Share

Bab 2

Author: Naila
Malam ini suasana hati Mark sangat baik. Setiap gelas minuman yang diberikan oleh mitra kerja sama dihabiskan tanpa menolak satu pun.

Hanya aku dan kakakku yang duduk di sudut ruangan, seperti badut yang terlupakan. Saat kakakku mengangkat gelasnya untuk bersulang, Mark bahkan tak menggubrisnya.

Semua orang di meja makan seolah-olah sudah memahami situasinya, jadi mulai mengejek. "Kelihatannya Keluarga Jusman benar-benar nggak tahu diri. Pak Mark sudah kasih mereka begitu banyak proyek, tapi mereka masih mengincar bagian orang lain."

"Rakus sekali. Hati-hati nanti mati karena tamak ...."

Wajah kakakku terlihat sangat masam, tetapi dia masih berusaha tersenyum. "Proyek-proyek itu sudah dibatalkan, kami hanya berharap Mark masih bersedia memberi kami kesempatan."

Ekspresi Mark tampak jijik. Dia menunjuk ke arahku sambil berucap, "Mau proyek baru? Suruh dia yang bersulang untukku."

Wajah kakakku tampak panik. Dia memandangku, lalu mencoba menjelaskan, "Dia nggak kuat minum, biar aku yang bersulang untukmu."

Mark tidak bereaksi, hanya menatapku. Dia memang selalu menikmati setiap kesempatan untuk mempersulitku.

Kakakku mencoba menengahi dan berdiri di depanku. "Bagaimanapun, kalian pernah jadi suami istri. Jangan menyulitkannya. Biar aku saja yang minum."

Ini adalah anggur putih dengan kadar alkohol 50%. Kakakku minum segelas demi segelas, hingga wajahnya memerah. Pada akhirnya, dia tak kuat lagi dan muntah. Mark terlihat jijik. Dia buru-buru menjauh dan menyeka tangannya dengan saputangan.

Aku maju untuk membantu kakakku, tetapi dia mendorongku ke arah Mark. "Cepat minta maaf pada Pak Mark, minta dia bantu keluarga kita."

Aku mengambil botol anggur putih di atas meja, lalu menenggaknya dalam satu tegukan. Aku tahu Mark ingin melihatku yang menyedihkan seperti ini.

Perutku terasa mual. Saat ingin memohon, yang keluar dari mulutku malah tidak sesuai harapan. "Kami usahakan bayar utang kami. Kalau Pak Mark nggak mau kasih kami proyek, nggak masalah."

Kakakku langsung bereaksi, lalu menamparku dengan keras. "Kamu sadar apa yang kamu katakan? Tanpa bantuan dari Keluarga Kusuma, kita cuma bisa mati! Utang sebanyak itu mau dibayar pakai apa? Karen, kamu tahu gimana Ayah dan Ibu meninggal?"

Kepalaku sontak terasa berdengung dan nyeri, seolah-olah ditusuk jarum. Kakiku goyah hingga aku jatuh.

Mark tampak tak sabar melihat "drama" kami. Dengan nada sinis, dia berkata, "Jangan berakting di depan mataku. Menjijikkan!"

Kemudian, dia berjalan melewatiku. Saat mendongak, aku melihat Mark merangkul Loreita yang menunggu di depan pintu. Mereka pergi tanpa menoleh.

Aku menahan rasa mual, mengepalkan tanganku erat-erat. Tiba-tiba, cairan hangat mengalir dari hidungku.

Kakakku terkejut dan bertanya, "Karen, kamu kenapa?"

Aku belum sampai pada tahap menggunakan penyakitku untuk mendapat simpati. Dengan nada tenang, aku menjawab, "Kebanyakan minum, badanku panas."

Kepanikan di matanya hanya muncul sesaat, lalu ekspresinya kembali dingin. "Karen, keluarga kita hancur gara-gara kamu. Ayah dan Ibu meninggal juga gara-gara kamu. Kenapa pembawa sial kayak kamu masih bisa hidup senyaman ini?"

Aku tahu kakakku hanya sedang marah, dulu dia sangat baik padaku. Namun, kebencian sekarang juga benar adanya, seolah-olah semua kesalahan lima tahun lalu hanya ada padaku.

Tiba-tiba, aku merasa sangat lelah. Aku menyeka air mata secara asal, lalu keluar sendirian dari ruangan itu.

Angin dingin menembus tulang, jalanan sepi. Darah di wajahku mengering, aku menyeka dengan lengan baju. Terngiang kembali kata-kata Mark sebelum pergi, "menjijikkan".

Seketika, aku merasa seluruh tubuhku kehilangan tenaga dan akhirnya jatuh. Aku tahu dia bicara tentang kejadian lima tahun lalu. Memang semua itu salahku, wajar kalau mereka membenciku.

Saat itu aku baru saja lulus kuliah dan magang di firma hukum terbaik, masa depanku cerah. Akan tetapi, karena terlalu sibuk, aku hampir tidak pernah pulang.

Ayah dan Ibu khawatir. Mereka berencana menjual rumah dan pindah ke kota tempatku bekerja. Rumah di ibu kota sangat mahal. Agar bisa cepat menyusulku, mereka menerima proyek konstruksi dan menjadi penjamin pinjaman.

Nahasnya, orang yang bertanggung jawab atas proyek malah kabur dengan membawa uang. Kami pun terlilit utang besar.

Sejak itu, aku dan kakakku sering mendapat telepon penagihan. Akhirnya, orang tuaku buntu sampai naik ke atap dan bunuh diri.

Hari itu, aku sedang mengikuti atasanku menangani perusahaan Mark yang akan IPO. Di meja makan, Mark terlihat sangat sopan dan lembut. Saat memujiku, senyumannya selalu hangat.

Aku meliriknya, bertemu dengan matanya yang dalam. Jantungku berdebar kencang. Setelah minum satu gelas, aku tidak ingat apa-apa. Saat sadar, semuanya sudah kacau.

Orang tuaku melompat dari atap. Penagih utang datang ke rumah. Kakakku menelepon dengan putus asa. "Karen, cepat pulang. Ada masalah di rumah ...."

Hari itu, aku dan Mark dikepung wartawan di kamar hotel. Orang-orang mengatakan Mark punya gaya hidup yang buruk.

Demi kelancaran IPO, Mark terpaksa berkata kami sudah lama berpacaran. Awalnya aku ingin membantu klarifikasi setelah urusan keluarga selesai. Namun, saat melihat jasad orang tuaku di ruang jenazah yang dingin, aku tak rela. Dengan utang sebesar itu, aku tidak punya energi untuk mencari si penipu.

Akhirnya, aku berkata akan menikah dengan Mark, ingin memanfaatkannya untuk membalas dendam. Aku masih ingat wajah terkejut Mark saat konferensi pers. Dia tampak tak percaya.

Aku mengikuti Mark pulang dan mencoba meminjam uang. Dia pun sangat marah hingga melemparkan kartu bank ke kepalaku. "Jangan ikuti aku lagi. Menjijikkan."

Ini jauh berbeda dengan Mark yang kutemui sebelumnya. Malam itu, aku melihat Loreita datang mencarinya. Wanita itu bersandar di pelukannya dan menangis pelan.

Aku tak sempat berpikir jauh. Uang itu langsung kutransfer ke kakakku untuk membayar utang. Dia pun memakiku tidak tahu malu.

Pada akhirnya, semua itu memang salahku.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Cintaku T'lah Mati   Bab 11

    Aku mencari ke segala arah, tapi tetap tidak melihatnya. Sampai akhirnya, kulihat kerumunan orang mengelilingi taman kecil di pinggir taman kota. Melalui celah di antara kerumunan itu, sepertinya aku melihat sosok yang sangat familier.Sosok itu ... seperti Karen.Langkahku langsung kacau saat berjalan ke sana. Minuman hangat yang kubawa sudah tumpah lebih dari separuh dan membakar kulit tanganku hingga memerah.Wajahnya pucat pasi. Dia tergeletak di tanah, seakan-akan tak lagi bernyawa.Tanpa memedulikan apa pun lagi, aku langsung menerobos maju dan memeluknya. Baru saat itulah aku sadar, bajunya telah basah oleh darah.Bagaimana bisa ... kenapa bisa begini?Tiba-tiba, sebuah ingatan melintas di benakku saat kami bercerai. Setelah dia pergi, ada setengah tempat sampah di kantorku yang dipenuhi tisu. Petugas kebersihan sempat bertanya padaku, apakah ada orang yang terluka.Namun, waktu itu pikiranku sedang dipenuhi tentang bagaimana caranya membalas dendam pada Karen. Aku sama sekali t

  • Cintaku T'lah Mati   Bab 10

    Saat hendak pergi, aku bertabrakan dengan seseorang. Saat mendongak dan melihatnya, orang itu adalah Mark. Sepertinya dia sengaja menungguku di sini.Namun, kami sudah bercerai. Aku benar-benar tidak tahu alasan apa yang membuatnya ingin menemuiku. Jadi, aku berjalan melewatinya tanpa meliriknya lagi sama sekali.Langkahku pelan. Dia masih berdiri di tempat, mungkin tidak menyangka aku sama sekali tidak bicara padanya. Akhirnya dia mengejarku dan berdiri menghalangi jalanku dengan wajah agak bingung."Kamu mau ke mana?"Air mataku belum kering sepenuhnya. Aku menatapnya dengan jengkel, "Bukan urusanmu."Matanya tampak terkejut. Mungkin karena aku terlalu penurut saat bertahun-tahun bersamanya dan jarang sekali berbicara dengan nada seperti itu. Dia terdiam beberapa detik, lalu tiba-tiba menarik lenganku dengan kening berkerut, "Ikut aku pulang ke rumah."Aku merasa akhir-akhir ini aku semakin sering berhalusinasi. Ini pertama kalinya aku mendengar Mark menyebut kata "rumah" padaku.Yan

  • Cintaku T'lah Mati   Bab 9

    Ini pertama kalinya Mark menunjukkan kepedulian yang begitu serius kepadaku. Aku justru merasa lucu. Kami sudah bercerai, baru sekarang dia sadar kalau aku makin kurus.Sepertinya selama ini aku memang terlalu pandai berpura-pura di depannya. Namun kenyataannya, aku tak pernah berpura-pura. Aku benar-benar sekarat.Sebelum aku sempat menjawab, Mark menerima panggilan telepon dan bersiap pergi. Aku tidak terlalu jauh darinya, jadi aku bisa mendengar suara lembut dari seberang. Loreita yang menelepon.Dia menanyakan kapan Mark akan pulang dan bilang sudah menunggunya untuk makan bersama.Aku tersenyum pahit dan menggeleng. Barusan aku bahkan masih sempat berandai-andai kalau pria ini benar-benar peduli padaku.Aku pulang ke rumah sakit dengan naik taksi, lalu tidur dengan nyenyak. Saat bangun, aku meminta Phil menemaniku ke mal terdekat untuk membeli baju baru.Aku berpikir, besok saat pergi ke makam bersama kakakku, aku harus terlihat lebih segar.Setelah memakai baju baru itu, aku mena

  • Cintaku T'lah Mati   Bab 8

    Aku tiba-tiba merasa agak sedih. Selama bertahun-tahun ini, hubunganku dengan kakakku sudah terlalu renggang. Sejak orang tua kami meninggal, kami bahkan tidak pernah benar-benar duduk dan mengobrol dengan baik.Setelah lama diam, dia merapikan selimutku dan berkata, "Mimpi buruk lagi ya? Tidur saja, aku akan berjaga di sini."Mataku memerah, aku kembali berbaring mendengar ucapannya."Kak." Aku menjulurkan kepalaku, bertanya kepadanya dengan hati-hati, "Kakak masih marah sama aku?"Lampu sudah dimatikan. Dalam gelap, kakakku menjawab, "Aku nggak marah, ini semua salahku. Malah kamu yang menanggung semua beban selama ini."Aku menarik selimut lagi dan menutupi kepala, lalu diam-diam menangis di baliknya. Seolah-olah semua kesedihan selama ini perlahan-lahan menghilang pada momen itu.Setelah waktu yang lama, aku membuka selimut dan melihat kakakku masih duduk diam di samping ranjang, menjagaku.Aku teringat perban putih yang membungkus tangan kirinya. Dengan suara serak, aku bertanya,

  • Cintaku T'lah Mati   Bab 7

    Setelah naik ke mobil, aku baru sadar bahwa Loreita juga ada di dalam mobil. Dia menoleh dengan wajah polosnya sambil menyapaku, "Karen, sepertinya kamu makin kurus ya."Mark mendengar itu dan melihatku lewat kaca spion, lalu menanggapi dengan dingin, "Mampus."Aku merasa sedikit jengkel, tetapi tidak ingin menanggapi.Mobil berhenti di depan pengadilan negeri. Begitu turun, kepalaku kembali terasa pusing. Sepertinya penyakitku kambuh lagi.Ketika melihat Loreita menggandeng Mark masuk ke gedung, pandanganku menjadi buram. Tak lama kemudian, aku sudah dipapah keluar dari toilet dengan wajah pucat pasi.Hari ini tubuhku benar-benar lemah. Kalau aku dipaksa berjalan sedikit lagi, mungkin aku akan jatuh di tempat.Antrean sangat panjang, jadi aku mengirim pesan ke Mark menanyakan apakah bisa dijadwalkan ulang.Setelah cukup lama, aku melihat Mark dan Loreita berjalan dari arah meja pendaftaran pernikahan. Mungkin mereka sekalian tanya-tanya soal pernikahan setelah Mark menceraikanku.Mark

  • Cintaku T'lah Mati   Bab 6

    Aku didorong masuk ke ruang operasi dan menjalani proses penyelamatan yang berlangsung lama.Sebenarnya lukaku tidak terlalu parah, tetapi tubuhku yang sudah rusak parah terus mengeluarkan darah yang tidak bisa dihentikan.Untungnya, pada akhirnya tidak ada bahaya besar. Setelah satu hari di ICU, aku dipindahkan ke kamar rawat biasa.Saat ranjangku didorong keluar, aku melihat Mark berdiri di sisi ruangan dengan mata merah, entah apa maksudnya. Mungkin dia datang hanya untuk memastikan aku benar-benar mati atau belum. Sayangnya, aku masih hidup.Phil langsung datang setelah keluar dari ruang operasi. Begitu melihat aku baik-baik saja, dia pun menghela napas lega.Di dalam kamar, matanya juga merah. Aku benar-benar tidak tahu Phil ternyata orang yang mudah menangis.Sejak aku mengenalnya, apalagi setiap kali melihatku dalam kondisi buruk, dia pasti akan mengusap air mata.Aku menggoda sambil tersenyum, "Dokter Phil, aku kelihatan jelek ya?"Dia menatapku dengan bingung. Aku tertawa keci

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status