Amerta tidak mengerti dengan dirinya sendiri,mengapa ia bisa seberani itu melawan Dirga.Bahkan tadi saat pulang sekolah Dirga memukul wajahnya,Amerta tidak tinggal diam ia memukul balik Dirga.
Kalau saja tidak dipergoki oleh satpam sekolah mungkin saja perkelahian itu belum berhenti.Ah,dulu dia sangat takut dengan Dirga tapi sekarang tidak ada rasa takut sedikit pun,malah ia ingin membalas dendam akan semua perbuatan Dirga dimasa lalu.Walaupun ia tahu balas dendam itu tidak ada gunanya.
Apa mungkin karena sifat dari pemilik tubuh yang masih melekat?.Amerta tidak tahu itu.Sebenarnya banyak sekali keuntungan saat memiliki tubuh ini.
Tubuh dan wajah yang sempurna,bahkan karena wajah ini ia bisa memiliki banyak teman sekarang. Ya,walaupun kebanyakan perempuan tapi tidak masalah kan?,yang penting memiliki teman."Belok kiri ya pak,saya turun disebelah gang itu,"kata Amerta kepada supirnya.
"Baik den."
"Satu lagi,jangan beritahu mama ya,kalau saya ke tempat ini."
"Iya den Amerta."
Setelah pulang sekolah Amerta memutuskan untuk ke rumah lamanya menemui ibu dan adik-adiknya.
"Pak,tunggu disini ya.Saya tidak lama kok,"ujarnya sambil melepaskan seatbelt kemudian turun dari mobil.
"Hati-hati den Amerta!,"peringat sang supir saat melihat anak majikannya hampir tersandung karena berjalan tergesa-gesa.Sebenarnya ia penasaran mengapa anak majikannya meminta untuk diantarkan ke tempat bisa dibilang kumuh ini.
Dulu,biasanya Amerta selalu meminta diantarkan ke mall atau tempat rentar game.Mengingat majikannya itu sangat menyukai game.Satu lagi ia menyadari perbedaan perilaku Amerta yang berubah drastis.Ia yang biasanya tidak banyak senyum menghabiskan waktu sepanjang perjalanan hanya bermain game,tapi sekarang banyak tersenyum dan kerap kali membaca buku.***
"Ibuuu.. Aruni demam!,"teriak seorang anak laki-laki berusia 14 tahun.
Perempuan paruh baya yang tidak lain adalah ibunya menghampiri dengan langkah yang terseok-seok.
"Ada apa Asa?,"tanya nya begitu lirih,dengan kulit pucat dan mata yang sembab."Badan Aruni panas sekali,bu.Dia juga mengigau,"terang anak laki laki dengan begitu khawatir.
Ia pun menaruh telapak tangannya di kening anak perempuan yang sedang terkulai lemah diatas kasur ,dan benar saja badannya begitu panas.
"Asa ibu minta tolong ya,ambilkan baskom dan isi dengan air hangat jangan lupa handuk juga ya."
"Iya bu,"anak itu langsung keluar dari kamar sang adik.
"Bang Amerta..."
"Abang..jangan pergi..."
"Aruni rindu, bang,"racaunya masih menutup matanya.
Ibunya mengelus rambut sang anak,"Aruni ini ibu."
"Abang ...."
Dari arah pintu Asa datang dengan baskom berisi handuk dan air hangat.
"Aruni masih mengigau ya?."
"Masih,demamnya yang begitu tinggi membuat dia mengigau,"ujar sang ibu sambil memeras handuk yang sudah dicelupkan ke air hangat ,lalu menempelkan di kening Aruni.
"Bu,Asa kangen bang Amerta."
"Asa selalu doakan abang ya,supaya tenang disana."
Tidak jauh dari mereka,seorang pemuda masih dengan seragam sekolahnya berdiri dibelakang jendela kayu kamar Arunika.
Ia mendengar percakapan mereka semua.
"Maafin abang,"ujarnya dengan nada sendu.Menyiratkan penyesalan yang amat terdalam."Ibu...."lirih Aruni membuka matanya perlahan dengan wajah yang mulai pucat.
"Aruni...sayang.Apa yang sakit?,"tanya ibunya dengan raut khawatir.
"Kepala aku sakit sekali bu..."
"Sini Aruni,bang Asa pijat kepala kamu ya,"ujar Asa yang langsung naik ke kasur Aruni.
"Ibu..."panggilnya lagi
"Kenapa Aruni,ada yang sakit lagi?."
"Aku mimpi bang Amerta ada disini bu."
Ia meneteskan air mata,ternyata yang rindu dengan Amerta bukan hanya dia,tapi anak-anaknya juga sangat merindukan sosok abangnya.
"Aruni...kamu harus ikhlas ya,biarkan abang pergi dengan tenang."Kalau berbicara ikhlas dan tidak,sebenarnya ibunya lah yang belum bisa ikhlas dengan kepergian Amerta yang begitu cepat.
Dua hari yang lalu Amerta meninggal,dua hari juga ia tidak bisa tidur dan menangis diam-diam,berharap Amerta pulang.Bahkan baju Amerta ia bawa tidur supaya bisa merasakan ada Amerta disisinya.Sekarang ia sadar,sudah sepantasnya untuk ikhlas,ia harus kembali bangkit demi kedua anaknya yang masih kecil.Asa dan Aruni masih membutuhkannya.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintunya.Ia segera bangun dari kasur putrinya yang sedang bermain dengan Asa.
"Sepertinya ada orang,ibu buka pintu dulu ya."
"Iya ibu,"ujar Asa dan Arunika.
Ketika pintu dibuka ia mengernyitkan dahinya.
Seorang anak laki-laki yang masih menggunakan seragam dengan membawa sekantong plastik.Yang membuatnya bingung siapa pemuda ini?,mengapa menggunakan seragam yang sama dengan anaknya.Setahu nya anak pertamanya itu tidak memiliki satu pun teman."Ada apa ya?,"tanyanya.
"A-apa kabar bu?."
"Baik."
"Oh iya perkenalkan saya temannya anak ibu,"
"Nama saya Amerta,"sambungnya.
"O-oh namamu Amerta,ya.Nama yang bagus."
"Boleh saya masuk,bu?"tanyanya.
"Silahkan."
Amerta masuk ke rumah lamanya,suasananya benar-benar tidak ada yang berubah.Bahkan bajunya yang terkhir kali ia gantung dipintu masih tetap disana.
Bukunya yang tercecer di lantai bawah meja televisi masih diposisi yang sama."Apa benar kau teman anakku,kau teman Amerta?."
"Benar bu."
"Kemari duduk dulu,"
Suruhnya kepada Amerta yang masih berdiri.Amerta pun duduk dikursi plastik favoritnya dulu bersama adiknya,dengan meja yang lebih rendah daripada kursi.
"Setahu ku, anakku tidak memiliki teman,karena tidak ada yang mau berteman dengan Amerta."
Amerta tersenyum kecut,dulu ia pernah bercerita perihal tidak memiliki teman sama sekali."Saya dulu bukan dari sekolah yang sama dengannya,saya baru tadi pindah kesekolah ini.Waktu itu saya bertemu dengan Amerta saat..."jedanya"Saat kami di olimpiade,kami berkenalan ternyata nama kita sama.Haha sangat menyenangkan bisa berteman dengan dia,bu,"dustanya.
"Hah... anak itu dulu dia bilang tidak memiliki satupun teman,"kekehnya.
Amerta tersenyum,jadi ibunya masih ingat perkataan nya.
"Ah iya bu,saya membawa obat untuk Arunika."
Ibunya terperanjat kaget darimana anak ini tahu kalau Aruni sakit.
"Darimana kau tahu Aruni sakit?.""I-itu sebenarnya saya kemari sudah daritadi.Tapi saya ketuk pintunya tidak ada yang membuka.Tidak sengaja saya mendengar kalau adiknya Amerta sakit."
"Apa boleh aku menemui Aruni,bu,?"tanya Amerta.
"Aruni ada di kamar yang itu,"tunjuknya pada pintu usang yang sudah dimakan rayap.
Amerta pun masuk ke kamar yang ditunjukkan ibu tadi.
Benar saja,disana Asa dengan Aruni sedang bermain."Hai... Aruni,"sapa nya.
"H-hai,"jawab Aruni dengan kebingungan.
Dari arah pintu ibunya muncul,"Aruni,Asa dia temannya abang Amerta,lho".
"Oh temannya bang Amerta ya,"kata Aruni.
Asa bangun dari kasur lantas menghampiri Amerta."Kenalin aku Asa,adiknya bang Amerta.
Kalau kakak namanya siapa,"tanya anak laki laki kecil itu.Agaknya ia sulit mengatakan namanya,
"Amerta Pawaka,panggil saja Amerta."Seketika wajah Asa terlihat murung.
Amerta yang menyadari itu mengelus rambut adiknya.
"Asa,kenapa?""Nama kakak sama dengan abang aku.aku jadi rindu bang Amerta."
"Abang disini sa" tentu saja itu hanya batin Amerta.
"Jangan sedih ya,abang kalian ada disini,"kekeh Amerta.
"Apa benar,abang aku ada disini?,"tanya Aruni yang langsung melompat turun dari kasurnya.
"Iya... dia ada disini,di hati kalian."
"Apa benar abang ada disini?,"tunjuk Aruni pada dadanya.
"Benar... maka dari itu jangan pernah sedih lagi ya,kasihan abang kalian nanti dia ikut sedih,"ujar Amerta mengelus rambut Asa dan Arunika.
"Eh,oh ya..Aruni apa kamu masih sakit?."
"Aku sudah sembuh kak,hanya kepala aku saja yang masih sakit sedikit,"ujar anak perempuan itu.
Amerta mengangguk,"Bu saya juga bawa makanan untuk kita makan bersama.Apa boleh saya juga ikut makan bersama kalian?."
"Kenapa repot-repot membawa makanan Amerta."
"Saya tidak repot kok.Kebetulan saya juga lapar,"ujarnya sambil tersenyum menampilkan gigi nya.
"Asa juga lapar,dari pagi belum makan apa-apa,"lontarnya dihadiahi anggukan setuju oleh sang adik.
Mata Amerta berkaca-kaca,adiknya dari pagi belum makan apapun?.Sedangkan ia dapat sarapan enak dipagi hari.
Dulu kalau pagi belum makanan ia akan berusaha mencari apapun agar bisa mengisi perut sang adik.Tapi kali ini perut mereka benar-benar kosong,apalagi Aruni sakit.
"Ayo bu,kita ke dapur ambil piring,"ajak Amerta yang melihat sang ibu masih melamun sambil menatapnya.
Setelah beberapa menit mencari alamat kedai itu,akhirnya Amerta menemukannya juga.5Kedai itu masih sama seperti trrakhir kali ia kesana.Dinding dari kayu yang masih kokoh dan cat berwarna kuning cerah.Tulisan dipapan bertuliskan kedai paman Yin pun masih sama,bahkan menu yang disediakan tidak ada yang dikurangi maupun ditambahkan.Kedai ini merupakan pemilik dari seorang kakek yang sudah berusia 80, kemudian diturunkan ke anaknya yaitu paman Yin.Mereka merupakan orang China,kedai ini pun tidak pernah sepi oleh pengunjung karena memang rasa makanan nya begitu enak dan murah.Paman Yin tidak memiliki anak dan istrinya sudah meninggal.Pertama kali Amerta bisa bekerja dikedai paman Yin adalah saat ia memungut sampah untuk dijualnya.Saat itu paman Yin memanggil Amerta,lalu memberikan Amerta makanan.Lalu Amerta ditawari untuk bekerja disana.Paman Yin itu begitu baik,ia selalu berbagi kepada anak-anak yatim.Maka dari itu kedainya tida
"Ini harus disambungkan,ke sini.Lalu em..."monolog Amerta.Ia sedang sibuk berkutat dengan kerangka-kerangka besi yang belum menyatu. Pagi ini Amerta begitu berkutat dengan kerangka-kerangka kabel yang melilit satu sama lain.Hari minggu ini ia akan menghabiskan waktunya untuk membuat suatu karya yang daridulu begitu ia idamkan. "Hah...aku mengapa susah sekali.Aku sudah membaca buku panduan berkali-kali tapi tetap saja." "Aku harus bisa menyelesaikannya sampai akhir,"ujar nya pada diri sendiri seraya membolak-balik halaman dibuku panduan tersebut. Tok!tok! "Tuan Amerta...tuan disuruh nyonya keluar sarapan" "Bilang padanya,aku tidak mau sarapan,"ujar Amerta dengan dingin. "Tapi tuan—" "Katakan saja padanya,bu"sambarnya. Amerta masih marah kepada mamanya.Padahal perutnya terasa lapar. Tidak b
Amerta merenung di kamar memikirkan mengapa takdir seolah mempermainkannya.Sekarang ia harus bagaimana,ibunya sendiri bekerja dirumah yang ia tempati ini menggantikan pelayan nya yang sedang cuti lama.Lalu bagaimana ia bersikap,Amerta marah dengan dirinya sendiri.Harusnya ia bisa mencegah hal-hal seperti ini terjadi."Ibu..."lirihnyaTok tok!Amerta segera bangkit dari duduknya,mendengar pintu kamar diketuk."Ibu,ada apa?"tanyanya kepada sosok yang mengetuk pintu tadi dengan membawa nampan."Maaf menganggu tuan,nyonya menyuruh saya mengantarkan makanan ke kamar tuan Amerta"ujar pelayan baru itu seraya menundukkan kepalanya."Ibu jangan memanggilku seperti itu,aku tidak suka"lontar Amerta."Tuan Amerta,sekarang aku adalah pelayanmu.Jadi tolong berhenti memanggilku ibu.""Tapi—""Amerta ibu mohon sekali ini
Plak!"Anak kurang ajar...kau tahu harga guci itu berapa?""Maaf Pa""Kau pikir dengan kata maaf,bisa mengembalikan guci yang mahal ini.Bodoh""Kau tahu Pawaka,aku akan membesarkanmu.Lalu nanti kalau kau sudah besar,aku akan membunuhmu sama seperti yang kau lakukan terhadap ibuku!""J-jangan pa,aku mohon""Arrggghh... ampun pa.Perih pa!""Pa,kepala Pawaka terasa sakit sekali"Blub blub blub"Kau bilang pusing kan Pawaka""Hah...hah...hah a-ampun pa.Aku tidak bisa bern—mmmpp""Hah ternyata mimpi,"monolognya.Ia mengusap keringat dahi yang begitu banyak.Ketika anak itu ditenggelamkan kepalanya disebuah drum Amerta merasakan sesak yang luar biasa.Ini aneh,bukankah seharusnya ia tidak bisa bermimpi ketika tertidur karena Amerta tidak memiliki ikatan apapun pada tubuh ini.Terlebih lagi mimpi tentang Pawaka pemilik tubuh ini.Ia baru sadar kejadian kemarin saat ia merasakan detak jan
Entah mengapa hari ini Amerta merasa perasaannya tidak enak,membuatnya kesiangan untuk datang ke sekolah.Ia berjalan menyusuri koridor yang terasa begitu panjang baginya tidak seperti biasanya.Ia melihat diujung koridor lebih tepatnya di taman yang letaknya diujung koridor,siswa berkerumun disana.Bahkan kelas kelas yang ia lewati tadi kosong,ternyata mereka semua berkerumun disana.Amerta penasaran apa yang sebenarnya terjadi,ia pun menghampiri kerumunan tersebut.Tapi ia masih tidak bisa melihat karena begitu banyak orang orang disana,bahkan mereka berdesakan.Rasa penasarannya belum terobati Amerta mencoba bertanya kepada salah satu yang ada dikerumunan itu."Ada apa ya,m-mengapa disini ramai sekali?"tanya nya sedikit gugup."Itu ... katanya Dirga ingin menyatakan perasaannya kepada seseorang."Amerta yang mendengar nama Dirga tidak tertarik sedikit pun."Oh begitu ... terimaksih ya,"ujarnya.Ia ingin kembali ke kelas
Amerta Pov Bukankah hidup itu terlalu rumit untuk dijalani?,ingin melakukan hal yang membuatmu senang namun ada saja yang menghalangimu.Itulah yang kurasakan aku yang awalnya meminta kepada tuhan untuk memberi sekali lagi kesempatan untuk memperbaiki dan menyelesaikan tugas ku yang belum sempat aku selesaikan.Tapi,semua itu tidak mudah ada konsekuensi didalamnya.Tentu,aku mengerti itu hanya saja ini begitu rumitseperti terjebak di sebuah labirin. Hari ini aku bertemu dengan seseorang yang begitu berharga dalam hidupku.Namun,karena aku hidup sebagai orang lain tentu saja dia tidak mengenaliku.Ingin sekali berbincang dengannya sebatas menanyakan kabar.Aku melihat dia seperti telah layu,bunga matahari yang biasa memancarkan sinar kini telah redup.Seorang perempuan yang ceria,dan ramah kini menjadi sosok yang dingin. Kanagara berarti bunga matahari,nama itu sangat cocok untuknya rambut sebahu dengan wajah yang putih dan senyum yang m