Share

4. Kedatangan Budhe Ning

Pengunjung hik semakin lama semakin ramai. Entah sudah berapa lama dua sejoli itu berada di sana. Es teh yang dipesan oleh Ayu sudah mencair, merubah minuman pekat itu menjadi dua warna, bening dan merah kecokelatan di bagian bawah.

Ayu mendongak dan memperhatikan mata kekasihnya yang teduh. Kedua mata yang selalu memberinya ketenangan.

“Jadi kita akan mencoba kembali, Mas?”

Danang mengangguk penuh percaya diri. Lelaki yang bekerja di bank swasta ini menganggap penolakan itu sebagai bentuk ujian cintanya terhadap Ayu. Bisa jadi calon mertuanya itu ingin melihat bagaimana keteguhan hati laki-laki yang memberanikan diri untuk mempersunting putri mereka.

“Insya Allah Yu, kita usaha dulu, selebihnya biar jadi urusan Sang Pemberi Hidup.”

Ayu pun terdiam lagi, kali ini bukan karena memikirkan cara apa yang harus ditempuh agar keluarganya bisa menerima kehadiran Danang. Namun ia merasa malu karena telah mengungkapkan ide konyol yang harusnya tidak perlu dibicarakan pada kekasihnya. Untung saja Danang masih bisa berpikir jernih sehingga mereka tidak melakukan hal yang diluar batas.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat dua puluh menit ketika Ayu tiba di rumahnya. Saat itu lampu ruang tengahnya masih menyala, dan Ibunya masih berada di situ bercakap-cakap dengan sang kakak yang biasa dipanggil Ayu Budhe Ning.

Ayu mendengkus kesal saat mendapati sosok wanita paruh baya itu berada di sana. Budhe Ning dipandang Ayu sebagai seorang wanita yang berpikiran sangat tradisional, bahkan lebih parah dari kedua orang tuanya.

“Huh, bakal panjang ini urusannya kalau ada budhe,” pikir Ayu malas untuk berbicara dengan kakak dari Ibunya.

Apapun yang akan dibicarakan, Ayu sebagai yang termuda di rumah tentu saja tak memiliki hak untuk menyuarakan keinginannya sendiri. Ia hanya bisa menjadi seorang pendengar, dan seringkali hanya bisa berkata ya pada wanita itu. Apapun yang terjadi dia akan selalu salah.

Namun bagaimanapun juga, ia harus menemui Budhe Ning, menyalami wanita itu dan berbasa-basi. Jika beruntung ia akan mendapatkan wejangan yang entah berapa jam lamanya.

Budhe, mpun dangu (Sudah lama budhe)?” tanya Ayu mencoba berbasa-basi kemudian mencium punggung tangan wanita itu.

Budhe Ning membalas uluran tangan Ayu dan memandang dirinya sinis. Terus menguliti keponakannya dengan tatapan dari atas ke bawah.

Cah wadhon yah mene tas mulih omah, ngopo wae kowe Nduk (Anak perempuan jam segini baru pulang, ngapain aja kamu)?” tanya Budhe Ning kemudian membuang muka seolah ia tidak berkenan untuk bertemu dengan keponakannya.

“Iya Budhe, Ayu tadi dari tempat teman,” kata Ayu dengan sopan, dan mencoba untuk menghargai kakak dari Ibunya.

Dolan wae, jaman budhe karo ibumu isih nom ra tau metu begi-bengi. Ba’da maghrib ngaji nganti isya terus mulih ngewaki mbah e nggarap konveksi (Main saja, jaman Budhe dan Ibumu masih muda, kami tidak pernah keluar rumah malam-malam. Setiap Ba’da maghrib mengaji sampai isya setelah itu membantu Mbah mengerjakan orderan konveksi).

Ayu hanya diam, sekilas ia melirik ke arah Ibunya, tapi wanita yang melahirkannya itu tidak bicara apa-apa seakan menyerahkan dirinya pada Budhe Ning.

"Iya budhe, tapi jaman sekarang dan dulu kan berbeda. Kadang Ayu juga bekerja di malam hari,” Ayu berusaha menjelaskan.

Budhe Ning hanya menggeleng tidak suka mendengar ucapan keponakannya itu.

“Kerja? Kerjamu apa to nduk kok malam hari. Jangan-jangan kamu kerja yang nggak bener ya?”

Wanita bersanggul itu pun melirik ke arah adiknya, “Piye kowe ndidik anakmu nganti kerjo bengi-bengi Mi (Bagaimana kamu mendidik anakmu hingga harus bekerja di malam hari)?”

Bu Ratmi tersenyum kecut, kemudian memutar posisi duduknya menghadap pada sang kakak.

“Ayu kerja di Rumah Sakit sebagai tenaga administrasi Mbak. Ayu bekerja dalam shift, jadi kadang dia masuk sore atau malam,” jelas Ibu Ayu dan ditanggapi oleh gelengan kepala dari Budhe Ning.

“Ratmi … Ratmi, harusnya anak perempuan seusia Ayu ini sudah menikah sekarang, nggak perlu lagi bekerja hingga malam hari. Apa nggak ada to laki-laki yang mau meminang putrimu ini?” tanya Budhe Ning.

Wanita paruh baya ini pun melirik ke arah Ayu yang masih berdiri diantara mereka.

“Yu, umurmu sekarang berapa?” tanya Budhe Ning.

“27 Budhe.”

"Opo (Apa)?” tanya Budhe Ning tak percaya.

Ayu dan Bu Ratmi sama-sama mengangguk dan membenarkan apa yang baru saja diucapkan oleh Ayu. Sementara Budhe Ning hanya menggelengkan kepala.

Ayu jelas tahu apa yang sebenarnya ada di pikirkan oleh Budhenya. Wanita paruh baya ini pasti menganggap Ayu adalah perawan tua yang tak laku. Seorang perempuan yang tidak memiliki kemampuan mengurus diri dan rumah tangga seperti gambaran perempuan ideal menurut Budhe Ning.

“Ayu apa nggak bisa masak? Nggak bisa nyuci?” tanya Budhe Ning menyelidik, mencari kekurangan keponakannya.

“Bisa budhe,” jawab Ayu sopan.

Lah masalahe opo terusan, wong bocahe ayu, pinter, sarjana, iso tandang gawe mosok ora ono sing nembung, opo kowe kakehan milih (Lalu apa masalahnya apa, anaknya cantik, pinter, sarjana, bisa mengurus rumah, bagaimana bisa tidak ada yang meminang, apa kamu terlalu pilih-pilih)?” tanya Budhe Ning yang menyesali keadaan keponakannya yang sampai saat ini belum juga menikah.

Ayu hanya bisa menahan emosi mendengar ucapan dari Budhenya ini. Padahal dalam hati ia ingin mengeluarkan uneg-unegnya pada wanita paruh baya itu. Namun jika ia melakukannya, Ayu khawatir kalau masalah akan semakin panjang.

Budhe Ning pasti akan menganggapnya sebagai anak yang tak tahu sopan santun. Bisa-bisa ia mendapat amarah dari Ibu dan juga budhenya.

Ingin rasanya Ayu memaparkan kondisi putri budhe Ning yang statusnya hanya istri kedua dan dinikahi secara siri, atau putri beliau satu lagi yang pernikahannya gagal karena suaminya suka main tangan. Juga putranya satu-satunya yang terpaksa menikahi kekasihnya karena sudah hamil di luar nikah.

“Budhe … budhe apa nggak ngaca dulu ya sebelum ngomongin aku?” batin Ayu.

“Sebenarnya kemarin sudah ada yang meminang, sudah lama menjalin hubungan. Orangnya kerjaannya sudah mapan, sudah punya rumah dan mobil, tapi terpaksa saya tolak,” papar Bu Ratmi.

“Ditolak? Lapo ditolak (kenapa ditolak)?”

Bu Ratmi melirik ke arah Ayu, kemudian kembali memandang ke arah kakaknya sambil menghembuskan napas panjang.

Lha pripun Mbak, weton temu selawe (Lha bagaimana Mbak, wetonnya ketemu angka 25),” jelas Bu Ratmi sedikit menyesal.

Ayu menyimpulkan kalau sebenarnya Ibunya menyukai sosok Danang. Wanita ini jelas menunjukkan kekecewaan karena lelaki yang selama ini dikenal baik dengan putrinya tidak berjodoh secara weton.

Weton temu selawe?” tanya Budhe Ning tak percaya.

Kemudian wanita paruh baya ini pun membenarkan keputusan adiknya yang menolak pinangan dari lelaki itu.

“Bener-bener weton ketemu 25 memang tidak boleh menikah. Itu angka kutukan, rumah tangga bisa hancur.”

Bu Ratmi memegang tangan kakaknya dan melirik ke arah Ayu sejenak.

“Itulah Mbak, kenapa saya minta Mbak untuk datang ke sini dan membantu menasihati Ayu kalau lelaki pilihan Ayu itu tidak tepat untuknya. Mbak kan paham betul mengenai weton dan perhitungannya, saya minta tolong supaya Mbak meyakinkan Ayu akan hal ini,” pinta Bu Ratmi dibalas dengan anggukan dari kakaknya.

Ayu yang mendengar ucapan Ibunya ini pun langsung memprotes.

“Bu, kenapa Ibu terus-terusan membahas masalah ini. Mas Danang itu orang baik, dia juga sudah mapan, bahkan menyiapkan semuanya untuk saya agar ketika berumah tangga nanti tidak merasa kesulitan,” jelas Ayu membela lelaki yang dicintainya.

“Lho, koq sudah berani ngelawan Ibumu to Yu? Pasti gara-gara lelaki yang meminang kamu itu!” seru Budhe Ning.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status