Home / Romansa / Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam! / Bab 2: Sesi Awal yang Menegangkan

Share

Bab 2: Sesi Awal yang Menegangkan

last update Last Updated: 2025-11-02 11:02:50

“Ya. Sudah sangat siap,” jawabnya dengan pelan. Matanya masih menatap wajah pria berusia tiga puluh tiga tahun itu dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Kalau begitu, silakan ganti dulu pakaianmu.”

Jane langsung mengerjapkan matanya. “Oh. Aku … aku tidak membawa baju olahraga. Karena niatku untuk membentuk tubuh ideal sangat mendadak ketika melihat—”

Jane langsung berhenti dan membuat Brian menaikan alisnya karena Jane langsung menutup mulutnya.

“Melihat apa?” tanya Brian.

Jane menggeleng dengan pelan. “Melihat banner di jalan,” jawabnya dengan senyum canggung di bibirnya.

“Tenang saja, Nona Jane. Kami menyediakan pakaian olahraga di sini,” kata staff bernama Alice itu.

“Syukurlah. Kalau begitu, aku beli di sini saja,” ucapnya dengan pelan.

Alice langsung mengantar Jane menuju ruang salin untuk mengganti bajunya.

Lima menit kemudian, dia berdiri di depan cermin besar dan sudah mengenakan pakaian olahraga baru yang bahkan masih terasa asing di kulitnya.

Legging hitam ketat dan tank top abu yang menonjolkan bahu kurusnya. Ia menggenggam botol air dengan tangan yang sedikit bergetar.

Sudah lama dia tidak merasa setelanjang ini di depan orang lain.

Bukan telanjang secara fisik, melainkan secara batin. Di sini, dia tidak punya perisai.

Tak ada makeup, tak ada gaun elegan, tak ada citra “istri sempurna” yang dulu dia pakai untuk menyenangkan Andrew. Hanya dirinya, apa adanya.

Pintu ruangan itu terbuka.

Brian masuk dengan langkah mantap sambil membawa clipboard di tangannya.

Tatapan mata mereka bertemu sejenak, singkat, tapi cukup untuk membuat udara di antara mereka terasa lebih padat.

Brian menurunkan clipboard-nya di meja kecil, lalu menatap Jane dari ujung kaki hingga kepala, tanpa nada menggoda, hanya evaluative. Tapi anehnya, tatapan itu membuat Jane menelan ludah berulang kali.

“Pertama-tama, aku ingin lihat posturmu,” katanya dengan nada datar. “Kita akan mulai dari hal paling dasar. Berdiri tegak, bahu rileks, dan dagu naik sedikit.”

Jane lalu menurut. Namun, tubuhnya langsung tegang seperti murid baru di depan guru yang menakutkan.

Brian berjalan mengitari tubuhnya perlahan. “Punggungmu sedikit melengkung ke depan. Itu karena terlalu lama duduk di depan komputer, ya?”

Jane mengangguk kecil. “Aku bekerja di kantor investasi, dan duduk hampir sepuluh jam sehari.”

“Hm.” Brian mendekat ke belakangnya dan tangannya terulur ke pundak Jane. “Coba angkat bahumu sedikit, lalu turunkan perlahan. Rasakan otot punggungmu bekerja.”

Sentuhan itu ringan, tapi cukup membuat napas Jane tercekat. Ia bisa merasakan kehangatan jemari Brian menembus kain tipis tank top-nya.

“Begitu,” bisiknya di dekat telinganya. “Bagus. Sekarang tahan posisi itu.”

Jane sontak menggigit bibir bawahnya. Ia tak tahu kenapa suaranya bisa terasa sedekat itu, terlalu dekat.

Parfum maskulin Brian menyeruak halus, bercampur aroma sabun dan keringat yang bersih, dan membuat detak jantung Jane melonjak tak terkendali.

Brian mundur setapak dan menatap cerminan mereka di depan kaca besar.

“Lihat dirimu,” katanya tenang. “Kau bahkan belum melakukan apa-apa, tapi sudah lebih tegap. Kadang, kepercayaan diri itu cuma soal berdiri di posisi yang benar.”

Jane menatap bayangannya di kaca, tampak bahunya yang tegap, punggungnya yang lurus. Untuk sesaat, dia merasa berbeda.

Bukan lagi wanita yang ditinggalkan di pesta anak hasil perselingkuhan suaminya, tapi seseorang yang bisa mulai lagi.

Namun sensasi itu tak berlangsung lama, karena Brian sudah kembali dengan instruksi selanjutnya.

“Sekarang, kita mulai pemanasan. Tiga set plank satu menit. Bisa?”

Jane menatapnya ragu. “Sepertinya aku tidak terlalu kuat.”

“Coba dulu. Aku ada di sini.”

Nada suaranya bukan menantang, tapi mengandung keyakinan yang anehnya menular. Jane lalu berlutut di atas matras, lalu mulai posisi plank.

Tangan dan kakinya gemetar, tapi Brian berdiri di depan tengah menghitung dengan nada tenang. “Lima belas detik lagi, tahan, Jane.”

“Aku … aku tidak bisa, Brian.”

“Bisa,” ucapnya tegas. “Lihat aku.”

Jane lantas menatap matanya, dan untuk alasan yang tak bisa dia jelaskan, kekuatannya muncul entah dari mana.

Brian tersenyum tipis menatap Jane dengan tatapan yang berhasil membuat jantung Jane kembali berirama tak karuan. Saat hitungan selesai, Jane jatuh terbaring di lantai dengan napas terengah.

“Bagus,” katanya sambil menepuk lututnya. “Untuk pemula, kau cukup hebat.”

Jane tertawa kecil di sela napasnya yang berat. “Hebat? Aku nyaris mati, kau tahu?”

Brian ikut tersenyum samar. “Nanti saja matinya. Kau baru mau membentuk tubuh yang lebih ideal.”

Ucapan itu memang terdengar santai. Namun, entah kenapa di telinga Jane suara itu terlalu menggoda.

Setelah sesi pemanasan, Brian mengajarinya menggunakan mesin lat pulldown.

Jane duduk di kursi dan kedua tangannya menggenggam batang besi di atas kepala.

“Tarik perlahan ke bawah, sampai setinggi dada. Jangan dorong bahumu ke depan,” ucap Brian dari belakangnya.

Jane berusaha mengikuti, tapi lengannya bergetar.

“Terlalu berat?” tanya Brian.

“Sedikit.”

Brian lantas mendekat tanpa suara. Ia berdiri persis di belakangnya dan tubuhnya nyaris menempel. Tangan besar itu melingkari lengan Jane dari belakang dan membantu menstabilkan gerakan.

“Begini caranya,” bisiknya di dekat telinga Jane.

Suara napasnya terasa di kulit leher Jane. Degup jantungnya bergema di dada, terlalu keras dan terlalu nyata.

Ia bisa merasakan panas tubuh Brian di belakangnya karena jarak di antara mereka terlalu kecil, tapi tak ada yang bergerak menjauh.

Jane menarik batang itu perlahan ke bawah, sementara Brian tetap di posisinya sambil menyesuaikan arah bahunya.

“Bagus,” katanya pelan. “Rasakan ototmu yang bekerja. Fokus pada sensasinya.”

Sulit. Karena yang Jane rasakan bukan hanya otot, tapi juga denyut aneh yang menjalar di seluruh tubuhnya.

Saat batang besi kembali naik, Brian sedikit menunduk dan berbisik, “Kau punya potensi yang besar. Kalau kau rutin melakukan ini, tubuhmu akan semakin terlihat ... seksi." 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!   Bab 6: Aku tidak Keberatan

    Dunia seolah berhenti sejenak. Andrew memandang Jane dengan raut terkejut, matanya lalu berpindah ke Brian—tinggi, tegap, dengan wajah tampan yang membuat siapa pun tampak kalah dalam perbandingan.Tatapan Andrew langsung berubah dingin. “Siapa dia?” tanyanya dengan nada tajam.Jane tidak bisa bicara. Mulutnya kering. Tapi sebelum sempat menjawab, Brian melangkah setengah maju dan berdiri sedikit lebih dekat ke Jane.“Brian,” katanya pelan, tenang tapi penuh wibawa.Andrew menyipitkan mata. “Brian? Aku baru tahu kau punya teman bernama Brian.” Nada sarkastis itu cukup menusuk.Audi lalu menatap Jane dengan senyum tipis yang penuh sindiran.Jane mengepalkan tangan. Hatinya bergetar antara marah, malu, dan sakit.Setelah semua yang Andrew lakukan—pengkhianatan, penghinaan—ia masih punya keberanian untuk bertanya seperti itu?Brian menatap Jane sekilas, seolah memberi ruang baginya untuk memutuskan. Dan dalam sekejap, keputusan itu keluar dari hatinya yang sudah terlalu lelah.Jane melan

  • Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!   Bab 5: Kau Pantas Bahagia

    Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan kafe dengan lampu kuning temaram. Dari luar, sudah terlihat beberapa member gym duduk di meja besar sambil tertawa dan berbincang.Brian mematikan mesin mobil tapi tidak segera keluar. Ia menatap Jane sekali lagi.“Kau tak perlu takut dilihat datang bersamaku. Mereka tidak akan peduli.”Jane tersenyum tipis. “Kau yakin?” ucapnya dengan pelan.“Yakin.” Dia mendekat untuk membukakan seatbelt di pinggang Jane. “Tapi kalau kau masih khawatir, aku bisa parkir di belakang, dan kita masuk lewat pintu lain.”Jane menatapnya dan tidak bisa menahan tawa kecil. “Kau ini benar-benar—”“Apa?”“Berbahaya,” katanya setengah berbisik.Brian tersenyum samar. “Kau baru menyadarinya?” godanya dengan suara beratnya.Jane hanya diam sambil menatap lurus ke depan.Pintu mobil pun terbuka. Udara malam yang hangat menyambut mereka saat keluar dari mobil. Tapi bagi Jane, udara itu terasa berbeda—lebih berat, lebih hidup, lebih bergetar.“Ayo,” ajak Brian sambil

  • Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!   Bab 4: Sudah Berada di Jalur yang Benar

    “Ada makan malam bareng member gym malam ini. Di kafe dekat apartemen Grand View. Datang, ya?”Notifikasi pesan masuk di ponsel Jane berbunyi lembut. Ia baru saja meletakkan koper terakhir di pojok apartemennya—tempat yang sudah lama tak ia kunjungi sejak menikah.Jane membaca pesan itu dua kali, memastikan ia tak salah baca. Kafe itu hanya beberapa blok dari tempatnya sekarang. Ia menggigit bibirnya karena ragu.Makan malam bersama? Dengan Brian di sana?Setelah hari panjang yang melelahkan secara emosional, dia ingin menolak. Tapi, mungkin malam ini, sedikit udara segar tidak akan membunuhnya.Jane berjalan ke lemari kecil di sudut kamar. Tangannya menyingkap beberapa pakaian yang masih tergantung rapi di sana, sisa masa lalu yang kini terasa asing.Ia memilih dress sederhana warna navy, selutut dengan potongan V di leher, lalu menguncir rambutnya ke atas membentuk sanggul santai.Sedikit foundation dan lipstik lembut ia oleskan di wajahnya agar tidak tampak terlalu pucat.Saat mena

  • Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!   Bab 3: Mengakhiri Semuanya

    Waktu berjalan dengan cepat. Setelah satu jam, sesi latihan berakhir. Jane duduk di lantai sambil menyeka keringat di dahinya. Punggungnya pegal, lengannya nyeri, tapi ada perasaan ringan di dadanya.Brian duduk bersandar di dinding seberang dan mengamatinya dalam diam.“Bagaimana rasanya?” tanyanya akhirnya.“Sakit,” jawab Jane jujur, lalu tersenyum. “Tapi menyenangkan.”Brian mengangguk kecil. “Rasa sakit itu tanda bahwa kau sedang berubah.”Dia pun berdiri lalu mengulurkan tangan pada Jane. “Bangun. Jangan biarkan lantai jadi tempat nyamanmu.”Jane menatap tangan itu sejenak sebelum akhirnya menggenggamnya. Jari Brian hangat dan kuat, kontras dengan jemari Jane yang dingin dan lemah.Begitu Jane berdiri, jarak mereka hanya tinggal beberapa inci. Tatapan mereka bertemu lagi dan kali ini, tak ada yang berusaha menahan apa pun.“Terima kasih,” ucap Jane lirih.Brian menatapnya cukup lama. “Jangan berterima kasih padaku. Ini baru awal.”Senyap beberapa detik. Hanya napas mereka yang te

  • Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!   Bab 2: Sesi Awal yang Menegangkan

    “Ya. Sudah sangat siap,” jawabnya dengan pelan. Matanya masih menatap wajah pria berusia tiga puluh tiga tahun itu dengan tatapan yang sulit diartikan.“Kalau begitu, silakan ganti dulu pakaianmu.”Jane langsung mengerjapkan matanya. “Oh. Aku … aku tidak membawa baju olahraga. Karena niatku untuk membentuk tubuh ideal sangat mendadak ketika melihat—”Jane langsung berhenti dan membuat Brian menaikan alisnya karena Jane langsung menutup mulutnya.“Melihat apa?” tanya Brian.Jane menggeleng dengan pelan. “Melihat banner di jalan,” jawabnya dengan senyum canggung di bibirnya.“Tenang saja, Nona Jane. Kami menyediakan pakaian olahraga di sini,” kata staff bernama Alice itu.“Syukurlah. Kalau begitu, aku beli di sini saja,” ucapnya dengan pelan.Alice langsung mengantar Jane menuju ruang salin untuk mengganti bajunya.Lima menit kemudian, dia berdiri di depan cermin besar dan sudah mengenakan pakaian olahraga baru yang bahkan masih terasa asing di kulitnya.Legging hitam ketat dan tank top

  • Coach, Sentuh Aku Lebih Dalam!   Bab 1: Harga Diri yang Diinjak-injak

    “Suamimu selingkuh, Jane. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, dia sedang menghadiri pesta ulang tahun anaknya di hotel.”Brak!Pintu aula hotel terbuka dengan hentakan yang membuat semua kepala menoleh. Seketika itu Jane langsung datang ke hotel yang disebut oleh teman kantornya bahwa dia melihat Andrew sedang merayakan ulang tahun seorang anak kecil yang diduga adalah anaknya.“Tidak mungkin …,” matanya langsung terbelalak menatap Andrew—sang suami yang tengah menggendong seorang anak dengan kue ulang tahun terpampang nyata di hadapannya.Tiga tahun. Lilin yang menempel di kue ulang tahun itu sudah memberi jawaban bahwa Andrew telah memiliki seorang anak berusia tiga tahun.Jane membeku di tempat menatap nyalang wajah Andrew yang bahkan tak terkejut sama sekali melihatnya di sana.“Padahal usia pernikahan kami baru berjalan empat tahun. Itu artinya … perselingkuhan itu dimulai hanya beberapa bulan setelah kami menikah?”Atau mungkinkah dia yang sebenarnya menjadi selingkuhan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status