Share

02. Pandangan Pertama

[Lima tahun sebelumnya]

"Guys, tahu nggak tadi aku sempat lihat ada murid baru, cowok, di ruang guru gitu, gantengnya ngalahin Aliando Syarief. Terus usut punya usut nih, Detektif Nina dapat info kalau itu cowok cakep bakalan masuk ke kelas kita."

Suasana kelas pagi ini hingar bingar bersaing dengan ramainya terminal angkot yang ada di seberang sekolahan. Maklum sekarang sudah jam pelajaran, namun Bu Cicil, guru bahasa Inggris sekaligus wali kelas kami, yang mengajar di jam pertama ini belum hadir.

Dan Nina si tukang gosip telah memulai acara gibahannya.

"Beneran ada cogan gituh?" Sandra yang duduk di samping Nina terpekik girang. Mereka berdua kompak cekikikan, dan melakukan toss dengan dua tangan berkali-kali.

"Salah dengar kali loe, Nin. Masa iya ada murid baru pindah ke kelas tiga? Tanggung banget, udah jalan dua bulan pula kita di tahun ajaran ini," tukasku mencoba menyadarkan mereka dari mabuk cowok.

"Idih, dibilangin juga kagak percaya lo," sungut Nina. "Entar kalau elo udah lihat bisa-bisa malah loe yang jatuh cintrong, Vel. Wuahaha." Nina mengejekku sambil tertawa ngakak.

Gedeg! Malah makin nggak jelas omongan manusia satu ini, masih dilanjutkan pula gosipnya.

"Si Aliando ni anak orang kaya, Cin. Gosipnya dia pindah ke mari karena dua kali gagal naik kelas di sekolahnya yang dulu, kerjaannya bolos mulu sih. Rencana mau di-DO sama kepseknya, tapi bokapnya memohon supaya anaknya tidak dikeluarkan secara tidak hormat. Makanya doi dipindahkan ke mari."

Nina bertutur dengan begitu khidmat, seolah sedang menceritakan sejarah penting terbentuknya Gunung Sahari ... eh, Gunung Sahari ada sejarahnya nggak sih?

"Nggak naik kelas dua kali? Udah tua dong berarti? Hahaha," timpal Sandra semakin heboh. Kedua sahabatku itu kembali cekikikan.

Nina kalau sudah ngegosip bisa selengkap itu ya, salut juga sih. Terlebih lagi, setahuku, dia cuma menggosipkan hal yang sudah terbukti kebenarannya, bukan sekadar kabar angin yang masih simpang siur.

Mungkin dulu ibunya Nina ingin anaknya menjadi seorang wartawan gosip setelah lahir dan besar, jadi presenter di acara gosip setajam Sulit.

Terus, itu berarti apa yang Nina sebutkan tentang cowok tadi benar dong?

Duh, jadi penasaran saya ... sedikit sih.

Untungnya kami tak perlu menunggu terlalu lama untuk memperoleh jawabannya, sampai mati penasaran.

Selagi Nina bergosip manja dengan Sandra, Bu Cicil muncul bersama murid baru yang dimaksud oleh Nina, siapa lagi kalau bukan si Aliando gadungan.

Eh, memang ganteng sih, walau nggak betul-betul mirip Aliando, sama-sama manis saja. Begitu datang dia langsung cengar-cengir tebar pesona. Dih! Aliando syaraf deh kalau yang macam ini.

"Wuhuhuuuu! Suit suiiit..!!"

Kelas yang tadinya ribut sekarang jadi teratur, teratur ributnya maksud saya, bisa ribut bareng-bareng gitu. Mereka sibuk bertepuk tangan, dan bersiul menggoda si calon siswa baru di kelas kami.

Para siswi terutama yang paling getol mencari perhatian dari si syaraf, membuat keributan begini dan begitu. Caper, lah, pokoknya!

"Hi, Class!" sapa Bu Cicil ceria.

"Hi, Miss!" sahut kami kompak.

Begitulah Bu Cicil, suka menyapa kami dengan bahasa Inggris walaupun setelah itu melokal lagi. Repot juga sih kalau harus membawakan pelajaran bahasa Inggris dengan pengantar berbahasa Inggris pula.

Repot di Bu Cicil, karena harus mikir dulu untuk menyusun kata-kata sebelum ngomong, dan lebih repot lagi di pihak murid-murid karena rawan terjadi ketidakpahaman.

"Kalian ini ya, saya terlambat masuk kelas sebentar saja ramainya sudah mengalahkan penonton konser Seventeen," sungut Bu Cicil dengan tatapan genit.

Tuh, kan, dia sudah kembali ke bahasa ibunya.

"BTS dong, Bu!" seru beberapa murid.

"Blackpink, Blackpink!"

"Big Bang!"

"SHINee! Suju!"

"Exo!"

Ya, elah! Hanya demi mendengar kata Seventeen, para K-popers di kelas kami malah mempromosikan grup favorit masing-masing.

"Siapa pula itu BTS? Saya tahunya cuma Seventeen, Five Minutes, sama Serius," ucap Bu Cicil dengan polosnya.

Ggrrrrrr! Salah sambung, Saudara-saudara! Begitulah perbedaan generasi menimbulkan salah persepsi: yang satu bicara K-Pop, yang lain ngomongin grup band Indonesia yang sudah cukup lama.

Untungnya cuma salah persepsi, ya, bukan salah resepsi. Kondangan itu, mah!

Kelas yang sudah sempat tenang pun kembali gaduh. Aliando palsu bahkan ikut menahan tawa karena lawakan Bu Cicil.

"Serius sudah bubar, Bu!" seru salah satu siswa.

Walaupun ia mengajar bahasa Inggris yang katanya momok selain matematika, Bu Cicil ini sama sekali nggak menyeramkan, lucu dan menggemaskan malahan. Sampai ada yang curiga bahwa wali kelas kami ini punya kerja sampingan sebagai seorang pelawak.

"Guys, dan terutama para ladies, apa kalian tidak penasaran dengan cowok ganteng nan imut di sebelah Miss Cicilia ini?" tanya Bu Cicil sembari mengedip-edipkan matanya dengan cara yang lucu.

Sontak para siswi, termasuk Nina dan Sandra, menjadi heboh.

"Penasaran, Bu!" seru mereka.

"Kenalin dong, Bu!" timpal yang lain.

Bahkan ada yang spontan bernyanyi, "Sungguh mati aku jadi penasaran." Duh, masih pagi, tapi suasananya sudah seperti pasar malam saja.

"Oke, oke," seru Bu Cicil menenangkan. "Biar teman baru kalian yang langsung memperkenalkan diri ya. Ayo perkenalkan dirimu, Nak."

Dengan senyum lebar murid baru itu memperkenalkan diri. "Halo, teman-teman. Nama gue Erick Marvelous Wijaya, biasa dipanggil Erick, tapi ada juga yang manggil ganteng atau sayang," ucap siswa baru itu dengan kepercayaan diri yang sedikit berlebihan.

Alamak! Saya yakin seratus persen ini cowok playboy cap kadal. Pede banget minta disebut ganteng atau sayang!

Herannya teman-teman cewek malah kembali heboh, kayak yang dibilang Bu Cicil tadi, seperti penonton konser Seventeen.

Setelah kehebohan mereda, Bu Cicil akhirnya memberi mandat pada Aliando tiruan itu. "Berhubung hanya ada satu kursi yang kosong, silakan Erick duduk di sana ya, di belakang di samping siswi cantik bernama Velove itu," titahnya tanpa ragu.

What??? Aku membulatkan mataku. Kenapa aku baru sadar bahwa hanya ada satu kursi kosong di kelas ini dan itu di mejaku? Gawat ini!

Nina dan Sandra kompak menggodaku. "Cie ciee. Awas jatuh hati, Vel! Hihihi."

"Siapa juga yang bakalan jatuh hati sama tukang tebar pesona?" sungutku sebal.

"Hati-hati, loe, kemakan omongan sendiri baru tahu rasa," cibir Nina belum puas mengejekku.

"Rasa balado, barbeque dan rumput laut," sosor Sandra tak mau kalah. Mereka berdua cekikikan lagi.

Aku hanya bisa memutar bola mataku, lelah melihat kelakuan mereka berdua.

Sesaat kemudian Aliando rasa balado, eh salah, cowok yang katanya mirip Aliando itu sudah sampai di meja barunya, di sebelahku. Aku memilih untuk sibuk menyiapkan buku bahasa Inggrisku, pura-pura sibuk sendiri, dan tak mengacuhkannya.

"Hai," sapa si Aliando KW setelah duduk di sebelahku. Mau tak mau aku menengok ke arahnya ... demi kesopanan. Kini aku bisa melihat wajahnya dengan jelas.

"Aku Erick." Ia menyebutkan namanya, sambil mengulurkan tangan, mengajakku berkenalan. Lalu ia tersenyum dengan begitu manis.

Oh, Mama! Tatapan mata dan senyumannya seolah menghentikan waktu. Apakah ini yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama? Atau terpesona?

Seperti orang dungu aku hanya bisa membalas uluran tangannya. "Velove," ucapku tanpa dapat mengalihkan pandangan dari wajahnya.

"Velove, ya? Jadi bisa aku panggil kamu Love, ya. Hai, Love," katanya lagi dengan suara yang begitu manis. Senyumannya kian memesona dan tatapan matanya semakin lembut memikat netraku.

Seketika aku merasakan desiran aneh di dadaku, dan seolah ada ratusan kupu-kupu dan butiran popcorn beterbangan di sekitar aku dan dia. Segera kutarik tanganku, dan kualihkan tatapanku agar tak lagi melihatnya.

Dengan tangan yang sedikit gemetar aku memegang buku dan pena. Aku salah tingkah, sampai bingung mau menulis atau membaca. Akhirnya aku menatap ke depan melihat Bu Cicil yang telah memulai pelajaran bahasa Inggris di kelas kami.

"Huuufffttt." Diam-diam aku mengembuskan napas panjang, guna menenangkan diri.

Bagaimana bisa aku deg-degan tak karuan seperti ini, sementara si murid baru yang suka menggoda tadi bersikap tenang dalam sekejap, dan mengikuti pelajaran dengan sikap khusuk?

Berkat materi yang disampaikan oleh Bu Cicil aku bisa mengalihkan perhatianku dari Erick.

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Si murid baru kembali menarik perhatianku dengan terus bersikap gelisah, seperti murid yang mengeluhkan sulitnya pelajaran yang tak dipahaminya.

"Kamu kenapa? Ada yang sulit?" tanyaku kepada Erick. Sebagai anak yang diajar untuk peka saat orang lain membutuhkan bantuan, aku bertanya kepada teman baruku itu.

Erick memalingkan kepalanya ke arahku, tatapan matanya seakan menunjukkan keraguannya untuk bertanya.

"Itu ... aku sedikit penasaran saja," ucapnya dengan senyum malu.

"Penasaran kenapa? Ada yang kamu tidak paham?" ujarku seramah mungkin. Walaupun aku sempat bersikap acuh tak acuh, aku tak ingin Erick mendapat kesan aku teman yang sombong dan tak mau membantu orang lain.

"Hehe, anu, itu ...."

"Nggak apa-apa, sampaikan saja," kataku meyakinkannya. Aku bahkan tersenyum lebar kepada Erick.

Dengan sikap canggung Erick akhirnya menyampaikan pertanyaan yang di luar nalar. "Aku penasaran saja. Kamu pernah capek nggak selalu terlihat cantik memukau seperti ini?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status