Sementara Opal memanaskan mobil mewahnya, Silvianita tampak sedang menghubungi seseorang melalui ponselnya, pembicaraanya terdengar serius dari ekspresi dan kata-kata yang dilontarkan Silvianita.
Sinar mentari pagi itu menjadi lebih terik, sementara mereka berlima masih berdiri dengan polosnya. Keringat mulai membasahi dahi mereka, keadaan cukup sulit membuat mereka tak berani meminta ijin untuk duduk hanya sejenak. Silvianita masih sibuk dengan seseorang yang sedang ditelponnya.
“Kalian boleh duduk di bangku sebelah sana.” ujar Silvianita tanpa melirik sedikit pun.
Tanpa meng-iya-kan perintah Silvianita, mereka segera berlarian menuju bangku untuk duduk. Dalam kondisi seperti ini, Ocha masih saja memikirkan mobil mewah yang ada dihadapannya, Ia juga dengan senang hati berceloteh tak penting pada Atha. Atha hanya manggut-manggut saja, Ia mulai paham dengan sifat temannya yang satu itu. Ocha adalah seseorang yang selalu ingin didengar jika Ia berbicara. Lain ceritanya jika orang lain yang berbicara, Ocha justru malas untuk mendengarkan karena menurutnya tidak ada seorangpun yang terdengar menarik ketika berbicara melainkan dirinya sendiri.
❖ ❖ ❖
Beberapa saat kemudian, datang seorang lagi. Kali ini pria paruh baya berumur sekitar 48 tahun, pria ini tidak mengambil perhatian yang cukup besar dari mereka berlima seperti ketika Opal datang. Tentu saja karena pria itu tidak menampakkan keanehan seperti yang dijumpai pada kemunculan Opal pagi itu.
Pria itu menghampiri Silvianita dengan tergesa-gesa, mobilnya terparkir tepat di depan pintu gerbang bersebelahan dengan mobil Opal yang mewah dan elegan. Pria itu terdengar sedang meminta maaf, lalu memberikan penjelasan tentang sesuatu dengan wajah yang menggambarkan penyesalan.
Diam-diam Atha memperhatikan pria itu, seperti tak asing dengan wajah itu. Ia bahkan sering melihat pria itu mengantarkan Silvianita ke sekolah.
“Itu Sopir pribadi Bu Silvinita, Aku sering melihatnya.”
Atha sedang memikirkan sesuatu, ‘Mengapa bukan sopir itu yang ditunjuk Silvianita untuk mengantarkan kami ke tempat yang akan kami kunjungi itu?’
Setelah memberikan penjelasan yang tidak terlalu terdengar dengan baik oleh mereka itu, si pria berlari ke arah mobil lalu mengambil sesuatu di bagasi mobil bagian belakang, Ia terlihat sangat terburu-buru. Kemudian Ia berlari lagi menghampiri Silvianita untuk menyerahkan lima tas ransel berbentuk persegi berwarna abu-abu yang terbuat bahan yang terlihat kaku. Usai menyerahkan kelima tas tersebut, pria itu kembali masuk ke dalam mobilnya dan melarikan mobilnya dari gerbang SMA Bakti Jaya.
“Kalian, kesini!” teriak Silvianita
Mereka berlima segera berdiri di tempat yang sama seperti 10 menit yang lalu, Ia melemparkan kelima tas itu di hadapan mereka berlima.
“Apa saja yang kalian bawa untuk menjalani satu minggu hukuman spesial dariku ini?” Silvianita memandangi wajah mereka satu per satu.
Mereka berlima kemudian mengambil barang bawaan masing-masing dan meletakkannya di sebelah kiri masing-masing tempat mereka berdiri barusan.
Silvianita tertawa mengejek, ”Ini yang akan kalian bawa? Semua ini?”
“Iya Bu,” jawab mereka berlima bersamaan.
“Letakkan barang-barang bawaan kalian di dalam ruangan Saya, dan kembali kesini dalam waktu 120 detik!” tegas Silvianita.
❖ ❖ ❖
Mereka segera melakukan instruksi tersebut sambil memikirkan apa maksud dari semua itu. Diantara mereka berlima, Ocha-lah yang paling kewalahan karena membawa koper paling banyak. Ia pun akhirnya meminta Naga dan Ome membantu membawakan kopernya ke ruangan Silvianita.
Mereka berlima sudah berdiri di tempat semula, tentu dengan keadaan yang berbeda, kali ini nafas mereka terdengar terburu karena berlarian dalam waktu yang yang ditentukan.
“Ambil ini. Tas inilah yang akan menjadi bekal kalian selama perjalanan dan selama kalian berada di sana.”
Mereka berlima ternganga, begitu mendengar perkataan Silviania barusan. Satu per satu dari mereka meraih tas kecil itu dengan pandangan lemas tak percaya, tapi mereka tak mampu melawan keputusan apapun yang diberikan Silvianita.
Silvianita terlihat sangat puas dengan apa yang baru saja Ia lakukan pada kelima muridnya itu, tergambar dari wajahnya yang memasang senyum sangat lebar, lebar dan lebar.
“Bodoh sekali membawa barang-barang tidak penting seperti yang kalian persiapkan barusan. Ingat! Ini bukan acara piknik ataupun liburan untuk kalian bersenang-senang, ini hukuman! Kalian harus ingat itu!”
Ocha terlihat paling kecewa, Ia sudah mempersiapkan semuanya matang-matang, membawa lima koper berisi segala macam kebutuhan dan pakaiannya selama satu minggu. Pikirannya sudah melayang kemana-mana, membayangkan Ia hidup tanpa lotion dan krim wajah seharga jutaan rupiah itu selama satu minggu, tanpa baju-baju kesayangannya, bahkan hal terburuk Ia harus mandi di sungai atau tidak akan pernah mandi sama sekali.
Sama halnya dengan Ocha, keempat murid yang lain juga menampakkan kekecewaanya dengan memandangi, membolak-balik dan mengamati tas yang diberikan pada mereka itu. Hanya tas biasa yang sangat ringan dan nyaris tak berat sama sekali, menandakan tas itu kosong.
Setelah Fafa, Naga, Ome, Atha dan Ocha selesai makan, Doffies wanita segera membereskan meja makan. Gerakan mereka sangat cepat dan lincah meskipun ukuran tubuh mereka kecil sehingga dalam hitungan beberapa menit, meja makan sudah rapi dan bersih seperti sedia kala.“Kenyaaaaanggg..” Naga berteriak senang“Setelah ini kita kemana Doff?” Atha membersihkan sisa saus di bajunya menggunakan tisu.“Doff antar kalian ke Crystalville, mari!” Doff melangkah mendahului mereka, kemudian berjalan keluar dari bangunan tempat tinggal para Doffies itu untuk segera menuju Crystalville.“Apa lagi ini?” Fafa terkejut melihat sesuatu di depan matanya.Lazulite. Para Doffies menggunakan kendaraan itu untuk mengantarkan surat, pergi ke ladang, serta pergi ke Kementerian Bahan Pangan Crystalville. Kendaraan ini diberikan secara cuma-cuma bagi setiap Doff untuk menjalankan pekerjaannya. Lazulite yang terlihat unik itu memiliki panjang sepuluh meter dan lebar hampir tiga meter, warnanya hijau pucat dan te
Entah berapa lama Doff menghilang untuk membujuk teman-temannya, hingga Fafa dan yang lainnya duduk kelelahan setelah puas berkeliling ruangan yang sangat besar ini. Kini, mereka duduk bersandar pada meja besar seperti bagian resepsionis di hotel-hotel mewah. Terdapat lambang huruf DF ditengah meja besar itu, huruf itu dikelilingi untaian daun-daun kecil berwarna hijau. Mungkin itu lambang milik sekumpulan Doff disini.Tiba-tiba terdengar suara berisik dari dalam ruangan, Doff muncul dari balik pintu besar itu, kemudian diikuti dua sosok yang sangat mirip dengan Doff. Muncul 3, 4, 5, 6, 10, 14 dan banyaaaaak makhluk yang sama persis dengan Doff yang kini berjalan beriringan menuju tempat mereka berlima duduk melepas lelah.Melihat serombongan besar berjumlah lebih dari tiga ratusan itu memenuhi ruangan aula besar, kelimanya segera berdiri menyambut dengan senyum mengembang di wajah masing-masing. Ocha sempat bergidik merinding melihat serombongan makhluk ya
Makhluk kecil itu bernama Doff, memiliki tinggi tak lebih dari satu meter. Kulitnya berwarna putih, telinganya panjang seperti telinga kelinci, tubuhnya ditumbuhi rambut-rambut halus, bersih dan putih, seperti bulu hamster. Hidung kecil menonjol di wajahnya yang berbentuk bulat. Matanya bulat penuh dan terlihat lucu karena bulu mata yang lentik, bola matanya berwarna kemerahan.Pintu gerbang itu menutup dengan sendirinya, begitu mereka berjalan semakin menjauh mengikuti langkah kecil Doff yang lumayan cepat. Doff seperti boneka!Jika sekilas dilihat, tentu saja dapat disimpulkan bahwa Doff seekor hewan. Tetapi yang membuat ragu, Doff memakai pakaian berwarna abu-abu gelap dengan penutup bagian luarnya seperti bentuk rompi abu-abu cerah serta celana tanggung dengan warna yang sama seperti bajunya. Ditambah satu hal yang mencengangkan, Doff dapat berbicara, walaupun suaranya terdengar lucu. Jadi kesimpulan sementara adalah seperti ini, bahwa Doff bukanlah hewan biasa, te
Esok paginya, Fafa, Ome, Naga dan Atha masih tertidur pulas, sedangkan Ocha sudah siuman sejak lima belas menit yang lalu. Ocha masih merasakan tubuhnya sedikit pegal, tetapi Ia tak berani membangunkan keempat temannya itu, karena mereka terlihat kelelahan.Tiba-tiba Ome terbangun dengan sendirinya begitu merasakan tangan Ocha yang berusaha lepas dari genggaman tangan Ome.“Ocha?” sapa Ome dengan wajah berseri-seri.Ocha terlihat sedikit terkejut.“Kamu udah nggak papa kan? Kamu lapar? Kamu haus? Atau kamu mau sesuatu?” Ome tidak bisa menyembunyikan rasa senang.Ome senang tidak hanya lantaran Ocha siuman, tetapi juga dikarenakan ramuan yang dulu sempat dicancel olehnya untuk mengikuti lomba karya ilmiah menjadi terbukti saat ini.“Gue mau beef burger sama spageti!”Ome ternganga begitu mendengar jawaban dari Ocha yang terdengar sangat serius.Gue becandaaa hahaha..” Ocha tertawa lepas.❖ ❖
Ocha dibaringkan di sebuah gubuk reot, sampai saat ini Ia masih belum siuman. Fafa membuka sepatu dan kaos kaki Ocha, kemudian memijit-mijit kecil jempol kaki Ocha. Sementara Atha menumpuk dua tas miliknya dan Fafa untuk dijadikan alas untuk kepala Ocha. Naga melihat ke atas langit, cuaca pada saat itu berawan, lama-kelamaan awan itu makin banyak berkumpul sehingga membuat langit tampak gelap.Naga menghampiri Atha dan Fafa, “Sepertinya mau hujan.”“Dan dengan sangat terpaksa kita harus menunda perjalanan menuju gua Crystal” Fafa menunjuk ke arah barat daya, tempat dimana gua Crystal berada.Atha merespon dengan sedikit gemetar, “Itu artinya kita tidak mengikuti instruksi Bu Silvianita?”“Nggak apa-apa. Mana mungkin kita meninggalkan Ocha sendirian, Ocha jauh lebih penting dari gua kristal itu, kan?” Fafa mencoba menenangkan.“Betul!” seru Naga, kemudian memegangi
Fafa mengamati peta tua lusuh berwarna coklat itu dengan seksama, Ia mengamati tiap detil gambar, tulisan, serta kode yang tertera di dalamnya. Bagian awal dari peta itu adalah tempat dimana mereka duduk saat itu. Hal itu diperkuat dengan deretan pohon yang membentuk bujur sangkar disekeliling mereka serta sebuah tugu yang bertuliskan tulisan kuno yang sama persis seperti yang tertera pada peta. Finish line dari peta lusuh itu tentu saja suatu tempat bertuliskan gua crystal.Ome, Ocha, Atha dan Naga secara bergantian juga ikut melihat peta lusuh nan tua tersebut. Untuk menyingkat waktu, Fafa sedikit memberi penjelasan pada mereka berempat tentang apa yang bisa Ia tangkap dari peta tua tersebut, tetapi Ocha nampak terlihat tidak antusias dibanding teman-temannya yang lain.“Bagaimana menurut kalian?” tanya Fafa kepada yang lain.Usai mendengarkan sedikit penjelasan tentang rute yang akan dilewati, mereka memutus