Hangat, kenapa semuanya menjadi hangat? Cecil, masih bisa mendengar rintik hujan di luar, sebelum tidurpun, segalanya masih terasa begitu dingin. Tapi, kenapa sekarang begitu hangat begini? Tapi, tunggu. Semakin lama kok semakin panas ya?
Begitulah yang ada dalam benak Cecil, dalam tidurnya. Rasa gerah mulai menguasainya kali ini, pun keringat telah membasahi dahi dan lehernya membuat cewek itu tidak nyaman. Perlahan, cewek itu membuka matanya, semburat cahaya menyilaukan langsung menerpa iris matanya membuat Cecil, secara otomatis menyipitkan matanya. Bukan hanya itu, bau asap membuatnya langsung terbatuk-batuk. Tunggu, apa? Bau asap?Cecil langsung terkesiap, ia langsung terbangun dari posisi tidurnya dan terbelalak melihat kobaran api yang sudah membakar banyak perabotan di dalam laboratorium kimia yang memang terdapat banyak benda mudah terbakar."AAAAAAAAA API, API APIIII," teriak Cecil, membuat Ririn yang masih terlelap di sampingnya terbangun. Sama seperti Cecil, Ririnpun, langsung panik melihat api yang berkobar di sekelilingnya."KEBAKARAN! API! KEBAKARAN," teriak Ririn, panik tidak tahu mesti berbuat apa. Tidak ada yang tahu jika kebakaran itu terjadi. Sebab, dari luar tidak ada yang berbeda dari sebelumnya. Tapi, jika saja tidak segera ditangani, kebakaran akan semakin meluas dan nyawa mereka berdua bisa terancam karenanya."Rin, kasih tahu Yoga sama yang lain, walky talky-nya mana?" Tanya Cecil, pada Ririn yang nampak pucat di samping Cecil. Cewek itu kemudian ingat, bahwa ia meletakkan walky talky-nya di meja tengah ruangan. Iapun, berlari menuju meja yang dimaksud, langkahnya memang sempat terhenti sebentar karena merasa ngeri melihat api yang menjilat-jilat di sampingnya.Mereka memang memilih tidur di bagian paling belakang ruangan yang memungkinkan mereka untuk menggelar tikar dan tidur dengan nyaman karena adari ujung hingga tengah ruangan telah penuh dengan meja kursi serta banyak jeriken berisi cairan praktek dan juga peralatan laboratorium. "Yoga! Kebakaran Yog, kebakaran, lab kimia," racau Ririn tidak jelas karena kepanikannya. Cewek itu tidak bisa berpikir jernih tentang apa yang harusnya ia lakukan di saat-saat seperti ini, begitu pula dengan Cecil, yang baru menyadari jika api di sekitarnya semakin membesar."WOY, NGAPAIN KALIAN MASIH DI DALEM? KELUAR!" teriakan panik Yoga, menyadarkan mereka pada akhirnya. Kedua cewek itupun akhirnya berlari menuju pintu keluar, langkah yang seharusnya mereka lakukan dari awal ketika menyadari adanya kebakaran di sekitar mereka.Tinggal beberapa langkah lagi mereka berdua sampai di depan pintu keluar, sifat ceroboh Cecil kembali kambuh. Tidak sengaja, menyenggol sebuah jeriken. Tidak tumpah memang, tapi jika sudah berdekatan dengan api tentu saja akan...DUAR! Sebuah ledakan kecil membuat api di sekitar mereka semakin membesar."AAAAAAA!" Cecil dan Ririn, berteriak bersamaan ketika api itu hampir saja menyentuh tubuh mereka. Ririn, bahkan terjatuh dan parahnya, penyakit asma cewek itu kambuh karena asap mengepul yang mengganggu pernapasannya. Ririnpun, tidak bisa bangkit dari sungkurnya, ia memegangi dadanya dan mulai kesulitan bernapas."Cil, Cil gue nggak kuat Cil. Panas," kata Ririn, membuat Cecil semakin panik, tanpa sadar, ia sudah berkaca-kaca, rasa bingung, panik dan takut menjadi satu membuat cewek cantik itu merasa sedih bukan main. Baru kali ini, ia merasakan bagaimana rasanya nyawanya terancam. Terlebih, ada Ririn bersamanya."Jangan gitu dong Rin, bentar lagi kita sampai di pintu, ayo berdiri Rin!" Kata Ririn, merasa dirinya harus melakukan sesuatu untuk mengeluarkan mereka berdua dari ruangan panas itu. Akhirnya, Ririnpun bisa berdiri dengan bantuan Cecil dan mereka sampai di ambang pintu. Tapi, mereka lupa jika pintu laboratorium sudah mereka kunci dari dalam."Rin, kuncinya mana? Kunci?""Ada di tas gue, gue lupa," ujar Ririn, dengan nafas yang hampir habis. Jujur saja, Cecil gemas, tapi melihat keadaan Ririn yang tampak memprihatinkan, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain mencoba kembali dan mengambil kunci dari tas Ririn yang masih tertinggal di belakang. Namun, kobaran api yang semakin membesar membuat langkah Cecil, tertahan karena takut."RIRIN! CECIL! KALIAN MASIH DI DALEM?" Teriakan Yoga dari luar menggema. Biarpun suaranya keras dan seakan membentak, suara itu seperti teriakan malaikat yang membuat keduanya kembali punya harapan. Cecilpun, mendekat ke arah pintu dan menggedor pintu itu memberikan tanda kuat untuk Yoga, agar segera menolong mereka."YOG, YOGA TOLONG, RIRIN SAKIT YOG!" Kata Cecil membuat Yoga yang masih di luar semakin khawatir. "YAUDAH DONG, KALIAN CEPET KELUAR! KENAPA GAK KELUAR DARI TADI?" teriak Yoga, yang tidak habis pikir dengan kedua cewek yang masih terjebak di dalam itu. Seharusnya, dari awal, mere menyelamatkan diri dengan berlari keluar terlebih dahulu sebelum melakukan apapun."GAK BISA YOG, PINTUNYA MASIH KEKUNCI KITA FAK BISA KELUAR!" ujar Cecil, dengan wajah yang semakin panik melihat Ririn yang sudah lemas. Kalau dibiarkan, sebentar lagi cewek itu pasti pingsan."MUNDUR, KALAU GITU KALIAN MUNDUR DARI PINTU!" Itu bukan suara Yoga, Cecil mengenalinya sebagai salah satu rekannya di pramuka. Tanpa berlama-lama, Cecilpun menjauhi pintu dengan memapah Ririn yang sudah tidak bisa berdiri.Yoga dan Arsyapun, akhirnya bisa membuka pintu setelah mendobraknya beberapa kali. Kedua cowok itu langsung masuk ke dalam ruangan untuk menolong Cecil dan Ririn. Cecil tidak apa-apa, cewek itu bahkan bisa menghambur keluar sendiri meski Yoga masih berinisiatif untuk menyampirkan jaketnya untuk menghalau panas api yang mungkin masih bisa menyambar. Berbeda dengan Ririn yang sudah tidak sadarkan diri. Cewek itu harus digendong oleh Arsya dan langsung dibaringkan dan diberi alat bantu nafas begitu keluar dari laboratorium."Kalian udah telepon Damkar?" Tanya Yoga pada kedua rekan yang sedari tadi berjaga di luar. Keduanya tampak tidak kalah panik melihat laboratorium dan kedua rekan mereka yang hampir saja celaka di dalamnya."Udah, gue udah panggil Damkar kok, bentar lagi mereka dateng," ujar cowok itu sambil menyerahkan botol air mineral pada Cecil, yang tampak masih terguncang akibat kejadian yang baru saja dialaminya itu."Lo gapapa Cil? Ada yang sakit gak?" Tanya Yoga perhatian pada Cecil yang tampak sudah lebih baik sekarang."Gapapa kok Ga. Makasih ya," kata cewek itu dengan wajah lega karena mengira semuanya sudah berlalu. Damkarpun, datang tidak lama setelahnya dan langsung masuk memadamkan api di dalam laboratorium. Hal itu malah membuat rasa penasaran banyak orang untuk keluar dari tempat mereka. Tanpa disadari, semua anak kelas satu dan anggota pramuka yang berjaga di hari itu sudah berkumpul di lapangan menyaksikan sumber kegaduhan yang sudah mengusik istirahat mereka itu. Termasuk para anggota perempuan yang langsung mengerumuni Ririn, yang terbaring lemas di atas tandu untuk segera dibawa ke UKS?"Ririn! Ririn ya ampun, lo kenapa?" Tanya Nala, teman sebangku Ririn, yang tentu saja prihatin dengan kondisi teman dekatnya itu. Begitu Ririn dibawa ke UKS, pandangan Nala, langsung tertuju pada Cecil yang masih terdiam di tempat duduknya dengan pandangan kosong."Ini semua pasti gara-gara lo kan? Ngaku deh lo!" Bentak Nala, pada Cecil yang hanya bisa memandang Nala lemah, ia seakan tidak punya tenaga untuk membantah."Nala! Jangan gitu sama Cecil, dia juga gak tau kenapa bisa jadi kayak gini!" Kata Yoga, memasang badan untuk membela Cecil. Hal itu justru membuat Nala semakin marah."Kok lo malah belaian si cewek pembawa sial ini sih?"
Orang-orang terpana melihat kecantikan dan keanggunan Sang putri yang melintas di tengah jalan yang memisahkan pasar dan pertokoan di kedua sisinya. Gaun sutra merah yang ia kenakan begitu mewah sangat kontras dengan pakaian mereka yang terbuat dari kain murahan yang telah kusam dan kotor sana sini.Lilly yang tadinya kerepotan dengan banyaknya barang bawaan di tangannya pun teralihkan karena banyaknya orang-orang di sekelilingnyayang berdengung membicarakan putri yang baru saja lewat itu. Semua orang menunduk hormat dan menepi untuk memberi jalan. Sangat berbeda dengan dirinya yang dulu sering kali diusir dan dimarahi tanpa alasan yang jelas oleh para orang dewasa di sekitarnya.Gadis itu menatap iri pada sang putri yang tidak henti-hentinya memasang senyuman yang membuat wajah cantiknya semakin mempesona. Ia yang berdiri tepat di sisi jalan melihat dengan jelas bagaimana putri itu menyelipkan anak rambut di belakang telinganya kemudian tidak sengaja menatapnya dengan mat
Hari ini, ayah Aira pergi ke luar negeri, lagi. Kesempatan itu digunakan Aira untuk mengundang kedua sahabatnya ke rumah. Ya, meskipun ia harus membujuk Aoi lebih keras dari biasanya karena pengalaman buruknya saat bertamu terakhir kali memanglah tidak menyenangkan. "Tidak, Aira. Aku tidak ingin bertemu lagi dengan ayahmu. Jujur saja perlakuannya membuatku sakit hati," kata sahabatnya itu mengungkapkan perasaanya dengan jujur. Aira tahu dan jelas paham apa yang dirasakan Aoi. Kalau Aira berada dalam posisi yang sama dengan Aoi, mungkin bukan hanya sakit hati, ia juga pasti sudah membenci ayahnya, orang yang jelas telah menginjak harga dirinya. Tapi, sungguh. Ia hanya ingin menyenangkan sahabatnya itu. "Ayolah Aoi, ayahku tidak akan pulang selama satu minggu ke depan, kali ini aku sudah memastikannya sendiri. Aku tidak mungkin salah, asisten pribadi ayahku
Malam terlewati begitu saja, dua sejoli yang baru pertama kali merasakan indah bercinta itu kini sudah harus meninggalkan mimpinya. Aoi menggerakkan kelopak matanya perlahan, hingga iris coklat muda itu terbuka dan langsung menyadari jika hari sudah terang. Meski di luar masih banyak salju, cuaca cenderung cerah sama seperti wajah Aoi saat bagun. Ini pengalaman pertama baginya menghabiskan malam bersama seorang pria. Ia sudah menjadi milik Yuta, begitu pula sebaliknya. Di sampingnya, Yuta masih tertidur lelap dengan tubuh polos yang hanya ditutupi selimut. Ada sedikit bercak darah di sprei yang Aoi tiduri. Bercak darah, yang akan mengikatnya dengan Yuta mulai hari ini. Sama halnya dengan Aoi, Yuta pun membuka matanya perlahan. Saat sadar dirinya masih ada di dalam kamar Aoi, bibirnya menyungging senyum. Ia tidak menyangka kepercayaan Aoi padanya ternyata begitu b
Jalanan lengang, itulah yang pertama kali tersaji di hadapan Aira saat duduk memandang jendela di dalam mobil. Kendaraan besi itu melaju mulus di atas aspal tertutup salju, meninggalkan bekas jejak hitam yang memanjang menuju tujuannya beristirahat. Gadis itu menghela nafas perlahan, berharap hal itu bisa meringankan hatinya walau sedikit. Bukan keinginannya untuk terjebak di antara Yuta dan Aoi. Sejak awal dunianya memang sempit, tidak banyak teman yang tulus yang ia temui di sepanjang hidupnya, hanya ada mereka; Yuta dan Aoi. Terlebih lagi di saat sekarang ini di saat seisi sekolah membullynya. Jadi janngan salahkan Aira yang tidak bisa berpaling dari Yuta meski ia tahu hubungan yang ia harapkan tidak akan menjadi nyata dengan mudah. "Sampai kapan akan seperti ini?" Ujar gadis itu pada dirinya sendiri. Jika saja ia bisa mengendalikan perasaannya, akann lebih mudah jika ia bisa menghilang
"DARAH DARAH DARAAAAAAH!!!!" Aira berteriak ketakutan mendapati seekor burung mati berbau amis di dalam lokernya. Aira tidak mampu berbuat apa-apa selain menjauh dari lokernya itu. Gadis itu pun menutup telinga rapat-rapat mendengar suara tawa dari sekelilingnya. Ia benar-benar takut pada burung mati. Itu mengingatkannya pada burung nuri kesayangannya yang dibakar dengan sengaja oleh ayahnya dulu. Aira melihat sendiri bagaimana burung itu terbang dilepaskan dari kandang dan akhirnya mati di udara jatuh entah dimana karena tubuhnya terbakar. "Belajar! Kamu terlalu banyak bermain dengan burung ini!" Begitu alasan ayahnya dulu. Aira benar-benar kasihan pada burungnya, makhluk kecil itu pasti kesakitan. Saat itu Aira menangis meraung-raung, apalagi burung itu pemberian ibunya yang biasa ia ajak bercerita. Tapi ayahnya tidak peduli, ia meninggalkan Aira begitu saja tanpa mengatakan apapun
Jam pelajaran terakhir memang selalu membosankan, beberapa anak bahkan terlihat tidur dengan menutupi wajahnya dengan buku besar. Suara Air Conditioner mendengung pelan, menghantarkan udara sejuk yang malah membuat semakin mengantuk. Sementara itu, Mizuno yang tidak memperhatikan sekitar tetap menerangkan pelajaran matematika yang sama sekali tidak cocok dengan suasana seperti ini.Di pojok belakang, Aira pun sama tidak fokusnya. Gadis cantik berambut cokelat vanilla yang dikuncir kuda itu melamun seenaknya tanpa bersusah payah menutupinya. Raga gadis itu boleh saja berada di kelas, tapi pikirannya melayang jauh pada wajah kecewa Aoi yang dilihatnya saat jam istirahat makan siang. Saat itu di toilet, Aoi benar-benar berbeda dari biasanya. Tidak ada raut wajah manis dan ramah seperti biasanya. Gadis itu tampak tidak bersahabat, wajahnya datar penuh pertanyaan. Aira yang sebenarnya lebih tinggi dari Aoi itu m