"Sepertinya kau benar-benar sedang sakit," persepsi Aera begitu mendaratkan tangannya pada leher jenjang milik Reagan.
Tak ada sahutan dari Reagan, hanya sikapnya yang semakin posesif menarik tubuh Aera serta menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher sang istri.
Aera mendesah dalam diam, tak habis pikir dengan yang Reagan lakukan pada dirinya saat ini. Sangat bertolak belakang dengan dirinya yang biasanya hanya menatapnya datar dan bersikap acuh tak acuh terhadapnya.
Namun, dirinya yang lain seperti hendak memakluminya, menilik bahwasanya pria yang sudah menjadi suaminya ini tengah sakit.
Sakit.
Pikirannya kini berkelana jauh kembali ke masa lalu, di mana satu kata itu malah mengingatkannya pada sang mantan kekasih-adik iparnya.
Dalva kerap kali sakit saat dirinya tengah di landa banyak pikiran dan tekanan, Aera tidak pernah tau apa yang menjadi tekanan bagi mantannya itu, karena Dalva sendiri tak pernah mau menceritakannya.
"Kau sudah pulang?" tanya Aera basa-basi saat mendati Reagan masuk tanpa mengucapkan sepatah katapun, melewatinya yang kini tengah duduk santai di depan TV.Tak mendapat jawaban dari Reagan, Aera inisiatif untuk mengikutinya. Belakangan ini tugasnya sudah bertambah, yaitu menyiapkan air hangat untuk Reagan setiap pria itu pulang dari kerjanya."Kau mau kubuatkan sesuatu untuk makan malam?" tanya Aera lagi saat sudah berhadapan langsung dengan Reagan.Reagan menghela nafas kasar, sepertinya dia punya banyak masalah hari ini, lihatlah wajahnya yang tertekuk masam dan juga tampak sangat letih.Dan ya Aera! Sebaiknya kau jangan banyak bicara dan bertanya padanya. Atau kalau tidak pasti kau akan berakhir oleh repetannya yang sangat memekakkan telinga."Kau ingin menonton?"Aera sontak memutar tubuhnya yang hampir mencapai pintu kamar mandi. Matanya membola dengan sempurna, apakah ini ajakan kencan?Wah, Reagan
"Sepertinya konsentrasimu sedang terganggu ya?" tanya Aile, karena sedari tadi ia memanggil pria di sampingnya ini namun tak kunjung mendapatkan sahutan darinya. "Ya?" seperti tersadar, Dalva mmebawa buku miliknya lagi ke dala ruang matanya, berpura-pura membacanya tanpa suara. "Aku sedang bicara padamu, kenapa kau malah melihat ke situ, dasar tidak sopan sekali!" rutuk Aile seraya menarik buku bacaan milik Dalva. Karena mereka punya banyak waktu libur, jadi keduanya memutuskan untuk menghabiskan masa libur mereka dengan membaca buku. Ya hitung-hitung untuk menambah ilmu sebelum mereka masuk kuliah bulan depan. "Ck, menganggu saja!" keluh Dalva, tampaknya tak suka dengan perlakuan Aile. Gadis itu mendengus pelan, dia tentunya tahu pria di sampingnya inu jelas-jelas tengah memikirkan sesuatu yang berat. Setidaknya jika Dalva mau, dirinya bersedia mendengar ceritanya. Dari dulu juga begitu bukan? Jika ada masalah antara Aera dan juga Dalva,
-Sepertinya moodmu sedang baik hari ini?-"Tau dari mana dia moodku sedang baik hari ini, dasar sok tau. Aera bercelutuk pelan, mendapati pesan dari Aiden. Sesaat setelahnya senyum kecil muncul dibibirnya.-Sok tau banget-Balasnya kemudian. Ia tunggu beberapa menitpun tak kunjung mendapat balasan dari Aiden, akhirnya Aera memutuskan untuk beranjak dari tempat tidurnya. Reagan sudah pergi beberapa jam yang lalu, hubungan merekapun jadi membaik belakangan ini.Ia ayunkan kakinya, upaya menuju balkon kamarnya, angin sejuk langsung menerpa tubuh mungilnya. Aera membawa kedua tangannya ke atas pagar balkon yang menjadi pembatas kamarnya dan juga ruang kosong di depan sana.Tatapannya kini turun kebawah, lagi-lagi Aera tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya jika jatuh je bawah sana. Pasti sangat sakit, oh atau lebih tepatnya dia akan meregang nyawa saat itu juga."Mmmm tak ada hal bagus yang bisa aku lakukan saat ini," perlaha
Sepasang tungkai itu sampai lada depan pintu apartemen Aera, sedikit memberikan senyuman perpisahan dan juga lambaian tangan yang terpaksa, Aera akhirnya memijakan kakinya masuk ke dalam.Masih sama, terasa sepi, Reagan beluk juga pulang. Jika boleh jujur, Aera sedikit merindukan pria pemilik bahu lebar itu."Kenapa pikiranmu terus terdoktrin padanya sih Ra? Dasar menyebalkan sekali," rutuknya tak terima memukul kepalanya sendiri."Dia itu pria yang menyebalkan kau tahu? Egois dan hanya mementingkan diri sendiri, tidak tahu malu dan sangat kurang ajar!" umpatannya tak berhenti sampai di situ saja.Perhatiannya teralihkan sesaat ketika ponselnya bergetar, ada pesan masuk ke dalam sana. Meski malas melihatnya tapi pada akhirnya ia memeriksa pesan itu, dan benar saja meski itu tanpa keterangan nama di sana dia sudah bisa menebak itu dari siapa. Siapa lagi kalau bukan orang yang mengantarnya barusan.Aera dengan sangat terpaksa
"Bisakah kita berteman?" pertanyaan itu terlontar cepat dari bibir Aiden. Senyuman tipis turut terpatri di wajah mereka. Kini keduanya sudah keluar dari cafe dan berada memilih tempat yang lebih privacy lagi untuk berbincang, seperti di dalam mobil Aiden ini contohnya. Detik itu juga Aera menyesali untuk di antar oleh Aiden kembali ke apartemen. Mengharuskan dirinya kini berakhir menuju hubungan yag semakin dekat dengan Aiden. Susah cukup saja pikirannya menjadi sakit beberapa dan batinnya tertekan semenjak menikah dengan Reagan, tentu ia tak ingin menambah kesialan lagi bukan. "Teman?" gadis berparas cantik itu menoleh pada Aiden yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Tersirat jelas bahwa ia tak ingin berlarut-larut terlibat dengan pria di sampingnya ini. "Ya, kenapa tidak? Kau seharusnya merasa bangga karena aku sang "solois terkenal -Aiden" mau menawarkanmu pertemanan. Jarang-jarang aku bersikap baik seperti ini," j
"Mau kemana kalian pagi-pagi begini?" Aera tahu, pertemuan dirinya dengan kedua orang itu bukanlah kebetulan, pasti mereka sudah membuat janji untuk temuan. "Kami akan pergi untuk mendaftar ulang di kampu," jawab Aile. Aera mendengus kasar, jika mengingat pembicaraan mereka bertiga tadi. Sungguh merasa sangat iri bisa kembali belajar dan bertemu banyak orang, sedangkan dirinya hanya seperti orang bodoh yang tidak tahu harus bagaimana menghabiskan hari yang membosankan ini. Aera memilih satu tempat, si sebuah cafe yang letaknya tak jauh dari taman kota, aneh memang pagi-pagi sudah ke cafe saja. Tapi mau bagaimana, dia juga tidak suka jika harus terkena paparan sinar matahari. Saat pikirannya masih teralihkan pada beberapa orang yang masuk ek dalam cafe, ponsel miliknya bergetar serta mengeluarkan nyanyian yang ia kenali sebagai nada dering ponselnya. Segera ia meraih ponselnya di dalam tas, kedua netranya membelalak tak