Share

Nyanyian Kenya

Pesawat berhenti setelah kira-kira dua jam kemudian. Atau setidaknya begitulah menurut Mustaka pada Venus, yang terus saja memelototi salah satu jeruji sejak ia tahu siapa Amerta yang sebenarnya.

(Putri, apa informasi tadi lantas membuat Anda jadi patung?) Dengan kurang ajarnya Mustaka berkata dalam benak Venus.

Venus mendengus. Tatapannya tidak pindah ke mana-mana. (Aku mati. Sialan kau, Mus! Kenapa kau tidak pergi saja dari otakku?!)

(MUS?!)

Venus berjengit seraya memegangi kepalanya. Suara Mustaka terdengar sangat tersinggung dan hampir meledakkan otak Venus jadi berkeping-keping.

“Jangan berteriak dalam kepalaku!” geram Venus dengan suara rendah.

(Maafkan saya, Putri. Namun, sebelum ini Anda juga pernah berteriak. Kepala saya sama sakitnya dengan Anda.)

Leher Venus memanas. Dia tidak ingat tentang itu. (Kau sebenarnya ada di mana, sih, Mus? Dan tolong, berhenti memanggilku Putri. Panggil saja Venus.)

Punggung Venus tiba-tiba meremang, seakan ada udara yang ditiupkan secara sengaja di sana.

(Mus?)

(Saya ada di dalam raga Anda, Venus.)

Mata Venus berkejap. (Apa maksudnya, sih?)

(Maksudnya, saya ada di dalam raga Anda.) Roh kurang ajar itu terkekeh dalam hati.

Sel jeruji Venus tiba-tiba berguncang. Anak perempuan itu terempas ke sisi kanan dan segera berdiri sambil mencoba menyeimbangkan diri. Dengan ngeri ia menatap pintu pesawat yang berkeriut terbuka, sebelum kemudian sadar bahwa sangkar burung Venus tidak akan dijatuhkan begitu saja dari langit.

(Menurutmu, siapa yang akan menyelamatkan aku nanti?) Venus bertanya-tanya saat selnya turun perlahan.

(Saya tidak tahu.)

Sungguh pelindung yang sangat bisa diandalkan.

Di tengah penurunan sel jeruji yang dramatis itu, mulut Venus seperti moncong kuda nil yang tengah terbuka lebar. Tatapannya terpaku pada pemandangan malam di luar sana. Ia bahkan hampir lari menempelkan wajahnya ke sela-sela jeruji, sebelum ingat kalau dia sedang terayun-ayun di udara dan seharusnya diam saja.

Dari yang bisa Venus lihat, ia diturunkan di tengah tempat yang sangat luas. Mustaka menyebutnya Alun-Alun Kematian. Alun-alun yang diterangi berbagai lampu itu penuh sesak dengan ribuan manusia, yang berteriak-teriak sambil mengacungkan tinju mereka ke udara. Karena telinga Venus masih dipenuhi dengan dengung pesawat, indra pendengar anak itu tidak begitu jelas menangkap apa yang sedang mereka semua serukan. Yang jelas ekspresi mereka tampak marah, sebagian lagi senang.

(Ribuan orang bodoh ini lagi apa, sih?) Venus bersungut-sungut sebal.

Ada sesuatu yang mendengus di kepala Venus, dan setengah detik kemudian Mustaka bicara. (Yang benar itu ratusan ribu, Venus. Dan ngomong-ngomong, mereka ini sedang menyoraki kematian Anda.)

Venus memonyongkan bibir. (Ada orang mau mati malah disoraki.)

(Soalnya Anda bukan orang.)

Sebelum Venus sempat memikirkan umpatan jorok untuk Mustaka, sel jerujinya terempas dengan agak kasar. Beberapa Pengaman tampak melepaskan kait, tetapi bukan itu yang mengganggu pikiran Venus.

(Kenapa selku diletakkan di dalam kotak kaca?) Wajah dan suara hatinya sama-sama tegang. (Apa aku akan ditenggelamkan?)

Hening sejenak sebelum batin Mustaka menembus kepala Venus.

(Oh, ini kabar buruk.) Nada suara Mustaka sama sekali tidak terdengar buruk. (Kau kena hukuman Nyanyian Kenya.)

(Ap—)

(Permisi, aku harus lapor dulu ke Kaisar.)

Venus tiba-tiba terperenyak kaget. Rasanya seperti jiwa Venus tertarik keluar, lalu kembali melenting masuk hingga membuat raga anak itu jatuh terduduk. Jantung Venus berdegup kencang.

(Apa itu tadi?! Mustaka? Mustaka? MUS!)

Namun, roh itu sepertinya sudah tidak ada. Dia bilang apa tadi? Lapor dulu? Ya ampun. Venus kira Mustaka dan Kaisar bisa saling lapor dengan telepati juga!

Pesawat menderum pergi, meninggalkan Venus sendiri di tengah-tengah lautan tinju yang teracung-acung.

Dasar anak terkutuk!

Bizura iblis!

Pemb—

Venus mendongak, tepat ketika selembar pintu bening di atas menutup, menghalangi semua suara dari luar.

Lagi-lagi aku harus berhadapan dengan yang hening-hening. Sialan.

Seorang laki-laki berwajah bulat dan berbadan seperti bakpau keluar dari pintu bawah tanah, di samping kotak kaca yang mengurung sel Venus. Laki-laki itu memakai setelan hitam, dengan topi tinggi bak penyihir dan menenteng-nenteng sebuah tongkat berjalan dari besi. Ia melangkah maju dan berhenti tepat di depan Venus. Laki-laki itu kemudian berbicara menggunakan mikrofon, tetapi Venus masih belum bisa mendengar apa-apa. Sepertinya kotak kaca ini kedap suara.

(Bersiaplah.)

Venus terperanjat. (Kau sudah kembali, Mus?)

(Tolong, Venus, jangan memanggil saya begitu. Dan, ya, saya sudah kembali.)

Venus menggigit bibirnya agar tidak tersenyum geli. Namun, senyumnya menghilang secepat debu yang tertiup angin kencang.

Pekikan sopran seseorang tiba-tiba menusuk gendang telinga sang pesakitan. Sang Putri Bizura menutup telinganya, mencoba bersembunyi dari suara itu. Ia melenguh di pojokan sel, lalu meringkuk seperti bayi kecil yang ketakutan.

“Hentikan! Mustaka, tolong aku!”

Namun, pekikan merana itu tidak kunjung berhenti. Dan Mustaka tak menjawab teriakan Venus.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAA …!”

Venus berteriak kesakitan. Telinganya mengucurkan darah, tetapi anak itu tetap menutup indra pendengarnya kuat-kuat. Namun, pekikan nyaring itu masih saja menembus gendang telinganya.

Venus memekik lagi, lagi, dan lagi. Berbagai citra acak tiba-tiba berkelebat di benak Venus. Foto sang ibu, wanita yang menyeringai dan spiral hitam di pantai waktu itu, mimpi sepasang siluet kelabu, ayah angkat yang mendorongnya, kegelapan dalam Portal … semua terpelesat hanya dalam hitungan kurang dari lima detik.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAA …!”

Venus berdengap. Jantungnya bagaikan tertikam oleh sesuatu yang tajam. Refleks, tangannya mendekap dada, dan Nyanyian Kenya berdentum di telinganya bak suara dari dalam neraka. Anak perempuan itu berteriak hingga suaranya serak. Darah mengucur dari lubang kupingnya.

Sesuatu menonjok perut Venus, membuat anak itu berdengus kesakitan. Darah tiba-tiba muncrat dari mulutnya dan membuat gadis itu tersedak. Terbatuk-batuk dan tersiksa, Venus mencoba meredam rasa sakit di perut, telinga, dan dada dengan hanya dua tangan.

Bagaikan es yang mencair, air mata Venus mengalir deras tanpa bisa dicegah. Anak itu menggerung-gerung seperti bayi, dan terus berteriak hingga tenggorokannya begitu sakit. Rasa frustrasi melandanya. Kepala anak itu seperti akan pecah … atau mungkin saja sudah.

Suara sopran itu tiba-tiba berhenti. Venus masih menangis dan terisak patah-patah.

Kemudian, suara sopran itu mulai bernyanyi.

Wahai,

Sang Putri Bizura dari Kematian

Awalmu telah merusak tatanan

Lahirmu adalah Kegelapan

Akarmu begitu mengerikan

Sang Penerang akan menghitam

Sang Pendengar jadi pendiam

Sang Pengkhianat tak tenggelam

Dan cahaya berubah kelam

Wahai,

Keturunan Sang Kebencian,

Penggenggam Kematian

Aku bernyanyi dengan segan

Sempatlah ingat sebuah slogan

"Dendam haruslah terbalaskan"

Venus berdeguk, tak begitu paham dengan arti dari lirik-lirik tadi. Lalu, tanpa aba-aba, Nyanyian Kenya kembali memekik, tanpa jeda. Venus menggerung lagi. Matanya berkunang-kunang. Sejuta tawon tengah mendengung di dalam telinganya.

Prang!

Pecahan kaca yang berkilau berserak dan beberapa melukai tubuh Venus. Gadis itu membuka matanya sedikit. Samar-samar ia melihat kekacauan dari orang-orang yang menontonnya.

Untuk saat ini, Nyanyian Kenya tidak hanya menghukum Venus seorang.

Gadis itu tersenyum di antara derak kesakitan pada tulang-tulang kewarasannya.

Kenapa begitu terlambat, Kaisar?

Lalu, hilanglah kesadarannya.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status