Share

Bab 4. Kerumitan yang mencekam

“Terima kasih sudah mengantarkanku pulang, dan terima kasih sudah mengajakku makan.” Vintari berucap sedikit ketus pada Zeus yang berdiri di hadapannya. Ya, sepulang dari rumah sakit, pria itu langsung mengajak Vintari makan bersama, karena atas permintaan orang tua mereka. Pun selama makan bersama, tak ada percakapan yang terjalin di antara mereka.

“Masuklah ke rumahmu.” Zeus segera meminta Vintari untuk masuk ke dalam, karena pria itu ingin segera pergi.

“Zeus, wait.” Vintari menahan lengan Zeus. “Kita belum membahas tentang perjodohan kita.”

Zeus menatap dingin dan tegas pada Vintari. “Apa yang ingin kau bahas? Bukankah permintaan orang tuamu dan ayahku sudah sangat jelas?”

Vintari berdecak pelan. “Zeus, memangnya kau menerima perjodohan ini?”

Zeus melangkah mendekat pada Vintari. “Ini bukan tentang menerima atau menolak, tapi aku lebih memilih menjalankan. Aku malas berdebat dengan kedua orang tuaku.”

“Zeus, tapi kita tidak saling mencintai.” Vintari berkata begitu resah.

Zeus tersenyum sinis. “Jadi menurutmu dua orang menikah harus saling mencintai?”

“Memang harus seperti itu, Zeus,” seru Vintari kesal.  

Zeus kembali menyunggingkan senyumannya. Pria itu melangkah begitu dekat pada Vintari. Refleks, Vintari memundurkan tubuhnya hingga terbentur ke dinding. Tampak raut wajah gadis itu memucat panik di kala Zeus menghimpit tubuhnya.

“Z-Zeus, a-apa yang kau lakukan. Menyingkirlah.” Vintari mendorong tubuh pria itu sekuat tenaga, tapi sayangnya tenaga gadis itu tak mampu membuatnya bergeser. Tubuh Zeus begitu tinggi, tegap, dan gagah layaknya besi.

Zeus menarik dagu Vintari, menatap dingin mata amber gadis itu. “Simpan teory-mu tentang cinta. Aku menerima perjodohan ini, karena aku tidak ingin berdebat dengan kedua orang tuaku. Menikah lalu memiliki anak. Anggap saja itu pekerjaan. Jangan pernah sangkut pautkan dengan hal-hal konyol yang ada di pikiranmu.”

Mata Vintari melebar mendengar ucapan Zeus yang mengatakan pernikahan layaknya pekerjaan. Vintari hendak ingin mengeluarkan kata, tapi seakan semuanya tertahan di tenggorokannya.

“Mulai detik ini, jalani apa yang telah diputuskan orang tua kita. Jangan banyak melawan.” Zeus menjauh dari Vintari, pria itu berbalik dan langsung melangkah pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun.

“Tidak bisa, Zeus! Aku mencintai pria lain!” seru Vintari dan sukses membuat langkah kaki pria itu terhenti.

Zeus memunggungi Vintari, menatap gadis itu dengan sudut matanya, “Maka lupakan pria itu. Orang tuamu sudah mengatur perjodohan ini. Sekalipun aku tidak suka, tapi aku tidak ingin membuat kekacauan. Seperti yang aku bilang, anggap saja ini pekerjaan.” Lalu, dia kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan tempat itu.

Vintari menatap Zeus dengan raut wajah kesal. Umpatan dan makian lolos dalam hatinya. Sungguh, gadis itu tak mengerti kenapa sampai Zeus menganggap pernikahan sebagai pekerjaan? Cara pikir macam apa itu?

***

“Vintari?” Seorang pemuda tampan menghampiri Vintari, yang tengah duduk di kantin. Terlihat raut wajah gadis itu tampak sangat muram, dan membendung kesedihan yang tak tertahan.

Vintari menatap Andre—sahabatnya—yang kini duduk di sampingnya. “Andre, apa yang harus aku lakukan?” tanyanya begitu putus asa.

Andre membalas tatapan Vintari, dengan tatapan bingung dan tak mengerti. “Apa maksudmu?” jawabnya, meminta penjelasan.

Vintari mengusap wajahnya kasar. “Aku akan menikah, Andre.”

What?” Mata Andre melebar. “Kau akan menikah? Wait … jangan-jangan kau hamil?”

Vintari berdecak kesal sambil memukul lengan kekar Andre. “Aku menikah karena dijodohkan, bukan karena hamil. Kau ini bicara sembarangan saja. Orang tuaku akan menjodohkanku dengan putra dari keluarga Ducan.”

Andre terkagum sambil manggut-manggut. “Aku pernah mendengar tentang Ducan Group. Jika benar kau dijodohkan dengan putra dari keluarga Ducan, maka pasti hidupmu akan bahagia.”

“Come on, Andre, please, kau tahu sejak dulu aku mencintai siapa,” seru Vintari.

Andre mengulum senyumannya. “Kau hanya mengagumi Zayn. Tidak mencintainya. Bedakan antara mengagumi dan mencintai. Itu sangat berbeda, Vintari.”

“Ck! Sudah jelas aku mencintai Zayn!” sembur Vintari semakin kesal.

Zayn Zuney adalah senior kampus Vintari, yang selama ini Vintari idam-idamkan, tapi sayangnya Vintari tidak pernah berani untuk berhadapan dengan Zayn. Setiap kali Zayn ada di hadapanya, maka dia pasti akan salah tingkah, dan berujung melarikan diri.

Sekarang, impian Vintari menjadi kekasih Zayn telah lenyap, di kala dirinya harus menikah dengan Zeus Ducan. Takdir sepertinya sedang sangat membenci Vintari. Impiannya seakan sirna menjadi debu.

Andre mengambil orange juice milik Vintari, dan meminumnya perlahan. “Lebih baik kau tenangkan dirimu dulu. Aku yakin pikiranmu sedang kacau.”

Vintari membenturkan kepalanya ke atas meja. “Aku memang sangat pusing memikirkan ini.” Dia bangkit berdiri dan mengambil tas dan ponselnya. “Andre, aku harus pergi. Aku ingin ke perpustakaan. Aku butuh ketenangan.”

“Hubungi aku jika kau butuh bantuan,” jawab Andre.  

Vintari menganggukan kepalanya, merespon ucapan Andre. Berikutnya, dia melangkah terburu-buru menuju ke perpustakaan. Membaca buku dikeheningan perpustakaan, mungkin bisa membuat hatinya sedikit lebih tenang.

Setibanya di perpustakaan, Vintari ingin mengambil buku yang berada di rak atas, tapi sayangnya Vintari tidak sampai untuk mengambil buku itu. Berkali-kali, Vintari berjinjit, tapi tetap tidak sampai. Padahal, gadis itu sudah memakai heels cukup tinggi.

“Ck! Kenapa kampus ini memiliki rak buku tinggi sekali?” gerutu Vintari jengkel.

Tiba-tiba, seorang pemuda dengan tubuh tinggi tegap, membantu Vintari mengambil buku, dan memberikan buku itu pada Vintari. Refleks, Vintari menerima buku itu.

“Terima kasih, aku—” Vintari baru saja mengucapkan terima kasih, tapi seketika dia terkejut melihat sosok pemuda di hadapannya. Perlahan, pipi gadis itu pun tersipu malu. Yang di hadapannya adalah Zayn—pemuda yang Vintari kagumi.

“Sama-sama,” jawab Zayn ramah dan hangat, lalu Zayn hendak meninggalkan Vintari, dan gadis itu langsung menahan lengan Zayn.

“Zayn,” cegah Vintari.

“Kau mengenalku?” tanya Zayn seraya menatap Vintari.

“Ah, iya, aku mengenalmu karena aku suka bermain basket,” jawab Vintari cepat. “A-aku Vin—”

“Vintari. Aku tahu namamu. Beberapa temanku banyak yang membicarakanmu,” balas Zayn dengan senyuman di wajahnya. “Ada apa, Vintari? Apa kau membutuhkan bantuan lagi?”

“T-tidak, aku hanya ingin berterima kasih kau sudah membantuku.” Vintari menjadi salah tingkah, sampai kesulitan merangkai kata.

Zayn kembali tersenyum. “Kau sudah berterima kasih. Tidak usah berterima kasih lagi. Ya sudah, aku harus pergi. Aku masih ada kelas.”

Vintari menganggukkan kepalannya merespon ucapan Zayn, lalu pemuda itu melangkah pergi meninggalkan Vintari. Tampak tatapan gadis itu tak lepas menatap Zayn. Tatapan yang tersirat penuh kekaguman pada pemuda tampan itu.

Senyuman malu-malu di wajah Vintari pun terlukis begitu merekah, tetapi dalam sekejap senyum itu sirna tergantikan dengan kemuraman dan keputusasaan di kala Vintari mengingat bahwa dirinya kini telah dijodohkan.

“Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan?” Vintari membenturkan kepalanya pelan ke rak buku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status