentang kegagalannya dari seorang gadis yang baru ia kenal seminggu. "Masalahnya bukan lagi uang, Lilith, atau utang. Masalahnya adalah kendali," Ronn bergumam pada dirinya sendiri, jemarinya mengetuk-ngetuk ponsel. Ia membuka aplikasi location tracking yang terpasang di ponsel Aerin. Titik hijau kecil itu sudah jauh dari rumah. Ronn melihat peta dan segera mengonfirmasi: Aerin tidak berada di Bloomsbury, tempat Perpustakaan Nasional seharusnya berada. Gadis ini berbohong. "Perpustakaan Nasio
Ronn masih duduk di bangku piano kayu, tangannya tergantung di atas tuts. Aerin sudah keluar dari persembunyiannya dan berdiri di dekat ambang pintu, bersandar pada kusen. Keheningan di antara mereka dipenuhi oleh gema melodi Chopin yang baru saja berhenti."Kau tidak suka Chopin, Aerin?" Ronn memecah keheningan, suaranya kembali datar, menutupi kerentanan beberapa saat lalu.Aerin menghela napas, tangannya memegang erat slip perhiasan di saku roknya. “Aku suka. Papa sering memainkannya,”Ronn menggeser duduknya, ia mengangguk. “Artinya, kau mahir memainkannya, mau coba?”“Aku kira, larangan memainkan piano hanya untukku,” ucap Aerin, sedikit menyindir.“Lilith hanya tidak suka mendengar suara bising. Tapi dia sedang tidak di sini. Dan aku butuh menyegarkan pikiranku.” Ronn membela diri. “Jadi hari ini, Nona Penyanyi, kau bisa sepuasnya memainkan piano malam ini.”Aerin tersenyum hambar. Lalu menggeleng pelan. “Sayangnya aku tak bisa memainkan piano.”Ronn menatap Aerin, menerka-nerka
Wajah ramah Kaleb, seketika membuat Aerin menghela napas lega. Entah kenapa dia merasa Kaleb seperti malaikat untuknya, selalu datang saat ia butuhkan.“Aku tidak menyangka kau akan datang ke bagian enrollment yang paling kacau ini,” kata Kaleb, tawanya ringan. “Kau beruntung. Aku ditugaskan di sini hari ini. Kau sudah dapat Student ID?”“Belum. Aku tidak yakin harus ke mana. Antreannya panjang sekali.”“Tentu saja. Ini birokrasi, darling. Ikuti aku. Aku tahu jalur cepatnya. Kau harus mendaftar ke Supervisor Departemen Sastra Inggris dulu.” Kaleb memimpin jalan menembus kerumunan.“Kau sangat menyelamatkanku,” bisik Aerin.“Sudah tugasku. Jadi, Aerin dari mana? Aku tahu logatmu bukan dari sini.”“Aku dari Indonesia, Jakarta.”“Wow. Jauh sekali. Kau tinggal di mana? Halls of Residence atau sewa flat?”“Aku tinggal dengan teman lama Ayahku.” Aerin memilih kata-katanya hati-hati.Kaleb mengangkat alisnya. “Menguntungkan. Itu berarti kau punya koneksi. Kami para senior harus berjuang untu
‘Jadi, sekarang dia memantau lokasiku? Apa dia tahu aku sedang bersama seseorang? Dasar dosen gila!’ rutuk Aerin dalam hati. Senyum Aerin langsung luntur. Rasa dingin menjalar di punggungnya.Baru kemarin dia tiba-tiba di London, tapi sudah beberapa kali dia memaki seseorang di dalam hati. Ini akan jadi kebiasaan buruknya yang baru.Kaleb yang menyadari perubahan itu, tak tahan untuk bertanya. “Ada apa? Kau terlihat seperti baru saja mendapat pesan dari Dr. Nathaniel. Ekspresi wajahmu persis dengan mahasiswa-mahasiswa bimbingannya saat mendapat chat darinya.”Kaleb bermaksud menggoda. Tapi Aerin justru menggeleng panik. “Tidak, bukan. Aku… harus pergi sekarang. Ada urusan mendadak.”“Sekarang? Tapi aku belum selesai menyelesaikan tur kampus kita.” Kaleb tampak bingung.“Maafkan aku, Kaleb. Tapi aku harus segera pulang. Aku baru ingat aku punya janji yang tidak bisa dibatalkan,” Aerin mengambil barang-barang yang sudah ia masukkan ke keranjang. “Sampai jumpa di kampus. Dan terima kasih