Share

Bab 3

Penulis: Naila
Aku terjatuh di pinggir jalan, hawa dingin menusuk hingga ke tulang.

Seseorang mendorongku pelan, lalu mengangkatku dengan hati-hati. "Karen ... Karen ...."

Suara itu ... apakah itu Mark atau kakakku? Aku tak bisa membedakannya lagi.

Aku membuka mata dengan perlahan, menatap wajah asing di depanku. Ternyata bukan keduanya, hanya ilusiku saja. Aku meraba wajah dan dahiku, panasnya seperti air mendidih.

Melihat wajahku yang berlumuran darah, pria baik hati yang menyadarkanku tampak terkejut. Dengan segenap tenaga, aku menopang tubuhku yang lemah. Kepalaku terasa sangat berat.

Pria itu bertanya apakah aku perlu dipanggilkan ambulans, tetapi aku menggeleng, menolak niat baiknya. Kemudian, aku berjalan sendiri dengan tubuh yang rapuh menuju rumah sakit.

Langit mulai terang, tubuh yang kaku karena dingin perlahan menghangat. Aku mendaftar dan menunggu dengan tenang. Namun, yang kucari kali ini adalah dokter lain.

Phil, dokterku, melihatku duduk sendirian di bangku lorong. Ekspresinya penuh keheranan. "Kenapa duduk di sini? Apa yang sakit?"

Aku menatapnya dengan sedikit rasa bersalah. "Demam, datang untuk minta obat."

"Masuklah, biar aku periksa." Melihatku tak bergerak, Phil berhenti dan bertanya, "Kenapa?"

"Aku sudah mendaftar ke dokter lain. Nggak apa-apa, hanya butuh obat flu."

"Karen!"

Melihat Phil marah, aku akhirnya berdiri dan mengikutinya masuk. Sebenarnya, aku hanya tak ingin merepotkannya. Setiap kali mencari Phil untuk berobat, dia selalu membebaskan biaya konsultasi atau membayarkan obatku terlebih dahulu. Aku sudah terlalu banyak berutang, takut tak sempat melunasinya sebelum ajal menjemputku.

Setelah menanyakan kondisiku, alis Phil langsung berkerut. Suaranya serius. "Keadaanmu semakin parah, sebaiknya segera dirawat inap."

Aku mendaftar ulang ke Phil melalui ponsel. Kemudian, aku berpura-pura santai saat menyahut, "Nggak perlu, toh juga nggak bisa sembuh. Lebih baik cari uang lebih banyak. Dokter, tolong resepkan obat untuk menghentikan pendarahan, akhir-akhir ini sering mimisan."

Phil yang mengetahui kondisiku seketika terdiam. Aku melihat matanya memerah. Dia diam-diam membelakangiku cukup lama sebelum akhirnya berkata, "Tetap harus dirawat inap, soal biaya nggak perlu kamu pikirkan. Aku ...."

"Lain kali saja." Aku memotong ucapannya, tak membiarkannya melanjutkan.

Phil membuka mulut, lalu menutupnya kembali, tak berkata apa-apa. Akhirnya, aku yang memecah keheningan itu.

"Dokter, kamu pernah bilang ingin merekomendasikanku kepada seorang klien, apa aku masih bisa menangani kasus klien itu?"

Phil langsung menolak, "Kondisimu sekarang nggak cocok untuk bekerja."

Aku tak punya pilihan. Aku memohon padanya cukup lama, barulah dia bersedia memberiku kontak temannya.

Melihat tatapan khawatirnya, aku menjamin, "Tenang saja, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan kasus temanmu."

Setelah berpikir sejenak, aku tahu apa yang dikhawatirkannya, jadi aku berjanji lagi, "Setelah mendapat uang, aku akan segera datang untuk rawat inap."

Selama setengah bulan ini, semuanya berjalan lancar. Kasus dari teman Phil mudah ditangani, buktinya cukup, jadi dalam seminggu lagi bisa selesai.

Melihat uang yang masuk ke rekeningku, aku tahu itu berkat Phil. Mereka memercayaiku karena menghargai Phil. Jadi, aku menelepon Phil, mengajaknya makan untuk mengucapkan terima kasih.

Di restoran, kebetulan kami bertemu dengan rekan kerja Phil, jadi kami duduk bersama. Baru saja duduk, seseorang masuk dari luar. Aku menoleh, ternyata Mark.

Dia melihatku tanpa ekspresi, menarik kursi dan duduk. Dia berteman baik dengan kepala departemen Phil. Hubungannya dengan Phil juga cukup baik, tetapi entah kenapa tatapannya pada Phil tidak bersahabat.

Selama makan, Phil membantuku menolak minuman, tetapi Mark terus mendesak.

"Aku ingat Karen cukup kuat minum, kenapa hari ini menolak?" tanya Mark.

Wajah Phil tampak suram. Dia menolak untukku, "Dia nggak bisa minum."

Mark tampak tak mau menyerah dan maju untuk menuangkan minuman untukku.

"Karen bisa minum atau nggak, dia sendiri yang tahu." Nada suara Mark penuh ancaman.

Aku tahu, jika hari ini aku tidak minum, dia akan menargetkan Phil. Mark selalu begitu, tak segan menggunakan cara apa pun. Aku tidak ingin Phil terlibat, jadi aku mengambil gelas yang penuh itu dan meneguknya.

Minuman keras itu membakar tenggorokan dan perutku. Aku minum segelas, Mark juga minum segelas. Setelah beberapa gelas, aku akhirnya mabuk berat.

Melihat keadaanku yang tidak baik, orang-orang mulai mencegah. "Karen cukup kuat minum, tapi hari ini sudah cukup. Lain kali baru minum lagi."

Mark tampaknya tidak ingin melepaskanku. Pria itu terus menuangkan minuman.

Temannya pun menahannya sambil bercanda, "Kalau terus minum, istrimu bisa marah padaku."

Mark termangu menatapku. Aku pun panik. Selain Phil, mereka belum tahu bahwa Mark menikah denganku lima tahun lalu.

"Kami sudah cerai, dia nggak berhak mengaturku," timpal Mark.

Sesaat, aku merasa Mark cemburu. Namun, saat menatap matanya, yang kulihat hanyalah kebencian yang jelas. Aku sadar, dia selalu membenciku. Sejak lima tahun lalu, saat aku memisahkan dirinya dan Loreita.

Phil memapahku keluar. Dia ingin mengantarku, tetapi aku tidak punya tempat tinggal tetap, bahkan aku sendiri tidak tahu harus ke mana. Jadi, aku menolak.

Efek alkohol mulai terasa. Aku menahan mual dan berniat memesan hotel terdekat untuk menginap.

Dalam keadaan setengah sadar, aku merasa Mark mengikutiku dari belakang. Namun, kepalaku pusing. Malam yang gelap membuat penglihatanku kabur, banyak hal yang tak bisa kulihat dengan jelas.

Aku memesan sebuah kamar. Saat pintu hampir tertutup, seseorang menerobos masuk. Orang itu menarik lenganku dan melemparkanku ke tempat tidur.

Perutku mual, aku segera berlari ke kamar mandi dan muntah. Di cermin, aku melihat Mark berdiri tepat di belakangku.

Dia mencengkeram daguku, memaksaku menatapnya. Nada suaranya penuh kebencian. "Sepertinya setelah bercerai dariku, kamu cukup populer di kalangan pria ya."

Aku ingin menjelaskan, tetapi rasanya tidak perlu. Melihatku diam, dia sontak mengempaskanku dengan marah. Dia pun menggertakkan gigi saat menambahkan, "Karen, jangan lupa kita belum sah bercerai!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cintaku T'lah Mati   Bab 11

    Aku mencari ke segala arah, tapi tetap tidak melihatnya. Sampai akhirnya, kulihat kerumunan orang mengelilingi taman kecil di pinggir taman kota. Melalui celah di antara kerumunan itu, sepertinya aku melihat sosok yang sangat familier.Sosok itu ... seperti Karen.Langkahku langsung kacau saat berjalan ke sana. Minuman hangat yang kubawa sudah tumpah lebih dari separuh dan membakar kulit tanganku hingga memerah.Wajahnya pucat pasi. Dia tergeletak di tanah, seakan-akan tak lagi bernyawa.Tanpa memedulikan apa pun lagi, aku langsung menerobos maju dan memeluknya. Baru saat itulah aku sadar, bajunya telah basah oleh darah.Bagaimana bisa ... kenapa bisa begini?Tiba-tiba, sebuah ingatan melintas di benakku saat kami bercerai. Setelah dia pergi, ada setengah tempat sampah di kantorku yang dipenuhi tisu. Petugas kebersihan sempat bertanya padaku, apakah ada orang yang terluka.Namun, waktu itu pikiranku sedang dipenuhi tentang bagaimana caranya membalas dendam pada Karen. Aku sama sekali t

  • Cintaku T'lah Mati   Bab 10

    Saat hendak pergi, aku bertabrakan dengan seseorang. Saat mendongak dan melihatnya, orang itu adalah Mark. Sepertinya dia sengaja menungguku di sini.Namun, kami sudah bercerai. Aku benar-benar tidak tahu alasan apa yang membuatnya ingin menemuiku. Jadi, aku berjalan melewatinya tanpa meliriknya lagi sama sekali.Langkahku pelan. Dia masih berdiri di tempat, mungkin tidak menyangka aku sama sekali tidak bicara padanya. Akhirnya dia mengejarku dan berdiri menghalangi jalanku dengan wajah agak bingung."Kamu mau ke mana?"Air mataku belum kering sepenuhnya. Aku menatapnya dengan jengkel, "Bukan urusanmu."Matanya tampak terkejut. Mungkin karena aku terlalu penurut saat bertahun-tahun bersamanya dan jarang sekali berbicara dengan nada seperti itu. Dia terdiam beberapa detik, lalu tiba-tiba menarik lenganku dengan kening berkerut, "Ikut aku pulang ke rumah."Aku merasa akhir-akhir ini aku semakin sering berhalusinasi. Ini pertama kalinya aku mendengar Mark menyebut kata "rumah" padaku.Yan

  • Cintaku T'lah Mati   Bab 9

    Ini pertama kalinya Mark menunjukkan kepedulian yang begitu serius kepadaku. Aku justru merasa lucu. Kami sudah bercerai, baru sekarang dia sadar kalau aku makin kurus.Sepertinya selama ini aku memang terlalu pandai berpura-pura di depannya. Namun kenyataannya, aku tak pernah berpura-pura. Aku benar-benar sekarat.Sebelum aku sempat menjawab, Mark menerima panggilan telepon dan bersiap pergi. Aku tidak terlalu jauh darinya, jadi aku bisa mendengar suara lembut dari seberang. Loreita yang menelepon.Dia menanyakan kapan Mark akan pulang dan bilang sudah menunggunya untuk makan bersama.Aku tersenyum pahit dan menggeleng. Barusan aku bahkan masih sempat berandai-andai kalau pria ini benar-benar peduli padaku.Aku pulang ke rumah sakit dengan naik taksi, lalu tidur dengan nyenyak. Saat bangun, aku meminta Phil menemaniku ke mal terdekat untuk membeli baju baru.Aku berpikir, besok saat pergi ke makam bersama kakakku, aku harus terlihat lebih segar.Setelah memakai baju baru itu, aku mena

  • Cintaku T'lah Mati   Bab 8

    Aku tiba-tiba merasa agak sedih. Selama bertahun-tahun ini, hubunganku dengan kakakku sudah terlalu renggang. Sejak orang tua kami meninggal, kami bahkan tidak pernah benar-benar duduk dan mengobrol dengan baik.Setelah lama diam, dia merapikan selimutku dan berkata, "Mimpi buruk lagi ya? Tidur saja, aku akan berjaga di sini."Mataku memerah, aku kembali berbaring mendengar ucapannya."Kak." Aku menjulurkan kepalaku, bertanya kepadanya dengan hati-hati, "Kakak masih marah sama aku?"Lampu sudah dimatikan. Dalam gelap, kakakku menjawab, "Aku nggak marah, ini semua salahku. Malah kamu yang menanggung semua beban selama ini."Aku menarik selimut lagi dan menutupi kepala, lalu diam-diam menangis di baliknya. Seolah-olah semua kesedihan selama ini perlahan-lahan menghilang pada momen itu.Setelah waktu yang lama, aku membuka selimut dan melihat kakakku masih duduk diam di samping ranjang, menjagaku.Aku teringat perban putih yang membungkus tangan kirinya. Dengan suara serak, aku bertanya,

  • Cintaku T'lah Mati   Bab 7

    Setelah naik ke mobil, aku baru sadar bahwa Loreita juga ada di dalam mobil. Dia menoleh dengan wajah polosnya sambil menyapaku, "Karen, sepertinya kamu makin kurus ya."Mark mendengar itu dan melihatku lewat kaca spion, lalu menanggapi dengan dingin, "Mampus."Aku merasa sedikit jengkel, tetapi tidak ingin menanggapi.Mobil berhenti di depan pengadilan negeri. Begitu turun, kepalaku kembali terasa pusing. Sepertinya penyakitku kambuh lagi.Ketika melihat Loreita menggandeng Mark masuk ke gedung, pandanganku menjadi buram. Tak lama kemudian, aku sudah dipapah keluar dari toilet dengan wajah pucat pasi.Hari ini tubuhku benar-benar lemah. Kalau aku dipaksa berjalan sedikit lagi, mungkin aku akan jatuh di tempat.Antrean sangat panjang, jadi aku mengirim pesan ke Mark menanyakan apakah bisa dijadwalkan ulang.Setelah cukup lama, aku melihat Mark dan Loreita berjalan dari arah meja pendaftaran pernikahan. Mungkin mereka sekalian tanya-tanya soal pernikahan setelah Mark menceraikanku.Mark

  • Cintaku T'lah Mati   Bab 6

    Aku didorong masuk ke ruang operasi dan menjalani proses penyelamatan yang berlangsung lama.Sebenarnya lukaku tidak terlalu parah, tetapi tubuhku yang sudah rusak parah terus mengeluarkan darah yang tidak bisa dihentikan.Untungnya, pada akhirnya tidak ada bahaya besar. Setelah satu hari di ICU, aku dipindahkan ke kamar rawat biasa.Saat ranjangku didorong keluar, aku melihat Mark berdiri di sisi ruangan dengan mata merah, entah apa maksudnya. Mungkin dia datang hanya untuk memastikan aku benar-benar mati atau belum. Sayangnya, aku masih hidup.Phil langsung datang setelah keluar dari ruang operasi. Begitu melihat aku baik-baik saja, dia pun menghela napas lega.Di dalam kamar, matanya juga merah. Aku benar-benar tidak tahu Phil ternyata orang yang mudah menangis.Sejak aku mengenalnya, apalagi setiap kali melihatku dalam kondisi buruk, dia pasti akan mengusap air mata.Aku menggoda sambil tersenyum, "Dokter Phil, aku kelihatan jelek ya?"Dia menatapku dengan bingung. Aku tertawa keci

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status