LOGIN
“Suamimu selingkuh, Jane. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, dia sedang menghadiri pesta ulang tahun anaknya di hotel.”
Brak!
Pintu aula hotel terbuka dengan hentakan yang membuat semua kepala menoleh. Seketika itu Jane langsung datang ke hotel yang disebut oleh teman kantornya bahwa dia melihat Andrew sedang merayakan ulang tahun seorang anak kecil yang diduga adalah anaknya.
“Tidak mungkin …,” matanya langsung terbelalak menatap Andrew—sang suami yang tengah menggendong seorang anak dengan kue ulang tahun terpampang nyata di hadapannya.
Tiga tahun. Lilin yang menempel di kue ulang tahun itu sudah memberi jawaban bahwa Andrew telah memiliki seorang anak berusia tiga tahun.
Jane membeku di tempat menatap nyalang wajah Andrew yang bahkan tak terkejut sama sekali melihatnya di sana.
“Padahal usia pernikahan kami baru berjalan empat tahun. Itu artinya … perselingkuhan itu dimulai hanya beberapa bulan setelah kami menikah?”
Atau mungkinkah dia yang sebenarnya menjadi selingkuhan?
Pertanyaan itu menghantam kepalanya seperti badai. Jane tidak tahu mana yang lebih menyakitkan. Fakta bahwa Andrew berselingkuh, atau kemungkinan bahwa selama ini dialah pihak yang tak pernah benar-benar dimiliki.
Andrew menatap Jane dengan ekspresi kaku, seolah kehadiran istrinya di pesta anak hasil perselingkuhannya hanyalah gangguan kecil.
“Jane.” Andrew menatap datar wajah Jane.
“Oh, kau datang juga,” ucap Audi dengan nada manis yang dibuat-buat. “Sayang sekali, pestanya hampir selesai. Tapi tidak apa, kau masih sempat melihat suamimu meniup lilin bersama anaknya.”
Ia menekankan kata terakhir dengan kejam—anaknya.
Beberapa tamu saling berbisik menatap Jane dengan tatapan iba bercampur penasaran.
Jane bisa merasakan darahnya mendidih. Air mata sempat ingin turun, namun dia tahan. Dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan suami dan juga selingkuhannya yang telah menyakiti relung hatinya.
“Kenapa kau melakukan ini padaku, Andrew? Apa yang membuatmu mengkhianatiku?” tanyanya dengan suara bergetar sambil mengepalkan tangannya.
Audi menatapnya dari atas ke bawah, lalu tertawa kecil. “Karena kau memalukan, Jane,” jawabnya dengan santai.
“Terlalu kurus, pucat, dan kaku. Kau tidak bisa merawat diri dan akhirnya Andrew, kekasihku, memilih untuk mengkhianatimu,” lanjutnya kemudian terkekeh pelan, kekehan ejekan yang berhasil membuat hati Jane tercabik-cabik.
“Apa benar itu, Andrew? Kau … kau mengkhianatiku karena alasan itu?” tanyanya kemudian.
Andrew hanya menatap datar wajah Jane dan diamnya adalah jawaban bagi Jane.
Jane merasakan dunia runtuh seketika.
Ia dulu percaya bahwa cinta bisa menyembuhkan segalanya. Ia rela menanggung rasa sepi saat Andrew tak pulang, menutup mata terhadap pesan-pesan mencurigakan, meyakinkan diri bahwa semua hanya karena pekerjaan.
Tapi kini dia sadar: dia sedang mencintai seseorang yang bahkan tak pernah menganggapnya cukup.
Jane menggenggam tas kecilnya dengan erat, lalu berbalik tanpa kata. Suara hak sepatunya bergema tajam di lantai marmer meninggalkan aula hotel yang tiba-tiba terasa terlalu sempit untuk menampung air matanya.
**
Jane duduk di bangku taman kota yang sepi tak jauh dari hotel tempat pesta berlangsung. Ia memeluk tubuhnya sendiri sambil mencoba menahan gemetar yang bukan hanya karena udara, tapi karena kehancuran.
Air mata mengalir deras membasahi pipinya. Empat tahun hidupnya terasa sia-sia.
Ia berhenti bekerja selama satu tahun demi mengurus rumah dan mendukung karier Andrew. Ia menolak tawaran promosi hanya agar bisa makan malam bersamanya setiap malam, tapi Andrew tak pernah pulang.
Dan sekarang? Dia bahkan menjadi bahan olok-olokan di depan umum.
“Cukup, Jane,” bisiknya pada diri sendiri, suaranya parau. “Berhenti menangis. Kau sudah terlalu sering dipermalukan.”
Ia menarik napas panjang dan mencoba menenangkan diri. Matanya menatap kosong ke seberang jalan, dan di sanalah dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya berhenti berdetak sejenak, sebuah papan iklan besar bertuliskan:
“TRANSFORM YOURSELF. THE BODY, THE MIND, THE CONFIDENCE.” Hall’s Elite Gym — Private Coach Available.
Banner itu menampilkan seorang wanita berwajah tegas dengan tubuh kuat dan percaya diri. Di bawahnya tertulis: “Kami tak hanya melatih tubuhmu, tapi kami membentuk kekuatanmu kembali.”
Jane menatapnya lama. Haruskah dia merubah diri menjadi lebih sempurna? Dia lalu berdiri sambil menyeka air matanya, lalu menarik ponselnya.
“Hall’s Elite Gym …,” gumamnya lirih. Ia lalu mengetik alamat di layar dan memesan kendaraan daring.
Tak lama taksi datang dan Jane langsung masuk ke dalam.
Setibanya di sana. Jane melangkah masuk menuju resepsionis dan langsung disambut dengan hangat oleh penjaga di sana.
“Selamat malam, ada yang dibantu, Nona?” tanya staff tersebut dengan sopan.
“Aku ingin mendaftar program privat,” kata Jane dengan pelan. “Aku ingin pelatih khusus yang bisa membentuk tubuhku jadi ideal. Berapa pun harganya, aku akan membayarnya!”
Resepsionis itu langsung tersenyum lebar. “Tentu. Anda beruntung karena pelatih terbaik kami baru saja selesai kelasnya. Tunggu sebentar, aku akan panggilkan.”
Beberapa menit kemudian, langkah berat terdengar dari lorong. Jane sontak mendongak dan menatap seorang pria berperawakan tinggi, berambut hitam pekat dengan kulit sedikit kecokelatan berjalan mendekat.
Kaus hitamnya menempel pada tubuh yang berotot, dan setiap gerakannya tampak begitu terkontrol. Tatapan matanya tajam namun tampak tenang ketika menatap Jane yang masih berdiri di meja resepsionis.
“Ini dia, Brian Kevin Hall,” ujar resepsionis. “Pelatih utama kami yang sudah profesional dan berpengalaman selama sepuluh tahun."
Brian menatap Jane sebentar, hanya beberapa detik, tapi cukup untuk membuat napas Jane tercekat. Tatapan itu menembus jantungnya yang langsung berdebar tak karuan.
"Selamat datang, Jane. Sudah siap untuk sesi latihan dan membentuk tubuh jadi lebih indah?"
Dunia seolah berhenti sejenak. Andrew memandang Jane dengan raut terkejut, matanya lalu berpindah ke Brian—tinggi, tegap, dengan wajah tampan yang membuat siapa pun tampak kalah dalam perbandingan.Tatapan Andrew langsung berubah dingin. “Siapa dia?” tanyanya dengan nada tajam.Jane tidak bisa bicara. Mulutnya kering. Tapi sebelum sempat menjawab, Brian melangkah setengah maju dan berdiri sedikit lebih dekat ke Jane.“Brian,” katanya pelan, tenang tapi penuh wibawa.Andrew menyipitkan mata. “Brian? Aku baru tahu kau punya teman bernama Brian.” Nada sarkastis itu cukup menusuk.Audi lalu menatap Jane dengan senyum tipis yang penuh sindiran.Jane mengepalkan tangan. Hatinya bergetar antara marah, malu, dan sakit.Setelah semua yang Andrew lakukan—pengkhianatan, penghinaan—ia masih punya keberanian untuk bertanya seperti itu?Brian menatap Jane sekilas, seolah memberi ruang baginya untuk memutuskan. Dan dalam sekejap, keputusan itu keluar dari hatinya yang sudah terlalu lelah.Jane melan
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan kafe dengan lampu kuning temaram. Dari luar, sudah terlihat beberapa member gym duduk di meja besar sambil tertawa dan berbincang.Brian mematikan mesin mobil tapi tidak segera keluar. Ia menatap Jane sekali lagi.“Kau tak perlu takut dilihat datang bersamaku. Mereka tidak akan peduli.”Jane tersenyum tipis. “Kau yakin?” ucapnya dengan pelan.“Yakin.” Dia mendekat untuk membukakan seatbelt di pinggang Jane. “Tapi kalau kau masih khawatir, aku bisa parkir di belakang, dan kita masuk lewat pintu lain.”Jane menatapnya dan tidak bisa menahan tawa kecil. “Kau ini benar-benar—”“Apa?”“Berbahaya,” katanya setengah berbisik.Brian tersenyum samar. “Kau baru menyadarinya?” godanya dengan suara beratnya.Jane hanya diam sambil menatap lurus ke depan.Pintu mobil pun terbuka. Udara malam yang hangat menyambut mereka saat keluar dari mobil. Tapi bagi Jane, udara itu terasa berbeda—lebih berat, lebih hidup, lebih bergetar.“Ayo,” ajak Brian sambil
“Ada makan malam bareng member gym malam ini. Di kafe dekat apartemen Grand View. Datang, ya?”Notifikasi pesan masuk di ponsel Jane berbunyi lembut. Ia baru saja meletakkan koper terakhir di pojok apartemennya—tempat yang sudah lama tak ia kunjungi sejak menikah.Jane membaca pesan itu dua kali, memastikan ia tak salah baca. Kafe itu hanya beberapa blok dari tempatnya sekarang. Ia menggigit bibirnya karena ragu.Makan malam bersama? Dengan Brian di sana?Setelah hari panjang yang melelahkan secara emosional, dia ingin menolak. Tapi, mungkin malam ini, sedikit udara segar tidak akan membunuhnya.Jane berjalan ke lemari kecil di sudut kamar. Tangannya menyingkap beberapa pakaian yang masih tergantung rapi di sana, sisa masa lalu yang kini terasa asing.Ia memilih dress sederhana warna navy, selutut dengan potongan V di leher, lalu menguncir rambutnya ke atas membentuk sanggul santai.Sedikit foundation dan lipstik lembut ia oleskan di wajahnya agar tidak tampak terlalu pucat.Saat mena
Waktu berjalan dengan cepat. Setelah satu jam, sesi latihan berakhir. Jane duduk di lantai sambil menyeka keringat di dahinya. Punggungnya pegal, lengannya nyeri, tapi ada perasaan ringan di dadanya.Brian duduk bersandar di dinding seberang dan mengamatinya dalam diam.“Bagaimana rasanya?” tanyanya akhirnya.“Sakit,” jawab Jane jujur, lalu tersenyum. “Tapi menyenangkan.”Brian mengangguk kecil. “Rasa sakit itu tanda bahwa kau sedang berubah.”Dia pun berdiri lalu mengulurkan tangan pada Jane. “Bangun. Jangan biarkan lantai jadi tempat nyamanmu.”Jane menatap tangan itu sejenak sebelum akhirnya menggenggamnya. Jari Brian hangat dan kuat, kontras dengan jemari Jane yang dingin dan lemah.Begitu Jane berdiri, jarak mereka hanya tinggal beberapa inci. Tatapan mereka bertemu lagi dan kali ini, tak ada yang berusaha menahan apa pun.“Terima kasih,” ucap Jane lirih.Brian menatapnya cukup lama. “Jangan berterima kasih padaku. Ini baru awal.”Senyap beberapa detik. Hanya napas mereka yang te
“Ya. Sudah sangat siap,” jawabnya dengan pelan. Matanya masih menatap wajah pria berusia tiga puluh tiga tahun itu dengan tatapan yang sulit diartikan.“Kalau begitu, silakan ganti dulu pakaianmu.”Jane langsung mengerjapkan matanya. “Oh. Aku … aku tidak membawa baju olahraga. Karena niatku untuk membentuk tubuh ideal sangat mendadak ketika melihat—”Jane langsung berhenti dan membuat Brian menaikan alisnya karena Jane langsung menutup mulutnya.“Melihat apa?” tanya Brian.Jane menggeleng dengan pelan. “Melihat banner di jalan,” jawabnya dengan senyum canggung di bibirnya.“Tenang saja, Nona Jane. Kami menyediakan pakaian olahraga di sini,” kata staff bernama Alice itu.“Syukurlah. Kalau begitu, aku beli di sini saja,” ucapnya dengan pelan.Alice langsung mengantar Jane menuju ruang salin untuk mengganti bajunya.Lima menit kemudian, dia berdiri di depan cermin besar dan sudah mengenakan pakaian olahraga baru yang bahkan masih terasa asing di kulitnya.Legging hitam ketat dan tank top
“Suamimu selingkuh, Jane. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, dia sedang menghadiri pesta ulang tahun anaknya di hotel.”Brak!Pintu aula hotel terbuka dengan hentakan yang membuat semua kepala menoleh. Seketika itu Jane langsung datang ke hotel yang disebut oleh teman kantornya bahwa dia melihat Andrew sedang merayakan ulang tahun seorang anak kecil yang diduga adalah anaknya.“Tidak mungkin …,” matanya langsung terbelalak menatap Andrew—sang suami yang tengah menggendong seorang anak dengan kue ulang tahun terpampang nyata di hadapannya.Tiga tahun. Lilin yang menempel di kue ulang tahun itu sudah memberi jawaban bahwa Andrew telah memiliki seorang anak berusia tiga tahun.Jane membeku di tempat menatap nyalang wajah Andrew yang bahkan tak terkejut sama sekali melihatnya di sana.“Padahal usia pernikahan kami baru berjalan empat tahun. Itu artinya … perselingkuhan itu dimulai hanya beberapa bulan setelah kami menikah?”Atau mungkinkah dia yang sebenarnya menjadi selingkuhan







