"Sepertinya kau benar-benar sedang sakit," persepsi Aera begitu mendaratkan tangannya pada leher jenjang milik Reagan.
Tak ada sahutan dari Reagan, hanya sikapnya yang semakin posesif menarik tubuh Aera serta menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher sang istri.
Aera mendesah dalam diam, tak habis pikir dengan yang Reagan lakukan pada dirinya saat ini. Sangat bertolak belakang dengan dirinya yang biasanya hanya menatapnya datar dan bersikap acuh tak acuh terhadapnya.
Namun, dirinya yang lain seperti hendak memakluminya, menilik bahwasanya pria yang sudah menjadi suaminya ini tengah sakit.
Sakit.
Pikirannya kini berkelana jauh kembali ke masa lalu, di mana satu kata itu malah mengingatkannya pada sang mantan kekasih-adik iparnya.
Dalva kerap kali sakit saat dirinya tengah di landa banyak pikiran dan tekanan, Aera tidak pernah tau apa yang menjadi tekanan bagi mantannya itu, karena Dalva sendiri tak pernah mau menceritakannya.
"Terimakasih sudah mau merawatku!" satu kalimat itu berhasil membuat kedua pipi Aera terasa memanas."Bukan masalah besar!" Aera menggeleng pelan. "Kau juga melakukan hal yang sama padaku, saat aku tidak baik-baik saja malam itu," lanjutnya.Tubuh Reagan seakan seperti membeku saat mendengar penuturan tulus yang keluar dari mulut Aera. Saat ia menolehkan wajahnya untuk menatap langsung Aera, malah senyum manis yang ia dapati.Sial.Kalau sudah begini dia jadi merasa bersalah karena sudah bersalah karena sudah bertindak tak senonoh malam itu. Haruskah iya jujur sekarang?Tidak-tidak!Reagan menggeleng cepat. Hal itu jelas tak luput dari perhatian Aera."Apa ada yang sedang menggangu pikiranmu? Aku tak salah bicarakan?" melihat gelagat Reagan yang mencurigakan menimbulkan pertanyaan lebih di benak Aera atas kejadian malam itu.Mungkinkah ada hal lain malam itu yang di sembunyikan oleh Reagan?Ingin bertan
Netra jernih itu berpendar sejenak untuk memastikan kembali bahwa tak salah mengenali orang yang kini sudah duduk manis di sofa ruang tamu. Siapa lagi dia kalau bukan Reagan.Tak ada wajah datarnya atau tatapan sinisnya, hanya ada senyum manis yang terpatri di bibirnya yang sedikit tebal.Dengan langkah pelan Aera membawa kedua tungkainya mendekati Reagan dengan membawa minta angin miliknya.Reagan benar-benar membuatnya tak bisa menolak setelah memintanya untuk memberikan beberapa pijatan pada bahunya, mungkin?"Kenapa duduk disitu?" tanya Reagan begitu mendapati Aera malah duduk di sofa yang bersebrangan dengannya. Bukankah seharusnya mereka duduk di sofa yang sama agar memudahkan Aera?Decakan pelan berhasil lolos dari bibir Aera, tahu akan di jadikan babu dia tidak akan berbaik hati menawarkan pijatan pada Reagan.Tak menyahut ataupun membantah, akhirnya Aera mengambil duduk di sisi kosong samping kanan Reagan."
Kelopak mata itu membuka perlahan, menampakkan netra jernih sang pemilik yang mulai memendarkan pandang-menyesuaikan penglihatannya. Hanya ada ruang gelap yang menyorotnya.Nyeri menjalar dari tengkuknya yang terasa sangat sakit saat ia gerakkan. Tak hanya itu, kala ia mulai sadar sepenuhnya, kedua tangannya juga tak bisa ia gerakkan, ralat. Bahkan tubuhnya kini terasa begitu sangat susah untuk ia ajak bergerak.Meski gelap, Reagan dapat meyakinkan bahwa dirinya tengah di ikat di bangku yang sekarang ia duduki, tak hanya itu, kedua kakinya juga turut diikat.Ingin berteriak meminta pertolongan, namun mulutnya juga tak dapat ia gerakkan.Memilih diam setelah beberapa saat mencoba melepaskan diri namun tidak ada hasil.Pelih keringat kini ia rasa mengaliri keningnya. Ingatan sebelum ini terjadi mendatanginya.Seingatnya tadi saat sepulang sekolah ia ada janji dengan salah satu seorang teman kelasnya, tidak bisa di
Hari-hari terus berlalu setelah kejadian yang tak akan pernah bisa Reagan lupakan itu. Hal terakhir yang ia ingat, Rasha yang menangis karena membela diri dan tidak terima dijadikan tersangka. Menyatakan bahwa Reagan dan temannya itu yang menjebaknya, luka yang Reagan dapatkan juga ia berikan sebagai bentuk perlawanan diri.Sungguh sangat penuh drama dan kebohongan gadis itu. Bisa saja ayah Reagan langsung mengeluarkannya dari sekolah dan memasukkannya ke penjara, namun masih bebrbaik hati tak mau gadis itu kehilangan hidupnya, sedikit memaafkan setelah ibu Reagan memohon.Untungnya saja mereka punya bukti, dan beberapa saksi yang menyatakan bahwa Rasha juga sering membulli siswi lainnya. Memperkuat tuduhan itu.Wah Reagan tak pernah puas melihat gadis itu berteriak-teriak menangis keluar dari ruang guru dengan cara di seret orangtuanya."Kau akan menyesalinya Reagan!" kata-kata itu bahkan masih melekat jelas diingatannya. Serta ta
Ini sudah malam, dan bahkan Reagan belum kunjung jua melihat batang hidung Aera di apartemen mereka. Apa tindakannya tadi sangat menyakiti perasaannya? Sungguh Reagan merasa sangat bersalah. Tapi, ketakutan itu masih sangat menghantuinya. Siapa yang tidak akan trauma jika hampir saja diperkosa dan mati menggenaskan di masa remaja? Reagan berulang kali menetralkan pikirannya, berulang kali berkata bahwa tidak semua perempuan seperti gadis iblis itu. Dan dia sudah melihatnya sendiri hampir dua minggu ini, Aera tak pernah sedikitpun berusaha akan menyakitinya, bahkan gadis itu benar-benar memposisikan dirinya sebagai seorang istri. Meski dia tahu, Aera sangat terpaksa melakukannya. Sedikit menyayat hatinya sih, mengetahui Aera masih sangat mencintai adiknya, bahkan beberapa kali ia menangkap Aera diam-diam menatap foto Dalva dengannya, mungkin mengenang masa-masa indahnya dulu dengan Dalva. Ini sudah hampir s
Pada dasarnya keduanya susah saling tertarik, hanya saja butuh waktu untuk memahami dan menyadarinya.Kelopak mata indah itu terbuka dengan sempurna tatkala seseorang menepuk pelan pundaknya, beberapa menit yang lalu.Dan kini ketiganya, ya ditambah satu sosok lagi yang sedari tadi hanya sibuk memainkan ponselnya, tak terlalu mendengarkan percakapan dua orang lainnya."Jangan berlebihan! Bahkan aku sudah terlihat sekarang," seru pria berbahaya lebar itu, Reagan pada sang lawan bicara."Ck, tapi tetap saja aku tidak bisa tenang," balas Jarrel tak mau kalah. Sedari tadi dia sudah sibuk memberikan beberapa buah-buahan yang ia beli sebelum ke sini pada Reagan, namun sepertinya Reagan tidak perduli sama sekali."Yang benar saja. Kau anggap aku ini orang yang sangat lemah? Pergi saja kau dari sini!" teriak Reagan tidak terima saat Jarrel memaksa menyuapi mangga yang sudah ia kupas dengan sempurna. "Aku tidak butuh perhatiaamu, itu
Dengan langkah sedikit pelan, tangan mungil itu mendorong pintu apartemen yang sudah menjadi tempat tinggalnya hampir dua minggu ini. Tersenyum kecil pada Alan, mempersilahkan anak laki-laki itu berjalan di sampingnya. Sayup-sayup canda terdengar dari arah ruang tamu. Tidak ada banyak suara, yang Aera tahu, salah satunya adalah suara milik Reagan sedangkan yang satunya dia jelas tidak tahu. Yang pasti itu adalah suara milik laki-laki dewasa. "Sebaiknya kita lebih teliti lagi dalam memperhatikan grup itu, kurasa jika memberi mereka sedikit tekanan akan bagus, mereka sangat kurang stabil saat perfom secara langsung dan- -wah!" kedua netranya membola dengan sempurna tatkala mendapati sosok gadis mungil berdiri tak jauh dari jarak mereka berdua. Merasa penasaran, sang pemilik rumah langsung menolehkan kepalanya dan sedikit terkejut melihat kehadiran Aera yang sangat tiba-tiba dengan- Pandangan Reagan turun, melihat sosok anak kecil yan
"Sayang sekali Aiden baru saja pulang, niatnya dia juga ingin berjumpa denganmu, kakak ipar!" tutur Jarrel saat Aera hendak mengantarnya keluar dari apartemennya. Sama sibuknya dengan Aiden, Jarrel pun kini harus ikut pergi dari sana karena jadwalnya yang sangat padat, membuatnya tak bisa berlama-lama bertamu. "Aiden?" ulang Aera lagi, kalau dia tak salah ingat, nama pria yang tadi berkenalan dengannya juga bernama Aiden. "Apakah mereka Aiden yang sama yang seperti kak Jarrel maksud?" tanyanya dalam hati. "Kau tidak mengenalnya kakak ipar? Wah!" Jarrel menutup mulutnya bergaya sok histeris. Lalu berteriak tertahan tatkala mendapatkan gelengan dari Aera. "Bagaimana bisa kau tidak mengenal solois yang sedang naik daunnya di negara kita? Ya Tuhan, kau ini polos atau memang tak pernah membaca berita sih?" kesal dengan tampang cengengesan Aera, pria itu memilih mengepalkan tangan kanannya ke atas udara. "Maaf-maaf, aku tidak begit