"Bisakah kita bicara?"
Suara Helena pelan, nyaris seperti bisikan. Ia berdiri beberapa langkah dari Rivano—lelaki yang kini berstatus sebagai suaminya, tapi terasa begitu asing.Akhirnya, ia memberanikan diri untuk bersuara. Bagaimana tidak? Mereka tinggal di bawah satu atap, tapi nyaris tak pernah saling menyapa. Yang terdengar hanyalah suara helaan napas atau derap sepatu yang bergema setiap malam. Memang, pria itu memenuhi semua kebutuhan di rumah mewah ini... tapi ada satu yang tak pernah ia temukan—cinta.
Rivano menoleh perlahan dari cangkir kopi yang baru saja ia sesap. Tatapannya datar, kosong, tanpa emosi.
"Apa yang kamu mau dariku?" tanyanya, dingin seperti es, nyaris tanpa intonasi.Ah, lelaki ini... seakan kopi jauh lebih menarik daripada wanita yang sudah setahun menjadi istrinya. Begitulah cara Rivano memperlakukan Helena—pernikahan yang ia terima semata karena permintaan sang ibu yang telah tiada.
Setahun.
Setahun sudah Helena hidup dalam keheningan membisu di antara mereka.Ia mencoba menahan gemetar suaranya, meski jantungnya berdegup terlalu kencang. Rivano ada di hadapannya, tapi terasa seperti bayangan yang tak pernah bisa ia sentuh.
"Sudah setahun kita menikah..." katanya lirih.Namun di dalam hatinya, ada jeritan yang lebih keras:
Kenapa aku merasa sendiri? Kenapa rumah ini lebih mirip makam, bukan rumah?Bahkan untuk sekadar berbicara... duduk berdampingan... semua terasa mustahil. Kenapa? Apa salahku? protesnya dalam pikirannya.
Yang tersisa hanyalah rumah kosong, dan dirinya yang terasa bodoh. Bagaimana tidak? Ia selalu di rumah, tak melakukan apa pun, dan tidak kemana-mana. Untunglah, wanita itu masih memiliki sedikit titik kewarasan.
Ia kembali memusatkan diri pada apa yang akan ia katakan.
"Jangankan menyentuhku... untuk duduk dan berbicara pun sulit sekali. Kita bahkan tidak saling menyapa. Ini bukan rumah tangga—ini hanya rumah kosong... yang ku huni sendirian," ucap Helena, menatap lurus ke arah Rivano.Lelaki itu terdiam. Ekspresinya tetap sama, tak tergoyahkan oleh keluhan Helena yang begitu jujur.
"Sampai kapan kita akan terus seperti ini?" lanjut Helena, suaranya terdengar lebih rapuh. Matanya mulai memanas, air bening menggantung di sudutnya.
"Jika ada yang tak kau senangi dariku... katakan. Setidaknya beri aku kesempatan... untuk memperbaiki."Rivano meletakkan cangkir kopinya dengan tenang. Akhirnya ada pergerakan dari pria itu.
"Apa yang harus kau perbaiki?" tanyanya, menirukan kalimat Helena. Tatapannya menusuk, sorot matanya dingin dan tak terbaca. "Aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Kau hanya bagian dari sebuah kesepakatan... Itu saja—tidak lebih."Kata-kata itu terlontar begitu saja, tanpa beban Rivano mengatakannya.
Kesepakatan? Apakah... aku hanya barang tukar? batin Helena, dadanya mencengkeras sakit.Rivano bangkit dari duduknya, merapikan jas kerja. Gerakannya rapi, dingin, seolah setiap detail kecil lebih penting daripada air mata yang berusaha Helena tahan.
"Jangan buang waktumu untuk mencoba," sambungnya. Ia tahu Helena menunggu jawaban lebih.
"Kalau ada yang tak tersalurkan darimu, silakan ke kamar mandi. Lakukan sendiri." desisnya di pagi hari.Kejam. Lelaki itu dengan santai menghancurkan harga diri Helena. Air mata yang ia tahan jatuh begitu saja. Tak pernah ada yang berbicara padanya sesantai—dan semenyakitkan itu.
Rivano beranjak, langkahnya hendak meninggalkan meja makan. Dengan cepat Helena meraih lengan Rivano.
Ya... ia menginjak harga dirinya. Sekali lagi... sekali lagi ia mencoba. Baginya hanya Rivano yang ia miliki. Status suami sudah terlanjur melekat padanya."Jangan pergi... jangan pergi seperti ini," bisiknya serak. Jemarinya bergetar, tapi genggamannya tak mau lepas.
Rivano terhenti. Bahunya menegang, namun ia tidak langsung menoleh.
"Lepas. Aku tak suka disentuh tanpa izin," ucapnya datar, penuh tekanan.Helena menggeleng pelan, air matanya makin jatuh.
"Bisa tidak... kita jangan begini terus? Aku tidak sanggup sendirian begini. Katakan sesuatu padaku, Rivano. Apa aku benar-benar tidak ada artinya? Apa aku sedikit pun tidak menarik di matamu?"Rivano akhirnya menoleh setengah, tatapannya tajam menusuk.
"Kau salah sejak awal, Helena. Aku bukan orang itu. Aku bukan seseorang yang tertarik pada cinta-cintaan yang kau bayangkan."Dasar Rivano—lelaki tak berperasaan, kejam, yang tak pernah peduli dengan perasaan orang lain. Yang ia tahu hanyalah pekerjaan, bisnis, pertemuan kolega. Apalah arti seorang Helena baginya? Tidak berarti apa-apa.
Namun Helena masih bertahan. Genggamannya semakin kuat, seolah jika ia melepaskan lengan Rivano, dunianya akan runtuh.
"Kalau memang aku tak berarti apa pun..." suaranya pecah, "setidaknya katakan sekali saja, jelaskan aku ini apa untukmu. Kumohon jelaskan itu. Setelah itu aku akan berusaha tahu diri..."Rivano masih diam. Lagi-lagi ia hanya menghela napas kasar, membiarkan lengannya tetap digenggam Helena.
Sambil menarik napas gemetar, Helena menyeka sudut matanya sebelum menatap Rivano kembali.
"Aku tidak memaksa harus langsung dicintai... setidaknya kita bisa saling mengenal. Mungkin kita bisa berteman, tapi... setidaknya izinkan kita mencoba."Ia segera menepis tangan Helena dengan keras.
"Sudahlah," suaranya terdengar kesal. "Kau tahu pernikahan ini hanya karena wasiat ibuku. Janji konyol yang harus kutepati. Jangan berharap lebih. Aku tidak tertarik dengan apa yang kau inginkan."Akhirnya, bentakan itu terdengar.
"Tapi... kenapa di awal kamu tampak menyukaiku?" tanyanya lirih, tak percaya dengan perkataan Rivano.
"Kamu bisa saja menolak pernikahan ini..." Helena masih berkeras. Ia merasa pria ini pasti menyimpan rasa—atau itu hanya angannya saja.Rivano mulai mengangkat alis, sinis.
“Itu semua hanya demi ibuku. Kau ini kan hanya sebatang kara. Nikmati saja kehidupan dariku. Aku kaya. Gunakan uangku sesuka hati. Tapi kalau kau bosan… silakan ajukan cerai. Kau tahu ke mana harus pergi, kan?”
Dan sungguh, perkataan Rivano terasa seperti tamparan yang melukai. Helena akhirnya melepas genggamannya.
Apakah aku… sebegitu tak berharganya? pikirnya pilu.
Hatinya mencelos, seakan jatuh ke dasar yang tak akan pernah bisa ia raih.
Rivano melangkah pergi, merapikan jas kerjanya dengan tenang—seolah tak ada kata-kata yang baru saja ia lemparkan.
“Aku harus kerja,” ucapnya santai. “Katakan selamat tinggal pada mimpi bodohmu tentang cinta-cintaan yang kau bayangkan.”Tanpa sedikit pun menoleh, ia melangkah pergi. Suara sepatu kulitnya bergema di ruang makan yang lengang, meninggalkan Helena sendirian dalam kesunyian.
Kembali ia merasa sendirian. Bahunya gemetar, pandangannya kosong menatap pintu yang baru saja tertutup.
Setelah kehilangan kedua orang tuanya… lalu kepergian ibu mertuanya—satu-satunya sosok yang pernah membuatnya merasa diterima—hidupnya kini terasa lebih sepi dari sebelumnya.
Yang tersisa hanyalah keheningan yang memeluknya erat.
Dan di balik keheningan itu… jiwanya perlahan ingin mati rasa.***
Hari menjelang siang, cahaya menembus dinding kaca gedung pencakar langit di kota Jakarta. Kantor Rivano berada di lantai tertinggi—ruangan luas dengan jendela setinggi langit-langit, menawarkan pemandangan kota yang sibuk di bawah sana.Interior ruangannya elegan: dinding berlapis marmer abu-abu, rak buku hitam mengkilap penuh dokumen dan file penting, serta meja kerja besar dari kayu mahoni yang tampak kokoh dan rapi tanpa cela. Setiap barang tertata presisi—seolah mencerminkan kepribadian Rivano yang perfeksionis, dingin, dan tegas.
Pendingin ruangan berdesis lembut, bercampur dengan aroma samar kopi hitam yang baru saja ia teguk. Di balik kemeja putih dan jas hitamnya, Rivano terlihat tenang, namun tatapannya menusuk layar komputer, seakan dunia luar hanyalah gangguan.
Namun di balik ketegasan itu, ada sepersekian detik di mana jarinya berhenti mengetik. Pandangannya menerawang ke luar jendela, menatap hiruk-pikuk kota di bawahnya, seolah mencoba menemukan sesuatu yang bahkan ia sendiri tak tahu.
"Apa tadi aku terlalu kasar padanya?" bisik batinnya.
Bayang wajah Helena pagi tadi kembali mengusik pikirannya, menusuk setiap celah perhatian Rivano."Ah, sudahlah. Aku harus tetap kejam, biar dia sendiri yang minta cerai. Itu satu-satunya cara melindungi asetku," gumam Rivano, menekan pelipisnya. Kepala terasa berat oleh beban pikiran, sementara layar laptop di mejanya menampilkan angka-angka yang tak lagi ia perhatikan.
Tiba-tiba, ponselnya berdering, memecah keheningan ruang kerja. Nada dering itu menggema di ruangan luas dengan dinding kaca yang menghadap kota Jakarta. Rivano melirik sekilas, alisnya mengernyit saat melihat nama yang muncul: Agnitha.
Seseorang yang seharusnya sudah terkubur di masa lalu.Dengan ragu, ia menekan tombol hijau.
"Sayang..." terdengar suara manja itu, lembut tapi menusuk. "Aku akan segera kembali ke Indonesia... Aku rindu sentuhanmu."Sejenak, hening menutupi mereka berdua. Nama itu membangkitkan kenangan yang selama ini ia buang jauh—tawa, sentuhan, kepatuhan, dan akhirnya pengkhianatan.
"Jangan gila," suara Rivano terdengar dingin, tajam, nyaris memotong udara. "Aku bukan pilihan cadanganmu."
Tanpa menunggu balasan, ia menutup telepon dengan kasar.
Tangannya mengepal di atas meja. Rahangnya menegang, otot-otot wajahnya kaku. Ia menatap kosong ke arah jendela, kota Jakarta di bawahnya tak mampu menenangkan badai yang bergolak di dalam dirinya."CK," Rivano berdecak. "Apa lagi maunya wanita ini," gumamnya. Ia tahu sebentar lagi akan ada keributan yang timbul, terutama jika Agnitha sampai tahu dirinya sudah menikah.
Perlu dicatat, pernikahan Helena dan Rivano sama sekali belum diketahui publik.
Rivano menutup rapat privasinya. Ia tak pernah suka kehidupan pribadinya menjadi sorotan."Helena..." namanya tiba-tiba melintas di benaknya. Wajah istrinya, air mata yang tumpah tadi pagi, kembali memenuhi pikirannya.
"CK," lagi-lagi ia berdecak.
Entah sudah keberapa kali Rivano gusar hanya karena seorang Helena. Gadis itu... terlalu cengeng. Baru mendengar ucapannya tadi pagi saja sudah menangis. Apalagi kalau harus menghadapi Agnitha, pikirnya sinis.Dengan gerakan cepat, Rivano meraih ponselnya. Jarinya menekan layar, seolah hendak mengirim pesan kepada seseorang.
PENTHOUSE – LARUT MALAM
Bip.
Suara pintu otomatis berbunyi, kode sandi dimasukkan, disusul langkah kaki memasuki ruangan yang senyap.Helena sontak bangkit dari sofa. Ia bahkan belum berganti baju tidur—masih mengenakan blus krim dan celana kain yang rapi. Entah kenapa, setiap malam ia menunggu dalam diam. Hanya demi satu hal: mendengar suara langkah Rivano.
Seperti biasa, pria itu masuk tanpa sepatah kata. Jasnya dilepas dan jatuh di sandaran kursi.
"Kenapa belum tidur?" tanyanya datar, menatap Helena yang masih betah di ruang televisi meski malam sudah larut.
"Belum mengantuk..." jawab Helena pelan, berusaha terdengar biasa sambil menatap layar televisi. Padahal ia bahkan tak tahu acara apa yang sedang diputar.
Tanpa menoleh, Rivano membuka rak dinding, menarik map dokumen dan paspor.
"Kebetulan belum tidur. Besok kita ke New York. Flight jam tujuh pagi. Siapkan barangmu malam ini," katanya sambil menyerahkan paspor milik Helena.
Kening Helena berkerut saat menatap Rivano.
"Kenapa?" tanya Rivano, menatapnya seakan tak senang. "Tidak mau ikut? Bisa hidup sendiri?" sindirnya, menyinggung tatapan Helena.
"Bukan... bukannya begitu," suaranya melemah, ia menunduk.
"Yasudah kalau begitu. Ku batalkan saja tiketmu."
Rivano segera merogoh ponsel dari saku celananya.
Dengan cepat, Helena bangkit dari duduknya dan menahan tangan Rivano.
"Aku ikut," ucapnya tertunduk.
Tak ada pilihan. Aku tak pernah punya pilihan, batin Helena.
Tak ada tanya, tak ada protes. Dan itu membuat Rivano menatapnya beberapa detik lebih lama dari biasanya. Gadis itu... tidak pernah menolak apa pun. Tak pernah mendebat apa pun. Hanya pagi tadi ia baru membuka suara.
"Sekarang juga berkemas.Jangan lelet. Jam empat pagi kamu harus sudah siap. Aku tidak suka menunggu," titah Rivano.
"Iya, aku akan mulai berkemas sekarang," jawab Helena, lalu segera melangkah menuju kamar.
Ia berbalik menuju kamar, tapi langkahnya terhenti ketika suara Rivano kembali terdengar.
"Pakai coat panjang. Di sana dingin."
Helena menoleh, "Hmm..." gumamnya pelan, seakan tak menganggap perkataan Rivano sebagai perhatian.
Kenapa dia… apa dia marah? Apa karena tadi pagi? Aku hanya mengatakan hal biasa… tapi dia terlihat kesal. Apa lagi jika aku aku benar - benar menyentuhnya, pikirnya ragu.
Sementara itu, Rivano tak mau ambil pusing dengan semua pikiran itu. Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa, menekan pelipisnya. Pandangannya jatuh ke jendela besar yang menampilkan langit malam.
Agnitha.
Wanita dari masa lalu. Yang begitu tunduk padanya. Wanita yang memperkenalkannya pada ruang merah—ruang permainan.Dan kini ia kembali, dengan pesan singkat yang menusuk:
kamu milikku.
Rivano tahu, Agnitha berbahaya.
Dan Helena—dengan segala keluguannya—adalah sasaran empuk. Maka, kepergian ini bukan sekadar liburan. Ini strategi.
Sementara itu, wanita yang tengah dicari-cari justru larut dalam gemerlap malam di sebuah klub ternama kawasan SCBD, Jakarta. Musik berdentum, lampu neon menari di dinding, dan para eksekutif muda berbaur dalam euforia yang ditemani aliran minuman memabukkan.Helena meneguk jus jeruknya perlahan, dinginnya sedikit menenangkan tenggorokannya. Ia baru saja menaruh kembali gelas di meja ketika suara seorang pria terdengar di sampingnya.“Hai… kamu Danira, kan?” tanya seorang pria yang menghampiri. Terlihat ramah dari wajahnya.Helena spontan mengernyit, menoleh dengan bingung. “Bukan,” jawabnya pelan, menggeleng kecil. “Maaf, sepertinya kamu salah orang.”Pria itu tertawa singkat sambil mengangkat kedua tangannya. “Ah, maaf… maaf. Aku kira kamu Danira. Habis mirip sih. Tapi—” matanya menyapu wajah Helena dengan terang-terangan, “ternyata kamu lebih cantik dari Danira. Danira itu sahabat semasa kuliahku.” terangnya tanpa di minta.Helena ters
Helena… bangun, Sayang…” suara Rivano serak, panik. Tubuh wanita itu masih terkulai di pelukannya. Tanpa pikir panjang, ia buru-buru melepaskan rantai yang membelenggu, hingga logamnya berjatuhan di lantai dengan bunyi nyaring. Helena tetap tak bergerak.“Sial…” Rivano segera menarik celananya asal-asalan, Dengan hati-hati, ia menggendongnya ke kamarnya. Jemarinya gemetar ketika mencoba memakaikan pakaian seadanya pada wanita itu—berantakan.“Bangunlah… ayo, Sayang…” ia terus mengguncang lembut bahunya, mencium keningnya, tapi Helena tak juga membuka mata. Wajahnya pucat, napasnya tipis.Rivano tak sanggup lagi menunggu. Dengan langkah tergesa, ia menggendong Helena keluar kamar, menyambar kunci, dan berlari menuju mobil. Jantungnya berdetak kenc
Dengan satu lengannya yang kuat, Rivano mengangkat tubuh Helena. Wanita itu terkejut, refleks melingkarkan tangan di lehernya. Wajahnya menempel rapat di dada Rivano, merasakan detak jantung pria itu yang berat dan cepat. Helaan napas Rivano teratur, tapi terasa dalam, seolah ia sedang menahan sesuatu yang liar di dalam dirinya.“Kamu menang,”ucapnya lembut saat di depan kamar yang tak pernah terbuka itu.Helena hanya mengecup lembut pipi suaminya.Pintu kamar berwarna hitam itu terbuka. Aroma khas ruangan yang asing langsung menyeruak—tajam, bercampur dengan wangi parfum kayu. Dari balik bahu Rivano, mata Helena menangkap sekilas suasana kamar: dinding bercat hitam, ranjang besar dengan sprei satin merah menyala, dan benda-benda asing menggantung di dinding—tali, borgol, cambuk.
“Helena…” suara pria itu bergetar. “Sejujurnya aku ingin mencintaimu, ingin memilikimu. Tapi rasa takutku terlalu besar. Aku,” katanya terhenti. “Aku takut menyakitimu.”Ia menarik napas panjang, tangan terkepal erat. “Kamu masih ingat, bagaimana malam pertama kita? Seperti apa aku membuat tubuhmu penuh luka dan memar?” ucapnya dengan wajah penuh penyesalan.Helena menunduk, mencoba mencerna kata-katanya. “Bukankah… memang malam pertama kata orang sesakit itu?” tanyanya lirih, seakan mencari pembenaran.Rivano cepat menggeleng. “Tidak, Helena. Kamu tidak mengerti apa -apa. Itu tidak normal. Kamu pikir aku hanya tempramen… padahal aku lebih mengerikan dari itu. Aku… berbeda dari kebanyakan pria normal lain.” Rivano men
Dua minggu sudah Helena kembali ke Indonesia. Selama itu ia berusaha menata ulang hidupnya. Pekerjaan sebagai sekretaris di kantor Adrian membuat hari-harinya tidak lagi kosong, sementara apartemen yang disediakan pria itu memberinya tempat aman untuk bernaung.Namun Helena tidak ingin bergantung lagi pada siapapun—bahkan pada Adrian. Ia tak mau mengulang kesalahan yang sama. Yang ia butuhkan bukanlah sekadar tempat tinggal atau kenyamanan, melainkan penghargaan atas dirinya sebagai seorang wanita. Ia tahu, perempuan yang tidak bekerja sering kali di pandang sebelah mata, sering kali di anggap beban. Dan kehilangan harga diri di mata seorang pria. Padahal, baginya, seorang pria sejati seharusnya tidak hanya memberi materi, tetapi juga tidak membiarkan wanitanya merasa tak berharga.Rivano memang sudah mencukupkan segalanya. Rumah mewah, lemari penuh pakaian, kehidupan tanpa kekurangan. Tapi itu saja—tidak ada lebih. Ia tidak memperlakukan Helena sebagai wanitanya, tidak pernah meneman
Dibawah deras hujan Manhattan, Helena berlari tanpa menoleh. Kakinya berjalan cepat, terburu buru hingga sesekali ia tampak jatuh dan bangkit lagi. Pergi tak tentu arah, langkahnya kacau, tapi hatinya lebih kacau lagi. Malam itu, ia tinggalkan semua kemewahan yang ditawarkan suaminya. Penthouse megah, gaun-gaun mahal, perhiasan yang memenuhi lemarinya—semua terasa hampa. Ia tak pernah menginginkan itu. Ia pun bukan perempuan gila harta.Yang ia minta hanya satu: cintanya. Sedikit saja. Sedikit ruang untuk dirinya di hati Rivano. Sedikit kesempatan agar pernikahan mereka terasa nyata—bukan sekadar nama di selembar kertas pernikahan yang setiap malam ia takutkan akan berakhir dengan tanda tangan dingin di pengadilan.Helena marah bukan karena cintanya tak berbalas. Tapi… jika memang Rivano tak bisa membuka hati, kenapa harus merusak dirinya? Kenapa harus merenggut kehormatannya lalu seakan semua itu tak berarti appaun.Hujan menampar wajahnya. Ia menarik rapat coat panjang ke tubuhnya